Halo, Sobats maya, I am back!
Mudah2an pada in good mood semua yaaaa? Seperti juga aku yang pagi-pagi udah hadir di kantor nih, as usual. Dan sejak anak2 sekolah aktif kembali di bulan Juli lalu, aku kembali jadi staff yang paling cepat hadir di kantor lho… Why?
Ya karena sekalian antar Intan, putri tercinta ke sekolah, so begitu dropped her, langsung deh menuju kantor, yang sebenarnya jam kerja baru dimulai pada angka 8.30 am sih. Nah, Banda Aceh tuh jarang macet Sobs…, jadi jam 8.05 or 8.10 tuh aku udah nengkrengin laptop deh di atas meja kerja, tanda representative kehadiran para pemiliknya.
Jadi semacam ada kesepakatan tuh diantara kita2 di kantor, boleh aja orangnya menghilang, entah ke kantin or anywhere else, asal laptopnya udah nengkreng, maka kehadirannya udah sah. Hahaha…. Dan bagi yang kehadirannya di atas jam 8.30 maka dia wajib bawa kue/meals sebagai dendanya, untuk kita2 semua. Yah ga banyak sih, unitku hanya beranggotakan 10 orang.
Well, Sobats,
Pagi ini, sebelum memulai rutinitas pekerjaaan, apalagi yang udah ditinggal lebih dari seminggu, udah jelas donk jika tugas menumpuk dan antri dengan setia tuh dalam my list to do. Tapi no problem, harus tetap semangat and positive thinking dunk….
Nah sebelum bersibuk ria dengan semua itu, maka ijinkan aku untuk melanjutkan kisah ‘saat-saat mendebarkan’ yang part-1 nya sudah posting kemarin, ya! Semoga kisah ini juga akan menjadi pembelajaran bagi kita semua, agar memastikan dulu semuanya beres sebelum menyetujui sebuah tindakan!
Nah, kemarin aku udah sempat cerita tentang detik-detik paling menyiksa dalam hidupku, yaitu detik-detik mencapai menit, menit mencapai jam yang seakan berhenti, tak lagi berputar. Mencoba count down to zero lamanya waktu 2 jam operasi. Sumpah, deh! Rasanya aku belum pernah berhadapan dengan gelisah yang seperti ini. Kuatir yang sedasyat ini. Gugup dan sedih yang sehebat ini. Kesendirian yang benar-benar sendiri begini. Kesepian yang sesunyi ini!
Airmata seakan kering sebelum terkucur, padahal hati rasanya basah kuyup terendam. Pintu tebal yang membatasi antara ruang tunggu (yang aku tempati sendirian) dan ruang operasi itu diam membeku. Tak sedikitpun ada tanda-tanda akan terkuak membuka. Tak ada suara langkah kaki sama sekali, sunyi sepi mencekam. Zikir yang melantun di lidah terasa kelu. Tak mampu terlafazkan, justru terganti oleh rintihan kelu ke hadirat Ilahi, memohon agar Allah menyelamatkan nyawa suamiku, kekasih hatiku yang sedang ditangani oleh beberapa tangan ahli di dalam sana.
Dua jam itu akhirnya berlalu juga, dan sorak sorai di hatiku tak tertahan. Berharap pintu tebal itu segera terbuka, dan seorang perawat datang membawa pesan bahwa operasi telah sempurna dilakukan dan mempersilahkan aku untuk masuk melihat sang kekasih hati.
Tapi ya Allah, 15 menit terlewati, tiada perubahan, tiada suara langkah mendekat, tiada dentingan atau suara apapun juga. Tuhan....
Kekuatiran kembali membuncah, whats up in there, ya Allah? Mengapa lama sekali, padahal dato’ tadi berkata bahwa the surgery itself will take only one hour, another one hour is for completed the process, transfer the patient to recovery room, and so on. I will be allowed to see him after that.
Tapi ya Allah, dua jam 15 menit telah berlalu, kecoba meredam tangisan hati, seraya mencoba tenangkan diri. Ah, biasalah telat-telat dikit, ga pa-pa. Airmata hanya mengendap di lubuk hati terdalam, merendam segala rasa di dalam sana. Kegugupan, ketakutan, apalagi sendirian di negeri orang, menanti orang terkasih selesai dioperasi, adalah saat-saat yang jika boleh, cukup sekali ini saja deh aku alami, plis ya Allah, jangan sampai terulang lagi. Cukup sekali ini saja ya Allah, beri hamba ketabahan dan kesabaran menanti hasil operasi ini, menanti panggilan perawat untuk masuk dan menjumpainya. Doa ini terus bergulir dalam hati yang telah basah oleh air mata, dibumbui oleh gugup dan takut yang kian merata.
Dua jam 45 menit. Pintu besi itu belum bergerak membuka. Sepi. Bahkan tak ada langkah kaki sama sekali. Berapa sih ketebalan pintu besi itu, hingga mampu meredam semua langkah kaki? Mustahil orang-orang di balik pintu itu tak bergerak sama sekali!
Gugup ini menguasai hati. Takut kian menjelma. kini aku menangis yang sesungguhnya, terasa dari air bening yang telah merembes dan mengaliri pipi. Bahkan dalam sekejap telah mampu membuat hidungku meler dan kesulitan menghirup napas.
Pintu tebal itu tetap kukuh berdiri, dingin, beku. Tulisannya tetap angkuh. "Dewan Bedah. Operating Theather - Restricted Area, Access to Staff Only".
Tak ada satu suara pun yang berhasil mengusik keheningan yang senyap itu, selain suara hidungku yang kian penuh terisi isakan tangis. Oh Tuhan…, save him, please.
Kecemasan mulai menggerogoti otakku untuk berbuat gila. Tekadku mulai bulat untuk mendobrak pintu tebal itu jika dalam 15 menit ke depan belum ada berita. Dan benar saja. Kegilaanku dimulai pada masa tunggu tiga jam lebih 2 menit. Kesabaranku hilang. Kebetulan pula ada seorang perawat datang menuju pintu tebal itu, menekan bel yang tersedia di situ. Sigap aku mengikutinya, dan begitu pintu itu terbuka, kudahului langkahnya, kutuju beberapa perawat yang sedang mengobrol di meja depan ruang itu. Mereka kaget dan dengan sopan meminta aku untuk keluar karena itu ruang steril. Yang kubalas dengan sopan tapi tajam, sambil menekan amarah yang tak berhasil aku sembunyikan.
“Is there anyone can inform me what’s up with my husband? Have the surgery completed? I've been here waiting for more than 3 hours, but there is no one updated me yet!”
Kuyakin, dibalik tekanan tinggi suaraku, mata kuatirku tak mampu berbohong. Kini mereka menangkap nyata betapa seorang wanita di hadapannya ini sedang dipenuhi rasa kekuatiran. Dengan sopan mereka bertanya siapa yang aku tunggu, karena di dalam ada 3 pasien yang sedang dioperasi di dalam 3 ruangan.
Kusebutkan nama suamiku, sambil menegaskan bahwa aku menunggu kabar dari kalian yang tadi berjanji akan memberiku info setelah dua jam suamiku dibawa masuk ke dalam sana, dan kini, tiga jam lebih telah berlalu dan tiada berita.
“This is not my country. I am alone. I am worried! I am waiting for your update regarding the surgery. It is not easy for me. Tell me is it complete already? Where is my husband now?” Berondongku masih dengan nada suara penuh tangisan.
Jujur, ini adalah kekuatiran paling kuat yang pernah kurasakan. Aku begitu takut operasi itu gagal, tak sanggup kubayangkan sisi terburuk dari tindakan ini. Oh Tuhan, tolong selamatkan suamiku. Beri kami kesempatan untuk tetap bisa bersama.
Dan si perawat akhirnya memberikanku pakaian steril, termasuk sepatu dari kain kasa steril untuk membungkus sepatuku, baru kemudian aku diajak masuk ke recovery room.
*****
Di dalam, kulihat sang kekasih hati terbaring lemah, sudah siuman dan tersenyum menyambut kehadiranku. Tak terbendung airmata ini melihat senyuman itu, walau terlihat jelas ada rasa sakit yang dia tahankan. Alhamdulillah ya Allah. Alhamdulillah ya Rabbi.
Tak lama kemudian, suamiku boleh dibawa ke ruangan. Dan satu lagi rezeki kami saat itu, rumah sakit mewah ini ternyata kehabisan ruangan standardnya (insurance hanya men-cover untuk ruang standard, bernilai 200 ringgit permalamnya), sehingga akhirnya kami dipersilahkan menempati ruang suite yang nilainya masyaallah, 1000 ringgit/nite. Subhanallah. Aku sampai takut, takut ga sanggup membayarnya, 1000 ringgit setara dengan 3 juta. I am not crazy to spend 3 million per nite hanya untuk sebuah kamar rumah sakit. Apa yang bisa kita nikmati jika salah satu dari keluarga kita sedang menderita, semewah apapun kamarnya, toh tak akan sempat kita nikmati, toh?
Lagi-lagi petugas admission tadi menegaskan bahwa ‘it won’t any other additional charges for this, don’t worry.’, sehingga kami anggaplah ini sebagai sebuah anugerah. Rezeki suamiku. Hehe.
Tapi ya itu tadi, kamar suite yang besar itu, yang begitu mewah, dengan dua set toilet di dalamnya, dua bed, satu sofa tamu yang empuk, dua tv besar yang mewah, plus sebuah meja kerja di dekat meja makan, sama sekali tak sempat kami nikmati. Boro-boro, Sobs! Mana sempat, sementara yang sakit sibuk merintih, kedinginan, perutnya perih, dan rasa tidak enak lainnya. Tentu perhatianku akan sepenuhnya pada keluhan dan upaya meminimalkan keluhan itu, walau tidak bisa menurunkan penderitaaannya, setidaknya menenangkannya secara moril.
Malam pertama paska operasi, di kamar suite yang mewah itu, ternyata adalah malam penuh trauma bagi suamiku, dimana hilangnya obat bius dari tubuhnya, membuat rasa perih di bagian yang ditreatment mulai terasa, membuat tenggorokannya kering dan berbagai keluhan lainnya. Tengah malam dadanya terasa sesak akibat ada obat yang ternyata tidak cocok baginya.
Untung the hospital is very good, equipped with modern equipments. Lemari disisi-2 tempat tidurnya ternyata adalah untuk menyimpan peralatan medis yang dibutuhkan pasien. Perawat datang, membuka lemari, mengeluarkan peralatan deteksi pacu jantung dari dalam lemari, mencobanya pada suamiku saat keluhannya adalah debaran jantungnya begitu kencang, dan lain2nya. Serba lengkap dan membuat kekuatiranku menipis. Aku yakin, this is a very good hospital, peralatan lengkap, dan perawat serta dokter yang sangat sigap. Aku pasrahkan semuanya pada Allah melalui tangan para ahli medis ini. Sambil terus berdoa demi kesembuhan sang suami.
Malam terlewati dengan lebih baik saat pagi menjelang. Kusambut pagi dengan sama sekali belum sempat memejamkan mata. Baru kali ini aku rasakan begadang yang sebenar-benarnya begadang. Kantuk mulai menyerang dan aku tumbang selesai menyuapkan sarapan dan meminumkan obat baginya. Belaian lembut tangannya di kepalaku yang bertumpu kesisi tempat tidurnya masih sayup-sayup kunikmati, sebelum kemudian aku telah tiba di sebuah tempat yang teduh, nyaman dan tak lagi sadarkan diri. Lelah.
Dan kisah ini belum berakhir, Sobs, karena part 3 telah menanti dengan debaran yang lebih dasyat dan menguras tenaga, karena aku sudah kadung pulang ke Aceh, sementara sang suami ternyata malah tersandera di rumah sakit mewah ini, karena kami harus membayar sebagian!
Baca di Saat-saat Mendebarkan - Chapter III