|
Desa Pulot, Aceh, 6 bulan setelah tsunami
Foto koleksi pribadi |
It's called Humanitarian Worker. Sobats pernah mendengar dua kata tersebut? Iya,
humanitarian worker alias pekerja kemanusiaan. Atau malah Sobats sendiri sudah tak asing lagi dengan profesi yang satu ini? Aku sendiri baru mulai menaruh perhatian dan mulai familiar dengan profesi yang satu ini tepatnya pada masa-masa tsunami Aceh, Desember 2004 yang lalu. Sebuah profesi yang sama sekali tak pernah terfikirkan apalagi ter-impikan, mengingat backgroundku adalah seorang sarjana teknik kimia alias
chemical engineer. Impian terbesarku kala itu adalah bekerja pada bidang yang tak jauh-jauh dari ijazah dan ilmu yang aku peroleh pada saat menimba ilmu dunk, pastinya.
Namun, siapa coba yang sanggup menolak saat kita berhadapan dengan wajah-wajah nelangsa penuh derita, dari para korban dan survivor bencana gempa bumi yang berbuah gelombang maut bernama tsunami itu? Wajah-wajah pilu, meringis menahan sakit akibat cidera atau malah terluka parah oleh hantaman reruntuhan dan gelombang, atau wajah sendu kelabu dari orang-orang yang telah kehilangan ayah-ibu, anak-istri/suami, sanak saudara juga handai tolan itu? Aku sungguh ga tega, deh, Sobs!
Adalah bukan kebetulan jika sejak 27 Desember 2004, aku dan ayahnya Intan sudah berada di Banda Aceh. Mencari kabar ayah dan ibu serta Khai, adik bungsuku adalah satu-satunya alasan. Aku ingin secara langsung memastikan bahwa mereka bertiga baik-baik saja. Namun anak mana yang tak akan tumpah air matanya, mendapati rumah ayah ibunya telah porak poranda, perabotan telah rubuh dan centang perenang, belum lagi beberapa bangkai ikan bandeng yang terbawa gelombang, justru bergelimpangan di dalam rumah, sementara yang dicari sama sekali tak terlihat jejaknya?
Hadeuh, kemana Ayah dan Ibuku, ya Allah? Adakah mereka baik-baik saja?
Alhamdulillahnya, kami berhasil menemukan ayah dan ibu serta adikku di pengungsian, tepat pada hari ketujuh pencarian, tepat pula di tahun baru, sehingga wajar banget kan kalo aku menganggapnya sebagai hadiah terindah yang Allah berikan padaku di 1 Januari 2005. Alhamdulillah, ya Allah, Ayah dan bunda serta adikku telah Engkau lindungi sedemikian rupa. Terlebih puji syukurku kepada-Mu, yang telah menjaga dan tetap memberikan berkah hidup bagi Ayah, yang telah terseret dan diumbang-ambing gelombang sedemikian dasyatnya.
Bergabung dengan sebuah Medical International NGO
Banda Aceh kala itu penuh dengan aneka paras wajah. Mulai dari orang-orang yang bermata biru berambut pirang, hingga ke wanita dan pria berkulit hitam legam berambut keriting. Tak ketinggalan pula wanita/pria bermata sipit berkulit kuning, atau wanita/pria berhidung mancung bermata indah ala Turkiye atau Timur Tengah, semua turut serta mengulurkan bantuan, bahu membahu membantu para korban bencana. Dan, Sobs? Aku sungguh beruntung hadir di sana pada masa itu. Tak hanya menjadi saksi sejarah menyatunya manusia-manusia dari berbagai ras dan bangsa, berbagai agama dan bahasa, yang tunduk dan bersatu di bawah satu bendera universal bernama Kemanusiaan/humanity. Keberuntunganku ditambah pula dengan terbukanya kesempatan bagiku untuk bisa bergabung dan turut andil di dalam gerakan kemanusiaan ini. Oh My God! Alhamdulillah.
Terus gimana caranya sampai bisa bergabung di NGO ini, Al?
Hm, semuanya mengalir begitu saja sih. Ga ada niatan sama sekali untuk mencari pekerjaan, mengingat aku sendiri akan masuk ke kantor baru, di Medan, pada awal Januari 2005. Jadi, setelah urusan membantu ayah dan ibu beres, aku tuh suka main-main ke rumah sakit untuk melihat perkembangan. Atau terkadang main ke area-area lainnya sekedar memantau proses tanggap darurat yang sedang berlangsung itu. Hingga suatu hari, saat sedang main ke rumah sakit, mataku menangkap seorang pasien [nenek tua] yang sepertinya kesulitan berkomunikasi pada sang dokternya.
Sebenarnya, bukan nenek itu saja yang kesulitan sih, pak dokter berambut pirang itu juga sepertinya sulit mengerti bahasa sang nenek. Kudekati dan tawarkan bantuan
in case they need a translation support. Dan bener saja, ya enggak nyambung dunk ah! Si nenek berbahasa Aceh dan si dokter berbahasa Inggris! OhmaiGod! Haha.
Pak dokter langsung
happy dunk dengan kedatanganku.
Selain cakep ini anak bakalan ngebantu banget nih, pikirnya. *Yaelah, kamu pede sekaleee, Alaika! Haha.
Kumulai dengan
'anything I can do to help, Sir?' yang langsung dijawab dengan girang dan mohon
translation support. Maka mulailah aku berbahasa Aceh ke si nenek, dan mengubahnya ke English untuk si dokter. Menjembatani komunikasi keduanya hingga pak dokter tuntas memberi pengobatan. Setelah sang nenek, kemudian aku juga lanjut translasi untuk pasien-pasien lainnya, hingga aku sendiri keasyikan dan lupa waktu. Anehnya, ada sensasi happy luar biasa di relung hati. Entahlah, serasa bahagia gitu, deh, Sobs! Padahal kalo diukur, bantuan yang aku ulurkan hanya berupa translasi, menerjemahkan, menjembatani komunikasi dua arah saja. Tak lebih tak kurang. Tapi kok rasa bahagia ini luar biasa adanya. Apalagi saat melihat senyuman manis para pasien.
Duh, its like gimanaaaa gituh!
Sore harinya, saat aku akan pamit, selain berterima kasih berulang-ulang, pak dokter dan dua dokter wanita lainnya, dengan serius mengajakku untuk bergabung di NGO mereka. Sebuah International NGO asal Portland, Amerika Serikat, berbendera Northwest Medical Team International [kini bernama Medical Team International], yang bergerak [spesialisasi] di bidang
emergency response alias tanggap darurat bencana.
Kaget dengan tawaran ini? Ho oh! Habis, aku sama sekali ga menduga lho bakalan ditawarin untuk bergabung. Tanpa pikir panjang lagi, apalagi memikirkan kantor dan pekerjaan baru yang telah menanti di Medan sana, anehnya, aku langsung nggih dengan tawaran ini. Langsung YES, walo awalnya ragu, kan daku ga punya bekal ilmu kedokteran atau kesehatan?
Namun mereka meyakinkanku bahwa bekerja di dalam bidang emergency response ini, yang paling dibutuhkan adalah orang-orang yang memang tulus
berniat untuk urun tangan memberikan bantuan terhadap korban bencana. Gelar dan bidang ilmu, itu mengikuti dari belakang. Lagi pula,
Medical NGO ini bergerak di dua sektor, yaitu pemulihan/bantuan dalam bidang medis, juga bantuan pemulihan jiwa yang dilakukan dalam bentuk
trauma healing. Ketiganya menjelaskan padaku, bahwa para
field coordinator nantinya akan dibekali terlebih dahulu ilmu-ilmu dasar
trauma healing dan
counseling, sehingga akan nyambung nanti saat mendampingi para
counselor mereka [dari Portland] di lapangan. Dan, bereslah kalo begitu. Aku langsung
excited dunk! Kapan lagi dapat ilmu gratis langsung dari pakarnya [
expatriate pula], dan sambil beramal pulak.
Aih, itu mah, eikeh pengen banget, cyiiin!
Dan sebuah
resignation letter pun melayanglah ke kantor baruku, kantor di mana aku belum sempat sehari pun bekerja di sana. Kususun kalimat sedemikian rupa, mencoba meraih simpati dan pembenaran diri agar pengunduran diri ini bisa diterima. Kutekankan bahwa, bencana dasyat ini, dan apa yang aku saksikan langsung di tanah bencana ini, sungguh membuat diriku tak mampu untuk menolak panggilan jiwa, untuk turut serta mengulurkan bantuan dalam proses
emergency response ini. Disertai permohonan maaf dan pengertian sebesar-besarnya dari supervisorku, aku mengundurkan diri dan berharap dimengerti. Karena ini bukan masalah profit oriented, tapi masalah panggilan kemanusiaan.
Alhamdulillahnya, bosku sangat mengerti dan menerima pengunduran diriku berikut support agar segala sesuatu di Aceh segera bisa membaik. Tak hanya itu, bahkan kantor ini mengirimkan donasi dari dompet CSR mereka untuk turut bantu masyarakat Aceh via aku, untuk segera aku salurkan ke yang berhak. Sungguh sebuah jalan keluar yang indah.
Humanitarian Worker, What a lovely-happy work!
Dan..., mulailah aku berkecimpung dengan dunia kemanusiaan ini. Menjadi seorang humanitarian worker. Sebuah dunia baru yang tadinya aku kira, murni volunter alias sukarela [baca: tidak digaji, cuma dikasih makan, penginapan dan sedikit uang saku gitu deh, hehe]. Namun ternyata, Sobs, bayarannya pake rate dolar lho! Oh my God. Aku ternganga saat menangani kontrak kerja, karena the salary i got was 5 kali gaji di mana aku baru saja mengundurkan diri. Oh Tuhan, mimpikah ini?
Namun, tentu bukan karena gaji yang tinggi itu, lantas kami berlomba-lomba untuk bekerja di NGO [International], karena siapa pun yang berada di tanah bencana masa itu, aku yakin, akan dengan rela hati mengerjakan apa saja untuk membantu para korban bencana, walau TIDAK dibayar SEPESER pun. Bendera universal bernama project kemanusiaan ini, menurutku, adalah sebuah bendera yang tidak mengenal pamrih, kecuali bagi mereka yang sudah tidak lagi berhati nurani.
Karena memang, pernah ditemukan kasus di lapangan, di mana banyak mayat yang jari manisnya terputus, gegara ada oknum relawan yang tega memutuskan jari korban/mayat hanya untuk mengambil cincin emas yang melingkar di jari manis itu. Hiks..
Well, back to my humanity work, sungguh sebuah dunia baru yang menghadirkan kebahagiaan. Selain mendapatkan ilmu baru, aku mendapatkan banyak sekali pengalaman baru. Pengalaman KKN masa kuliah dulu, ternyata kini berfungsi maksimal. Ilmu berinteraksi dengan masyarakat pedesaan, dan bagaimaan melakukan pendekatan kepada masyarakat yang sedang tertimpa bencana, dan bagaimana memancing mereka agar feel free to *curhat tentang derita batin mereka, sehingga para
counselor bisa memberikan bantuan agar bisa pulihkan trauma mereka, sungguh tidak mudah. Penuh tantangan, karena masyarakat Asia, Indonesia dan Aceh khususnya, adalah masyarakat yang masih memegang teguh pada prinsip 'menjaga rahasia' dan 'menceritakan keluh kesah jiwa' pada orang asing adalah sama dengan membongkar aib sendiri.
Karenanya, aku mengusulkan untuk melakukan pendekatan khusus kepada mereka, dengan mengadakan kegiatan-kegiatan PKK untuk ibu-ibunya, dan belajar serta bermain bagi anak-anaknya. Untuk bapak-bapaknya, sengaja kami menempuh pengajian di malam Jumat, seraya menyisipkan materi 'bincang-bincang paska bencana' setelah pengajian itu. Berbagai trik kami coba untuk meraih kepercayaan masyarakat yang sedang sensitif dan nelangsa ini, hingga akhirnya, berhasil juga kami menjalankan project trauma healing ini. Para korban, kemudian dengan kesadaran sendiri, datang untuk berkonsultasi, bercerita secara terbuka, dan mohon untuk dibantu. Alhamdulillah. It worked well!
Sembari menjalankan proses trauma healing, aku kemudian diserahi tugas untuk menggawangi sebuah project yang dinamakan 'parenting program', yang Alhamdulillahnya, setelah browsing sana sini, belajar dan kaji sana sini, berhasil juga kami implementasikan di 6 desa, kecamatan Leupung, Aceh Besar. Again, Alhamdulillah atas kesempatan ini, ya Allah. Bertambah ilmuku, bertambah pula wawasanku, dan tentu saja, dompet juga semakin terisi. Hehe.
Emergency response atau masa tanggap darurat berakhir dan beralih ke masa development. Walo spesialisasi di bidang emergency response, namun Medical Team International memutuskan untuk tetap mengawal proses rehab-rekon Aceh dan Nias paska bencana ini, karena dana yang diplot untuk bantuan tsunami Aceh-Nias ini masih tersisa banyak [mulai dari masyarakat Amerika, anak-anak , gereja dan berbagai sektor lainnya yang menyumbang ke NGO ini, terus mengalir dananya]. Jadilah kami mulai menyusun program, yang tentu saja tidak boleh jauh-jauh dari koridor/framework NGO ini. Dan aku serta seorang sejawat lainnya, dipilih untuk ikutan dalam menentukan program yang cocok serta daerah yang pas untuk kami bekerja.
Kami memilih kepulauan Nias dan sebuah kabupaten di Aceh untuk coverage working area kami. Kenapa memilih Nias? Karena kebanyakan NGO International lebih senang bekerja di Aceh yang secara geografik lebih gampang diakses dan lebih mudah dibanding kehidupan dan akses ke Nias, yang adalah sebuah kepulauan terpencil. Kami melakukan need assessment dilanjut dengan project design di sana, dan kemudian project plan ini siap untuk dilaksanakan, tentu saja setelah berkoordinasi [sowan dan pamit masuk] dengan para pejabat di kepulauan ini. Namun, aku terpaksa menolak tawaran bosku, untuk menggawangi project di Kecamatan Lolowau - Nias Selatan ini. Bukan apa-apa sih, Sobs! Kepulauan terpencil ini, mayoritasnya non muslim, penuh dengan magic, dan hewan yang satu ini [baca: babi] berkeliaran di mana saja. Bahkan digendong oleh penduduk, dan kemudian si penduduk dengan santainya menyalami kita selaku tamu. Hadeuh. *pengalaman pribadi.
Belum lagi kesulitan di dalam mencari makanan halal. Huft, dua bulan di Nias, aku jadi neg banget dengan yang namanya mie instant! Hehe. Oreo, Timtam, dan biskuit sejenis juga sudah tak lagi menarik minatku, saking terlalu sering bersentuhan dengan lidahku. Haha.
Kami melakukan recruitment process untuk mencari orang-orang berkompeten untuk melaksanakan project ini. Baru setelah itu, aku mengundurkan diri. Meanwhile, sambil ikutan membantu recruitment process itu, aku sendiri juga apply sana sini dunk, mencari pekerjaan baru di tanah kelahiran. Iya, aku masih ingin di Aceh. Alhamdulillah, sebuah panggilan kerja dari BRR NAD-Nias, hadir dan memintaku untuk datang interview. Lamaranku kesana, untuk posisi apa saja, ternyata bersambut. Aku ditawarkan untuk menjadi personal assistant-nya Chief of Operation-nya BRR, yaitu PAnya Pak Eddy Purwanto! Wow! Ga nyangka banget. Dan lebih ga nyangka lagi, bisa bekerja di bawah kepemimpinan Pak Kuntoro Mangku Subroto, si bos yang begitu low profile, sederhana dan penuh ide kreatif dalam membangun Aceh dan Nias. Subhanallah.
Foto koleksi pribadi
Kiri ke Kanan : Ibu Ratna dari GTZ, Pak Kuntoro, Aku, dan Almarhum Ibu Arsyiah Arsyad
|
Dari bidang medical, kini aku pindah ke multi sektor.
BRR NAD - Nias adalah badan yang dibentuk oleh Presiden [masa itu Bapak SBY] dan menerima amanat untuk membangun kembali dan juga mengelola dana rekonstruksi Nanggroe Aceh Darussalam dan Nias pasca tsunami 2004. Dan kami melaksanakan dan mengelola berbagai proyek, mulai dari sektor perumahan, perekonomian masyarakat, agama sosial budaya, pemberdayaan perempuan, hubungan donor dan beberapa kedeputian lainnya. Sungguh, bergabung di badan raksasa ini, menambah wawasan dan ilmu baru bagiku.
BRR diberi masa 4 tahun untuk proses rehab-rekon ini, dan pada saat masa tugas ini berakhir, tentu kami bahagia menyaksikan banyak sekali progress gemilang yang kami capai di Aceh dan Nias. Namun selaku pekerja per project, tentu saja ini berarti bahwa kami harus mencari pekerjaan lagi. Hehe, nasib humanitarian worker ya beginih, Sobs!
Dan aku diterima di Handicap International, sebuah International NGO asal Perancis yang fokus di bidang pemberdayaan para penyandang cacat. Bekerja di sini, sungguh membuka mataku. Betapa selama ini aku 'lupa' akan mereka yang tidak beruntung ini, dan bergabung di sini, aku seakan diingatkan untuk segera membenarkan langkah. Sayangnya, aku tak sempat berkecimpung lama di sini, hanya sempat delapan bulan dengan posisi terakhir manager untuk project rehabilitation yang bekerjasama dengan para dokter, bidan dan perawat-perawat di rumah-sakit rumah sakit.
Kok ga bertahan lama? Kenapa, Al?
Karena, aku ga tahan dengan sebuah godaan, Sobs! Lamaranku ke UNDP [United Nation Development Program], yang aku sendiri telah lupa kapan applynya, ternyata diterima. Aku dipanggil untuk bekerja di sana. Awalnya, aku menolaknya, karena ga enak rasanya meninggalkan tanggung jawabku di sini. Bahkan awalnya, aku tidak tergiur oleh tawaran gaji yang adalah beberapa kali lipat dari gajiku di Handicap International.
Tapi telefon langsung dari orang HRD UNDP yang seakan tak percaya aku menolak tawaran ini, akhirnya membuatku berubah pikiran. Masukan darinya, bahwa '
tidak gampang lho, Mba untuk masuk ke lingkungan UN, Mbak yakin menolaknya?' Akhirnya membuatku minta waktu. Aku shalat istikharah untuk mohon bantuan Allah. Akhirnya, tedeeeng! Aku pilih UNDP! Haha... Kapan lagi khaaan?
Jadilah aku mengundurkan diri secara langsung ke Matteo, bossku yang Italiano itu. Kuceritakan apa adanya, dan kalimat pamungkasku,
if you were me, what will you do, Matteo? Dan olala, bosku ini dengan spontan menjawab,
it's about opportunity, and I will take this one while it is still available. But, you have to stay here until you get the new person to replace you!
Dan, tentu saja aku harus bertanggung jawab seperti yang diminta Matteo. Kami membuka lowongan untuk mencari penggantiku, dan kepada UNDP aku minta waktu untuk mulai bekerja di sana bulan depannya. Deal. Alhamdulillah, Allah memudahkan jalan bagiku untuk terus menambah pengalaman dan pengetahuan. Sungguh, bekerja sebagai pekerja kemanusiaan itu sesuatuh, pake bingits, lho!
Lalu, apakah sekarang ini aku masih bekerja di UNDP?
Tidak lagi donk. Kan project yang kami tangani di Aceh sudah selesai. Dan aku sementara ini sedang belajar dan beralih ke minat lain nih, Sobs! Ingin bisa eksis dan sukses di dunia online. Sebuah dunia yang juga tak kalah menarik dibandingkan dengan dunia humanity itu sendiri.
Selaras pula dengan hobby menulisku yang mendarah daging, melalui beberapa blogku yang telah dengan setia menjadi tempat pelarian jika sedang stress oleh pekerjaan, kini aku semakin yakin, bahwa blogging and online work, adalah pintu lain bagiku meraih kebahagiaan.
Wow! Tulisan ini sudah panjang lebar, semoga Sobats tak bosan membacanya yaaa. Dan semoga ada manfaat yang terpancar dari tulisan ini, yang aku tulis khusus dalam rangka mengikuti tantangan dari Teh Ani Berta. Beliau menantang kami, the member of Fun Blogging Group untuk sharing pengalaman kerja/ilmu yang kiranya dapat kami bagi untuk para pembaca setia kami, ya kalian, Sobs!
So, semoga bermanfaat yaaa!
sekedar sharing,
pengalaman berkecimpung di dunia kemanusiaan
Al, Bandung, 5 Februari 2015