Source |
Dulunya, aku tuh sering heran dengan sikap ibu, yang menjadi begitu kuatir jika aku sudah sampai di tempat tugas, tapi lupa memberi kabar, terus ibunda pun marah-marah. Padahal, menurutku kala itu, lho, apa sih yang mesti ibu kuatirkan, toh aku ini udah besar, udah emak-emak pula, masak harus lapor sih? Kan daku baik-baik saja, Mamake. :) Tapi demi menentramkan hati ibu yang senewen, palingan aku minta maaf, dan berjanji lain kali akan lebih ingat untuk memberi kabar. Hingga kemudian, kejadian yang sama berulang dan terus berulang, bukan disengaja sih, tapi karena begitu sampai di tempat tugas, aku biasanya langsung berbaur dengan staf yang berada di daerah dan mengalir di dalam tugas yang harus kami kerjakan. *Alesan.
Hingga kemudian, bertahun kemudian, dan ini masih baru banget kejadiannya, Sobs! Minggu kemarin. Intan, memberiku sebuah pelajaran berharga!
Putri semata wayang yang sudah mulai tinggal di asrama [student housing], karena sedang menimba ilmu di President University Cikarang, pulang ke Bandung untuk weekend, sekalian untuk check up, karena dirinya sedang kurang sehat. Jika biasanya aku yang menjemput bersama Gliv [my lovely car], maka kali ini, Intan ingin menjajal naik bus, agar lebih murah dan efisien. Aku pun setuju bahkan sangat menghargai keputusannnya. Aih, anak Umi udah gede dan jauh lebih dewasa. Keren punya nih!
Namun, sayangnya, Intan tuh paling takut kalo harus naik angkot di Bandung, karena punya pengalaman buruk ketika pertama kali naik angkot di Bandung, dulu. Makanya, dipaksa pun, Intan pasti akan menolak jika disuruh naik angkot sendirian. Trauma. Maka kesepakatan pun tercipta. Intan baru akan aku jemput di BIP, sore hari setelah aku kembali dari Sukabumi, karena agenda ke Sukabumi bersama tim Relawan TIK, juga ga bisa ditunda. Intan sendiri memutuskan untuk hang out dulu bersama sahabatnya, di BIP, sambil menanti Uminya pulang. Deal. Semua happy.
Masalah baru muncul, ketika aku tiba kembali dari Sukabumi. Sengaja aku buru-buru pulang ke rumah untuk menjemput Gliv, baru kemudian ke BIP untuk jemput Intan. Akan lebih mudah dan efektif jika kami berdua naik Gliv aja ketimbang harus berangkot ria, soalnya sebentar lagi juga hari akan gelap alias malam. Etapi..., putri tercinta malah ga aktif hapenya! Ini nih yang paling bikin aku sebel. Soalnya Intan tuh mengantongi 2 blackberry dan 1 tablet, masak satu pun ga bisa dihubungi? Dan kejadian 'tak bisa dihubungi' ini bolak balik terjadi. Sebel kan? Alasannya low bat? Makanya, power bank yang Umi berikan itu harusnya disimpan baik-baik agar bisa dipergunakan untuk charging, bukannya malah dipinjemkan ke teman dan tak pernah kembali lagi. Nak...nak! Hadeuh!
Jadilah diriku kalang kabut. Was-wasku luar biasa. McD adalah tempat pertama yang aku datangi untuk mencari putri tercinta ini. Karena memang Intan dan temannya paling suka nongkrong di McD. Tapi, sejauh mata memandang, selelah kaki berkeliling, aku tak menemukan sosoknya. Bahkan tak ada satu pun yang mirip dengannya. Hiks. Untungnya, aku menyimpan nomor Nada, temannya Intan yang tadi satu bus bersamanya dari Jababeka ke Bandung. Kuhubungi Nada, dan menurutnya, Intan memang sudah di BIP. Malah Nada mengusulkan agar aku mengumumkan di bagian informasi, agar Intan bisa mendengar panggilan untuknya. Bener juga! Kulakukan saran itu, dan berbuah nihil! Hatiku semakin was-was. Kuatirku luar biasa. Apalagi membayangkan kondisi Intan yang sedang dalam keadaan kurang sehat. Demam dan flu sedang berkuasa, membuat suaranya terdengar begitu lemah tadi pagi. Aduh ya Allah, kemana harus kucari putriku itu?
Akhirnya, dalam kekalutan, aku hanya bisa pasrah, kembali ke McD dan duduk di salah satu sudut. Berharap Intan ingat untuk menghubungiku. Azan Maghrib yang berkumandang, semakin membuat hatiku kembang kempis, kuatir banget. Takut Intanku kenapa-napa. Padahal kalo dipikir secara logika, toh Intan itu udah gede, bukan lagi anak kecil. Tapi kok iya aku seperti ingin menumpahkan seluruh air mata yang aku punya, saking galaunya.
Tiba-tiba sebuah sms masuk dari nomor tak dikenal. 'Mi, ini nomornya Kinan. Teman Intan.'
Nah. Tak perlu membalas sms itu, melainkan langsung deh aku dial nomornya, dan diangkat langsung oleh Intan. Entah darimana datangnya amarah itu, suara senduku malah tiba-tiba menggelegak. Marah padanya.
"Aduh, Nak! Kenapa sih hapenya satu pun ga bisa dihubungi? Mohon maaf nih, Umi udah ga bisa sabar lagi, ayo kesini karena Umi ingin ngamuk-ngamuk sama kamu! Umi hampir mati jantungan memikirkan kamu! Kok bisa-bisanya kamu ga menghubungi dan ngabari Umi??"
Tentu Intan kaget donk. Dan gugup suara dari ujung sana. "Mi, maaf banget..., plis, marahin Intan di mobil aja ya, Mi, jangan di tengah keramaian di situ. Umi di mana ini? Biar Intan segera kesitu?"
Dan tak perlu lama, putri tercinta sudah berdiri di hadapanku. Penuh rasa sesal dan permohonan maaf di mata bening itu. Terselip juga rasa takut di pancaran matanya. Takut aku ngamuk. Dan pastinya donk, dengan mengecilkan volume suara, aku menceracau. Mengeluarkan uneg-unegku akan sikapnya yang sudah membuatku kalang kabut. Baru kali ini aku merasa dan jadi tau persis bagaimana perasaan ibuku ketika menguatirkan aku, mau pun adik-adikku. Ya Allah, begini rasanya hati seorang ibu yang sedang menguatirkan anak-anaknya. Aku berusaha menahan air mata yang hendak jatuh berhamburan. Tak elok menangis di tengah keramaian. Maka kupercepat gerak kami menuju parkiran, di mana Gliv berada.
Sesampai di dalam Gliv, sungguh, air mata yang sejak tadi sekuat tenaga aku bendung, kini berhamburan dengan gaya bebas. Melimpah ruah. Intan juga, terikut alunan emosi yang tercipta. Tersedu, memohon maaf karena sama sekali tak menyangka jika [hanya] karena hapenya tak bisa dihubungi, telah menciptakan rasa was-was yang begitu luar biasa pada ibunya. Kami berdua menangis, berpelukan di dalam Gliv. Sesunggukan.
"Mi, maafkan Intan ya, Mi, Intan janji untuk tidak akan mengulang kesalahan ini lagi. Ampuni Intan ya, Mi." Dipeluknya aku dan kami kembali mengurai air mata. Beginilah yang dirasakan ibuku selama ini. Ya Allah, betapa aku ingin segera menelepon ibuku dan meminta maaf atas segala khilaf dan salahku selama ini. Beginilah feeling seorang ibu, beginilah kekuatiran seorang ibu. ~ I Learnt Alots From You Nak, Thank you! ~
Sebuah catatan pembelajaran,
Al, Sawangan, 31 Agustus 2014