Ini hanya sekedar sharing ringan, tentang yang namanya komitmen, janji, hak dan kewajiban. Weis, kok kedengarannya malah bukan topik yang ringan yaaa? Komitmen, Janji, Hak dan Kewajiban! Rasanya sih itu lumayan butuh keseriusan Al!
Ok ok, ini hanya sebuah obrolan ringan tadi pagi, dengan seorang teman yang butuh di'dengar'kan. Curhat yang secara tidak langsung juga membuka mata dan hatiku, untuk introspeksi diri.
Pernah bersama di sebuah lembaga besar bernama BRR NAD Nias, dan tinggal serumah di mess yang disediakan oleh lembaga ini, membuat hubunganku dengannya tetap karib, walo kini kami terpisah oleh jarak yang begitu membentang dan waktu yang tidak lagi sebebas dulu. Namun pagi ini, sahabatku ini langsung membubuhkan 'cinderamata'nya, begitu melihat aku online di Skype.
Maya [bukan nama sebenarnya] : Mba, aku mau curhat dunk. Need your opinion, please.
Aku: Hi, May, ok, go ahead. Listening #pasang headset. Ato mau chat aja?
Maya: Chat aja, mba, ga enak ada kolega lain di sini.
Aku: Okd. Eneng opo toh? :)
Lalu mengalirlah rangkaian huruf yang meluncur bebas di monitorku, menceritakan tentang kekecewaannya pada pemilik klinik hewan, di mana dia kini mengabdikan diri. Setahun setengah yang lalu, si pemilik klinik ini, yang adalah juga teman baik Maya, mengajaknya untuk membantunya di klinik yang dikelolanya itu. Dan sebagai salah satu spesialis di bidang ini, tentulah Maya dengan senang hati bergabung. Apalagi saat itu dirinya juga sedang menganggur, ditambah pula dengan janji manis sang sahabat, bahwa Maya tak hanya memperoleh gaji bulanan, namun di akhir tahun nanti, Maya juga akan beroleh benefit dari hasil keuntungan tahunan klinik.
Namun ternyata, setahun telah berlalu, dan keuntungan tahunan yang berkisar di atas seratus juta itu, diketahui nyata oleh Maya, namun lagi nih, ternyata, sang sahabat tersebut, belum menepati janjinya. Tunggu punya tunggu, benefit itu tak juga dicairkan, walau sedikit, untuk Maya. Maka, selang dua bulan kemudian, secara halus, Maya mulai 'mengingatkan' si sahabat akan janjinya itu. Namun ada saja alasan si sahabat untuk menunda, bahkan lama kelamaan terkesan melupakan janji tersebut. Dan inilah yang kemudian membuat kinerja Maya menurun. Jadi males untuk bekerja serius seperti biasanya. Menurutnya, ngapain juga mempertahankan kinerja optimal, jika benefit seperti yang dijanjikan tak kunjung mencair?
Di sinilah Maya mulai dihinggapi kebimbangan. Butuh second opinion untuk mendukung langkahnya tersebut. Yaitu langkah bermalas-malasan!
Tanggapanku sendiri sih, tentunya aku tidak mendukung aksi bermalas-malasan tersebut. Wajar memang, kita menjadi kesel, dan uring-uringan gegara janji/ komitmen yang tidak ditepati. Membiarkan rasa kesel hinggap di hati, juga adalah hal yang normal sih menurutku. NAMUN, rasa kesel dan uring-uringan itu, HENDAKNYA, tidaklah kita biarkan berlarut. Mengapa?
Karena, itu hanya akan merugikan diri sendiri. Okelah, memuaskan hati dengan membiarkan 'kesel' itu bersemayam sejenak di hati, boleh-boleh saja. Tapi, setelah itu, kita harus menentukan langkah. Aku katakan pada Maya, jika aku jadi dia, maka langkah yang aku ambil adalah:
Tetap bekerja dengan maksimal, mencoba bicara lagi secara profesional dengan si sahabat, mengingatkan dia tentang janji/komitmennya itu. Menanyakan padanya apa dia akan penuhi komitmennya atau tidak. Jika dia punya alasan tertentu untuk membela diri, maka aku akan tanyakan lagi, kapan tepatnya dia akan penuhi janjinya itu. Ya, tentu saja secara baik-baik dan beretika lah. Aku yakin bahwa manusia dewasa, apalagi para profesional, tentu punya pemikiran matang dan bisa menghargai langkah ini.
Dan SEMENTARA ITU, [ini, jika memang kita sudah tidak betah lagi di tempat kerja yang ini lho], mulailah mencari lowongan baru. Banyak kok di miling list tentang lowongan kerja, setiap hari banyaaaak banget informasi lowongan kerja, yang tentunya ada yang sesuai dengan minat kita. Buatlah aplikasi, apply dan tunggu hasilnya. Sembari itu, tetaplah bekerja maksimal, karena bekerja maksimal, berarti kita sedang meningkatkan kapasitas diri kita, sedang mengukir prestasi kita sendiri, yang tentunya akan menjadi nilai tambah di dalam resume kita. Jangan lupa, keep connected with our networks [kolega dan para relasi] juga langkah nyata yang kita perlukan untuk mendukung kita melangkah maju lho!
Alhamdulillahnya, Maya bisa melihat sisi positif yang aku gambarkan, bahwa dengan mempertahankan kinerja kita yang maksimal, artinya kita sedang menabur nilai tambah di dalam portofolio kita. Yang tentunya akan menjadi aset berharga bagi kemajuan kita di masa depan.
Cuma nih, Sobs, yang aku herankan, bahkan sahabat karib sendiri [si pemilik klinik], kok bisa ya bisa bersikap seperti itu? Lupa akan komitmen yang telah diikrarkan, lupa memberikan hak setelah si orang yang bersangkutan telah tunai kewajiban? Ih, semoga kita dijauhkan dari hal-hal yang demikian ya, Sobs. Dan, introspeksi yuk, sudahkah kita tunaikan janji, sudahkah kita berikan hak pada seseorang yang telah tunaikan kewajibannya pada kita?
Sebuah catatan ringan, pembelajaran dari universitas kehidupan.
Al, Bandung, 29 Mei 2013