Gambar dipinjam dari sini |
Ya gitu deh. Ketidakhadiranku di halaman maya ini bukan karena keinginan hati kok. Memang sih, ada rencana untuk mundur sedikit dari my corner ini karena pekerjaan yang harus aku lakukan di salah satu pelosok Sumatera Utara, melakukan Need Assessment untuk men-design sebuah Proyek Kesehatan Masyarakat, orderan sebuah instansi yang butuh bantuan untuk hal ini. Sehingga otomatis banyak waktu tersita untuk melakukan kegiatan ini, dan membuatku tak lagi konsisten untuk mengisi halaman tercinta. Bukan, bukan karena malas sih, tapi karena berada di pedalaman wilayah ini, membuat diriku jauh dari sinyal yang biasanya terpancar sempurna. Miskin sinyal mengawali diriku ‘menjauh’ dari dunia maya. Gimana rasanya? Huft, udah jelas kangen berat dunk, wong biasanya, update blog bisa melalui BB, eh ini kok BB pun tak lagi bersahabat.
Pertanda yang Terkuak
Kepanikan semakin menyerangku saat tiada perubahan apa-apa meskipun sudah konsumsi obat dan menjalani terapi di unit rehab medis. Akhirnya, oleh salah satu kolega, aku diantar berobat ke seorang pengobat tradisional [paranormal]. Sebutlah namanya Dijah, seorang wanita yang masih berusia sekitar 29 tahunan. Melaluinya [merasuk ke dalam tubuhnya], seorang nenek [bernama Halimah] yang berasal dari negeri gaib [orang bunian] mendeteksi penyakitku. Pemeriksaan awal membuahkan hasil yang mengejutkan, bahwa diriku disantet. What? Wow! Itu adalah reaksi awalku, namun bukan reaksi awal kolega yang mengantarku, karena dirinya sudah menduga demikian. Ingin mendalami lebih jauh, nek Limah meminta waktu satu malam untuk mendeteksi. Kami pun kembali ke mess yang disediakan project kami di Medan.
Sebenarnya Dijah mengundang kami untuk menginap saja di rumahnya, apalagi si kolega yang mengantarku adalah sahabatnya. Namun aku masih segan padanya. Barulah keesokan hari kami kembali padanya, dan langsung shock mendengar penuturan Nek Limah [yang merasuk di dalam tubuh Dijah]. Bahwa memang benar aku disantet. Target utamanya bukan hanya kelumpuhan di kakiku, namun dalam waktu 1,5 tahun lagi, seluruh organ tubuhku lumpuh dan aku menjadi tak waras lagi, jika saja apa yang dituntut oleh si penyantet tidak terkabulkan. What? Oh My God. Gile bener. Dan lebih kaget lagi, saat Nek Limah menuturkan bahwa si pelaku kejahatan ini adalah orang yang pernah begitu dekat denganku di masa lalu, bersama keluarganya. Targetnya adalah agar aku kembali padanya, jika tidak, maka aku dilumpuhkan dan dibuat gila. Tak hanya itu, rejekiku juga dibuat seret dan melarat.
Oh My God, di era canggih seperti ini, dimana banyak orang ter-update dan terkoneksi dengan aneka ilmu pengetahuan dan kemajuan jaman, praktek klenik seperti santet, perdukunan dan sejenisnya masih saja marak berkembang di aneka lapisan masyarakat. Duh Tuhan, bahkan kini, hal di luar nalar ini pun kini menimpa diriku. Sedih hati tiada terkira, namun rasa syukur pada Ilahi Rabbi tak henti aku panjatkan ke haribaan-Nya, yang telah memperlihatkan 'pertanda' tentang santet ini melalui kelumpuhanku.
Jika saja kemarin aku tak terserang kelumpuhan seperti ini, maka kami tak akan pernah tau bahwa diriku sedang menjadi salah satu korbannya, oleh orang yang 'pernah' begitu aku sayangi dan cintai. Memang sih, kita tak boleh langsung percaya akan 'diagnosa' ini, namun aku tak hendak memperlihatkan ketidakpercayaan ini. Bagaimana pun, aku sepakat dengan hati kecilku untuk menjalani pengobatan tradisional via Dijah yang kemudian aku juluki 'Wanita Setengah Peri' ini.
Mengapa Wanita Setengah Peri? Karena begitulah kabarnya. Konon kisahnya, Dijah adalah anak sebatang kara yang telah ditinggal pergi ayah bundanya saat dirinya dan saudari kembarnya berusia satu setengah tahun. Almarhum ibunya Dijah adalah seorang jin muslim dari negeri bunian, bersuku Melayu asal Besilam, Sumut, yang menikah dengan seorang manusia [ayahanda Dijah]. Keduanya telah menghadap sang Pencipta saat Dijah berusia satu setengah tahun, karena kecelakaan lalu lintas.
Sebenarnya, selaku makhluk berbangsa jin, ibunya Dijah masih hidup setelah tabrakan maut itu, namun karena besarnya rasa cintanya terhadap sang suami, maka rohnya [ibunda Dijah] ikut masuk ke jasad suaminya untuk dikubur bersama. Sang kembaran Dijah sendiri, meninggal dunia saat keduanya berusia sepuluh tahunan. ~Cerita langsung dari Nek Limah, yang adalah nenek kandung Dijah [ibu dari almarhum ibunda Dijah] ~ Benar tidaknya, Wallahu Alam ~
Sesuai dengan permintaan Dijah, maka kolegaku menitipkan aku di sana untuk memulai pengobatan. Sementara itu, keesokan harinya, ibuku sudah berada di sisiku untuk mendampingi putri tercintanya ini menjalani pengobatan, suatu pengobatan yang belum pernah terlintas akan bentuk/rupanya di dalam benakku. Pasrah dalam doa agar Allah bermurah hati mengembalikan kondisiku ke kondisi semula yang penuh stamina. Aamiin ya Allah.
Dan Petualangan Gaib pun Dimulai
Kuyakin, most of us pasti tak ingin berkecimpung terlalu intens dalam hal-hal gaib, ya kan, teman-teman? Begitu juga aku. Belum pernah terlintas di dalam hatiku untuk berkenalan, berinteraksi apalagi bersentuhan secara mendalam dengan hal-hal gaib. Walau pun tentu saja aku percaya penuh, bahwa hal gaib seperti jin, malaikat dan hal gaib lainnya memang ada. Bukankah Allah bahkan terlebih dahulu menciptakan makhluk/benda gaib ini sebelum Adam [manusia] diciptakan-Nya?
Ditinggal pergi oleh kolega yang kembali ke pedalaman di mana kami sedang menunaikan tugas, sungguh membuatku sepi. Apalagi kini diriku tinggal bertiga saja dengan Dijah dan putri semata wayangnya yang saat ini duduk di kelas dua sekolah dasar. Jelas saja membuat diriku canggung, karena perkenalanku dengan wanita baik hati ini baru beberapa hari saja.
Namun Dijah yang begitu lugas dan penyayang, memperlakukan aku dengan begitu akrab dan tulus, membuat sikap canggung ini pupus dengan sendirinya. Apalagi saat Dijah mengatakan dia dan keluarga gaibnya menyukaiku dan ingin menganggap aku sebagai salah satu anggota keluarga mereka, sungguh membuatku terharu. Entah apa yang dilihat oleh wanita ini, yang tiba-tiba saja ingin mengangkatku sebagai kakak angkatnya, sementara usia persahabatan masih berada pada hitungan hari.
Begitu juga dengan Nek Limah yang kerap hadir di dalam diri Dijah untuk mengobatiku. Kasih sayang beliau terhadapku begitu terasa. Tulus dan mampu memancing rasa haru yang menggebu di hatiku. Di balik itu, rasa takjub akan 'keunikan' ini, tak henti membuncah di dada. Takjub, antara mimpi dan nyata. Siapa sangka jika 'garis kehidupan' yang seperti ini [berkenalan dan menjadi dekat dengan makhluk dari dimensi lain] tertera nyata di dalam buku kehidupan seorang Alaika Abdullah. Sungguh, menambah kepercayaan dan ketakjubanku terhadap kekuasaan Ilahi Rabbi. Lahaula Walakuata Illa Billah. Amazing, Subhanallah.
Tak hanya berkenalan dan menjadi cucu angkatnya Nek Limah, kemudian aku juga berkenalan dengan keluarga Dijah yang lainnya, yaitu suami Nek Limah, yang kerap kami panggil dengan sebutan Buya, lalu dengan putrinya Nek Limah serta cucu-cucunya yang lucu dan menggemaskan. Eits, menggemaskan berdasarkan suara dan sikap mereka saat merasuki tubuh Dijah lho ya. Visualnya sendiri, aku belum punya kemampuan untuk melihat mereka secara langsung, karena mata batinku masih belum mampu menembus alam gaib ini. Semoga dalam waktu dekat ke depan nanti, mata batinku mampu tersingkap. :)
Well, kembali ke pengobatan. Hari pertama itu ditinggal oleh kolegaku, Dijah meninggalkan aku sendirian di rumahnya untuk sementara waktu, karena dirinya ditugaskan oleh Nek Limah untuk mencari 'obat-obatan' yang diperlukan bagi pengobatanku. Sepulangnya, Dijah memperlihatkan beberapa jenis kembang dan dedaunan yang sebagian besar aku kenal, yaitu mawar, melati, kenanga, daun sirih bertemu urat dan beberapa jenis dedaunan dan akar-akaran lainnya. Rasa penasaran semakin membuncah di hatiku, menanti pengobatan terhadap diriku yang akan dilaksanakan nanti malam. Rasanya waktu langsung beranjak lemot, lamban bagai bekicot. Hehe.
Dan,...
Malam yang dinantikan pun tiba. Selesai shalat maghrib, Dijah langsung menggulung sajadah, dan mempersiapkan 'obat-obatan' yang telah disediakannya tadi sore. Semuanya dimasukkan ke dalam mangkuk keramik putih ukuran jumbo yang telah diisi air. Disampingnya, dalam sebuah piring yang juga terbuat dari keramik putih, terletak minyak kayu putih, beberapa botol minyak suluk, tasbih, kapas, handiplast dan pisau silet. Lalu wanita muda ini meminum minyak kayu putih dan berzikir. Butiran tasbih cantik berwarna biru muda itu bergerak cepat oleh jemarinya yang terlihat lincah memindahkan butir demi butir tasbih tersebut. Hingga kemudian, tubuhnya sedikit berguncang dan roh Dijah keluar dari raganya, terganti oleh kehadiran Nek Limah.
"Assalammualaikum" adalah sapaan khas Nek Limah yang diucapkan dengan intonasi khusus, ciri khasnya, seraya mengulurkan tangannya menyalami aku. Kucium tangannya seraya menjawab salam. Seperti biasanya, Nek Limah menanyakan kabarku dan apakah aku sudah siap untuk mulai menjalani pengobatan? Nek Limah menjelaskan bahwa jempol kaki kiriku akan disayat sedikit dengan pisau silet, untuk mulai proses pengobatan.
Kuatir? Takut? Yes. Aku kan paling takut dengan urusan sayat menyayat dan suntik menyuntik! Namun tak mungkin donk jika aku utarakan ketakutan itu pada Nek Limah, yang ternyata tanpa aku katakan pun telah membaca isi hatiku.
"Ga sakit kok, dan ga akan pendarahan. Tenang saja. Kau mau sembuh kan nak?"
Dengan wajah bersemu merah, aku anggukkan kepala seraya mencoba tersenyum.
"Cha, tengoklah, Bundamu ternyata
takut dengan pisau dan jarum." Celotehnya.
Cha adalah singkatan dari
Marissa, cucunya Nek Limah. Yup, bahkan kaum jin pun menyukai nama-nama keren yang biasa dipakai oleh manusia lho, dan ga heran sih, karena Dijah lah yang memberikan nama itu bagi ponakannya. :D Icha sendiri memang sudah
sangat akrab denganku. Merasuki tubuh Dijah, saat Dijah [dalam bentuk roh]
harus bepergian dengan Nek Limah, mencari obat-obatan yang adanya di negeri
gaib mereka. Ajaib ya? Aku sendiri ga pernah menduga akan mendapatkan
pengetahuan ini lho. Sungguh, amazing deh menemukan fenomena ini.
Well, balik lagi ke kisah pengobatan
[pembesetan jempol kakiku]. Sungguh membuatku deg-degan. Kujulurkan kaki kiriku
ke hadapan Nek Limah, sesuai dengan permintaannya. Hadeuh, Ya Allah, bantu kami
dan beri daku keberanian untuk jalani pengobatan ini. Daku ingin sembuh ya
Allah. Kupejamkan mataku seraya meringis, saat kurasakan pisau silet tajam itu
menyayat ujung jempol kakiku. Kuintip juga karena penasaran. Nek Limah merapal
zikir seraya sekali dua kali menyambit kaki dan betisku dengan tasbishnya.
Kedua tangannya lalu memencet jempol yang telah dibesetnya. Wajah Nek Limah
[wajah Dijah] terlihat begitu serius, berbicara dengan nada perintah.
"Keluar kau, tak berhak kau ganggu
cucuku! Urut betismu ke bawah, Al! Bantu Nenek!" Perintahnya.
Refleks
kedua tanganku bergerak mengurut betisku dengan gerakan dari lutut ke kaki.
Bersamaan dengan urutan tanganku, Nek Limah memiringkan kakiku seperti orang
menuang cairan dari wadah ke lantai. Dan, Masyaallah, dari jempol kakiku,
melompatlah sebuah benda berkilauan berwarna kuning. Sungguh aneh bin ajaib, tapi
nyata. Dengan sigap Nek Limah menjepit permata berwarna kuning itu, dan meletakkannya
di atas tissue.
"Fotolah kalo mau kau foto, Nak.
Inilah yang ditanamkan di tubuhmu untuk meracuni aliran darahmu. Ini masih yang
satu, betinanya ini. Jantannya besok kita ambil. Awas kena tanganmu, dia akan
mencoba masuk lagi ke tubuhmu jika tidak segera kita kunci."
Sigap kuraih Blackberryku dan click,
menjepretnya and here it is! The Yellow Devil Stone!
Jangan ditanya betapa takjubnya aku menyaksikan permata kuning berkilauan yang telah sekian lama bersemayam di dalam tubuhku. Bukan sekedar permata biasa, karena di dalamnya telah diisi dengan roh setan jahanam, untuk membujuk hatiku agar kembali pada si pelaku. Namun aku mampu bertahan dari pengaruh buruknya selama ini, adalah karena aku selalu mendekatkan diri pada Allah. Jika pun kemudian aku mengalami kelumpuhan, itu adalah karena Allah sedang memberi petunjuk padaku, untuk segera mengeluarkannya dari tubuhku. Subhanallah, terima kasih ya Allah. Semakin aku bersyukur mengalami kelumpuhan ini, karena melaluinya lah kami menyadari akan keberadaan si batu laknat ini.
Nek Limah dengan sigap membersihkan darah yang masih mengalir dari jempol kakiku dengan tissue basah, lalu membungkusnya dengan handiplast setelah terlebih dahulu jempol ku itu diberi ludahnya. Ya, ludah seorang nenek dari bangsa jin muslim inilah anti infeksinya. Sesimpel itu. :) Again, Subhanallah.
Si yellow stone sendiri, segera dibungkus tissue dan dikunci di dalam plastik kresek yang lumayan tebal, untuk keesokan paginya harus kami buang ke sungai agar mengalir menjauh. Lalu, sudah amankah diriku?
Belum, teman-teman! Ini baru batu betina, batu jantannya masih bersemayam di dalam tubuhku, di tanam di pangkal paha, yang tentu saja proses pengambilannya akan semakin sulit. Sungguh membuatku takut, bahkan di saat aku memikirkannya, gimana sakitnya nanti saat batu jantan itu diambil dari sela2 pahaku ya? Hiks.
Catatan pembelajaran
bahwa tiada yang tak mungkin terjadi di dalam kehidupan ini,
bahkan hal yang sulit diterima oleh nalar sekali pun.
Al, Medan, 12 November 2013