Sinar sang surya yang
begitu melimpah menyinari segenap penjuru kota ini, membuatku memutuskan untuk
segera membawa Gliv ke tempat pemandian special. Tubuh luarnya yang
bergelimangan debu dan noda, membuat dirinya sama sekali tak elok dipandang
mata. Belum lagi tubuh bagian dalamnya… yang penuh berbagai penampakan kotor
akibat beberapa benda yang dua hari ini dijejali masuk ke tubuh indahnya… duh,
membuat dirinya sama sekali tak menarik untuk dimasuki….. Tak ada kompromi lagi,
ini sudah keterlaluan! Gliv harus segera ‘disucikan’, dimandikan agar keindahan
dan kemolekannya terpancar kembali. Juga agar aroma tubuhnya semerbak mewangi
seperti biasanya..
Maka dari itu, begitu
sang surya semakin cemerlang, segera kularikan Gliv ke tempat pemandian, tempat
dimana ritual pembersihan dirinya dilaksanakan. Seperti biasanya, aku hanya
diijinkan mendampingi Gliv sampai di pintu batas ‘serah terima’, dan begitu
Gliv kuserah terimakan pada para petugas pemandian, aku dipersilahkan untuk menunggunya
di ruang tunggu, atau pun di kantin yang menyediakan hotspot. Pastinya aku
memilih kantin donk, selain hotspotnya yang menjanjikan koneksi yang lancar
jaya, juga karena kata kantin kan identik dengan makanan dan minuman….. ??
so…sambil mengisi perut, ngenet, mengerjakan beberapa tugas yang harus segera
aku setorkan pada pemberi tugas, aku bisa mengintip ritual pembersihan diri
Gliv dari lantai atas ini...
nongkrong dulu ah sambil bikin postingan.... |
Bagiku, Gliv
sangatlah istimewa. Dia bukan hadiah ulang tahun dari seorang suami atau ayah
ibu. Dia juga bukan bonus karena prestasi gemilang yang berhasil aku persembahkan
untuk instansi…. Bukan juga hadiah undian yang menghampiri…
Dia adalah impian
yang menjadi nyata. Perwujudan kerja keras bersimbah peluh dan restu Sang Maha
Pemberi. Menatap Gliv, membuatku percaya bahwa tiada mimpi yang mustahil sejauh
kita punya strategic planning yang SMART (Smart, Specific, Achievable,
Realistic and Time bound) dalam meraihnya. Mengelus Gliv, membuatku ingin
bersujud pada Sang Maha Pemurah, atas anugerah dan perkenannya mewujudkan
impianku.
Jatuh bangun kehidupanku di masa lalu,
malang melintang di dunia kerja yang gajinya tak pernah menanjak drastis, jelas
menyadarkanku bahwa impian ini akan teramat sulit untuk digapai. How can I get
the dream come true jika gajiku tetap aja 2,5 – 3 juta perbulan? Apalagi kala
itu aku masih single parent? Aku harus mengubah strategi, dan Allah sang Maha
Pemberi membuka pintu rezeki... Undangan untuk bergabung di sebuah lembaga
international untuk program tanggap darurat terhadap bencana membuatku
tercengang. Tercengang melihat rate gaji yang melebihi gaji Managerku di kantor
Medan. Oh Tuhan…. Bahkan untuk membantu masyarakat daerah asalku, yang tanpa
dibayarpun aku akan rela melakukannya dengan tulus, malah aku dibayar
professional, dengan angka yang menakjubkan. Subhanallah. Pintu itu memang
terbuka, lebar. Alhamdulillah ya Allah….
Bekerja di dunia
kemanusiaan, berbaur dengan berbagai orang dari segala penjuru dunia, adalah
kebahagiaan tersendiri bagiku. Pengalaman baru yang kian memperkaya wawasan dan
kemampuan, membuatku benar-benar excited. Kubahagia, dan sejenak lupa akan
impian yang tergantung tinggi. Kok bisa lupa? Karena aku tak sejenakpun
mendongak ke atas, sehingga tak kulihat impianku terselip diantara gemintang.
Yang kulakukan adalah memuaskan diri, traveling ke luar negeri. Maklum sobs,
reaksi orang kantong kering yang tiba-tiba kantongnya menjadi sedikit basah,
hehe. Tidak, tentu aku tak melupakan Intan, sang buah hati. Tentu saja Intan
kuajak di beberapa kali perjalananku.
Waktu terus berputar
hingga suatu kali aku tersentak kala menatap langit biru. Angkasa kala itu
gemerlap ditaburi gemintang yang bercahaya. Sebuah pendar gemerlap melambai
memberi tanda. “Ini aku yang sekian lama telah kau gantung
tinggi. Raih aku saat ini atau tidak sama sekali!”
Astaga!! Aku lupa
akan impian yang telah kusemat nun jauh di angkasa raya. Hasrat hati – impian
jiwa yang terpatri puluhan tahun silam…. Masihkah aku punya waktu? Kuhitung-hitung
tabungan yang tersisa…. menggeleng aku sambil mengerutkan dahi. Tidak cukup.
Pasti tidak cukup. Aku harus mengumpulkan rupiah demi rupiah sekian banyak
lagi, aku butuh kurang lebih 200 juta untuk menjemput impian itu. ”Tolong sabar wahai
impian…. Nantikan aku sebentar lagi yaaa…!”
Tabunganku begitu
ramping. Aku harus memberinya gizi yang cukup agar tumbuh sempurna. Tak ayal
lagi, aku fokus menggapai impian, sebelum semuanya terlambat. Dunia kerja yang
kugeluti ini, bukanlah sebuah dunia yang sustain/berkelanjutan. Pekerjaan yang
berbasis project ini harus disiasati dengan teramat jeli. Maka kutetapkan langkah,
bahwa pendar impian nan tinggi di atas sana, harus kujemput tahun depan. Kembali
aku merubah strategi. Pekerjaan baru dengan gaji yang jauh lebih tinggi. Dan
Alhamdulillah, pekerjaan baru dengan gaji yang jauh lebih tinggi itu Allah
bukakan jalan bagiku.
Merinding seluruh bulu romaku, terharu segenap kalbu, meriak air bening di telaga bola mata, itulah reaksi utama kala (akhirnya) aku berhasil juga menjemput impian itu.
Ingin tau sobs? Apa sebenarnya impian itu? Dan mengapa aku begitu ter-obsesi
untuk meraihnya?
Impian itu adalah:
memiliki sebuah kendaraan roda empat, baru, yang aku beli cash dari hasil keringat
sendiri. Bukan donasi dari orang tua maupun suami.
Kenapa sampai begitu
terobsesi? Obsesi ini muncul pada suatu hari di tahun 1988, kala itu aku masih
kelas tiga SMU, ayahku dengan keras memarahi dan mengecamku karena tanpa
sengaja aku telah membuat mobil kesayangannya penyok, gara-gara aku terlalu
nekad masuk gang sempit yang kiri kanannya dibatasi pagar tembok. Kemahiranku
mengemudi kala itu masih dibawah rata-rata, tapi kok ya nekad nerobos gang
sempit itu, Sok paten! Penyoknya mobil ayahku adalah bukti nyata ketololan dan
kenekadanku. Wajar jika kemudian ayah merepet panjang lebar dan bahkan mengecam
tanpa ampun. Wong mobil kesayangan yang cuma satu-satunya itu aku penyokin
seperti itu. J Kata-kata
penutup dari repetan panjang itu sungguh
membuat aku bercita-cita ingin punya mobil sendiri.
“Makanya
kalo dibilangin itu dengar, jangan bandel. Udah tau ga ahli nyetir, nekad pula
masuk kesitu. Kalo mau suka-suka, pake mobil sendiri, jangan mobil orang
lain.!”
Aku yang begitu
sensitif kala itu, langsung tersudut dan sediiih banget sobs. Seketika muncul sebuah
impian di hati ini, untuk memiliki kendaraan sendiri, yang aku beli dengan
uangku sendiri.
Sejak itu aku ngambek
beberapa bulan, ga mau pake mobil ayahku… hehe.
Well sobs, postingan
ini aku share bukan untuk menyombongkan diri, karena kusadari sepenuhnya,
mungkin bagi orang lain, mewujudkan impian seperti ini adalah hal kecil dan
biasa saja. Namun bagiku, ini adalah hal yang sangat luar biasa.
Yang ingin aku
bagikan adalah bahwa sebuah impian,
setinggi apapun, insyaallah
akan mampu kita wujudkan sejauh kita mempersiapkan STRATEGIC PLANNING yang SMART dan konsisten
mengimplementasikan setiap langkahnya.
Tak ada impian yang tidak mungkin
diraih, sejauh impian itu Specific/spesifik, Measurable/terukur,
Achievable/bisa dicapai, Realistic/realistis dan Time Bound, ada batas
waktunya.
Bagaimana dengan
sobats? Adakah pengalaman sobats yang bisa dishare tentang impian yang menjadi
nyata serta proses menggapai impian tersebut? Share yuk….