Bocah Lugu dan Lusuh itu...


Dear sobats maya….

Sebenarnya ingin posting tentang pertemuan pertama (KopDar) ku dengan mba Lydia yang terjadi hari Minggu kemarin, yang terjadi tanpa perencanaan khusus, yang informasinya telah tayang terlebih dahulu oleh mb Lydia di rumah mayanya.

Namun sebelum mulai menulis, mataku menangkap sebuah update postingan sahabat yang terpampang ‘menantang’ di pojok kanan ‘my virtual corner’ ku. 

Serta merta ku klik link itu dan sim salabim abracadabra, tibalah aku di rumah maya milik mbak Mugniar. Tulisan tentang pengemis yang diulasnya begitu menginspirasi, membuatku jadi ikutan ingin menuliskan sebuah kisah yang pernah kualami saat aku masih duduk di kelas satu SMA puluhan tahun yang lalu… (wuih, puluhan tahun gitu lho). Yup, sekitar tahun 1986 – 1987 an gitu deh.

here is the story.....

Kala itu, aku baru saja pulang kursus Matematika di kompleks Mesjid Raya Baiturrahman. 
Jangan heran lho sobs, di bagian belakang Mesjid raya kebanggaan masyarakat Aceh ini, tersedia sederetan ruangan yang dimanfaatkan sebagai tempat pembelajaran (menerima kursus Matematika – IPA), selain itu juga ada satu bagian yang dijadikan sebagai ruang siar-nya radio Baiturrahman, Banda Aceh.

Aku ga tau persis apakah saat ini tempat kursus itu masih berlanjut disana atau tidak sih, tapi lets back to topic yuk…

Sore itu, dengan perut lapar setelah sekian lama terbenam dalam berbagai rumus dan hitungan… (ya iyalah, namanya aja kursus matematika kan sobs?), berjalanlah aku ke pangkalan Damri, yang selalu setia menjadi kendaraan kebesaranku ke sekolah, tempat kursus ataupun tempat-tempat regular lainnya. Kuyakin wajahku saat itu pasti sangat lusuh dan sama sekali tidak menarik. :)

Selain lelah, aku juga kesal karena sendirian. Teman yang biasa selalu ‘mengembara bersama' sedang sakit sehingga absen kursus, bahkan juga ga masuk sekolah. Jadilah aku terpaksa berjalan seorang diri.

Berharap diantar ayah? Wah, itu mah suatu kemewahan dan keajaiban sobs, jika memang terjadi. (Ada sih, jika hujan misalnya, atau kala ayah sedang benar-benar terenyuh hatinya melihat anak gadis satu-satunya ini terlalu lelah menuntut ilmu, cieee). Tapi seperti kusebutkan diatas, itu adalah suatu kemewahan yang jarang sekali terjadi.

Ok, baik, back to topic Alaika, jangan ngawur!!

Nah, ketika berjalan itulah, seorang anak kecil sekitar 8 tahunan mendekatiku dengan kaki sedikit pincang. Pakaian lusuh dan wajah memelasnya sungguh berhasil memancing rasa ibaku bahkan sebelum dia bicara. Dan benar saja, begitu dia buka suara, rasa iba itu memang langsung  melorot ke tanah. hiks..hiks.

Percakapan aslinya dalam bahasa Aceh, yang demi kemudahan para sahabat memahaminya, let me translate it for you in bahasa yaa…

‘Kak…. Tolong bantu saya…Ibu saya hilang di tengah pasar… ga tau kemana? Udah nyari dari tadi…' sambil menangis.

Kaget dan iba, aku merespon. Apalagi kondisinya yang tidak begitu sempurna (cacat kakinya).

'Lho, kok bisa ilang? Emang kamu kemana tadi? Ga nguntit ibu ya?  main-main ya?'

bocah lusuh itu mengangguk. Lanjutku..

'Terus kamu tau alamat rumah kamu? Kamu tinggal dimana?'

Mengangguk lagi, dan berkata…

‘Rumah kami di Lhok Nga, tapi saya ga punya uang sikit pun kak…’ 

Menangis lah sibocah. Aku sungguh prihatin, teringat adik sendiri yang seumur bocah itu.. jangan sampai adikku mengalami hal seperti ini ya Allah, batinku.

‘Ya udah, jangan nangis, ini kakak kasih uang, tapi kamu yakin berani pulang sendiri? Apa mau kakak antar?’ 

Hilang sudah rasa laparku, terganti sempurna oleh rasa prihatin akan nasib si bocah. Kuyakin ibunya juga pasti sedang gelisah dan panik menyadari anaknya tak lagi bersamanya…

‘Saya berani pulang sendiri kak, tapi ga punya uang, saya pernah pulang sendiri kok…’ katanya.

Kuulurkan 5 ribu rupiah (tahun 1986-1987 angka ini lumayan gede lho sobs). Itu juga uang tabunganku tuh.

Sumringah si bocah menerima uluran tanganku, disambarnya dan berlari ceria. Sejenak aku terpana, dan akal sehatku reflex mengingatkan bahwa seharusnya orang pincang tak akan bisa berlari kencang dan sesempurna itu.

Kurang ajar! (maaf sobs, kata inilah yang langsung muncul dikepalaku saat itu). Penipu. Tak tunggu lama, syaraf di otakku segera memerintahkan kakiku berpacu. Kukejar dia kencang, dan berhasil menjangkau kerah belakang baju lusuhnya itu. Maka, berhadapanlah dia dengan seekor singa yang begitu marah karena ditipu.

Aku sampai lupa keadaan sekelilingku sobs, entahlah berapa pasang mata yang menatap kami terheran… tapi tak satupun yang mencegah perbuatanku. Kurenggut kembali uang 5 ribu perakku itu. Kusentak kerah bajunya seraya menyemburkan bara api dari mataku. Kurang asem benar ini bocah. Berani-beraninya menipuku.

Setulus hati aku menolongnya tadi, eh ternyata hanya menipu belaka. Tentu aku tak memukulnya sobs, sejak kejadian itik yang malang dulu itu, ayah telah cukup membekali diriku untuk tidak sampai menjatuhkan tanganku pada siapapun, apalagi sampai melayangkan jiwa seseorang. Dosa besar! Itu yang selalu melekat di benakku setiap emosiku mulai menggelegak.

Maka si bocah, tak lah ku pukuli, hanya kusoroti dengan tatapan api membara sambil mulutku tak henti meracau. 

‘Ayo kita ke kantor polisi! Tempat kamu tuh di penjara, biar tau kamu gimana rasanya kalo jadi orang jahat, jadi penipu!’ 

berondongku, yang disetujui dan diperkuat oleh beberapa orang yang sedari tadi menonton atraksiku. Hehe.

Si bocah jelas ketakutan. Minta ampun, memohon dan memelas. Akhirnya setelah kumarah-marahi dan mengancamnya bahwa dia tak boleh lagi terlihat di mataku, kulepas anak itu.

'sana pergi, awas kalo kamu masih berkeliaran di sini besok-besok ya, saya bawa ke kantor polisi. Ga ada ampun lagi!'

'Iya kak…', lalu berlari. Menghilang. 

Perutku kembali lapar sobs, tapi lega rasanya telah memberinya pelajaran. Kecil-kecil sudah mengemis. Huft.

Well sobs, itulah sekelumit kisah yang pernah kualami puluhan tahun silam, yang tiba-tiba saja berkelebat di pelupuk mata saat aku berkunjung ke rumah mayanya mba Mugniar, yang sedang menyajikan postingan tentang para pengemis dan tingkah polahnya.

Catatan kecil yang kuharapkan setidaknya mengandung sebuah hikmah.

Saleum,

Alaika..

10 comments

  1. prihatin bgt ya.. kecil2 udah nipu gitu.. moga2 stlh di galakin mbak Alaika jd kapok tuh dia..

    ReplyDelete
  2. @ke2nai

    iya mba, sungguh memprihatinkan.... Mudah2an ada berkahnya ya setelah kugalakin... hehe

    Jangan-jangan dia telah terkena musibah tsunami? Wallahualam.... :(

    ReplyDelete
  3. Kalau aku pernah di samperin seorang ibu (ini salah satu dari sekian kisah bertemu pengemis dengan beragam cara dan storynya utk mendapatkan simpati). Saat itu aku hendak menyeberang jalan raya yg padat merayap di surabaya. Tiba-tiba ada seorang Ibu minta uang. Spontan aku kaget plus takut, lha saat itu jam 9 malam. Dia minta uang utk ongkos pulang ke Madiun katanya. Ta kasihlah uang 10 rb...mksdku utk sekedar membantu krn aslinya aku jg merasa 'aneh' dengan org tsb, ( kalau siap berangkat long trip aku hanya naruh uang cash secukupnya sj biar aman.

    si Ibu itu bilang kurang dan minta lagi..
    Ta jwb kalau aku justru akan ke Banyuwnagi dan uangku pas. Dan aku buru2 menyeberang...takuuuttt

    ReplyDelete
  4. salam kenal mbak. Memang sebel ya, ketemu kasus kaya' gitu. Aku juga liat2 dulu kalo mau ngasih, itu juga setelah beberapa kali ketipu..

    ReplyDelete
  5. Wah ... salut mbak cepat benar. Semalam itu saya sudah off.
    #Terharu juga nama saya mejeng di atas#

    Saya kalau mengalami hal spt itu dongkol juga mbak. Sebel sekali kalau ketulusan dibalas dengan 'air keras' begitu.

    Memprihatinkan ya. Masih kecil sudah bisa menipu. Sy membayangkan kalau anak itu tetap seperti itu, sekarang bagaimana jadinya ... :(
    Mudah2an saja dia berubah setelah ditangkap sama mbak Alaika.

    #Membaca ini sambil membayangkan mbak Alaika yang kembali lapar setelah memberi pelajaran :D#

    Btw, makasih ya mbak sudah dicolek dan dimensyen di sini :)

    ReplyDelete
  6. aku pernah juga tuch...ibu2 yang melas minta uang katanya mo pulang kehabisan ongkos...ya udah aku kasih uang...ehh tp beberapa hari kemudian ketemu lg sama ibu itu dan minta uang lagi dgn alasan yg sama...akhirnya ngga aku kasih krna trnyata dia penipu......

    Trus pernah juga ektemu lg sama ibu itu di masjid waktu sholat magrib...dan dia minta uang sm orang disebelahku....ya ampunn...trnyata itu modus si ibu utk cari uang...

    ReplyDelete
  7. wadoh, saya pernah ketipu gak ya ??? hmm .... bentar ya mba pikir2 dulu, tp kayanya blm deh :D

    ini sulitnya membedakan yg nipu dan yg asli, kasihan kan kl yg bener2 membutuhkan terus kita kira mau nipu, tp gimana bedainnya ya :D

    ReplyDelete
  8. sering mbak menemui ygseperti ini dulu waktu kerja, nenek2 gitu aku kan kasihan tapi ternyata ya gitu deh bohong

    ReplyDelete
  9. waduh :o
    anak kecil penipu! kecil-kecil penipu~
    wahhhh- nggak nyangka, mbak Al sigap juga larinya :P

    ReplyDelete
  10. Jujur ya mbak... aku gak sangka mbak Al sampai nekad ngejar anak itu dan merebut kembali uang 5 ribunya. Sungguh, hal yg sama sekali tak terpikirkan olehku jika itu terjadi padaku. Paling aku hanya merasa kesal setengah mati dan menyesal telah tertipu... tanpa berani mengejar si penipu itu.
    Salut deh dg keberanian mbak Al... hehehe

    ReplyDelete