Hm, ga terasa, hari ini sudah tanggal 22 June 2016, ya, Sobs? Waktu memang seakan berlari, euy! Dan keriweuhan di dunia persilatan offline masih begitu mendominasi hingga ku tak berkesempatan untuk membereskan beberapa draft postingan untuk harusnya tayang sesuai jadwal.
Dan, mengisi kekosongan update entry (tayangan baru di blog ini), tiba-tiba aku teringat akan sebuah tradisi yang begitu melekat di ingatan, berlangsung turun temurun di banyak desa di tanah kelahiran, Aceh, pada masa-masa Ramadhan. Masa kanak-kanak memang indah dan tak terlupakan, tak peduli berapa pun usia kita kini, namun ingatan akan kenangan indah masa lalu, tetap mampu menyeruak bahkan tanpa disangka-sangka. Seperti kali ini, nih, Sobs! Tiba-tiba aku teringat akan sebuah kekonyolan masa kecil, yang aku beri tagline 'gara-gara belalang'. Yup, gara-gara belalang ini aku kena setrap harus menjaga adik seharian! Huft, ga bisa kemana-mana. Hehe. Penasaran akan kisahnya? Yuk, meluncur ke postingan lama di bawah ini, yuk!
Ditayangkan pada tanggal 25 July 2012, di Banda Aceh.
Dan, mengisi kekosongan update entry (tayangan baru di blog ini), tiba-tiba aku teringat akan sebuah tradisi yang begitu melekat di ingatan, berlangsung turun temurun di banyak desa di tanah kelahiran, Aceh, pada masa-masa Ramadhan. Masa kanak-kanak memang indah dan tak terlupakan, tak peduli berapa pun usia kita kini, namun ingatan akan kenangan indah masa lalu, tetap mampu menyeruak bahkan tanpa disangka-sangka. Seperti kali ini, nih, Sobs! Tiba-tiba aku teringat akan sebuah kekonyolan masa kecil, yang aku beri tagline 'gara-gara belalang'. Yup, gara-gara belalang ini aku kena setrap harus menjaga adik seharian! Huft, ga bisa kemana-mana. Hehe. Penasaran akan kisahnya? Yuk, meluncur ke postingan lama di bawah ini, yuk!
= = = = = = = = = = = = = = = = =
Ditayangkan pada tanggal 25 July 2012, di Banda Aceh.
Pada suatu ketika, di sebuah desa bernama Lamkawe, Kembang Tanjung, Kab. Pidie, Aceh, tinggallah seorang gadis kecil bernama Alaika Abdullah bersama keluarganya. Gadis kecil yang sebenarnya sangat pemalu, namun kalo sudah bersama teman-temannya malah jadi malu-maluin tingkahnya, haha.
Kampung halaman memng menyimpan banyak sekali kenangan, ya, Sobs? Terutama di dalam
bulan suci seperti ini. Ingatanku terbuka satu demi satu bak bendungan yang
dibuka pintu airnya. Mengalir deras, membuat mata dan fikiran mulai sejalan,
hingga kemudian terpaku pada sebuah rutinitas sore hari selaku kanak-kanak kampung,
yang begitu ceria dan antusias mengunjungi meunasah untuk sebuah tujuan.
Adalah sebuah
kebiasaan bagi kami, anak-anak desa kala itu (ga tau deh apa masih berlaku juga
kini bagi kanak-kanak masa kini?), di setiap sore menjelang, dengan sebuah
wadah berupa teko, kami secara bergerombol melintasi sawah-sawah yang
menghampar (sebagai jalan pintas), menuju meunasah desa kami. Mau ngapain Al?
Mau ambil Ie Bu!
Adalah kebiasaan
turun temurun di setiap desa di Aceh, menyediakan penganan berbuka yang
dimasak dalam kuantitas super jumbo, yang memang diniatkan untuk menyambut para
warga desa maupun musafir yang singgah di meunasah untuk berbuka puasa. Selain
itu, penganan tersebut juga diniatkan untuk dibagikan bagi warga desa yang
ingin berbuka di rumah masing-masing.
Untuk itulah, kami,
para kanak-kanak desa, setiap sore berbondong-bondong dengan ceria, menenteng
wadah masing-masing, menuju meunasah untuk mengambil jatah penganan khas tadi.
Penganan khas nan
unik ini bernama Ie bu Kanji (Bubur Kanji Rumbi) dan Ie bu On Kayee (bubur daun
dan rempah). Yup! BUBUR, Sobs!
Tapi bukan sembarang
bubur lho. Kedua bubur ini, dimasak dengan penuh cinta dan keikhlasan oleh
bapak petugas (yang dipilih dalam rapat desa), dengan aneka persiapan
materialnya. Tak sembarang bubur, ini, mah, karena bahan-bahannya telah dipersiapkan
jauh-jauh hari sebelum bulan Ramadhan menjelang, lho.
Untuk Bubur Kanji
Rumbi (Ie bu Kanji), bahan utamanya adalah beras, rempah/bumbu, daging
ayam/udang, santan dan menghasilkan rasa yang yummy! Gurih banget!
Sementara jenis bubur
yang satunya lagi, merupakan bubur yang berbahan dasar dedaunan dan rempah2
yang menghasilkan rasa, warna dan aroma yang khas. Tak tanggung-tanggung, Sobs,
konon diperlukan 44 jenis bahan yang dicampur menjadi satu. Rasanya pedes dan
gurih, cocok banget untuk orang yang masuk angin, lho! Tapi bagi yang ga
masuk angin, tetap boleh donk mengkonsumsinya… hehe.
Ok, kembali ke masa
kanak-kanak yang terpatri begitu lekat di ingatan nih, Sobs…, adalah kejadian
yang terjadi di sore itu. Sebagaimana layaknya sore-sore sebelumnya, Alaika
kecil telah rapi jali dan cantik jelita, melangkah riang di antara
teman-temannya dengan menenteng teko jinjing khusus untuk tempat Ie bu (bubur).
Sengaja menempuh jalan pintas (menembus sawah yang baru selesai panen) menuju
meunasah. Semua tidak ada yang aneh, tetap seperti hari-hari sebelumnya.
Namun sore itu, sawah
yang telah lapang karena telah panen, menimbulkan daya tarik tersendiri bagi kami,
anak-anak desa. Berhentilah kami menangkap belalang yang lompat melompat dari
satu batang padi ke batang padi lainnya yang telah puntung (telah dipanen, jadi
hanya tinggal batangnya).
Kami keasyikan
berlomba menangkap belalang, hingga lupa waktu. Tak terasa hari hampir gelap
saat seorang teman berteriak…
“Kita belum ambil Ie
bu!” Semua tersentak kaget. Bertujuh kami berlari, jika tadi berlomba menangkap
belalang, kini perlombaan beralih ke siapa yang tercepat sampai ke tunggu tanah
liat di mana bubur dimasak. Galau menguasai hati setiap anak. Terbayang jelas di
benak masing-masing, gambaran amarah/kesal dari ayah/ibu mereka jika pulang
nanti mereka tak membawa Ie bu.
Benar saja, Alaika
kecil dan teman-temannya sampai di meunasah bertepatan dengan bunyi bedug!
Gawat. Uwak tukang masak Ie bu telah meninggalkan dapur, bergabung di meunasah untuk berbuka
puasa. Tujuh anak berdiri kikuk penuh rasa takut, membayangkan amarah orang tua
mereka. Bukan hanya karena tak membawa bubur, tapi juga karena mereka belum
kembali hingga bedug berbunyi!
Kikuk dan takut,
akhirnya ketujuh anak pun memutuskan untuk pulang ke rumah masing-masing,
membayangkan derita yang akan diemban oleh masing-masingnya.
Dan Alaika kecil sama
sekali tak mampu merancang alasan apik untuk membela diri. Apalagi keyakinan
bahwa berbohong di bulan puasa, dosanya adalah berlipat ganda, membuat Alaika
kecil memutuskan untuk bercerita apa adanya.
Benar saja, ayahku
gemes dan tak kuasa menahan marah karena kelalaianku. Ibuku apalagi. Bukan
ketiadaan bubur di teko yang aku jinjing yang bikin mereka marah. Tapi anak
kecil berkeliaran di luar rumah, di alam terbuka di senja hari, apalagi saat
magrib, yang bernuansa mistis (maklum di desa gitu lho!), itulah yang menciptakan
percik api kemarahan mereka.
Aku pasrah, tak
membantah. Mending nunduk, sambil menjangkau aneka kue yang lezat terhidang di
meja makan deh, sambil mendengar wejangan indah dari ayah bunda.
Ujung-ujungnya? Aku
tetap kena setrap donk, harus menjaga adik seharian besok! Huuuuu…. Apa boleh
buat.
Sobats, punya special
memori masa kanak-kanak di bulan Ramadhan? Yuk share yuk…
Kenangan masa kecil yang tak terlupa,
Al, Banda Aceh, 25 July 2012