Judul Buku: A Thousand Splendid Suns
Pengarang : Khaled Hosseini
Terbitan :Riverhead, 2007
Penerjemah: Berliani M. Nugrahani
Diterbitkan versi Bahasa Indonesia oleh:
Penerbit Qanita, PT. Mizan Pustaka
Pages: xii-510 [522]
Dicetak dalam beberapa edisi,
dan gambar di samping adalah edisi Emas [Gold edition],
Cetakan : Mei, 2011
Kategori : Fiksi
Disain Sampul: Windu Tampan
Foto : milik pribadi.
Hati pria sangat berbeda dengan rahim ibu, Mariam. Rahim tak akan berdarah ataupun melar karena harus menampungmu. Hanya akulah yang kaumiliki di dunia ini, dan kalau aku mati, kau tak akan punya siapa-siapa lagi. Tak akan ada siapa pun yang peduli padamu. Karena kau tidak berarti!
Paragraf di atas, adalah daya tarik utama, yang terpampang di halaman cover belakang novel
International Best Seller karya Khaled Hosseini. Seperti pada novel perdananya yang juga
best seller,
The Kite Runner, novel kedua ini juga mengambil setting di negeri kelahiran sang penulis, yang melukiskan kentalnya aroma mesiu, ketatnya regulasi, terutama yang dibuat oleh kaum Taliban, dan kelamnya roda kehidupan yang berlangsung di atasnya.
Berkisah tentang seorang anak perempuan
harami [anak haram] bernama Mariam, yang lahir dari rahim seorang pembantu rumah tangga, penderita epilepsi, yang dinodai oleh majikannya bernama Jalil. Jalil adalah seorang pengusaha kaya dan ternama, beristri tiga dan beranak sepuluh. Petaka mulai menyapa dan enggan beranjak, kala perut Nana mulai membuncit. Ketiga istri Jalil, yang mengendus perbuatan suami mereka, segera mengusulkan untuk 'membuang' Nana, dan Jalil langsung menyetujui, bahkan sempat membela diri, bahwa hal itu terjadi karena Nana lah yang telah menggodanya. Dan
'orang kecil', memang tak pernah punya kesempatan untuk membela diri, apalagi untuk menunjukkan dirinya benar. Seperti yang selalu Nana katakan pada putrinya, Mariam;
“Seperti jarum kompas yang selalu manunjuk ke utara, jari telunjuk seorang pria selalu teracung untuk menuduh wanita. Selalu. Ingatlah itu, Mariam”.
Jalil menempatkan mereka di sebuah
kolba [semacam rumah kecil yang terbuat dari tanah liat], yang terletak di daerah terpencil dan terjal, bernama Gul Daman. Walau tak mengakui secara terang-terangan [secara sah] bahwa Mariam adalah anaknya, namun Jalil selalu menyempatkan waktu [setiap Kamis] untuk menjenguk dan berinteraksi dengan putrinya, Mariam. Hingga terjalinlah kedekatan hubungan antara ayah dan anak, di antara keduanya. Setidaknya, itulah yang dirasakan oleh Mariam kecil, yang lugu dan percaya penuh, bahwa ayahanda, yang selalu datang pada hari Kamis itu, memang tulus menyayanginya.
Walau belum berkenan membawanya ke rumahnya yang mewah, di kota sana.
Saking lugu dan percayanya akan ketulusan kasih Jalil terhadapnya, Mariam bahkan mencurigai ibunya. Bahwa Nana sedang meracuni pikirannya, agar dia, Mariam, membenci ayahnya. Bahwa Jalil, bukanlah ayah yang baik. Bahwa Jalil malu berputrikan Mariam, yang lahir di luar nikah, bahwa Jalil hanya berpura-pura saja menyayangi Mariam. 'Racun' ini, terus saja menyebar, namun tak membuat Mariam membangkang ibunya. Walau tak suka dengan 'hasutan-hasutan' ibunya, Mariam tetaplah anak kecil yang baik budi pekertinya. Anak kecil yang telah belajar agama dari seorang
mullah [pemuka agama]. Maka di'telan'nya saja perkataan-perkataan ibunya, dan tetap menganggap ayahnya mulia.
Hingga suatu hari, matanya 'terbuka'. Tersadar bahwa perkataan ibunya adalah benar belaka. Bahwa Jalil, tak pernah serius menyayanginya. Terbukti dari ketegaan Jalil membiarkan Mariam bermalam di depan pintu pagar rumah mewahnya, demi menanti dirinya [yang kata satpam sedang keluar kota, padahal sedang bersembunyi di dalam rumah]. Mariam berkeras bertahan, menanti hingga sang ayah 'kembali dari luar kota', hingga keesokan hari berikutnya, seorang supir ayahnya, memaksa untuk mengantarkannya kembali ke Gul Daman. Tak terduga, Mariam malah berlari menerobos pintu pagar, menuju halaman rumah ayahnya, dan matanya menangkap sesosok tubuh dan wajah yang sangat dikenalnya, sang ayah, sedang mengintipnya dari jendela. Terpana, kaget dan
shock. Itulah yang dirasakannya dari pertemuan 'tatapan' yang hanya sejenak itu.
Ibunya benar. Ayahnya hanya berpura-pura selama ini.
Penderitaannya tak hanya sampai disana. Sebuah pemandangan yang membuat langit kehidupannya runtuh adalah, kala melihat tubuh ibunya yang tak lagi bernyawa, tergantung dengan seutas tali pada sebuah pohon di samping kolba, saat dia diantar pulang oleh sopir ayahnya. Penyesalannya tak pernah surut. Dialah yang telah membuat ibunya mengalungkan tali itu ke lehernya. Terngiang terus kalimat ibunya, bahwa dia akan mati jika Mariam meninggalkannya, karena ibunya sangat mencintainya dan tak ingin kehilangannya. Dan ibunya telah membuktikan perkataan itu, pergi meninggalkannya seorang diri.
Sendirian dia menapaki hidup. Mengais-ngais cinta di tengah kehampaan dan kepahitan sebagai
harami. Pasrah akan pernikahan yang dipaksakan oleh ayah dan ketiga istri ayahnya, menanggung perihnya luka yang disayatkan sang suami. Namun dalam kehampaan dan pudarnya asa, seribu mentari surga muncul di hadapannya.
Tuhan mengirimkan seorang wanita lain ke dalam hidupnya. Wanita muda, empat belas tahunan, cantik dan terpelajar. Hadir mencuri perhatiannya, kasih sayangnya juga sempat mencuatkan emosi dan rasa cemburu yang menggelegak di dadanya, karena perhatian suaminya, Rasheed terhadap gadis ini, terlihat sangat berlebihan dan terang-terangan. Gadis ini bernama Laila. Terhempas ke rumah Mariam dan Rasheed, terluka parah oleh amukan perang. Menjadi sebatang kara, karena perang juga telah merenggut nyawa ayah dan ibunya. Butuh waktu berhari-hari untuk membuat tubuh dan jiwa gadis malang itu membaik.
Laila menjadi pendatang baru, pemain baru dalam drama keluarga Rasheed. Mariam sebagai istri pertama, dan Laila sebagai istri kedua. Takdir pun dengan kejam merantai kaki kedua wanita ini dalam pernikahan poligami, yang membuahkan lembam, dan torehan darah akibat pecut yang mendarat di tubuh mereka. Perlakuan kejam Rasheed, justru semakin menumbuhkan rasa kasih di antara kedua wanita ini, dan saling membela diri pun kian subur. Hingga suatu hari, takdir terakhir bagi Mariam pun ditentukan.
Hosseini begitu piawai mempermainkan emosi pembacanya, dalam menyajikan intrik demi intrik, sukses menuai rasa iba, terenyuh mau pun amarah. Membaca novel ini, membuat kita seakan berada dalam sebuah situasi, dimana tak hanya konflik yang berkecamuk, tapi juga egosentris para lelaki Afghan, yang tak segan-segan menurunkan tangan kekar mereka, melibas dan melecut dengan sabuk berkepala baja, menampar dan menjambak, bahkan menendang para istri mereka yang dianggap membuat hati mereka tak nyaman. Hello..., hanya karena hati tak nyaman. Bagaimana jika para istri terbukti bersalah? Mungkin nyawa akan langsung mereka cabut dari raga sang istri?
Demi pembelaannya terhadap Laila, yang sedang meregang nyawa oleh cekikan Rasheed di lehernya, membuat Mariam gemetar, ketakutan, dan gelap mata. Kesadarannya menjerit, menuntunnya untuk bertindak, memberi pembelaan bagi Laila. Hanya dia yang bisa membebaskan Laila dari cekikan kejam suami laknat itu. Maka, berlarilah dia ke gudang, mengambil sekop, dan dengan sekuat tenaga, menghantamkannya ke belakang kepala Rasheed. Nyawa Laila pun tertebus, bertukar dengan nyawa Rasheed yang melayang.
Dan wanita malang itu pun, dengan sepenuh cinta kasih tanpa pamrih, maju kepengadilan, mempertanggungjawabkan perbuatannya, dengan hati damai dan bahagia. Setidaknya, sebagai anak haram yang selama ini dicemooh dan dilecehkan, tidaklah sia-sia. Sebuah kebebasan bagi Laila dan anak-anak, adalah tebusan paling berharga yang dapat dipersembahkannya, sebagai bukti, bahwa hukuman mati yang dijatuhkan baginya, tidaklah sia-sia.
Sebuah resensi,
Al, Bandung, 7 April 2013