Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '. Kisah sebelumnya disini
Jika malam itu Khai bisa tidur lelap akibat hati tenang dan tubuh yang kelelahan - kehabisan tenaga, maka tidaklah demikian halnya dengan para survivors di lantai dua rumah kami. Dalam keremangan cahaya lilin, wajah-wajah lesu itu berselimut pilu, dililit pula oleh derita fisik akibat hempasan gelombang, masih ditambah lagi oleh gemuruh orkestra biologis yang bersumber dari dalam saluran pencernaan. LAPAR! Seharian penuh belum ada sebentuk makanan pun yang mampir di kerongkongan, hanya air, air dan air. Itu pun bermodalkan lima galon yang terapung dan selamat di dapur.
@Rumah Kami, Malam itu
26 Desember 2004, first night of tsunami
![]() |
Picture Grabbed from here |
Wahyu, si bocah cilik, semakin tak sabar 'menanti Oom pulang membawa susu'. Mulai merengek di pelukan ibu. Beberapa orang dewasa mencoba menghibur dan mengalihkan perhatiannya, namun tetap saja, "Nek, Oomnya kok lama kali? Wayu mau cucu, Wayu lapel!" Rengekannya sungguh menyayat iba. Duh, bagaimana keadaan ibu dan ayahmu nak? Selamatkah mereka? Justru pertanyaan itu yang kerap mampir di batin ibu, yang menggendong Wahyu dan mencoba menghiburnya.
"Wayu minum putih dulu yaaa, ntar lagi Oom pasti sampai. Nanti kita buat cucunya, sekarang, Wayu bobok dulu yuk, kan udah malam, ntar kalo Oom udh sampe, Nenek bangunkan untuk minum cucu, ok?" Bujuk ibu tiada henti.
Lain lagi dengan Udin, yang tampaknya kian tinggi demamnya. Diarenya sepertinya mulai mereda, setelah bolak balik ibu mengoleskan minyak kayu putih yang ada di kotak obatnya Khai, ke perut dan dada Udin. Bocah laki-laki sepuluh tahunan itu, kini mengingau, bahkan sepertinya disertai mimpi buruk, atau sedang 'menyaksikan' tayangan ulang peristiwa dirinya terhempas gelombang tadi pagi? Igauannya, yang memanggil ayah atau ibunya silih berganti, membuat ibu [di sela-sela gundahnya] harus berlagak dan menirukan suara ayah atau ibunya Udin, untuk menenangkan bocah itu. Anehnya, Udin jadi tenang dan melanjutkan tidurnya, setiap mendengarkan suara 'bujukan ayah atau ibunya' yang ditirukan oleh ibu.
Dr. Fanni? Tentu punya kisah tersendiri. Janin dalam kandungannya sepertinya unjuk rasa karena tak lagi nyaman di dalam kandungan sang bunda. Gelisah dan sangat tak ingin memberati ibu, sang dokter ini berusaha sedapat mungkin untuk tidak mengeluh. Sedapat mungkin untuk meredam keluhan meluncur dari lidahnya. Namun apa daya, pergerakan bayinya yang mungkin meronta karena lapar, membuat dirinya tak berdaya. Berusaha sedapat mungkin untuk bangkit, mencapai tempat air minum. Seorang bapak, buru-buru bangkit untuk menolong menuangkan air dari galon air mineral itu ke gelas yang dari tadi memang menjadi tempat minum sang dokter.
Ayah lain lagi, di tengah rasa lapar yang memecut perut, dan rasa nyeri yang mengusik kaki yang kian membengkak, deraan batinnya justru berjaya merebut kemenangan. Tak mampu diredamnya air mata begitu ingatannya melayang ke putra bungsu tercinta. Khai, bagaimana nasibmu, anakku? Dimana engkau, Nak? Selamatkah engkau? Atau dimana mayatmu kini? Semakin deraslah air mata ayahku. Sementara ibu masih mampu berpura-pura. Tak ingin menambah gulana hati ayahanda, bunda sengaja berlagak tetap tabah, padahal hatinya sudah menjerit tersedu. Ibu mana yang tak gundah gulana, memikirkan ananda yang tak tentu rimbanya. Adakah dirinya bernasib serupa dengan para mayat yang terkapar di sekitar rumah? Nauzubillah, ya Allah, selamatkan putra hamba.
"Assalammualaikum." Sebuah suara yang didahului oleh cahaya senter, menghampiri teras atas rumah kami. Dari atap rumahnya Ikshan. Sebuah suara khas, yang langsung membuat ayah dan ibu menjerit lega. Bukan! Bukan suara Khai. Tapi itu adalah suara Bang Gade.
"Waalaikum salam, Ya Allah, Gade! Dari mana kamu naik?" Ibuku adalah orang pertama yang mengenali suaranya, bangkit dari memoleskan minyak kayu putih ke perut Udin, beliau menyambut Bang Gade, yang kepayahan membawa dua plastik besar sesuatu.
"Dari rumah si Ikshan, Kak. Ini saya bawa nasi untuk kakak dan semuanya. Pasti sudah lapar sekali kan? Ini saya juga bawa air minum. Ayo, semuanya, ayo makan dulu. Pasti udah lapar ya?" Dengan sigap, Bang Gade membagi-bagikan satu bungkus nasi ke setiap survivors, yang langsung disambut haru dan masing-masingnya membuka dan mulai menyantapnya dengan lahap.
"Ya Allah, Gade, terima kasih banyak atas perhatianmu." Ayah berucap penuh haru, kala Bang Gade mendekatinya, memeluknya dan membukakan nasi untuk ayahku.
Ayah menolak untuk disuapi ibu, karena beliau merasa masih mampu melakukannya, jadi kini ibuku menyuapkan nasi itu untuk dr. Fanni sekaligus juga untuk dirinya sendiri. Sementara Bang Gade menyuapi Udin, yang masih lemah dan meriang. Malam itu, setidaknya para survivors dapat bernapas lega, karena orkestra biologis telah mereda. Tidur sekejap adalah harapan utama sebelum menghadapi hari esok yang belum tentu bagaimana. Tapi bagaimana mau tidur jika setiap kali mata dipejamkan, justru bayangan anggota keluarga yang belum jelas keberadaannya yang terlintas?
Itu juga yang membuat ayahku semakin malam, semakin gundah. Bacaan surah-surah al-Quran yang beliau hapalkan, satu persatu meluncur dari bibirnya, namun kekusyukannya tak lama bertahan karena langsung ternoda oleh sedu sedan yang tak tertahan. Hiks. Ibu semakin gundah menghadapi 'polah' para survivors. Akhirnya beliau pun terpengaruh, tak lagi mampu bertahan dalam ketegarannya. Air mata pun tak kuasa bertahan, membobol pertahanan dan membentuk sungai yang mengairi pipi.
Bang Gade, sang penolong, berusaha untuk menabahkan ayah dan ibu, namun akhirnya malah ikutan dalam aliran musik sendu yang dihasilkan oleh tangisan lirih ayah ibu. Sungguh, suatu malam yang penuh duka dan mengguratkan kenangan yang tak akan pernah luput dari ingatan para survivors ini. Ditambah pula dengan sang waktu yang sepertinya begitu enggan untuk bergerak cepat, merambat lambat bagai siput yang semakin sekarat. Malam kelam, udara dingin nan lembab dengan mayat bertebaran di dalam lumpur dan reruntuhan sekitar rumah dan lingkungan, sungguh sebuah kenyataan yang menyayat hati dan menambah duka lara.
Tak sabar semuanya menanti sang fajar, menanti secercah cahaya Ilahi Rabbi, karena semuanya hakkul yakin, bahwa Allah punya rencana lain bagi mereka, para survivors, yang masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan. Nantikan kisah hari kedua tsunami, saat semuanya harus meninggalkan rumah dan mengungsi. Tentang Wahyu yang ternyata menjadi yatim piatu, tentang Udin dan yang lainnya yang harus mengakhiri kebersamaan mereka di lantai dua rumah kami.
"Assalammualaikum." Sebuah suara yang didahului oleh cahaya senter, menghampiri teras atas rumah kami. Dari atap rumahnya Ikshan. Sebuah suara khas, yang langsung membuat ayah dan ibu menjerit lega. Bukan! Bukan suara Khai. Tapi itu adalah suara Bang Gade.
"Waalaikum salam, Ya Allah, Gade! Dari mana kamu naik?" Ibuku adalah orang pertama yang mengenali suaranya, bangkit dari memoleskan minyak kayu putih ke perut Udin, beliau menyambut Bang Gade, yang kepayahan membawa dua plastik besar sesuatu.
"Dari rumah si Ikshan, Kak. Ini saya bawa nasi untuk kakak dan semuanya. Pasti sudah lapar sekali kan? Ini saya juga bawa air minum. Ayo, semuanya, ayo makan dulu. Pasti udah lapar ya?" Dengan sigap, Bang Gade membagi-bagikan satu bungkus nasi ke setiap survivors, yang langsung disambut haru dan masing-masingnya membuka dan mulai menyantapnya dengan lahap.
"Ya Allah, Gade, terima kasih banyak atas perhatianmu." Ayah berucap penuh haru, kala Bang Gade mendekatinya, memeluknya dan membukakan nasi untuk ayahku.
Ayah menolak untuk disuapi ibu, karena beliau merasa masih mampu melakukannya, jadi kini ibuku menyuapkan nasi itu untuk dr. Fanni sekaligus juga untuk dirinya sendiri. Sementara Bang Gade menyuapi Udin, yang masih lemah dan meriang. Malam itu, setidaknya para survivors dapat bernapas lega, karena orkestra biologis telah mereda. Tidur sekejap adalah harapan utama sebelum menghadapi hari esok yang belum tentu bagaimana. Tapi bagaimana mau tidur jika setiap kali mata dipejamkan, justru bayangan anggota keluarga yang belum jelas keberadaannya yang terlintas?
Itu juga yang membuat ayahku semakin malam, semakin gundah. Bacaan surah-surah al-Quran yang beliau hapalkan, satu persatu meluncur dari bibirnya, namun kekusyukannya tak lama bertahan karena langsung ternoda oleh sedu sedan yang tak tertahan. Hiks. Ibu semakin gundah menghadapi 'polah' para survivors. Akhirnya beliau pun terpengaruh, tak lagi mampu bertahan dalam ketegarannya. Air mata pun tak kuasa bertahan, membobol pertahanan dan membentuk sungai yang mengairi pipi.
Bang Gade, sang penolong, berusaha untuk menabahkan ayah dan ibu, namun akhirnya malah ikutan dalam aliran musik sendu yang dihasilkan oleh tangisan lirih ayah ibu. Sungguh, suatu malam yang penuh duka dan mengguratkan kenangan yang tak akan pernah luput dari ingatan para survivors ini. Ditambah pula dengan sang waktu yang sepertinya begitu enggan untuk bergerak cepat, merambat lambat bagai siput yang semakin sekarat. Malam kelam, udara dingin nan lembab dengan mayat bertebaran di dalam lumpur dan reruntuhan sekitar rumah dan lingkungan, sungguh sebuah kenyataan yang menyayat hati dan menambah duka lara.
Tak sabar semuanya menanti sang fajar, menanti secercah cahaya Ilahi Rabbi, karena semuanya hakkul yakin, bahwa Allah punya rencana lain bagi mereka, para survivors, yang masih diberi kesempatan untuk melanjutkan kehidupan. Nantikan kisah hari kedua tsunami, saat semuanya harus meninggalkan rumah dan mengungsi. Tentang Wahyu yang ternyata menjadi yatim piatu, tentang Udin dan yang lainnya yang harus mengakhiri kebersamaan mereka di lantai dua rumah kami.
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Istanbul, Turkey, 28 Juli 2013