In the name of LOVE, let me kill you, Honey! Serius. Rasanya memang emosi sudah diubun-ubun pagi ini. Setelah berhasil mendobrak akun sosmed suami dan mendapati sebuah chat panjang nan mesra penuh janji dan implementasi yang telah mereka lakukan selama ini.
Sungguh, ibarat ditusuk dari belakang rasanya. Dan beneran, ini memang ditusuk dari belakang, deh! Siapa yang tak geram coba. Berani-beraninya berkhianat.
Baiklah. Maka, dengan sangat elegan, aku skrinsut semua percakapan itu, dan menanti sang pujaan hati pulang. Seperti biasa, dengan wajah lelah dan senyuman manis, si kang mas mengucap salam, dan mencium keningku. Kubalas dengan lembut seperti biasa, tanpa menunjukkan seulas emosi. Kubenamkan emosi yang membuncah dan siap meledak ini, dan berupaya sekuat tenaga untuk meredam dan menundanya. Meledak-ledak menyalurkan emosi, adalah caraku, dulu! Bukan sekarang. Kini, di usia bijak (45+), tentu aku harus lebih mampu mengelola emosi. Aku ingin tampil elegan dalam menjatuhkannya. Kalo perlu dalam menghancurkannya. *Aih, serem yak?
Kami makan malam berdua, bercerita dengan hangat walo wajahnya terlihat lelah. Duh, Mas. Siapa sangka jika di balik kesempurnaan perhatianmu ini, di balik kasih sayangmu ini, tersembunyi pengkhianatan terhadapku? *Ada perih yang mengiris relung hati. Duh. Ibu..., mengapa sulit sekali mencari lelaki yang jujur di jaman ini? Hiks... Kemana lelaki-lelaki jujur yang seperti suami ibu alias ayahku dan ayah teman-temanku?
Di kamar.
Seperti biasa, tetap ber-lingerie, aku menyusup ke balik selimut dan merapat ke dalam dua tangan yang sudah direntangkannya. Dalam hati, aku ingin muntah, mual mengocok perut mengingat perbuatannya di balik punggungku. Eits, tunggu dulu. Emosi dan semua mual ini, harus ditekan hingga ke ujung kaki, jika perlu. Strategi harus dijalankan dengan seksama. Maka kubiarkan dia mencumbu, kupancing dia hingga lupa diri. Lalu, di saat dia ingin segera ke 'sana', masih dengan posisi di atas tubuhnya, kususupkan tanganku ke balik bantal dan mengambil hape yang sedari tadi bersemayam di sana.
"Mas, ini apa? Kurangkah layananku selama ini?"
Dan..., bagaikan mendengar suara petir di siang bolong, wajah itu pucat pasi, tergagap, dan....
ini hanya sebuah fiksi. #Jangan serius banget, ah, Mantemans! :)
Sungguh, ibarat ditusuk dari belakang rasanya. Dan beneran, ini memang ditusuk dari belakang, deh! Siapa yang tak geram coba. Berani-beraninya berkhianat.
Baiklah. Maka, dengan sangat elegan, aku skrinsut semua percakapan itu, dan menanti sang pujaan hati pulang. Seperti biasa, dengan wajah lelah dan senyuman manis, si kang mas mengucap salam, dan mencium keningku. Kubalas dengan lembut seperti biasa, tanpa menunjukkan seulas emosi. Kubenamkan emosi yang membuncah dan siap meledak ini, dan berupaya sekuat tenaga untuk meredam dan menundanya. Meledak-ledak menyalurkan emosi, adalah caraku, dulu! Bukan sekarang. Kini, di usia bijak (45+), tentu aku harus lebih mampu mengelola emosi. Aku ingin tampil elegan dalam menjatuhkannya. Kalo perlu dalam menghancurkannya. *Aih, serem yak?
Kami makan malam berdua, bercerita dengan hangat walo wajahnya terlihat lelah. Duh, Mas. Siapa sangka jika di balik kesempurnaan perhatianmu ini, di balik kasih sayangmu ini, tersembunyi pengkhianatan terhadapku? *Ada perih yang mengiris relung hati. Duh. Ibu..., mengapa sulit sekali mencari lelaki yang jujur di jaman ini? Hiks... Kemana lelaki-lelaki jujur yang seperti suami ibu alias ayahku dan ayah teman-temanku?
Di kamar.
Seperti biasa, tetap ber-lingerie, aku menyusup ke balik selimut dan merapat ke dalam dua tangan yang sudah direntangkannya. Dalam hati, aku ingin muntah, mual mengocok perut mengingat perbuatannya di balik punggungku. Eits, tunggu dulu. Emosi dan semua mual ini, harus ditekan hingga ke ujung kaki, jika perlu. Strategi harus dijalankan dengan seksama. Maka kubiarkan dia mencumbu, kupancing dia hingga lupa diri. Lalu, di saat dia ingin segera ke 'sana', masih dengan posisi di atas tubuhnya, kususupkan tanganku ke balik bantal dan mengambil hape yang sedari tadi bersemayam di sana.
"Mas, ini apa? Kurangkah layananku selama ini?"
Dan..., bagaikan mendengar suara petir di siang bolong, wajah itu pucat pasi, tergagap, dan....
ini hanya sebuah fiksi. #Jangan serius banget, ah, Mantemans! :)
Hanya sebuah cerita, terlintas di kepala,
berdasarkan sebuah image belaka.
Al, Bandung, 16 December 2016