Mari Berdamai dengan Bencana



Tak dapat dipungkiri bahwa negeri cantik berjuluk mutiara dari Khatulistiwa ini, adalah surga bagi para penikmat wisata eksotika alam tropika. Namun siapa yang berani membantah bahwa dibalik keelokan dan permai alamnya, sentuhan geologis Indonesia justru menempatkannya di daerah ring of fire alias cincin api, yaitu berada di antara wilayah lintasan dua jalur pegunungan [pegunungan sirkum pasifik dan sirkum mediterania], yang memiliki banyak sekali gunung berapi aktif sehingga berpotensi menimbulkan gempa vulkanik. Ditambah pula dengan posisinya yang terletak pada pertemuan tiga lempeng aktif, yaitu lempeng Indo-Australia di bagian Selatan, lempeng Euro - Asia di bagian Utara dan lempeng Pasifik di bagian Timur, malah menempatkan Indonesia sebagai negara yang sangat rentan terhadap bencana. Kenyataan geologis ini pula yang menjadikan bencana demi bencana yang datang silih berganti atau malah berbarengan di beberapa tempat itu sebagai sebuah hukum alam alias keniscayaan yang tak dapat ditolak. Lihat saja, mulai dari gempa bumi dan tsunami yang telah menggulung dan meluluh-lantakkan jiwa manusia, hewan ternak hingga gedung, rumah, dan berbagai infrastruktur, hingga ke banjir bandang, tanah longsor, letusan gunung berapi, angin puting beliung, kebakaran dan aneka bencana lainnya, tersaji lengkap sebagai bukti bahwa negeri ini memang menjadi langganan bencana, baik bencana alam mau pun bencana yang disebabkan oleh ulah manusia, sehingga tak heran jika negeri tercinta ini pun mendapat gelar sebagai negeri 1001 bencana.

Sebagai negeri yang begitu rentan akan bencana, dan berkaca pada sejarah kebencanaan yang kerap menerpa negeri ini, sejatinya, kita sudah dapat memetik banyak sekali hikmah pembelajaran di dalam menghadapi bencana. Ini sejatinya lho, ya! Namun lihatlah, berulang kali disambangi oleh bencana, kita tetap saja masih belum mampu menghadapinya dengan sigap. Tetap saja bencana demi bencana yang menerjang, sukses menimbulkan kerugian moril dan material yang luar biasa, serta membekaskan dampak trauma yang juga luar biasa. Tidak seperti halnya Jepang, yang telah begitu akrab hidup berdampingan dengan bencana, utamanya dalam 'bersahabat' dengan gempa bumi dan tsunami.

Berkaca pada Gempa Bumi dan Tsunami di Aceh

Tentu kita belum lupa akan sebuah peristiwa maha dasyat yang terjadi di Aceh, sekitar 10 tahun yang lalu, tepatnya pada 26 Desember 2004. Sebuah bencana bernama cantik, yang sukses menggoreskan tinta hitam legam tak terlupakan di benak siapa pun - masyarakat Indonesia yang pernah menyaksikan, mengalami atau hanya sekedar melihat beritanya, hingga ke dunia international yang terketuk hatinya untuk urun bantuan. Yah, tsunami! Gelombang maut yang diawali oleh gempa bumi berskala luar biasa besarnya itu [9,1 SR], telah menghumbalang pesisir Aceh dan pulau-pulau sekitarnya hingga 6 kilometer ke arah daratan, telah dengan sukses melayangkan 126.741 nyawa manusia; 93.285 orang hilang; 500.000 orang kehilangan hunian dan 750.000-an orang mendadak berstatus tunakarya.

Tak cukup sampai di situ, dari sektor privat, gelombang maut ini menghancurkan 139.195 rumah [hancur atau rusak parah], 73.869 lahan kehilangan produktivitasnya, 13.828 unit kapal nelayan raib bersama 27.593 hektare kolam air payau dan 104.500 usaha kecil menengah. Pada sektor publik, sedikitnya 669 unit gedung pemerintahan, 517 pusat kesehatan serta ratusan sarana pendidikan hancur atau mandek berfungsi. Selain itu, pada subsektor lingkungan hidup, sebanyak 16.775 hektare hutan pesisir dan bakau serta 29.175 hektare terumbu karang rusak atau musnah.


Kerugian jiwa raga, moril dan material yang luarbiasa ini, tentu saja bukan hanya disebabkan oleh bencana tsunami semata, melainkan disebabkan oleh minimnya pengetahuan kita, akan tsunami itu sendiri. Kenyataan memperlihatkan bahwa pengetahuan akan gelombang maut ini adalah sangat jauh dari jangkauan masyarakat Aceh kala itu [26 Desember 2004]. Tak satu pun yang pernah mendengar tentang tsunami. Tak satu pun yang pernah paham kecuali orang-orang di kepulauan Simeulu tentang hikayat 'smong'-nya, bahwa jika 'terjadi peristiwa di mana air laut surut setelah gempa bumi melanda, segeralah menjauh darinya dan capai tempat yang tinggi. Selamatkan diri," Sehingga yang terjadi adalah, orang-orang di tepi pantai justru bergembira memburu ikan-ikan yang menggelepar karena surutnya air laut dari tepi pantai, sehingga saat gelombang itu menerjang, semua dilahap tanpa sempat berbuat apa. :(

Padahal, saat kita menilik lembaran sejarah, kita pun ternganga, karena ternyata peristiwa yang sama ini sudah pernah menghantam daratan Aceh pada tiga periode, yaitu pada tahun 1797, 1891 dan 1907. Namun sayangnya, pengetahuan akan bencana ini, sama sekali tidak diturunkan kepada generasi penerusnya, sehingga masyarakat Aceh [para korban] langsung panik dan gagap begitu menghadapi musibah dasyat ini.

Pengurangan Resiko Bencana

Berkaca pada kenyataan di atas, maka selain mengupayakan pembangunan kembali di segala bidang, maka sebuah usaha yang sedang dan akan terus diupayakan, baik oleh pemerintah daerah maupun pusat adalah membekali masyarakat Indonesia untuk siaga bencana. Sebuah upaya yang tentu saja tidak mudah dan membutuhkan partisipasi aktif dari berbagai pihak, pastinya. Untuk Aceh sendiri, upaya ini telah dilakukan bahkan pada masa-masa rehab-rekon Aceh dan Nias paska tsunami.

sumber : dari sini


Beberapa NGO-Internasional yang memiliki unit atau pun perhatian ke bidang DRR [Disaster Risk Reduction] atau Pengurangan Resiko Bencana, bahkan telah memulai aktivitas ini sejak dini. Mulai dari membekali anak sekolah akan pengetahuan tentang DRR, hingga ke masyarakat yang dikumpulkan secara berkelompok dan dilakukan secara berkala dan berkesinambungan. Tak hanya NGO-Internasional, sebuah institusi penelitian pun kemudian dibentuk. Bernama Tsunami Disaster Research and Mitigation Center [TDRMC], lembaga yang kemudian menjadi tempat pembelajaran bagi daerah mau pun negara lain mengenai kebencanaan. Banyak hal yang telah dilakukan oleh lembaga ini, baik secara mandiri mau pun bekerjasama dengan pihak lain, dalam membekali dan menyiapkan masyarakat Aceh agar siaga bencana. Baik berupa pembekalan pengetahuan tentang kebencanaan, simulasi tsunami [tsunami drill] dan hal terkait lainnya. Sayangnnya, usaha-usaha tersebut tidak berkelanjutan, disebabkan oleh berakhirnya masa tugas lembaga-lembaga internasional [International NGO], yang harus kembali ke negerinya, atau TDRMC sendiri harus melaksanakan program-program lainnya.



Sumber foto 
Mari Berdamai Dengan Bencana

Dari uraian panjang di atas, tentu kita sepakat bahwa banyaknya korban jiwa dan harta benda dalam setiap bencana yang terjadi di negeri ini timbul karena kurangnya pengetahuan dan ketidaksiapan kita di dalam menyiasati bencana. Kita semakin paham, bahwa bencana yang datang silih berganti ini adalah disebabkan oleh kondisi alam dan letak geologis negeri kita, yang terapit di antara pertemuan tiga lempeng dan juga berada di lingkungan cincin api [lihat keterangan pada awal paragraf]. Bencana demi bencana yang terjadi ini tidak mungkin ditolak, juga mustahil untuk dihentikan. Lalu kita pun mulai harus mengerti bahwa satu-satunya cara menyiasati bencana-bencana ini adalah dengan membekali diri kita untuk mampu hidup berdampingan dengan bencana. Mampu berdamai dan bersahabat dengan bencana. Muluk? Rasanya tidak deh. Rasanya, ketika kita tak lagi punya pilihan lain, mendidik diri agar mampu berdamai dengan bencana adalah langkah paling masuk akal deh. Masak kita harus bermigrasi ke negara lain untuk menghindar dari bencana? Emangnya negara itu mau apa menampung kita sebanyak ini? Hehe.

Well, berbicara tentang 'bersahabat dan berdampingan dengan bencana', tentu bukanlah hal sekali klik! Banyak tahapan yang harus kita lakukan secara sadar dan disiplin. Dan tentunya tidak akan bisa lepas dari partisipasi aktif berbagai pihak, baik pemerintah, warga masyarakat mau pun unsur terkait lainnya.

Lalu apa saja yang sebaiknya dilakukan dalam membekali diri kita untuk mampu berdamai dengan bencana?

1. Bersikap bijak di dalam memandang musibah yang terjadi.

Seringkali, masyarakat kita langsung menghakimi saat suatu musibah melanda suatu daerah. Tak jarang kita langsung mendengar judgement seperti ini 'itulah, daerah A kebanyakan berbuat maksiat sih, makanya dihukum oleh Allah.'
Padahal, jika wawasan masyarakat kita bisa di-upgrade, dan digiring untuk lebih mampu berfikir kritis, benar dan ilmiah, bahwa alam ini diciptakan Allah dengan hukum-hukumnya sendiri. Bahwa menurut kajian geologi, bumi dengan berbagai lapisan tanahnya selalu berkembang, berubah dan memuai. Tiap satu lapisan dengan lapisan lain bisa bertumbukan dan mengakibatkan gempa bumi, seperti yang terjadi di Tasik Malaya, misalnya. Tumbukan dan gempa bumi ini tetap akan terjadi walau pun masyarakat yang hidup di daerah itu menjalankan syariat dengan baik dan benar.

2. Lebih kritis di dalam menerima isu-isu terkait kebencanaan.

Sering sekali terjadi, adanya oknum yang mengambil manfaat setiap ada bencana gempa bumi, atau bencana lainnya. Misalnya dengan menghembuskan isu bahwa gempa ini berpotensi tsunami, baik melalui sms, sosial media, BBM broadcast, dan lainnya. Masyarakat kita yang gampang panik [terprovokasi], langsung deh mencari upaya penyelamatan dengan melarikan diri, misalnya. Meninggalkan komplek perumahannya dan akhirnya malah 'menyerahkan' rumah dan seisinya untuk 'digarap' habis oleh sang oknum.

Lebih kritis dalam menanggapi isu-isu seperti di atas, adalah juga merupakan salah satu langkah pengurangan resiko bencana [kehilangan harga benda] yang jitu. :).

3. Melatih Masyarakat untuk Siaga Bencana

Bencana tidak bisa ditolak, itu sudah pasti. Yang bisa dilakukan adalah mengupayakan agar resiko bencana ini sendiri bisa diminimalisir. Caranya adalah dengan melatih masyarakat untuk selalu siaga bencana. Banyak cara yang dapat dilakukan, seperti yang telah diterapkan Aceh dan beberapa daerah lainnya. Melakukan tsunami drill, pembekalan pengetahuan tentang karakteristik bencana, dan hal terkait lainnya.

4. Membangun gedung, fasilitas sarana dan prasarana yang tahan gempa.

Sudah bukan hal asing lagi jika masyarakat Aceh masa kini [setelah tsunami], mulai menaruh perhatian serius dalam bidang ketahanan terhadap gempa, bagi rumah yang akan mereka bangun. Rumah beton nan mewah dan cantik saja tidak cukup, faktor ketahanan terhadap gempa adalah salah satu faktor yang kini masuk ke dalam kriteria prioritas. Begitu juga dengan pembangunan perkantoran, fasilitas umum, sarana dan prasaran, semuanya memasukkan unsur ketahanan terhadap gempa ke dalam syarat wajibnya.


5. Membuat jalur evakuasi dan tempat evakuasi yang memadai.

Tidak ada dari kita yang mengharap bencana untuk datang menyambangi. Apalagi mengharapkan tsunami berkunjung kembali. Tentu tidak. Namun, siapa yang bisa menolak jika musibah ini kembali melanda? Maka, membuat jalur evakuasi dan tempat evakuasi [escape building] yang memadai adalah suatu keniscayaan.

6. Membuat sistem peringatan dini dengan jangkauan yang luas.

Nah, yang ini, tentu bukan tugas masyarakat donk, tapi adalah tugas pemerintah untuk membangun sebuah sistem peringatan dini terhadap terjadinya bencana. Selain membangun sistemnya, pemerintah dan pihak terkait juga berkewajiban untuk mengedukasi masyarakat untuk ngeh dan paham akan langkah apa yang harus dilakukan saat mendapatkan pemberitahan/peringatan dini ini, sehingga masyarakat benar-benar siaga dan sigap jika bencana terjadi.

7. Belajar dari Jepang tentang bagaimana negara ini menyiapkan masyarakatnya agar siaga bencana, dan menyebarluaskannya bagi masyarakat Indonesia.

Menyebarluaskan best practices and lesson learnt  negeri matahari terbit [Jepang] dalam kesiap-siagaan dan kesigapan mereka dalam menghadapi bencana [gempa bumi dan tsunami], bukanlah hal yang buruk. Tetapi justru akan menjadi salah satu cara di dalam mengedukasi [menambah pengetahuan] masyarakat kita untuk turut belajar menyiasati bencana.

Bencana memang tidak bisa dihindari, namun berupaya untuk mengurangi resiko bencana yang akan terjadi, adalah suatu keniscayaan. Untuk itu, yuk kita bersiap diri untuk mulai bersahabat dan berdamai dengan bencana.

Artikel ini diikutsertakan pada
Lomba Menulis Kebencanaan Memperingati 10 Tahun Tsunami Aceh,
Kategori Menulis di Blog. 


Sumber referensi:
http://www.scribd.com/doc/91932961/Seri-Buku-BRR-Buku-1-Kisah
https://www.facebook.com/notes/mardy-joeang/cincin-api-indonesia-negeri-dalam-bayang-bayang-bencana/10151175790184615





10 comments

  1. Entah mengapa saya masih miris mengenang peristiwa Tsunami Aceh 10 tahun silam, meski saya blm pernah mengalaminya. Tapi memang bencana itu menjadi pembelajaran untuk kita semua bahwa segala sesuatu yang terjadi di muka bumi ini tentunya atas ijin dan kehendak-Nya, kita harus bisa mengambil hikmah dan sisi positif dari semua yang terjadi. Sukses untuk mak Alaika, salam

    ReplyDelete
  2. Judul postingan ini 'unik dan menarik ... lihat saja "Mari berdamai dengan Bencana :)
    Judulnya sangat menyejukan, betapa tidak ... namanya 'bencana, pastilah diselingi oleh hura hara ... nah, kiat-kita untuk berdamai dengan 'bencana itu di informasikan disini. :D

    ReplyDelete
  3. Mengubah mind set orang kita agar tidak memandang bencana semata-mata karena kemurkaan Allah, ini yang paling sulit. :D

    ReplyDelete
  4. Ibuuuunya Intan, part 2 jadi teringat akan link2 berita yang kadang ngawur kasih beritanya ya. Memanfaatkan.


    Sukses ngonteseeee!

    ReplyDelete
  5. iya, sebaiknya kita berdamai dengan bencana :)

    ReplyDelete
  6. Menyadari bahwa bencana itu ada nyata, plus langkah pengurangan resiko dan meraciknya dalam kurikulum kehidupan nyata pastilah sangat membantu ya mbak. Sukses ngontesnya

    ReplyDelete
  7. Bencana, baik dari langkah bumi kita memperbaiki kondisi tubuhnya. Karena kebanyakan kita tidak berusaha memperbaikinya dengan sikap yang ramah lingkungan. Ironis memang.

    Omong-omong, kalau sempat bantu like atau share foto ini ya via fb ---- > http://goo.gl/zbtjwx
    terima kasih banyak

    ReplyDelete
  8. semoga sukses ngontesnya ya mba...
    Semoga negara kita akan selalu dilindungi Allah SWT. Aamiin.

    ReplyDelete
  9. setuju,,,Bencana memang tidak bisa dihindari, namun berupaya untuk mengurangi resiko bencana yang akan terjadi, adalah suatu keniscayaan.

    ReplyDelete