Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '. Kisah sebelumnya disini
Akhirnya sang fajar menampakkan diri. Cercah cahayanya yang mulai menyinari bumi, membuat Khai mencelupkan kakinya kembali ke dalam lumpur pekat penuh reruntuhan dan beberapa mayat yang telah di'pinggir'kan [diletakkan ke pinggir lorong], dengan satu tekad. Pulang. Tak kuasa dia menahan rasa ingin bertemu ayah ibu, sebuah rasa yang langsung menghentak jiwanya manakala matanya terbuka tadi subuh. Ya, dia menguatirkan ayah ibu. Walo para tetangga mengatakan ayah dan ibu selamat, namun hati kecilnya terasa begitu gelisah. Sungguh tak enak. Makanya tanpa menunggu sempurnanya cahaya mentari, lelaki muda itu telah menuruni tangga mesjid, mencelupkan kaki telanjangnya ke dalam lumpur, dan memulai perjalanan pulang, yang jika dalam keadaan normal hanya butuh waktu 4 menit dengan berlari-lari kecil. Namun dalam situasi yang seperti ini? Entahlah, yang pasti, tentu tak akan sesulit dan selama perjalanan yang ditempuhnya kemarin.
Cahaya mentari telah sempurna kala dirinya tiba di halaman rumah. Terbelalak, adalah reaksi awal dirinya menatap pintu rumah yang telah lepas, plong! Berikutnya adalah furniture yang telah tumbang dan tumpah ruah isinya. Beberapa ikan [bandeng atau gembung?] yang terkapar tak bernyawa. Dua ekor ular yang juga telah bernasib serupa. Alhamdulillah, sapuan matanya ke sana kemari tak menemukan mayat yang bergelimpangan di dalam rumah. Lega hatinya. Dilangkahkan kakinya ke dalam seraya memanggil ayah ibu.
"Umi, Ayah! Khai pulang nih!" Diseretnya langkah kaki melawan lumpur pekat, mencapai tangga. Dibersihkannya kakinya dengan segayung air dari galon air mineral yang diletakkan di tangga. Sementara di lantai atas, ayah dan ibu menjerit histeris mendengar suara panggilan ini.
Dengan menyeret kakinya yang kian bengkak, ayah berusaha bangkit, menangis tersedu kala melihat ke bawah, ke anak tangga, si putra bungsu sedang naik ke atas. Ibu tak kalah histerisnya. Menyebut asma Allah dalam jerit bahagia, mereka berusaha menggapai Khai. Sebuah reaksi yang langsung membuat adik lelakiku itu berurai airmata. Menyadari betapa ayah dan bunda begitu kehilangan dengan ketidakhadirannya di sisi mereka. Ketiganya berpelukan, sama-sama tersedu, di balik rasa syukur karena menyadari mukjizat yang Allah berikan kepada mereka bertiga yaitu kesempatan kedua. Tangisan haru ini, tak pelak memancing linangan air mata para survivors lainnya. Selain ikut bahagia, mereka juga memanjatkan doa dan harapan, agar Allah juga berkenan memberikan kesempatan kedua bagi keluarga mereka.
Ribut-ribut itu tak urung membangunkan si kecil Wahyu. Anak cerdas ini serta merta bertanya dengan suara kecilnya. "Nenek, Oom sudah pulang ya? Ada bawa cucu?" OH TUHAN. Semua terdiam. Ibu dengan sigap menjawab.
"Oom, tokonya masih tutup ya? Kemana sih penjualnya? Apa pulang kampung dia ya? Padahal Wayu kan mau minum cucu!"
Sigap, Khai menangkap isyarat ini, dan langsung dengan tangkas menjawab. "Iya, tokonya tutup, pulang kampung yang punya tokonya. Yuk, sini Oom gendong yuk." Terenyuh hatinya melihat bocah dua tahunan ini, yang entah anak siapa. Wahyu menurut, dan langsung bersahabat dengan Khai. Berdua bocah itu, Khai menyantap sisa nasi putih yang dibawa Bang Gade tadi malam.
Tak banyak aktivitas yang bisa mereka lakukan pagi ini. Duka lara masih menyelimuti, rasa lelah juga masih tak mau pergi. Dr. Fanni terlihat berusaha untuk menguatkan diri, namun ingatan yang melayang pada anak dan suaminya, serta merta langsung memukul semangatnya kembali, sukses mengoyak duka dan mengundang riak bening di pelupuk mata. Bagaimana nasib anak-anak dan suami hamba ya, Allah. Selamatkah mereka?
Tak gampang membangkitkan kembali semangat yang sedang terpuruk. Kelesuan semakin terlihat nyata pada raut wajah setiap mereka. Hening, sendu. Hingga tiba-tiba beberapa teriakan memecahkan kebisuan itu, terdengar sepertinya dari jalanan depan rumah.
"Assalammualaikum, apa ada yang selamat di rumah ini?"
Tak menunggu pertanyaan diulang, refleks para survivors lelaki termasuk Bang Gade dan Khai serempak menjawab seraya beranjak ke teras, melongok untuk melihat sang penanya. Dan berlangsunglah tanya jawab yang kemudian diakhiri oleh naiknya mereka ke lantai dua rumah kami. Dua orang dari mereka adalah anggota Brimob [yang kantor dan asramanya terletak di belakang komplek perumahan kami], yang adalah temannya ayah Wahyu. Tiga orang lainnya adalah Warga Perumnas Lingke, yang tak jauh dari kompleks kami, yang sedang mencari anggota keluarga mereka. Berita paling menyedihkan yang mereka dapati pagi itu adalah bahwa Ayahnya Wahyu ditemukan tewas bersama kakaknya Wahyu [dengan posisi dalam dekapan sang ayah], terhimpit di samping sebuah mobil. Hiks. Air mata tak tertahankan di mata semuanya, apalagi kala mata mereka menatap si bocah cilik cerdas, yang dalam hitungan detik kemarin [ternyata] telah menjadi yatim piatu [ibunya Wahyu ditemukan tewas tak jauh dari rumah mereka/asrama].
Pembicaraan penuh keprihatinan dan pilu itu berakhir dengan keputusan untuk menyerahkan Wahyu kepada kedua anggota Brimob itu, dengan pertimbangan, akan lebih mudah bagi keluarga Wahyu [kakek-nenek atau kerabatnya] nanti dalam menemukan bocah itu, jika Wahyu diserahkan kepada instansi di mana ayahnya bekerja. Sementara jika tetap bersama ibu, maka diperkirakan akan sulit melacaknya karena kemungkinan besar ibu, ayah dan Khai akan mengungsi entah kemana. Serah terima itu disertai wanti-wanti dari ibuku [yang telah menjadi nenek angkat Wahyu selama 24 jam itu], agar menjaga Wahyu dengan sebaik-baiknya. Air mata tak tertahan, terus saja menggenangi dan merendam bola mata ibuku. :(
Udin, Dr. Fanni dan para survivor lainnya, memutuskan untuk ikut rombongan pendata ke camp pengungsian, sementara ayah, ibu, Khai, ibunya Putri sekeluarga, ikut mengungsi ke rumah Bang Gade. Maka, sekitar pukul 10 pagi itu, rombongan kecil itu, bahu membahu menurunkan para survivors yang lemah [Dr. Fanni, Udin dan Ayah] ke jalan raya. Sebuah usaha yang sungguh sulit kala itu, mengingat halaman depan rumah kami, berikut jalannya, masih penuh lumpur, tumpukan reruntuhan dan mayat yang bergelimpangan di luar halaman rumah.
Usaha keras itu akhirnya berhasil tuntas [semua survivors berhasil dievakuasi], dan tinggallah rumah kami kosong melompong. Perjalanan menuju tempat pengungsian masing-masing [kelompok ayah ke rumah bang Gade, dan kelompok Dr. Fanni ke camp pengungsian] akhirnya tuntas dalam waktu yang hampir seharian. Malam kedua tsunami pun telah menanti, dengan harapan yang masih abu-abu bahkan cenderung pekat. Entahlah, serasa tak ada lagi kehidupan di bumi serambi Mekkah ini, jika melihat kerusakan yang ditimbulkan dan gelimpangan mayat di sepanjang jalan menuju pengungsian tadi. Sungguh, Maha Besar Allah dengan segala kehendak dan kekuasaaanNya. Adalah perkara one click bagi-Nya, jika Dia berkehendak untuk menghancur-leburkan tanah Aceh ini Dan itu terlihat nyata di mata mereka. Siapa yang berani membantah kenyataan ini? No one!
Rumah kami telah kosong, meninggalkan kehampaan dan aura duka yang mendalam. Aura itulah yang menyambut kepulanganku yang penuh perjuangan menembus belantara lumpur, reruntuhan dan tumpukan mayat sepanjang jalan T. Nyak Arief menuju rumah kami. Kehampaan itu semakin nyata dan sukses mengoyak hatiku, manakala aku berhasil menjejakkan kakiku di rumah tempat aku bertumbuh, yang telah 9 tahun tidak boleh aku datangi lagi.
Hari Kedua,
@Lantai Dua Rumah kami
Picture is from here with text added by Alaika |
Cahaya mentari telah sempurna kala dirinya tiba di halaman rumah. Terbelalak, adalah reaksi awal dirinya menatap pintu rumah yang telah lepas, plong! Berikutnya adalah furniture yang telah tumbang dan tumpah ruah isinya. Beberapa ikan [bandeng atau gembung?] yang terkapar tak bernyawa. Dua ekor ular yang juga telah bernasib serupa. Alhamdulillah, sapuan matanya ke sana kemari tak menemukan mayat yang bergelimpangan di dalam rumah. Lega hatinya. Dilangkahkan kakinya ke dalam seraya memanggil ayah ibu.
"Umi, Ayah! Khai pulang nih!" Diseretnya langkah kaki melawan lumpur pekat, mencapai tangga. Dibersihkannya kakinya dengan segayung air dari galon air mineral yang diletakkan di tangga. Sementara di lantai atas, ayah dan ibu menjerit histeris mendengar suara panggilan ini.
Dengan menyeret kakinya yang kian bengkak, ayah berusaha bangkit, menangis tersedu kala melihat ke bawah, ke anak tangga, si putra bungsu sedang naik ke atas. Ibu tak kalah histerisnya. Menyebut asma Allah dalam jerit bahagia, mereka berusaha menggapai Khai. Sebuah reaksi yang langsung membuat adik lelakiku itu berurai airmata. Menyadari betapa ayah dan bunda begitu kehilangan dengan ketidakhadirannya di sisi mereka. Ketiganya berpelukan, sama-sama tersedu, di balik rasa syukur karena menyadari mukjizat yang Allah berikan kepada mereka bertiga yaitu kesempatan kedua. Tangisan haru ini, tak pelak memancing linangan air mata para survivors lainnya. Selain ikut bahagia, mereka juga memanjatkan doa dan harapan, agar Allah juga berkenan memberikan kesempatan kedua bagi keluarga mereka.
Ribut-ribut itu tak urung membangunkan si kecil Wahyu. Anak cerdas ini serta merta bertanya dengan suara kecilnya. "Nenek, Oom sudah pulang ya? Ada bawa cucu?" OH TUHAN. Semua terdiam. Ibu dengan sigap menjawab.
"Oom, tokonya masih tutup ya? Kemana sih penjualnya? Apa pulang kampung dia ya? Padahal Wayu kan mau minum cucu!"
Sigap, Khai menangkap isyarat ini, dan langsung dengan tangkas menjawab. "Iya, tokonya tutup, pulang kampung yang punya tokonya. Yuk, sini Oom gendong yuk." Terenyuh hatinya melihat bocah dua tahunan ini, yang entah anak siapa. Wahyu menurut, dan langsung bersahabat dengan Khai. Berdua bocah itu, Khai menyantap sisa nasi putih yang dibawa Bang Gade tadi malam.
Tak banyak aktivitas yang bisa mereka lakukan pagi ini. Duka lara masih menyelimuti, rasa lelah juga masih tak mau pergi. Dr. Fanni terlihat berusaha untuk menguatkan diri, namun ingatan yang melayang pada anak dan suaminya, serta merta langsung memukul semangatnya kembali, sukses mengoyak duka dan mengundang riak bening di pelupuk mata. Bagaimana nasib anak-anak dan suami hamba ya, Allah. Selamatkah mereka?
Tak gampang membangkitkan kembali semangat yang sedang terpuruk. Kelesuan semakin terlihat nyata pada raut wajah setiap mereka. Hening, sendu. Hingga tiba-tiba beberapa teriakan memecahkan kebisuan itu, terdengar sepertinya dari jalanan depan rumah.
"Assalammualaikum, apa ada yang selamat di rumah ini?"
Tak menunggu pertanyaan diulang, refleks para survivors lelaki termasuk Bang Gade dan Khai serempak menjawab seraya beranjak ke teras, melongok untuk melihat sang penanya. Dan berlangsunglah tanya jawab yang kemudian diakhiri oleh naiknya mereka ke lantai dua rumah kami. Dua orang dari mereka adalah anggota Brimob [yang kantor dan asramanya terletak di belakang komplek perumahan kami], yang adalah temannya ayah Wahyu. Tiga orang lainnya adalah Warga Perumnas Lingke, yang tak jauh dari kompleks kami, yang sedang mencari anggota keluarga mereka. Berita paling menyedihkan yang mereka dapati pagi itu adalah bahwa Ayahnya Wahyu ditemukan tewas bersama kakaknya Wahyu [dengan posisi dalam dekapan sang ayah], terhimpit di samping sebuah mobil. Hiks. Air mata tak tertahankan di mata semuanya, apalagi kala mata mereka menatap si bocah cilik cerdas, yang dalam hitungan detik kemarin [ternyata] telah menjadi yatim piatu [ibunya Wahyu ditemukan tewas tak jauh dari rumah mereka/asrama].
Pembicaraan penuh keprihatinan dan pilu itu berakhir dengan keputusan untuk menyerahkan Wahyu kepada kedua anggota Brimob itu, dengan pertimbangan, akan lebih mudah bagi keluarga Wahyu [kakek-nenek atau kerabatnya] nanti dalam menemukan bocah itu, jika Wahyu diserahkan kepada instansi di mana ayahnya bekerja. Sementara jika tetap bersama ibu, maka diperkirakan akan sulit melacaknya karena kemungkinan besar ibu, ayah dan Khai akan mengungsi entah kemana. Serah terima itu disertai wanti-wanti dari ibuku [yang telah menjadi nenek angkat Wahyu selama 24 jam itu], agar menjaga Wahyu dengan sebaik-baiknya. Air mata tak tertahan, terus saja menggenangi dan merendam bola mata ibuku. :(
Udin, Dr. Fanni dan para survivor lainnya, memutuskan untuk ikut rombongan pendata ke camp pengungsian, sementara ayah, ibu, Khai, ibunya Putri sekeluarga, ikut mengungsi ke rumah Bang Gade. Maka, sekitar pukul 10 pagi itu, rombongan kecil itu, bahu membahu menurunkan para survivors yang lemah [Dr. Fanni, Udin dan Ayah] ke jalan raya. Sebuah usaha yang sungguh sulit kala itu, mengingat halaman depan rumah kami, berikut jalannya, masih penuh lumpur, tumpukan reruntuhan dan mayat yang bergelimpangan di luar halaman rumah.
Usaha keras itu akhirnya berhasil tuntas [semua survivors berhasil dievakuasi], dan tinggallah rumah kami kosong melompong. Perjalanan menuju tempat pengungsian masing-masing [kelompok ayah ke rumah bang Gade, dan kelompok Dr. Fanni ke camp pengungsian] akhirnya tuntas dalam waktu yang hampir seharian. Malam kedua tsunami pun telah menanti, dengan harapan yang masih abu-abu bahkan cenderung pekat. Entahlah, serasa tak ada lagi kehidupan di bumi serambi Mekkah ini, jika melihat kerusakan yang ditimbulkan dan gelimpangan mayat di sepanjang jalan menuju pengungsian tadi. Sungguh, Maha Besar Allah dengan segala kehendak dan kekuasaaanNya. Adalah perkara one click bagi-Nya, jika Dia berkehendak untuk menghancur-leburkan tanah Aceh ini Dan itu terlihat nyata di mata mereka. Siapa yang berani membantah kenyataan ini? No one!
Rumah kami telah kosong, meninggalkan kehampaan dan aura duka yang mendalam. Aura itulah yang menyambut kepulanganku yang penuh perjuangan menembus belantara lumpur, reruntuhan dan tumpukan mayat sepanjang jalan T. Nyak Arief menuju rumah kami. Kehampaan itu semakin nyata dan sukses mengoyak hatiku, manakala aku berhasil menjejakkan kakiku di rumah tempat aku bertumbuh, yang telah 9 tahun tidak boleh aku datangi lagi.
Rumah kosong, penuh lumpur, dengan furniture yang telah ambruk dan tumpah ruah, serta sebuah foto besar berpigura kokoh. Foto keluarga kami, yang terlihat begitu anggun dan gagah. Foto keluarga dengan pakaian tradisional Aceh, terpampang jelas menantang. Sayangnya, there is no more me in the picture! Tak ada lagi aku di foto itu. Bener sekali, aku sungguh telah dibuang, dikucilkan. Bahkan di foto pun, aku tak lagi boleh mendampingi. Jadi hanya tinggal tiga orang anak ayah dan ibuku. Z, A, dan Khai. Sementara aku? Deleted and blocked. Hiks.
~ Bersambung ~
Kisah-kisah sebelumnya bisa dibaca di sini, ya, Sobs!
Kisah-kisah sebelumnya bisa dibaca di sini, ya, Sobs!
- all about tsunami - The Survivors - Ibundaku dan Rumah
- all about tsunami: The Eleven Survivors
- all about tsunami: Hari Kedua
- all about tsunami: Gade and Me
- all about tsunami: Khai and the Genk
- all about tsunami: Khai and Perjuangan Pulang
- all about tsunami: Malam Pertama
- all about tsunami: Hari Kedua
- ........
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Minsk, Belarus, 2 Agustus 2013
29 comments
Huaaaa....Mbak, aq mewek
ReplyDeleteHiks.... :(
DeleteIya..bikin terharu bener Mak..
ReplyDeletemencoba menulis ulang semua kisah perjalanan kehidupan. :)
DeleteApa kabarnya Wahyu skrg? Semoga dia bahagia, ya.
ReplyDeleteKalau liat foto Mbak Alaika sm keluarga skrg rasanya gak menyangka, ya, bbrp tahun silam pernah mengalami kejadian tragis spt itu. Subhanallah
Semoga Wahyu sehat2 saja ya, Mbak. :) Ga pernah dengar kabarnya lagi, karena kemudian Wahyu dijemput oleh kakek dan neneknya, pulang ke kampung halaman almarhum ibunya di kota lain. :)
DeleteIya, pintu surga itu justru terbuka setelah hantaman gelombang tsunami. Selalu ada berkah di balik musibah, Mbak. :)
pengen nangis mbak, mbaca cerita wahyu..
Deletetapi syukurlah ia skrg bersama kakek neneknya.. :)
jadi pengen terus baca...
ReplyDeletepenasaraaann...
Nantikan edisi lanjutannya yaaa. :)
Deleteternyata berhasil koment to?? yey!
Deleteheummm,beberapa kali baca postingan mbk al bikin sedih,terharu... :(
ReplyDeleterangkaian tulisan ini memang senantiasa memancing haru, Mbak tanpa dibuat2, hiks. Semoga ada pembelajaran yg dpt kita petik dari sini ya, Mbak Hanna. :)
Deletesukses berlinang air mata... T.T
ReplyDeletesungguh kalian adalah para pejuang yang diberkahi-NYA, mbak...
Aamiin. Semoga juga kita dpt memetik hikmah pembelajaran dari cerita nyata ini yaa. :)
DeleteSelalu ada perasaan hanyut dalam cerita... seolah tergambar kembali kejadian yang telah lama berlalu.... saya terus menanti kelanjutannya Mbak Alaika...
ReplyDeleteTrimakasih sudah setia mengikuti artikel demi artikel ini, Mbak. Nantikan kisah selanjutnya yaaa. :)
DeleteSelalu ikut terhanyut dalam cerita, tergambar kembali peristiwa yang telah lewat (walau dulu hanya memantau lewat televisi), membaca kisah ini pikiran kembali melayang-layang ke peristiwa stunami di Aceh, Saya terus menanti episode berikutnya Mba Alaika...
ReplyDeletemasih ada rasa kesedehian ya mbak mengingat saat itu
ReplyDeleteIya, mbak Lidya. :(
DeleteAduh mak, sedih banget itu si Wayu. Kasihan sekali ya. Jleb banget itu istilahnya "One Click". Ntar ada cerita dokter Fanni itu kah?
ReplyDeletebagian selanjutnya, aku bayangkan akan lebih sedih lagi. Sebab bagian selanjutnya sepertinya adalah tentang dirimu yg pulang. Ending kisah kali ini pernah mbak Al ceritakan.
ReplyDeletethere is no more me in the picture!
Membayangkan perasaanmu saat melihat kondisi rumah, membayangkan keselamatan anggota keluarga dan melihat kenyataan bahwa dirimu sudah tak ada di rumah itu, pasti campur aduk ya mbak.
Sebelum lanjut baca, salam kenal dulu yaa
ReplyDeletetragedi tsunami memang sangat memilukan ya cutkak. saya juga merasakannya
ReplyDelete:'( yg terakhirnyaa bikin sedih banget ka..
ReplyDeletetapii bersyukur banget yah ka, keluarga kaka selamat semuaaaa..
hy lam kenal dri ku andi
ReplyDelete08196642100
alah mbak nyong melu sedih
ReplyDeleteMewekk sumpahh
ReplyDeleteSedih sekali membaca tiap rangkaian ceritanya Mba'.. 😢ðŸ˜
ReplyDeleteMbaaak, kisah selanjutnya tak ada kah? ðŸ˜
ReplyDelete