Ini adalah tulisan 'buka-bukaan'. Ditantang oleh sebuah giveaway yang diselenggarakan oleh seorang sahabat blogger, untuk menuliskan cerita tentang masa lalu, kini dan nanti. Sebuah cerita atau kisah yang aku yakin bahwa tak semua orang mampu dan berani mengungkapkannya. Lalu, kenapa aku berani mengungkap kisah diri, yang belum tentu menginspirasi? Hehe.
Ya, karena..., Alaika gitu lho! Haha.
Ga denk, karena ingin berbagi aja, siapa tau ada satu atau dua baris yang bisa dijadikan pembelajaran bagi Sobats yang membaca artikel ini.
Well, mari kita mulai, yuk!
Masa lalu
Terlahir sebagai anak pertama yang baru beroleh adik saat usiaku memasuki tahun kelima, membuat kehidupan masa balitaku (di kampung) kesepian. Apalagi ibuku yang perfectionist dan sangat menjaga putri 'cantiknya' ini agar tetap bersih dan hygienist, membuat diriku jarang berhasil lolos untuk ikutan bergabung dengan bocah-bocah seusia yang asyik bermain tanah di halaman rumah. Yang bermain pasir atau main boneka-bonekaan di atas pasir atau tanah kering di lapangan tak jauh dari rumah. Selaluu saja ketahuan jika aku sejenak saja menikmati indahnya bermain debu dan pasir yang begitu menjanjikan kebahagiaan itu… huft! Memulai masa kecil di kampung halaman, nun jauh di salah satu desa di Kabupaten Pidie, Aceh, membuat aku tidak berkesempatan mengenyam pendidikan di Taman Kanak-kanak, karena saat itu Taman Kanak-Kanak belum masuk desa. Jadi pendidikan pertama yang aku peroleh adalah langsung ke Sekolah Dasar, dan itupun sulit banget bagiku untuk menyukai kegiatan yang satu ini.
Bersekolah bagiku adalah beban berat! Aku sangat pemalu!!Dua kisah paling malu-maluin dapat Sobats baca
di sini.
Sifat pemalu tingkat dewa itu berhasil juga terkikis secara perlahan, berkat upaya keras ayah bunda, yang mencoba mem-baur-kan aku dalam berbagai kegiatan kantornya, yang melibatkan anak-anak. Atau selalu membawa aku melihat keramaian, memancing keberanianku untuk mencoba ikutan berbaur dalam keramaian itu, berinteraksi dengan para sepupu dan kerabat, dan berbagai usaha lainnya. Sehingga si gadis kecil pemalu itu, lambat laun mampu keluar dari istana putri malunya, dan berani menyapa dunia.
Memiliki tiga adik yang semuanya laki-laki, juga adalah pendukung perubahan sikap pemalu itu. Begitu mereka bertumbuh menjadi bocah-bocah kreatif yang bisa diajak bermain, mulailah kami menjadi satu team yang solid, yang siap mengalahkan lawan. Si gadis pemalu pun kemudian beranjak menjadi gadis tomboy, yang sempat bikin ibundanya kuatir karena tak pernah sekalipun mau menggunakan pakaian yang feminine. Mau jadi apa putrinya ini?
Pembawaan tomboy dan senang berteman dengan teman laki-laki, terus terbawa hingga aku memasuki perguruan tinggi. Jurusan yang aku pilih, otomatis menempatkan aku sebagai kaum minoritas (dilihat dari sisi gender) yang menyenangkan di kampus. Saat itu, tahun 1989, dari 80 orang mahasiswa baru di jurusanku, hanya ada 11 orang ceweknya..., sementara 69 personil lainnya adalah kaum cowok. Kebayangkan? 11 cewek ini otomatis menjadi wanita-wanita cantik (ya iyalah, masak ganteng?) yang menyemarakkan ruang kuliah, membangunkan semangat kebersamaan dan keceriaan kaum mayoritas tentunya.
Kami, sebelas wanita cantik ini pun menjadi sangat disayang oleh kaum mayoritas kami, selalu dibela jika ada cowok dari kampus lain yang mencoba iseng. Yup, bersekolah di Fakultas Teknik itu sangat menyenangkan lho, Sobs. Para cowok sangat memanjakan dan menyayangi kami, bunga-bunga yang memang jumlahnya sangan minim. Hehe.
Masa laluku yang terhitung sangat indah dan penuh warna cerah, mulai terkontaminasi oleh warna kelabu yang kian meng-abu-abu, sejak benda abstract bernama cinta menghampiri. Ditembak kakak kelas yang tampan dan baik hati, adalah hal yang sangat menggembirakan, walau sebenarnya aku sendiri ga tau persis apakah aku juga mencintainya. Tapi enak aja sih rasanya punya pacar. Ada rasa bangga gimanaaa gitu…. Hehe. Namun cinta ini bukan hanya butuh perjuangan oleh hatiku untuk menumbuhkan rasa cinta ini untuknya, tapi juga butuh perjuangan lain yang lebih besar, karena orang tuaku sangat tidak setuju aku pacaran, dengan siapa pun.
"Fokus kuliah wae, ojo neko-neko!" Kata ayahku, tentu saja dalam bahasa Aceh.
Cinta kami kemudian berjalan indah namun tertatih. Kami berusaha untuk mempertahankan cinta ini karena merasa sudah saling seiya sekata, dan dengan satu tekad, ingin menunjukkan pada ayah bundaku bahwa dia adalah calon yang sangat cocok dan pantas untuk aku. Putri satu-satunya ini. Namun apa hendak dikata, Sobs, ternyata cinta yang penuh perjuangan itu harus karam karena nahkoda tak hendak meneruskan pelayaran. Kehendak sang bunda jadi alasan utama si dia untuk melempar sauh dan menghentikan perjalanan. Kecewa? PASTI. Terluka? TENTU. Lalu berhentikah kehidupanku karenanya? TIDAK. Justru aku bersyukur dengan kenyataan itu, karena terbukti nahkodaku bukan seorang laki-laki yang tangguh. Tak sedikitpun aku percaya bahwa alasan utamanya adalah karena titah sang bunda. Kupercaya bahwa kapalku karam karena nahkoda ingin berpindah haluan.
Lalu? Apa langkahku selanjutnya? Hari pertama dan kedua, kupecahkan tangis di dalam bantal dan guling (agar isakannya teredam adanya). Hari ketiga kupaksa hatiku menghadapi kenyataan. Mensugesti diri bahwa cinta ini tak guna ditangisi. Tak hendak kurusak hati ini menangisi seorang laki-laki cemen. Kulatih diri menghadapi kenyataan dan melanjutkan kehidupan. Susah? SANGAT, apalagi kami satu kampus dan sering kuliah bersamaan. Huft. Susah banget, Sobs, masa-masa itu. Sulit meredam kepiluan hati ini, sulit menghalau air mata yang begitu sering ingin menyeruak.
Tapi keyakinan yang kuat bahwa ‘the show must go on', berkat bantuan Allah, berhasil juga kuhadapi semua prahara dan melanjutkan kehidupan.
Cinta keduaku adalah ayahnya Intan. Terjatuh (buah kali terjatuh, hehe) dengan tidak sengaja. Mengalir dari sebuah persahabatan. Menjelma karena kebersamaan dan rasa kasihan (semoga dia tidak membaca ini, hihi). Terulang kembali sebuah cinta backstreet, dan kembali diriku menjadi pembangkang bahkan akhirnya dicoret dari anggota keluarga dan tidak diperkenankan menggunakan nama Abdullah lagi di belakang namaku karena nekad menikah tanpa restu orang tua (sangat tidak layak untuk ditiru nih, Sobs!).
Merantau ke Medan bersama suami pilihan, membuatku menghadapi kenyataan baru. Hidup ini tidak gampang ternyata, Sobs. Jika selama ini aku menjadi anak emas yang tak kurang suatu apa, kini aku harus menghadapi kenyataan. Tak ada lagi nasi yang terhidang di atas meja, tak ada lagi pakaian rapi telah tersetrika. Semua harus dikerjakan sendiri. Lebih parah lagi, harus dicari sendiri. Harus kukelola sendiri. Apa yang mau dikelola? Uang saja belum punya…, hiks.
Teringat kata ayahku, bahwa warisan paling berharga yang akan beliau wariskan kepada kami adalah PENDIDIKAN, bukan materi yang lain. Kini terbukti benar adanya. Warisan ayahku ini, gelar Insinyur Teknik Kimia, membuat sebuah posisi di salah satu perusahaan swasta pun berhasil aku dapatkan, tentu setelah melewati aneka interview dan perjuangan lainnya. Ayah Intan juga berhasil mendapatkan kontrak kerja baru dan kamipun memulai episode hidup prihatin, karena walau berposisi mentereng, jangan sangka gaji besar akan kita dapatkan. Apalagi jika perusahaan itu adalah milik kaum bermata sipit, di kota Medan pula, bisa dibayangkan sendiri betapa mereka meminimalisir gaji pribumi demi meningkatkan profit. Gajiku saat itu, Maret 1996 masih berada di rate 250 ribu rupiah perbulan. Memang sih, masih dalam lingkup UMP (upah minimum provinsi).
Satu pelajaran yang sangat bernilai yang aku petik dari akademi kehidupan yang aku jalani adalah bahwa faktor restu orang tua adalah berbanding lurus dengan faktor rezeki. Maka jangan harap pintu rezekimu akan terbuka lebar jika restu orang tuamu belum mengalir. Jikapun rezeki itu ada, mengalir deras, percayalah, dia tak ubahnya bagaikan rezeki harimau, yang deras masuk tapi deras juga keluarnya. Itu yang aku rasakan selama 9 tahun hidup dalam ‘pengasingan’ (terbuang dari keluarga).
Titik Balik (transisi masa lampau ke masa kini)
Sengaja aku menyebut posisi ini sebagai titik balik. Karena di posisi inilah titik balik kehidupanku dimulai. Doa panjang tiada henti, tiada lelah, yang berkelanjutan aku lantunkan dan pinta pada Ilahi Rabbi akhirnya berbuah manis. Walau harapanku..., bukan dengan cara tragis ini harus aku dapatkan. Namun aku percaya, segala sesuatu pasti akan ada hikmahnya. Doa panjangku agar terbuka kembali pintu hati Ayah Bunda, dijabah Ilahi Rabbi melalui sebuah bencana dasyat yang melanda kampung halaman.
Gempa besar yang mengguncang Aceh, mengundang gelombang maut bernama cantik, Tsunami, menggulung dan meluluhlantakkan apa saja yang berada di atas bumi Iskandar Muda. Termasuklah daerah tempat tinggal Ayah Bundaku. Yang Alhamdulillah, walaupun gelombang itu dengan kejam merendam dan menghancurkan sebagian rumah kami, namun Allah masih memberikan umur panjang dan kesehatan bagi keduanya serta adikku untuk melanjutkan kehidupan.
Pencarian panjang yang aku mulai di hari kedua tsunami, langsung setelah kakiku menjejak
bumi yang telah porak poranda itu, berbuah hasil yang begitu membahagiakan di hari kelima pencarian. Tepat di tanggal 1 Januari 2005, pintu baja keping hati ayah bunda ku terkuak. Subhanallah, Alhamdulillah. Sungguh Engkau Maha Berkehendak ya Allah….
Pelukan hangat ibuku kala mengangkatku bangkit dari sujud di kakinya, sungguh membuat momen dan rasa bahagia itu abadi bersemayam di lubuk hati ini… Indah, mengharukan dan tak terlupakan. Pelukan welcome back dari ayahanda juga merupakan hadiah terindah di tahun baru 2005 itu. It’s so sweet. Semua akan indah pada waktunya. Aku percaya itu karena aku telah membuktikannya.
Maka, 1 January 2005 tak hanya merupakan tahun baru bagiku, tapi juga adalah titik balik dalam kehidupanku. Titik di mana kehidupanku mulai berjalan indah dan menakjubkan.
Seperti yang aku katakan di atas Sobs, aliran rezeki adalah berbanding lurus dengan restu orang tua, maka aku telah membuktikannya bahwa itu benar sekali. Setidaknya itu berjalan sempurna bagi kehidupanku.
Rencana awal kembali ke Aceh adalah untuk menemukan orang tuaku, membantu proses recovery rumah tempat tinggal ayah bunda, eh ternyata berbuntut panjang dan menyenangkan. Sebuah tawaran untuk bekerja di sebuah lembaga kesehatan internasional (Medical NGO) yang kala itu sedang intensif membantu proses tanggap darurat/emergency response terhadap para korban bencana, menghampiriku tanpa disangka-sangka. Sungguh tawaran menarik yang tentu tak mungkin aku lewatkan begitu saja. Berkesempatan untuk turut andil dalam proses penyembuhan/recovery Aceh paska tsunami adalah kesempatan emas untuk menunjukkan baktiku pada pertiwi. Ditambah pula dengan kompensasi gaji ber skala international, sungguh suatu bonus tak terfikirkan sebelumnya.
Maka mulailah aku menapaki kehidupan yang mulai bersinar terang. Jika siang mentari bersinar cerah, maka malam harinya bintang gemintang serta rembulan setia membagikan cahayanya. Hidupku damai, indah dan 'berduit'. Alhamdulillah.
Allah Maha Tau apa yang terbaik bagi makhlukNya. Aku yakin sekali akan hal itu. Begitu juga saat aku mencoba mengatasi kemelut yang melanda rumah tanggaku dengan ayahnya Intan... kira-kira dua tahun setelah kami diterima kembali oleh ayah bunda. Kucoba untuk mengkaji ulang secermat mungkin. Menganalisa setepat-tepatnya untuk menemukan solusi terbaik. Namun hasil analisa
SWOT yang aku lakukan dengan cermat, membuatku mengambil keputusan. Tak mungkin melanjutkan pelayaran dengan nahkoda yang tak lagi sepaham. Kuputuskan untuk menurunkannya di sebuah pelabuhan dan mulai mengambil alih kemudi. Bahtera ini tak boleh karam, ada penumpang kecil yang butuh garansi untuk sampai dengan selamat di tujuan. Maka kuteruskan pelayaran dengan gagah berani, karena kuyakin sepenuhnya bahwa Ilahi Rabbi senantiasa bersama kami.
The show must go on, dan sekali lagi terbukti bahwa restu ayah bunda adalah berbanding lurus dengan aliran rezeki. Setidaknya bagiku. Bermula dengan Northwest Medical Teams, sebuah medical NGO asal Portland, Oregon yang sedang bantu Aceh paska tsunami, aku terjun menjadi pekerja kemanusiaan, yang bekennya disebut dengan humanitarian worker. Dari seorang chemical engineer yang berkecimpung dalam laboratorium (quality control) aku dilatih untuk bisa membantu proses trauma healing para korban tsunami. Subhanallah. Sungguh ilmu baru yang sangat berharga aku dapatkan, ketika seorang konselor asal Amerika didatangkan untuk mentraining kami, para staf nasional yang akan diperbantukan pada program ini.
Waktu bergulir dan aku pindah ke lembaga lainnya, karena masa emergency telah selesai dan mulai beralih ke development program. NGO tempatku bekerja selesai masa tugasnya dan bersiap kembali ke Portland. Sungguh suatu keberuntungan yang luar biasa bagiku, berkesempatan untuk bergabung di sebuah lembaga raksasa yang dibentuk oleh Presiden RI, SBY, bernama Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Aceh dan Nias (BRR NAD-Nias), dengan masa tugas 4 tahun. Kesempatan emas ini tentu tak aku sia-siakan. Gaji yang semakin menanjak tentu adalah penyemangat utama dalam menjamin totalitas dan loyalitas pada pekerjaan. ☺
Komplitnya tugas BRR NAD-Nias, kemudian aku berpindah ke sebuah NGO International yang khusus bergerak di bidang pemberdayaan para penyandang cacat. NGO asal Perancis ini bernama Handicap International, dan kiprahnya sungguh membuka mata dan hatiku. Bahwa betapa selama ini kita telah memandang sebelah mata kepada para penyandang cacat.
Subhanallah, beri berkah-Mu bagi lembaga2 yang masih peduli pada bidang yang satu ini ya Allah. Kebahagiaan tersendiri beroleh kesempatan untuk bergabung di NGO ternama ini. Batinku yang mulai matre, hehehe, ternyata bisa dengan mudah berkompromi, oke-oke saja ketika si bos (yang mewawancaraiku saat itu) mengatakan bahwa mereka tak sanggup membayar gajiku sebanyak yang biasa aku dapatkan di tempat yang lama (BRR NAD Nias). Mereka hanya mampu memberiku kepala 5 saja, adalah sepertiga dari yang biasa aku dapatkan. Apakah aku menerimanya karena tidak ada lowongan lain? Kutanya hatiku, ternyata bukan, Sobs. Panggilan batin untuk menyelami pekerjaan yang satu ini, yang begitu kuat memanggilku untuk sedikit menyumbangkan sumbangsihku bagi para penyandang cacat atau kerennya disebut people with disability.
Baru saja mengemban tugas sebagai Project Manager di kantor ini, tawaran lain yang begitu memanggil batin pun menyampiri. Tak dapat kupungkiri, tawaran inipun begitu menggoda. Kapan lagi mau masuk ke lembaga PBB jika tidak saat mereka membuka pintu. Maka dengan berat hati, setelah menimbang berulang-ulang, dan hasilnya tetap itu-itu lagi, akhirnya kulayangkan surat pengunduran diri pada bosku, memohon agar aku diijinkan meninggalkan jabatan yang baru beberapa bulan aku emban.
Pimpinan yang bijaksana itu, seorang Italiano, akhirnya melepas aku dengan berat hati. Namun sejujurnya dia akui, aku telah mengambil langkah yang tepat. Masuk lembaga PBB adalah impian hampir setiap insan pekerja kemanusiaan. Selain gajinya yang begitu ‘wow’ dan ‘wah’, juga akan mendongkrak curriculum vitae kita. Yang mana CV ini adalah modal atau nilai jual kita saat melamar pekerjaan.
Maka kemudian aku beralih ke salah satu badan di Lembaga PBB, dan bergerak di unit khusus bertajuk Tsunami Recovery Waste Management Program (TRWMP). Disinilah aku kemudian, berkecimpung di bidang pengelolaan persampahan, bekerjasama dengan dinas kebersihan beberapa kabupaten dan kota di Aceh dan Nias. Mencoba memberikan peningkatan kapasitas para eksekutif maupun legislative daerah agar lebih aware akan pentingnya pengelolaan sampah yang baik dan benar, demi menggapai masyarakat yang sehat dan cerdas, serta kota/kabupaten yang bersih dan hygienist.
Tak terasa tujuh tahun telah berlalu, bahkan hampir memasuki tahun ke delapan. Akankah aku terus berkecimpung di dunia menyenangkan ini? Jika melihat pemasukan yang ditransfer ke rekening setiap bulan sih, aku akan jawab IYA. AKU INGIN.
Tapi aku memberanikan diri untuk menjawab TIDAK. AKU TIDAK INGIN selamanya menghabiskan waktuku dalam ritme kerja yang begitu dinamis. Tiada henti bahkan bisa dikatakan nonstop. Memang sih income yang diberikan seimbang dengan tenaga dan pemikiran yang kita donasikan. Tapi ADAKALAnya, RUPIAH tak lagi menjadi tolok ukur sebuah kebahagiaan.
Itu yang aku sadari, Sobs, dan karenanya, aku begitu bahagia saat kontrakku berakhir. Kuyakini batinku bahwa inilah saat yang aku tunggu-tunggu untuk memasuki masa kini dan masa depan.
MASA KINI
Berakhirnya masa kontrak di UNDP pada akhir 2012, membuatku bernapas lega. Aku begitu mencintai dunia menulis dan sungguh jatuh hati pada blogging. Menulis adalah terapi jiwa, yang tak hanya menyejukkan dan mengasah pemikiran, namun juga bikin hati bahagia. Aku merencanakan untuk break dulu dari dunia kerja kantoran, dan ingin ambil kursus tentang trading, plus memperdalam dunia tulis menulis. Singkat cerita, aku begitu bahasa dengan berakhirnya kontrak kerja di UNDP, karena melihat peluang untuk benar-benar menikmati dunia online yang begitu menggugah hati. Namun di sisi lain, tentu ada kesedihan karena konsekuensi dari 'tidak lagi bekerja kantoran' ini adalah 'tidak ada lagi transferan bulanan alias gajian'. Hehe. Beberapa tahun aku menikmati indahnya dunia tak bekerja kantoran, walo sebenarnya aku masih sering diminta untuk membantu teman atau kolega dalam menyelesaikan proposal, laporan dan semacamnya, untuk project-project yang sedang mereka tangani. Bahkan beberapa bulan kemudian justru berkantor lagi namun tidak resmi dan tetap bikin happy karena aku sedang tak ingin terikat.
Hingga kemudian, tak dapat dipungkiri, kebutuhan sekolah Intan yang mulai memasuki perguruan tinggi, dengan biaya yang selangit, mau tak mau terpaksa mengubah keputusanku (yang tidak ingin bekerja kantoran) menjadi melirik lagi lowongan-lowongan pekerjaan yang sedang dibuka. Kata hati dan kenyataan terkadang memang bertolak belakang. Dan dengan berbagai pertimbangan, aku terpaksa melamar lagi. Hampir saja diterima di sebuah international NGO ternama, namun panggilan di Kedutaan Besar Turki terkesan jauh lebih menarik hati. Terlebih juga dikarenakan aku belum pernah bekerja di bidang yang satu ini, jadi lebih ke rasa penasaran akan ritme bekerja di kedutaan, akhirnya aku menerima tawaran kerja di sini. Yup, di Kedutaan Besar Turki - Jakart, akhirnya aku berkantor lagi. Hehe, terpaksa deh nunda dulu keinginan untuk berleha-leha di dunia virtual.
CITA-CITA DAN HARAPAN MASA DEPAN
Aku lebih suka menggabungkan kedua tajuk diatas ini menjadi satu. Yuk kita sebut saja dengan istilah KEINGINAN MASA DEPAN.. Nah, jika cita-cita masa kecilku dulu pernah ingin jadi dokter, jelas tidak tercapai toh? Tapi pernah juga sih berangan ingin menjadi insinyur, dan begitu ditilik sekarang ini? Yes, I am an engineer lho. Hehe. Berarti cita-citaku tercapai donk. Lalu apakah cukup sampai disitu saja? TENTU TIDAK.
Idealnya sebuah perjalanan kehidupan harus memiliki logframe (logical frame work) alias kerangka kerja. Bener lho, logframe tak hanya dibutuhkan oleh sebuah project sebagai guideline mereka dalam melaksanakan project. Kehidupan individu, sebenarnya akan berjalan lebih mudah jika kita memiliki logframe juga, lho!
Lalu Al, apakah kamu punya log frame dalam menjalankan kehidupanmu?
Hehehe…. NGGA PUNYA, Sobs! Hihi. Baru juga terfikir sekarang nih untuk membuatnya secara lebih terinci. Serius lho, aku berkeinginan kuat untuk bikin logframe kehidupanku, jadi biar jelas langkah-langkah yang akan aku lakukan dalam mencapai goal/target masa depan. Nanti kalo udah jadi aku share yaaaa….. ☺
Ok, back to the topic. Keinginan masa depanku adalah, aku tuh ingin banget bisa memiliki passive income. Bagaimana caranya? Itulah yang akan aku tuangkan di dalam logframe nanti, Sobs. Sabar yaaa….
Terus ingin apalagi di masa depan Al? Hm..., aku ingin bisa menghasilkan uang dari rumah, menjadi ibu yang bekerja dari rumah atau dari mana saja yang aku suka, bekerja via internet. Menghasilkan rupiah atau dolar melalui internet? Caranya? Hm… ada beberapa cara yang sedang aku bidik, keinginan paling kuat adalah dengan menjadi trader online, baik di bidang saham mau pun forex.
Dan untuk mencapai itu, tentu aku harus belajar dengan disiplin tinggi. Ini yang sedang aku usahakan saat ini, lho, Sobs. Masih tahap belajar dan berharap suatu hari kelak, impian ini bisa terlaksana dengan baik. Doakan ya, Sobs! :) Kalo kamu, apa rencana masa depanmu, Sobs? Share donk di kolom komentar....
Alaika berkisah,
Al, Bandung, 27 Mei 2016