Imlek 2017, nuansanya masih hangat memancar, sehangat mentari pagi yang sinari Kota Bandung si lautan api. Jika beberapa hari lalu, aku bercerita tentang persiapan sambut Imlek yang dipersiapkan oleh The Trans Luxury Hotel Bandung, untuk para tamu setianya, maka hari ini, aku mau cerita tentang kisah seru TOUR DE PETJINAN van BANDOENG - Napak Tilas Jejak Petjinan/Tionghoa di Kota Bandung.
Ah, iya, program ini merupakan kerjasama Komunitas Aleut (sebuah komunitas pecinta wisata sejarah dan lingkungan yang telah berusia lebih kurang 11 tahun) dengan Best Western Premier La Grande Hotel - Bandung. Dan sebagai blogger yang juga suka banget nulis tentang traveling and history, undangan untuk turut serta dalam napak tilas ini, pastinya aku sambut dengan happy, donk, ah!
Baca juga: camping manja seru dan nikmat di Trizara Resorts
Tour de Petjinan van Bandoeng
Hari masih pagi (sekitar pukul 5.30 wib) kala kupacu Gliv ke alun-alun Kota Bandung. Meeting point -nya adalah di halaman rumput hijaunya yang cerah dan sejuk dan instagramable. Belum banyak peserta yang datang kala aku tiba di tekape, sehingga baik aku, Efi, Bang Aswi, punya banyak waktu untuk jeprat-jepret terlebih dahulu.
Oh, iya, Teh Venta, sang marcom Best Western Hotel memperkenalkan aku pada sepasang koko-cici cantik-tampan, yang berseragam kasual kuning. Ealah, senada dengan pakaian yang aku pakai deh. Padahal ga janjian dress code lho kita. Hehe.
Tak hanya Koko dan Cici Jakarta ini, lho, yang turut serta di dalam Tour de Petjinan van Bandung ini, melainkan turut pula sepasang jaka-mojang Bandung, dan sepasang Hakka Ako - Amoy Bandung juga. Selain itu, beberapa rekan media dari majalah dan koran ternama, plus member dari Komunitas Aleut yang pastinya turut serta sebagai penunjuk jalan. Yang pasti, aura excited sudah mengintip bahkan sesaat sebelum gathering dan briefing dimulai, lho! Yes, we were so excited for this Petjinan Tour, yang akan menempuh rute2 yang sudah ditentukan dengan berjalan kaki.
Kopi Aroma
Walo kabarnya Kopi Aroma ini sudah begitu melegenda, namun aku baru tahu akan kabar ini, ya, pada hari tour ini, Sobs! Aih, kemana aja eikeh? Hehe.
Jadi, Kopi Aroma ini adalah sebuah pabrik kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1930, berlokasi di Jalan Banceuy, dan dimiliki oleh Tuan Tan Houw Sian, yang sebelumnya bekerja di perusahaan kopi milik Belanda, yang kemudian memutuskan untuk berhenti dari perusahaan tersebut dan mendirikan usaha kopi kecil-kecilan dengan nama Aroma.
Perlahan tapi pasti, Kopi Aroma mengemuka, dan dikenal sebagai kopi terbaik dan unik di Bandung dan Indonesia, karena mempergunakan raw material (kopi) terbaik dan mempertahankan penggunaan mesin-mesin pengolahnya tetap seperti pertama kali pengolahan kopi ini dimulai. Jadi perpaduan the best quality and the unique machine menjadi andalan eksistansi Kopi Aroma ini hingga kini. Tak heran jika pembelinya harus sampai ngantri setiap harinya untuk mendapatkan bubuk kopi legendaris ini, Sobs!
Saat ini, Kopi Aroma dikelola oleh generasi kedua sekaligus pewaris tunggal dari Tuan Tan, yaitu Widyapratama.
Pasar Baru
Siapa yang tak kenal Pasar Baru? Sebuah pasar yang di dalamnya terjadi transaksi perdagangan hingga milyaran rupiah. Pasar yang awalnya masih sangat tradisional ini, baru mengalami sentuhan bangunan semi permanen pada tahun 1906, di mana jajaran pertokoan berada di bagian paling depan sementara pada bagian paling belakangnya diisi oleh los-los pedagang.
Bangunan ini kemudian direnovasi pada tahun 1926. Terdapat dua buah pos yang mengapit jalan masuk menuju kompleks Pasar Baru. Pasar Baru Bandung sempat menjadi kebanggaan warga karena meraih predikat sebagai pasar terbersih dan paling teratur se-Hindia Belanda pada tahun 1035. Wow! Pasar terbersih se-Hindia Belanda, lho! Keren, yak?
Barulah pada tahun 1970-an dilakukan renovasi terhadap pasar ini dan menjadikannya gedung modern bertingkat tanpa menyisakan lagi bentuk bangunan lamanya. Renovasi berikutnya dilakukan pada tahun 2001, menghadirkan pasar baru dalam bentuk yang kita temui saat ini.
Orang-orang Pasar Baru
Ini tak kalah menariknya, Sobs! Ada banyak kisah menarik di balik Pasar Baru yang masih bisa kita telusuri. Di antaranya adalah kisah para saudagar Bandung tempo dulu yang tinggal dan menjalankan usaha dagangnya di kawasan ini. Mereka adalah para saudagar yang berasal dari Sunda, Jawa, Palembang, bahkan India dan Arab.
Keluarga-keluarga Tionghoa pun tak ketinggalan dalam mewarnai khasanah budaya dan keberadaan orang-orang di Pasar Baru ini. Ada yang menjadi saudagar batik Solo, yaitu keluarga Tan Djin Gie, yang bisa juga disebut sebagai salah satu pelopor perdagangan batik di Pasar Baru.
Bahkan, legenda tentang kiprah keluarga Tan Djin Gie di Bandung bisa ditemui di dalam roman "Rasia Bandung' yang terbit pada 1918. Keluarga ini menjadi salah satu fokus utama yang ditulis di dalam buku, dan rumah tokoh ini masih ada sampai sekarang, lho! Seru, ya?
Pecinan Lama
Kawasan ini merupakan awal pemukiman masyarakat Tionghoa di Bandung. Pada masa Hindia Belanda memang terdapat pengelompokan penduduk berdasarkan etnisitas seperti di kawasan Pecinan ini. Pada berikutnya, kawasan Pecinan dipindahkan dan diperluas lebih ke arah Timur, sehingga kawasan awal disebut sebagai Pecinan Lama.
Sebuah bangunan tua di sudut barat laut Jalan Pecinan Lama masih nampak bergaya lama dan terlihat kurang terawat. Model bangunan sudut seperti terlihat pada gambar di atas, tuh, selain menarik dipandang mata juga memberikan ruang yang cukup luas bagi persimpangan jalan.
Jalan Raya Pos
Sebagai akibat dari peristiwa Perang Diponegoro (1825 - 1830), banyak orang Tionghoa yang berpindah ke berbagai tempat, di antaranya Bandung. Konon Daendels- lah yang memaksa mereka datang ke Bandung melalui Cirebon sebagai tukang perkayuan dan dalam upaya menghidupkan perekonomian di pusat kota dekat De Grotepostweg (Jalan Raya POs). Daerah hunian para pendatang baru ini berada di Kampung Suniaraja.
Kawasan Pecinan di Kampung Suniaraja memiliki batas Jalan Asia-Afrika, Banceuy, Suniaraja dan Oto Iskandardinata. Kabarnya sih, pada masa awal itu, terdapat sekitar 13 orang kaum Tionghoa saja di sana. Pada perkembangan berikutnya, konsentrasi pemukim Tionghoa berkembang dan menyear ke arah barat.
Warung Kopi Purnama
Nah, jika di atas tadi ada pabrik kopi legendaris 'Kopi Aroma' maka di Pasar Baru ini juga ada yang namanya warung kopi legendaris, bernama Warung Kopi Purnama. Berdiri sudah cukup lama, pada era 1930 dengan nama Chang Chong Se yang berarti 'Silakan Mencoba'. Didirikan oleh Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan, sekitar abad ke 20, dengan membawa tradisi 'Kopi Tiam'. Wow, dari Medan, ternyata. Hehe.
Btw, pasti kepo kan akan apa itu tradisi 'Kopi Tiam"? Nah, ternyata, Sobs, kaum Tionghoa tuh punya tradisi 'sarapan sambil minum teh. Kata 'Kopi Tiam' merupakan perkembangan dari istilah 'Yam-Cha' di Tiongkok. 'Sarapan sambil minum teh'. Di daerah Melayu, termasuk Indonesia, budaya minum teh ini pun berganti menjadi minum kopi. Jadilah sarapan sambil minum kopi. Begicuu, deh, Sobs!
Pada tahun 1966, kedai kopi Chang Chong Se pun berganti nama menjadi Warung Kopi Purnama, dikelola secara turun temurun dan kini telah memasuki generasi ke 4.
Pasar Ciguriang
Meski secara resmi ibukota Kabupaten Bandung pindah dari Dayeuhkolot pada tahun 1810, namun Bandung baru memiliki pasar pada tahun 1812, lho. Pasar itu dikenal dengan nama Pasar Ciguriang. Lokasinya berada di kawasan Jalan Kepatihan.
Pada bulan November 1845, pasar yang menjadi pusat perdagangan di Bandung pada saat itu ludes dilahap api, Pasar Ciguriang dibakar sebagai umpan untuk membunuh Asisten Residen Priangan dan Bupati Bandung oleh beberapa orang yang mendendam keduanya.
Untuk menampung para pedagang dan aktivitas pasar, maka pada tahun 1884, lokasi penampungan baru mulai dibuka dan sisi barat kawasan Pecinan. Kawasan inilah yang kemudian dikenal sebagai kawasan Pasar Baru.
Babah Kuya
Bukan, Sobs! Ini bukan Uya Kuya, tapi Babah Kuya, si toko jamu. Siapa coba yang tak kenal dengan toko jamu dan rempah legendaris ini? Merupakan saksi eksistensi warga Tionghoa di awal kelahiran pusat perdagangan Kota Bandung. Toko jamu Babah Kuya didirikan oleh Tan Sioe How pada sekitar abad ke 18. Toko ini telah mewariskan keahlian meracik bahan ramuan tradisional Nusantara secara turun temurun.
Sebagian besar bahan untuk jamu-jamu di toko Babah Kuya ini (sekitar 95%) berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, dan sebagaian sisanya diimpor dari luar negeri.
Saking terkenal dan universalnya, Babah Kuya tak hanya menjadi rujukan para tabib, tapi juga peramu pengobatan tradisional Nusantara, bahkan juga menjadi rujukan pengobatan modern, lho.
Cakue Osin dan Kuliner Nusantara
Ada yang suka banget makan Cakue? *Lirik diri sendiri dan ngacung deh eikeh. Yes, tanpa kita sadari, sebenarnya, banyak sekali penganan nusantara yang justru berasal dari penganan warga Tionghoa. Salah satunya ya Cakue ini. Selain itu, bakso, bacang, capcay, siomay, bakpau dan berbagai macam penganan lainnya merupakan hasil akulturasi dari kebudayaan Tionghoa dan memperkaya khasanah kuliner Nusantara.
Bicara tentang kuliner Tionghoa yang mengindonesia, bagi Sobats penggemar Cakue yang sedang ke Bandung, jangan lupa atau carilah kedai Cakue Osin, karena rugi banget jika sudah ke Bandung tapi tidak mencicipi cakue Osin yang rasanya memang yummy banget ini, lho!
Selain cakue, kita juga bisa mencicipi bubur kacang tanah yang rasanya lezat banget, lho!
Cakue Osin ini sudah eksis sejak tahun 1934, dan hingga sekarang masih mempertahankan nikmatnya rasa cakue Osin, bubur kacang Fujian dan beberapa menu lainnya, yang akan sayang banget jika dilewatkan dengan begitu saja.
Hotel Surabaya
Napak tilas selanjutnya selepas menikmati sajian yummy di kedai Cakue Osin, adalah berjalan ke hotel Surabaya, yang semua adalah merupakan 'Landhuis' (komplek tempat tinggal) orang Tionghoa, yang berdiri sejak tahun 1884. Didirikan oleh Tan Djin Gie, salah satu saudagar batik Solo di Bandung. Namun seiring dibukanya jalur kereta api Bandung - Batavia, bangunan ini dikembangkan menjadi sebuah hotel.
Sayangnya, bangunan bagian belakang hotel yang merupakan bangunan tertua telah digantikan oleh bangunan baru yaitu Hotel Gino Feruci, sementara bagian depan disewakan dan digunakan sebagai tempat usaha.
Kelenteng Satya Budhi
Kelenteng ini dibangun dari hasil sumbangan warga Tionghoa dan diprakarsai oleh Letnan Tionghoa di Bandung saat itu. Tan Djoen Liong. Pada awalnya, kelenteng ini bernama Kuil Hiap Thian Khong yang berarti "Istana Para Dewa".
Rancangan dan pembangunannya dikerjakan oleh para pekerja yang didatangkan dari Tiongkok Selatan. Pemujaan utama kelenteng ini ditujukan kepada Koan Kong, seorang panglima militer masa dinasti Han (206 - 25 SM) yang bergelar Dewa Perang (Koan Te Kun). Pemugaran Kelentang sempat terjadi pada tahun 1958 dan 1985.
Nah, Sobs, itulah sekilas jejak Petjinan van Bandung, dan usai touring ini, rombongan Tour de Petjinan van Bandung pun diundang untuk menikmati santap siang di Best Western Premier La Grande - Bandung, yang pastinya langsung disambut hangat dan tak sabar oleh para peserta tour, mengingat perut yang sudah kriuk-kriuk setelah napak tilas menelusuri jejak langkah para warga Tionghoa masa lampau, napak tilas the Petjinan van Bandung. Amazing, sungguh sebuah pengalaman yang membuka wawasan dan salut kepada Best Western yang memulai progam ini. Juga kepada Komunitas Aleut yang telah selama 11 tahun konsisten pada tujuan mulia ini.
Well, Sobs, yuk, santap siang dulu, nantikan postingan-postingan berikutnya yang tak kalah menariknya, ya!
Ah, iya, program ini merupakan kerjasama Komunitas Aleut (sebuah komunitas pecinta wisata sejarah dan lingkungan yang telah berusia lebih kurang 11 tahun) dengan Best Western Premier La Grande Hotel - Bandung. Dan sebagai blogger yang juga suka banget nulis tentang traveling and history, undangan untuk turut serta dalam napak tilas ini, pastinya aku sambut dengan happy, donk, ah!
Baca juga: camping manja seru dan nikmat di Trizara Resorts
Tour de Petjinan van Bandoeng
Hari masih pagi (sekitar pukul 5.30 wib) kala kupacu Gliv ke alun-alun Kota Bandung. Meeting point -nya adalah di halaman rumput hijaunya yang cerah dan sejuk dan instagramable. Belum banyak peserta yang datang kala aku tiba di tekape, sehingga baik aku, Efi, Bang Aswi, punya banyak waktu untuk jeprat-jepret terlebih dahulu.
Oh, iya, Teh Venta, sang marcom Best Western Hotel memperkenalkan aku pada sepasang koko-cici cantik-tampan, yang berseragam kasual kuning. Ealah, senada dengan pakaian yang aku pakai deh. Padahal ga janjian dress code lho kita. Hehe.
Tak hanya Koko dan Cici Jakarta ini, lho, yang turut serta di dalam Tour de Petjinan van Bandung ini, melainkan turut pula sepasang jaka-mojang Bandung, dan sepasang Hakka Ako - Amoy Bandung juga. Selain itu, beberapa rekan media dari majalah dan koran ternama, plus member dari Komunitas Aleut yang pastinya turut serta sebagai penunjuk jalan. Yang pasti, aura excited sudah mengintip bahkan sesaat sebelum gathering dan briefing dimulai, lho! Yes, we were so excited for this Petjinan Tour, yang akan menempuh rute2 yang sudah ditentukan dengan berjalan kaki.
Teh Venta dari Best Western Premier La Grande Hotel - Bandung sedang briefing sebelum tour dimulai |
Walo kabarnya Kopi Aroma ini sudah begitu melegenda, namun aku baru tahu akan kabar ini, ya, pada hari tour ini, Sobs! Aih, kemana aja eikeh? Hehe.
Jadi, Kopi Aroma ini adalah sebuah pabrik kopi yang sudah berdiri sejak tahun 1930, berlokasi di Jalan Banceuy, dan dimiliki oleh Tuan Tan Houw Sian, yang sebelumnya bekerja di perusahaan kopi milik Belanda, yang kemudian memutuskan untuk berhenti dari perusahaan tersebut dan mendirikan usaha kopi kecil-kecilan dengan nama Aroma.
Perlahan tapi pasti, Kopi Aroma mengemuka, dan dikenal sebagai kopi terbaik dan unik di Bandung dan Indonesia, karena mempergunakan raw material (kopi) terbaik dan mempertahankan penggunaan mesin-mesin pengolahnya tetap seperti pertama kali pengolahan kopi ini dimulai. Jadi perpaduan the best quality and the unique machine menjadi andalan eksistansi Kopi Aroma ini hingga kini. Tak heran jika pembelinya harus sampai ngantri setiap harinya untuk mendapatkan bubuk kopi legendaris ini, Sobs!
Saat ini, Kopi Aroma dikelola oleh generasi kedua sekaligus pewaris tunggal dari Tuan Tan, yaitu Widyapratama.
Pasar Baru
Siapa yang tak kenal Pasar Baru? Sebuah pasar yang di dalamnya terjadi transaksi perdagangan hingga milyaran rupiah. Pasar yang awalnya masih sangat tradisional ini, baru mengalami sentuhan bangunan semi permanen pada tahun 1906, di mana jajaran pertokoan berada di bagian paling depan sementara pada bagian paling belakangnya diisi oleh los-los pedagang.
Bangunan ini kemudian direnovasi pada tahun 1926. Terdapat dua buah pos yang mengapit jalan masuk menuju kompleks Pasar Baru. Pasar Baru Bandung sempat menjadi kebanggaan warga karena meraih predikat sebagai pasar terbersih dan paling teratur se-Hindia Belanda pada tahun 1035. Wow! Pasar terbersih se-Hindia Belanda, lho! Keren, yak?
Barulah pada tahun 1970-an dilakukan renovasi terhadap pasar ini dan menjadikannya gedung modern bertingkat tanpa menyisakan lagi bentuk bangunan lamanya. Renovasi berikutnya dilakukan pada tahun 2001, menghadirkan pasar baru dalam bentuk yang kita temui saat ini.
Orang-orang Pasar Baru
Ini tak kalah menariknya, Sobs! Ada banyak kisah menarik di balik Pasar Baru yang masih bisa kita telusuri. Di antaranya adalah kisah para saudagar Bandung tempo dulu yang tinggal dan menjalankan usaha dagangnya di kawasan ini. Mereka adalah para saudagar yang berasal dari Sunda, Jawa, Palembang, bahkan India dan Arab.
Keluarga-keluarga Tionghoa pun tak ketinggalan dalam mewarnai khasanah budaya dan keberadaan orang-orang di Pasar Baru ini. Ada yang menjadi saudagar batik Solo, yaitu keluarga Tan Djin Gie, yang bisa juga disebut sebagai salah satu pelopor perdagangan batik di Pasar Baru.
Bahkan, legenda tentang kiprah keluarga Tan Djin Gie di Bandung bisa ditemui di dalam roman "Rasia Bandung' yang terbit pada 1918. Keluarga ini menjadi salah satu fokus utama yang ditulis di dalam buku, dan rumah tokoh ini masih ada sampai sekarang, lho! Seru, ya?
Pecinan Lama
Kawasan ini merupakan awal pemukiman masyarakat Tionghoa di Bandung. Pada masa Hindia Belanda memang terdapat pengelompokan penduduk berdasarkan etnisitas seperti di kawasan Pecinan ini. Pada berikutnya, kawasan Pecinan dipindahkan dan diperluas lebih ke arah Timur, sehingga kawasan awal disebut sebagai Pecinan Lama.
Sebuah bangunan tua di sudut barat laut Jalan Pecinan Lama masih nampak bergaya lama dan terlihat kurang terawat. Model bangunan sudut seperti terlihat pada gambar di atas, tuh, selain menarik dipandang mata juga memberikan ruang yang cukup luas bagi persimpangan jalan.
Jalan Raya Pos
Sebagai akibat dari peristiwa Perang Diponegoro (1825 - 1830), banyak orang Tionghoa yang berpindah ke berbagai tempat, di antaranya Bandung. Konon Daendels- lah yang memaksa mereka datang ke Bandung melalui Cirebon sebagai tukang perkayuan dan dalam upaya menghidupkan perekonomian di pusat kota dekat De Grotepostweg (Jalan Raya POs). Daerah hunian para pendatang baru ini berada di Kampung Suniaraja.
Kawasan Pecinan di Kampung Suniaraja memiliki batas Jalan Asia-Afrika, Banceuy, Suniaraja dan Oto Iskandardinata. Kabarnya sih, pada masa awal itu, terdapat sekitar 13 orang kaum Tionghoa saja di sana. Pada perkembangan berikutnya, konsentrasi pemukim Tionghoa berkembang dan menyear ke arah barat.
Warung Kopi Purnama
Nah, jika di atas tadi ada pabrik kopi legendaris 'Kopi Aroma' maka di Pasar Baru ini juga ada yang namanya warung kopi legendaris, bernama Warung Kopi Purnama. Berdiri sudah cukup lama, pada era 1930 dengan nama Chang Chong Se yang berarti 'Silakan Mencoba'. Didirikan oleh Yong A Thong yang hijrah dari Kota Medan, sekitar abad ke 20, dengan membawa tradisi 'Kopi Tiam'. Wow, dari Medan, ternyata. Hehe.
Btw, pasti kepo kan akan apa itu tradisi 'Kopi Tiam"? Nah, ternyata, Sobs, kaum Tionghoa tuh punya tradisi 'sarapan sambil minum teh. Kata 'Kopi Tiam' merupakan perkembangan dari istilah 'Yam-Cha' di Tiongkok. 'Sarapan sambil minum teh'. Di daerah Melayu, termasuk Indonesia, budaya minum teh ini pun berganti menjadi minum kopi. Jadilah sarapan sambil minum kopi. Begicuu, deh, Sobs!
Pada tahun 1966, kedai kopi Chang Chong Se pun berganti nama menjadi Warung Kopi Purnama, dikelola secara turun temurun dan kini telah memasuki generasi ke 4.
Pasar Ciguriang
Meski secara resmi ibukota Kabupaten Bandung pindah dari Dayeuhkolot pada tahun 1810, namun Bandung baru memiliki pasar pada tahun 1812, lho. Pasar itu dikenal dengan nama Pasar Ciguriang. Lokasinya berada di kawasan Jalan Kepatihan.
Pada bulan November 1845, pasar yang menjadi pusat perdagangan di Bandung pada saat itu ludes dilahap api, Pasar Ciguriang dibakar sebagai umpan untuk membunuh Asisten Residen Priangan dan Bupati Bandung oleh beberapa orang yang mendendam keduanya.
Untuk menampung para pedagang dan aktivitas pasar, maka pada tahun 1884, lokasi penampungan baru mulai dibuka dan sisi barat kawasan Pecinan. Kawasan inilah yang kemudian dikenal sebagai kawasan Pasar Baru.
Babah Kuya
Bukan, Sobs! Ini bukan Uya Kuya, tapi Babah Kuya, si toko jamu. Siapa coba yang tak kenal dengan toko jamu dan rempah legendaris ini? Merupakan saksi eksistensi warga Tionghoa di awal kelahiran pusat perdagangan Kota Bandung. Toko jamu Babah Kuya didirikan oleh Tan Sioe How pada sekitar abad ke 18. Toko ini telah mewariskan keahlian meracik bahan ramuan tradisional Nusantara secara turun temurun.
Sebagian besar bahan untuk jamu-jamu di toko Babah Kuya ini (sekitar 95%) berasal dari berbagai provinsi di Indonesia, dan sebagaian sisanya diimpor dari luar negeri.
Saking terkenal dan universalnya, Babah Kuya tak hanya menjadi rujukan para tabib, tapi juga peramu pengobatan tradisional Nusantara, bahkan juga menjadi rujukan pengobatan modern, lho.
Cakue Osin dan Kuliner Nusantara
Ada yang suka banget makan Cakue? *Lirik diri sendiri dan ngacung deh eikeh. Yes, tanpa kita sadari, sebenarnya, banyak sekali penganan nusantara yang justru berasal dari penganan warga Tionghoa. Salah satunya ya Cakue ini. Selain itu, bakso, bacang, capcay, siomay, bakpau dan berbagai macam penganan lainnya merupakan hasil akulturasi dari kebudayaan Tionghoa dan memperkaya khasanah kuliner Nusantara.
Bicara tentang kuliner Tionghoa yang mengindonesia, bagi Sobats penggemar Cakue yang sedang ke Bandung, jangan lupa atau carilah kedai Cakue Osin, karena rugi banget jika sudah ke Bandung tapi tidak mencicipi cakue Osin yang rasanya memang yummy banget ini, lho!
Selain cakue, kita juga bisa mencicipi bubur kacang tanah yang rasanya lezat banget, lho!
Cakue Osin ini sudah eksis sejak tahun 1934, dan hingga sekarang masih mempertahankan nikmatnya rasa cakue Osin, bubur kacang Fujian dan beberapa menu lainnya, yang akan sayang banget jika dilewatkan dengan begitu saja.
Hotel Surabaya
Napak tilas selanjutnya selepas menikmati sajian yummy di kedai Cakue Osin, adalah berjalan ke hotel Surabaya, yang semua adalah merupakan 'Landhuis' (komplek tempat tinggal) orang Tionghoa, yang berdiri sejak tahun 1884. Didirikan oleh Tan Djin Gie, salah satu saudagar batik Solo di Bandung. Namun seiring dibukanya jalur kereta api Bandung - Batavia, bangunan ini dikembangkan menjadi sebuah hotel.
Sayangnya, bangunan bagian belakang hotel yang merupakan bangunan tertua telah digantikan oleh bangunan baru yaitu Hotel Gino Feruci, sementara bagian depan disewakan dan digunakan sebagai tempat usaha.
Kelenteng Satya Budhi
Kelenteng ini dibangun dari hasil sumbangan warga Tionghoa dan diprakarsai oleh Letnan Tionghoa di Bandung saat itu. Tan Djoen Liong. Pada awalnya, kelenteng ini bernama Kuil Hiap Thian Khong yang berarti "Istana Para Dewa".
Rancangan dan pembangunannya dikerjakan oleh para pekerja yang didatangkan dari Tiongkok Selatan. Pemujaan utama kelenteng ini ditujukan kepada Koan Kong, seorang panglima militer masa dinasti Han (206 - 25 SM) yang bergelar Dewa Perang (Koan Te Kun). Pemugaran Kelentang sempat terjadi pada tahun 1958 dan 1985.
Nah, Sobs, itulah sekilas jejak Petjinan van Bandung, dan usai touring ini, rombongan Tour de Petjinan van Bandung pun diundang untuk menikmati santap siang di Best Western Premier La Grande - Bandung, yang pastinya langsung disambut hangat dan tak sabar oleh para peserta tour, mengingat perut yang sudah kriuk-kriuk setelah napak tilas menelusuri jejak langkah para warga Tionghoa masa lampau, napak tilas the Petjinan van Bandung. Amazing, sungguh sebuah pengalaman yang membuka wawasan dan salut kepada Best Western yang memulai progam ini. Juga kepada Komunitas Aleut yang telah selama 11 tahun konsisten pada tujuan mulia ini.
Well, Sobs, yuk, santap siang dulu, nantikan postingan-postingan berikutnya yang tak kalah menariknya, ya!
Jejak langkah de Petjinan van Bandung,
Al, Bandung, 28 Januari 2017
18 comments
Ini sih benar2 Amazing. :D Sayang, aku nggak sempat lihat meriahnya imlek
ReplyDeleteImlek tahun ini meriah di mana-mana. ^_^
ReplyDeleteSeru ya? ^_^ Aku pengen juga jadinya.
ReplyDeleteDah lama jg ya mb ternyata..
ReplyDeleteJadi keingat sejarah kerajaan majapahit dulu..
Susah aku nyebut judulnya, tapi ini pasti seru. Pasukan kuning berani mati, hihihi
ReplyDeletepecinan di mana2 ada ya mbaa...
ReplyDeletedi melbourne, di DC juga ada pecinan hahaha
Ternyata banyak juga ya jejak petjinan di Bandung...
ReplyDeleteAih Mbak Al, mau cakue-nya...kue kesukaan itu mah, yummy...
ditempatku belum pernah ada acara kemeriahan imlek..
ReplyDeleteseru banget tour nya mbak, sesekali pengen tour yang seperti ini biar nggak lupa sejarah ya
ReplyDeletemelancong terus nih mba Al :-D
ReplyDeleteudah 5 tahun ga ngikut imlek. Masih kebayang juga imlek di Hongkong, ribet dan capek tapi seneng dapet angpau dari majikan hahaha
Serunya, Mbak Al keliling ke sana-kemari. Mau dong cakuenya satu, haha.
ReplyDeleteHuwaaa jadi bapeeer karena rencana jalan-jalan imlek ke kampung2 pecinan gagal gegara hujan
ReplyDeleteAku suka nih mba ikut tour seperti ini. Kapan2 ajak dungs, mba. Hihihi
ReplyDeleteMbak e....ajak-ajak dong tur y kalo keliling Bandung. Hahah. Mupeng ngelitin yang menapaki sejarah begini.
ReplyDeleteBandung memang tidak ada matinya, seru juga pakai group eh tour ya. selama ini jalannya sendiri dan tersesat sendirian hahaha
ReplyDeleteBandung, Bandung, kota ini memang layak jadi kota yang spesial. Selain udara nya yang sejuk, bahasanya yang halus, orangnya juga ramah-ramah.
ReplyDeleteSepertinya memang perlu bawa sepeda nih kalau mau keliling-keliling daerah Asia-Afrika. Siapa tahu ketemu Kang Ridwan Kamil. 😬
yuhuuu pasar baruuu... destinasi tiada tara, hehe
ReplyDeleteide kreatif buat jalan2, kulineran sekaligus belajar sejarah. what a perfect combo mbak!
ReplyDelete