Halo, Sobats maya,
I am back for lanjutan kisah mendebarkan di rumah sakit mewah kemarin. Yang belum baca kisah sebelumnya, bisa baca dulu di sini dan di sini
Yes. Tindakan Green Light Laser yang dilakukan pada suamiku berjalan lancar. Alhamdulillah. Menyisakan perih, sakit pada bagian2 tertentu, akibat obat biusnya sudah hilang. Dan menurut dokter sih, itu hal yang biasa. No worries.
Alhamduillah. Hari kedua dan ketiga, sang kekasih hati terlihat membaik. Menunjukkan progress yang menggembirakan, bahkan keluhannya tentang punggung yang pegel dan sakit, pinggang yang nyeri, tenggorokan yang terasa kering, sudah mulai mereda. Hanya keluhannya berkisar rasa ingin pipisnya yang masih tinggi, yang membuatnya sangat tidak nyaman padahal seharusnya tidak perlu seperti itu karena kateter terpasang rapi sebagai solusi terhadap keluhan itu.
Namun dokter menjelaskan bahwa itu memang reaksi paska operasi. Kedua bladder yang mengalami penyinaran green light laser, tentu saja mengalami luka dalam, dan harus beradaptasi dengan perubahan paska treatment. Jadi tidak ada obat khusus untuk menghilangkan keluhan itu, hanya suamiku diminta untuk banyak minum agar urine yang mengalir ke kateter tidak lagi berwarna merah. Namun tentu perubahan urine dari merah ke jernih bening tidaklah terjadi dengan serta merta, perlu waktu dan tahapan. Dengan sabar kudampingi kekasih hati melewati masa-masa sulit itu, menemaninya, menggenggam tangannya saat tiba-tiba dia merasa menggigil kedinginan. Dengan sigap menekan tombol di remote untuk memanggil nurse jika tiba-tiba ada keluhan yang butuh perhatian para medis.
Kebersamaan ini terasa begitu indah, kedekatan di antara kami begitu terasa. Apalagi setelah selama ini kami tinggal terpisah jarak antar negara. Yang hanya ketemu sebulan sekali. Kebersamaan ini begitu berharga. Kulihat kebahagiaan suamiku terpancar jelas di matanya. Bahagia didampingi oleh istri tercinta pastinya! Hehe. And I? Ya, pasti aku juga bahagia banget lah!
Hari ini dan dua hari berikutnya keadaan suamiku semakin membaik, hanya terjadi satu dua kali kejadian di luar harapan, seperti tekanan darah yang tiba-tiba meninggi, atau demam yang tiba-tiba menyerangnya. Namun dengan cepat dan sigap diatasi oleh sang dokter dan perawat. Lagi-lagi acungan jempol untuk rumah sakit mewah ini dan Alhamdulillah suamiku dilindungi oleh asuransi sehingga kami berkesempatan untuk memperoleh perawatan ini. Dokter menyatakan bahwa suamiku sudah boleh meninggalkan rumah sakit besok siang, so I bought my ticket to return home (Banda Aceh), sementara suamiku siap untuk kembali berkantor. Sebenarnya besar sekali keinginanku untuk membawanya pulang dan istirahat for recovery di tanah air. Tapi mengingat dia ada rapat penting di hari Senin nanti, maka he decided to stay.
Sabtu pagi, jam 9, kami sudah bersiap untuk meninggalkan rumah sakit, hanya menunggu dokter untuk pemeriksaan terakhir serta memperoleh obat-obatan untuk dikonsumsi suamiku di rumah nantinya.
Berfikir bahwa everything well settled, aku diminta suamiku untuk langsung ke bandara, jangan sampai ketinggalan pesawat. So just leave him in the hospital karena dia akan balik ke apartemen agak sorean nanti. Yo wes, aku pun melangkah tenang meninggalkannya di hospital mewah itu setelah menitipkannya pada perawat yang setia menjaganya.
Jam 5 sore aku tiba di rumah, Banda Aceh, dengan selamat dan lelah pastinya. Segera kutelp dia untuk mengetahui kabarnya sekalian mengabarkan bahwa aku sudah sampai rumah. Alangkah terkejutnya aku, Sobs! Saat suaranya yang risau menjelaskan bahwa dia masih di rumah sakit. Tersandera. WHAAT????
Ya. Rumah sakit menahannya, belum bisa keluar karena belum ada guarranty letter dari asuransi. What?
Bukankah dari awal hal itu sudah kita tanyakan berulang kali? Pada asisten dato’ bahkan pada dato’ sendiri. Pada petugas admission yang dengan tegas saat itu bahkan mengatakan ‘it won’t any additional charge’. Bahwa murni dicover oleh asuransi. Lalu mengapa kini situasinya berubah? Dan mengapa saat aku sudah tiba di tanah air. Come on!!! There is no one there to help my husband. OH Tuhan.
Panik donk! Kuberikan arahan agar suami coba membicarakan hal ini lagi ke dato’ dan asistennya. Minta tolong dato’ untuk membantu. Dan dituruti oleh suamiku. Kepanikan mungkin membuat jalan pikirannya buntu sejenak.
Kemudian si akang menelpon, bahwa ternyata asuransi hanya mengcover 2 ribu ringgit dari total biaya yang 18 ribu ringgit. Means kami harus mengcover 16 ribu ringgit. Oh my God. Ingin saya menangis membayangkan suami saya disana tersandera seorang diri. Dan kami harus mengeluarkan uang sebanyak itu.
Amarah menjalari kepalaku. Kenapa baru sekarang asuransi bicara? Lalu kenapa kemarin-kemarinnya semua confirmed that it will covered by the insurance. Kami sudah jelas-jelas menyatakan, berulangkali, bahwa jika memang insurance tidak bisa mengcover, maka operasi ini akan kami tunda dulu.
Lalu semua bilang, it’s okay. It will cover by the insurance. The total fee. Damn!
Tapi tiada guna marah karena tak akan menyelesaikan persoalan. Kukatakan pada suami bahwa aku akan kembali ke KL besok siang. Membawa langsung ringgitnya dan membawanya pulang. Sebenarnya pilihan paling bagus sih, melakukan bank transfer ke BCAnya, tapi teteup aja, aku merasa bahwa aku harus ke sana, menjemputnya dna memastikan semuanya aman-aman saja, sebelum aku balik lagi ke Aceh.
Ada semacam penyesalan dan pembelajaran bagiku dari peristiwa ini. Harusnya aku ga langsung pulang lebih dulu tadi. Harusnya aku antar dulu si akang ke apartemen, dan memastikan semuanya beres, baru aku pulang. Karena apalah dayanya, yang masih dalam masa penyembuhan itu? Siapa yang akan menemaninya? Hiks...
Suamiku sebenarrnya masih keberatan untuk membayar, dia ingin nego dulu dengan asuransinya, apalagi dato’ dan asistennya juga mengatakan agar bersabar dulu, mereka akan deal with the insurance. Tapi aku kan ga mungkin tinggal diam? Apapun ceritanya, I decided to go back to KL, to anticipate in case we have to pay. Apaboleh buat, kalo memang harus bayar ya bayarlah. Ini adalah pelajaran paling berharga tentang asuransi. Aku menghighligtnya dengan warna merah menyala di dalam kepala saya. Jam 7 malam, suami menghubungi, memberitahu bahwa akhirnya asuransi mengcover senilai 14 ribu ringgit (setara 42 juta rupiah), dan kami diminta membayar 4 ribu ringgit (setara 12 juta rupiah). It is okay, deal!
Etapi, kiranya nasib sedang tidak berpihak pada kami, atau setidaknya nasib sedang tidak rela mempermudah jalanku. Giliran tiket pesawat yang berulah. Ga ada tiket, sold out untuk ke KL. Oh Tuhan, hanya itu penerbangan langsung dari kota ini ke KL. Hanya ada satu jalan lain, via Medan. Tapi mana mungkin mencapai Medan pada jam 6 pagi? Bus jelas tak akan menjamin bisa sampai Medan di jam 6 pagi. Aku ga berani ambil resiko itu.
Setelah book tiket Medan – KL yang jam 8 pagi. Aku langsung menelepon seorang teman yang juga adalah kolegaku di kantor. Untung si teman ini langsung bersedia, bersimpati atas musibah yang sedang menimpa kami. Dia bersedia mengantarku ke Medan, dengan kecepatan yang luar biasa. Antara takut dan pasrah, keserahkan semuanya pada Allah. Memohon agar jalanku dimudahkan.
Alhamdulillah tepat jam 5 pagi, Toman, temanku itu, sudah menurunkan aku di halaman Polonia airport, Medan. Dan Toman langsung balik ke Banda Aceh dengan Gliv. Aku langsung check in. Barulah setelah itu menuju toilet, membasuh wajah, wudhu, shalat shubuh dan berganti pakaian, dandan tanpa mandi. Lalu masuk ke waiting room dan tidur sejenak menanti boarding time yang baru akan dimulai 1,5 jam kemudian. Tubuhku kerasa banget lelahnya, setelah perjalanan panjang dari KL - Banda Aceh. Banda Aceh - Medan, dan kini ke KL lagi. Huft!
Nasib ternyata masih belum begitu bersahabat denganku. Airasia delay 1 jam. Masa penantian di waiting room diperpanjang. Baru kemudian kami dipersilahkan boarding, tapi lagi-lagi delay. Masak sudah duduk and fasten seatbelt, tuh pesawat masih diam tak bergeming. Bahkan setelah para pramugari menunjukkan cara-2 penggunaan seatbelt dan peralatan lainnya, masih saja tuh pesawat diam ditempat. Malah tiba-tiba kami diminta untuk unfasten seatbelt, dan mencek lagi hape maupun alat telefoni lainnya, memastikannya dalam keadaan off, karena pesawat akan mengisi bahan bakar. Ya ampuuun. Lelucon apa ini? Gilaaaa….
Namun akhirnya, 1 jam kemudian, airasia yang aku tumpangi jadi juga terbang. Mendarat di LCCT satu jam kemudian. Tak memberi spasi bagi tubuh untuk beristirahat, aku langsung menuju sky bus airasia untuk membawaku ke KL Sentral. Dari KL Sentral kemudian lanjut dnegan LRT ke Ampang Park, dari sana nyambung taksi ke Prince Court Medical Center. Di lobby, kudapati sang kekasih hati sudah menunggu dengan senyuman manis, namun kekuatiran dan prihatin masih jelas berlomba menunjukkan diri.
Lagi-lagi tak ingin memberi jeda pada sang waktu, kuajak si akang untuk segera membereskan urusannya. Empat ribu ringgit handed over to the cashier, ditukar dengan sebuah receipt yang menyatakan segala urusan pembayaran settled. Lalu kami diminta ke farmasi untuk mengambil obat-obatan yang sudah diprescribe oleh dato’. Tak lama kemudian kami discharge, meninggalkan hospital mewah itu dengan penuh terima kasih.
Apapun ceritanya, the treatment is very good, kejadian tadi adalah kerikil kecil yang tak akan menjadi batu sandungan. Jadi pelajaran berharga untuk kedepannya, agar, make sure dulu the guarrantie letter dari insurance nya sudah dikantongi oleh Rumah Sakit, jadi kita tidak akan bermasalah.
Alhamdulillah, Sobs! Kisah mendebarkan itu berakhir bahagia. Happy Ending. Dan Insyaallah, besok pagi aku akan terbang kembali ke tanah air, kembali pada Intan dan aktif kembali berkantor. Meninggalkan sekeping hati di negeri jiran, cepat sembuh, my dear husband! Bulan depan kita ketemu di Banda aja, ya!
Sekelumit pengalaman berharga,
catatan yang sayang jika dilupakan,
Al, Banda Aceh, 19 November 2010