|
gambar pinjem dari sini |
Mengemudi mobil,
bagiku adalah hal yang sudah biasa, dan semoga saja ini bukan insting untuk
alih profesi dari seorang humanitarian
worker alias pekerja kemanusiaan menjadi seorang supir alias driver. Kemampuan mengemudi ini telah
aku miliki sejak aku duduk di kelas dua SMU (sekitar tahun 1987). Lalu apakah
postingan ini tercipta berselubung kesombongan memamerkan diri?
Ih, ada-ada aja deh,
masak bisa mengemudi aja pamer? Hehe. Bukan itu kok sobs tujuannya. Kebetulan
barusan diriku terhubung secara online dengan seorang teman lama (yang
sama-sama bergelut di dunia humanitarian worker, tapi kini dirinya telah alih
profesi menjadi seorang fulltime mother). Nah, dia ini dulunya adalah mantan
anggota teamku. Jadi kangen-kangenan donk begitu terhubung kembali tadi.
Lalu obrolan pun tak
terhindari lagi, kembali menggali kenangan masa-masa tanggap darurat paska
tsunami yang menghantam Aceh, 26 December 2004 yang lalu. Sebut saja namanya
Titie, yang kedatangannya ke Aceh kala itu, penuh dedikasi untuk membantu Aceh
bangkit kembali dari keterpurukannya. Maka tergabunglah kami di bawah satu
bendera LSM International yang bergerak di bidang kesehatan. Kami bekerja bahu
membahu membantu masyarakat yang terluka dan trauma oleh efek yang dihasilkan
oleh gelombang maut bernama tsunami ini.
Maklum sendiri kan
sobs, jika di masa-masa emergency alias tanggap darurat, kita berusaha
memaksimalkan apa yang ada guna melancarkan usaha kita membantu Aceh. Nah,
tersebutlah kisah, dimana kala itu, teamku kekurangan satu mobil/transportasi
untuk setiap hari berkunjung ke dua desa yang terhantam tsunami. Hampir seluruh
kendaraan yang kita miliki adalah jenis Phanter Touring, karena medan yang
ditempuh adalah jenis medan yang termasuk berat, karena jalanannya banyak yang
rusak parah. Namun di bulan puasa itu, kita membutuhkan tambahan satu armada
lagi, dan karena darurat, juga disebabkan oleh minimnya dana yang aku kelola,
aku terpaksa memaksa atasanku untuk mengijinkan kami menyewa sebuah colt L-300,
milik tetanggaku, yang kebetulan beliau sedang sakit parah, sehingga diputuskan
mobil coltnya itu dianggurkan saja, dan berhasil kami nego untuk disewa dengan
harga yang cukup sesuai dengan sisa budget kami.
Kesulitan berikutnya
adalah, anggota teamku, yang hanya 5 orang, terdiri dari 3 wanita dan 2 pria,
belum bisa mengemudi. Sementara untuk menggaji supir, kala itu, kami perlu
tambahan 3 juta lagi perbulannya. Rasanya ga cukup lagi, mengingat sebagian
besar dana adalah aku peruntukkan untuk procurement dan program. Jadi kami
benar-benar harus menghemat budget.
Akhirnya, aku nekad
minta diijinkan oleh bosku, agar boleh merangkap menjadi supir. Ga
tanggung-tanggung sobs. Menjadi supir L-300 yang membawa teamku setiap harinya
ke dua desa tersebut. Di Aceh, bukanlah pemandangan umum, menyaksikan seorang
wanita, menjadi sopir angkot/L-300 seperti ini. Juga di mata para petugas lalu
lintas. Beberapa kali aku dihadang oleh polisi, beruntung, pengecualian khusus
yang memang diberikan oleh pihak kepolisian kala itu, akhirnya membuat urusan
cepat selesai. Setelah menyetopku sejenak, akhirnya bapak polisi membebaskan
kami untuk segera melanjutkan perjalanan. Mencapai tujuan. J
Menjadi supir L-300
merangkap Program coordinator untuk project ku berlangsung kurang lebih 1,5
bulan. Dan aku bertekad agar tak perlu mengulang lagi, mengemudi sebuah L-300,
mengingat ibuku protes keras. Malu melihat anak perempuannya malah jadi supir
angkot! Yo wes mommy, it’s enough, no worries, I will drive it no more. Janjiku
kala itu.
Tapi siapa yang bisa
meramal sebuah kejadian di masa depan sih sobs?
Tak pernah ada
harapan untuk mengemudikan L-300 lagi, eh pada suatu malam di bulan Ramadhan,
di perjalanan menuju Meulaboh dalam rangka menjenguk suami, hal ini terpaksa
berulang.
Awalnya sih, dari
Banda Aceh sampai Calang, Aceh Jaya, penumpang L-300 ini penuh. Kami berbuka
puasa di salah satu warung di Calang ini. Setelah shalat magrib dan rehat
sejenak, eh si abang supir, mendekatiku, bicara perlahan, bahwa dia keberatan
untuk naik ke Meulaboh karena penumpang hanya tinggal aku sendiri. Spontan aku
hampir mengamuk, tapi kemudian aku ingatkan diriku sendiri, bahwa hanya aku
sendiri yang tertinggal sebagai penumpangnya. Jadi aku harus benar-benar kontrol emosi. Lalu aku coba bicarakan baik-baik tapi tegas. Aku bicara dalam
bahasa Aceh supaya dia tau persis bahwa aku juga punya temperamen yang serupa.
Agar dia berhati-hati. Aku katakan padanya bahwa aku telah membayar penuh untuk
sampai Meulaboh, bukan Calang. Jadi dari awal jelas destinasi ku adalah
Meulaboh, yang artinya butuh 1,25 jam lagi ke atas. Dan artinya, dia ga punya
hak menghentikan kendaraan hanya sampai Calang. Dia harus antar aku ke
Meulaboh. Tegasku. Tapi dia malah meminta tambahan ongkos, 50 ribu lagi. Spontan
aku akan mengamuk. Tapi aku masih mencoba meredam emosiku, karena apapun
ceritanya, aku harus sampai Meulaboh malam ini. Calang, kala itu, masih belum
memiliki penginapan, dan aku ga punya saudara di Calang.
Akhirnya, nego punya
nego, aku tambahkan 50 ribu untuknya. Deal. Kami pun berangkat. Hanya berdua,
aku dan dia, sang sopir. Eh baru lima belas menit perjalanan, si abang ngulah. Dia
yakin aku bisa mengemudi, dan dia ngantuk banget, jadi dia minta bantuanku agar
aku menggantikannya sejenak, biar dia bisa tidur sebentar. Atau jika aku
setuju, dia akan menghentikan kendaraan sejenak, di pinggir jalan (yang gelap
gulita kala itu), lalu dia akan tidur sebentar. Whaaaaat????
Asli aku akan
mengamuk. Ingin kutikam perutnya dengan garpu yang tersimpan rapi di dalam tasku. Tapi akal sehatku
segera memerintahkan aku untuk bersikap baik. Aku hanya seorang wanita, yang
tentu saja akan kalah jika berperang melawannya. Yang penting aku harus sampai
Meulaboh dengan selamat. Tak kurang suatu apa. Akal sehat harus menang melawan
emosi yang menggelegak. Kukontrol bicaraku sebaik-baiknya, sambill mencatat
sebuah pembelajaran. Lain kali, pastikan sejak awal, untuk perjalanan ke
daerah-daerah yang belum maju (kala itu), bahwa transportasinya dijamin sampai
tujuan. Minta nomor telephone pool L-300 nya agar bisa melaporkan jika ada
kejadian seperti ini. Pastikan penumpang dengan destinasi yang sama itu ada
lebih dari satu orang.
Aku mengalah, dengan
perjanjian, aku akan mengemudi 30 menit. Jadi dia ada waktu untuk tidur selama
30 menit. Oke. Deal. Aku mengambil alih kemudi. Mengemudi di jalan gelap (saat
itu, jalanan buatan USAID belum selesai sempurna, jadi benar-benar belum
semulus saat ini), sambil bertasbih. Ya Allah, selamatkan perjalanan hamba ya
Allah… Jangan biarkan iblis menggoda laki-laki ini ya Allah. Berikan dia rasa
kantuk dan istirahatkan dia ya Allah. Biarlah hamba mengemudi hingga Meulaboh,
tak apa asal bisa tiba di tujuan dengan selamat. …. Aku terus saja mengulang
kalimat2 pengharapan itu. Di sebelahku, si abang sopir tertidur lelap.
Aku mengemudi dengan
lancar, hingga 25 menit kemudian, HPku berbunyi nyaring. Si abang supir
terbangun, kaget. Aku mengangkat telephone yang ternyata adalah suamiku.
“Udah sampai mana
Al?”
“Ga tau nih mas,
jangan telephone dulu donk, ini Al lagi nyetir!”
“What? Kemana
supirnya? Kenapa kamu yang nyetir. Apa-apaan ini, mana supirnya, biar mas
ngomong!” Suara keras suamiku terdengar sampai keluar HP. Si abang supir
menatapku ga enak. Kuserahkan HPku padanya.
“Assalammualaikum
Pak…. Maaf, saya ngantuk kali tadi habis buak puasa…. Jadi saya minta tolong
kakak untuk nyetir, jadi kami ga perlu stop dijalan…” Si abang supir bicara
agak tergagap.
Entah apa yang
dikatakan suamiku di seberang, yang kutahu si supir nggih-nggih, dan tak lama
memintaku berhenti. Mengambil alih kemudi, berterima kasih padaku yang telah
menggantikannya. Dan dia siap mengemudi, melanjutkan perjalanan kami. 30 menit
kemudian, kami telah sampai di terminal Meulaboh, dinanti dengan was-was oleh
suamiku.
Duh, sungguh
pengalaman tak terlupakan dan sebuah pembelajaran yang begitu berharga.
Alhamdulillah, Allah mendengar dan mengabulkan doaku. Terima kasih ya Allah….
Punya pengalaman mencekam yang tak terlupakan sobs? Monggo dishare yuk... :)