𝕊𝕖𝕝𝕒𝕤𝕒, 𝟚 ℕ𝕠𝕧𝕖𝕞𝕓𝕖𝕣 𝟚𝟘𝟚𝟙.
Pagi itu, aku masih di Bandung dan sama sekali tak ada firasat berarti yang hadir mengganggu. Agendaku pagi itu adalah handling urusan administrasi kependudukan yang masih processing di kelurahan tempat tinggal lama, dilanjut dengan jadwal talkshow sebagai salah satu narasumber untuk acara Gerakan Nasional Literasi Digitalnya Kominfo, yang mana aku kebagian jadwal siang hari (13.00 wib - 16.00 wib) untuk talk show-nya.
Dan karena sedang berurusan di luar rumah plus nanggung juga untuk kembali for the show, maka aku putuskan untuk melakukan webinarnya itu di luar rumah. Janjian sama Nchie Hanie, karena sohib yang satu ini hapal bener cafe mana yang asyik untuk menjadi lapakku connecting to the zoom call dan berpartisipasi di dalam acara tersebut.
As usual, cafe pilihan Nchie emang apik dan nyaman banget untuk show, dan sepi pula! Sehingga agendaku menjadi salah satu pembicara di acaranya Kominfo tersebut berjalan lancar, menyenangkan (as usual), plus memberi nuansa tersendiri bagiku. I was so happy!
Sejauh itu, tetap saja tak ada firasat buruk, hanya saja di tengah show itu, ada telepon masuk dari Aceh. My mom was calling, bukan untuk sesuatu yang urgent, hanya karena Ahmed, ponakan imut yang adalah putra dari adik bungsuku sedang bermain dengan riang gembiranya bersama ayahku. Ibu ingin memperlihatkan kegembiraan ayah dan Ahmed di siang itu.
Image source: Canva Pro |
Sayangnya, HP-ku justru sedang aktif untuk Zoom call, sehingga aku menunda video-callnya, hanya bicara sekilas saja, memberi tau ibu bahwa HP-ku sedang aktif untuk Zoom call. Lagi pula, toh besok sore aku sudah berada di Banda Aceh, dan akan ketemu langsung serta stay bersama ayah dan ibu untuk beberapa waktu.
Ah, andai saja aku tahu bahwa saat itu adalah saat terakhir aku bisa melihat ayah dan berbicara langsung untuk terakhir kalinya dengan beliau! Pasti tak akan kutunda video-call itu.
Ah..., Tuhan.... hiks.... It is so pain, still pain, and truly painful. Andai saja aku tau...😭😭😭
Ini adalah cerita tentangnya. Tentang seorang lelaki baik yang tak perlu disandingkan apalagi dibandingkan dengan lelaki lain di dunia ini. Karena bagiku, lelaki baik ini adalah the best man in the world, for me, for my mom, my brothers, and of course for my daughter Intan. Namanya kusemat abadi di belakang namaku, baik nama virtual mau pun namaku yang sesungguhnya, to show him how grateful I am to be his daughter, dan juga sebagai kebanggaanku memilikinya sebagai ayahku.
Lelaki baik ini, kini telah tutup usia. Meninggalkan kefanaan dunia dan pindah ke alamnya yang baru. Tiada lain yang bisa kami sertakan dalam mengiringi kepergiannya, hanya doa, agar Allah mengampuni segala salah dan khilafnya, melimpahkannya pahala atas segala kebajikan yang beliau hadirkan semasa hidupnya, dan semoga Allah kini memberinya kesenangan, kebahagiaan, kenyamanan, kedamaian, dan cahaya yang nyaman di alamnya yang baru. Husnul khatimah untuknya ya Allah 🙏 #mencoba ikhlas, walau hati merintih...,
Bapak, kenapa sih ga nunggu sampai besok, sampai aku tiba di hadapanmu, dan bisa mengantarmu pergi. Hiks...
𝕊𝕖𝕟𝕪𝕦𝕞𝕒𝕟 𝕀𝕥𝕦...,
Menghembuskan napas terakhirnya beberapa saat setibanya di rumah sakit. Membuat semua yang mengantarnya ke sana (Ibu, kedua adik dan istri mereka) terpana, tak menyangka, jika Allah ternyata malah mengutus Izrail untuk 'menidurkan' ayahku di malam itu.
Untungnya sang malaikat maut begitu santun dan welas asih dalam bertugas sehingga (menurut penuturan adikku yang menyaksikan kepergian ayah), beliau pergi dalam keadaan begitu damai. Tersenyum, layaknya orang yang sedang tidur. Masyaallah. Rest in Peace, Daddy. Trims, Izrail.
Ayahku, yang dua kali lolos dari gelombang maut dan dasyat tsunami yang menggulungnya kala itu, justru tak selamat kali ini. Ah, ajal..., tak satu pun dari kita yang mampu memprediksi deadlinenya, right?
Lalu, apa kabarku malam itu? Yang sedang dalam shuttle bus menuju bandara Soetta, dan terbang ke Aceh esok dini hari demi bertemu ayahku?
Aku terhempas, tertampar, dan tak kuasa menahan tangis. Nanar mataku membaca tulisan adikku, "Kak, Andri, bapak ka geutinggai geutanyoe." Yang artinya Kak, Andri, bapak sudah meninggalkan kita (meninggal dunia). Sesaat sesampai di rumah sakit. Oh Tuhan....
Tujuan ibu dan adik-adik membawamu ke rumah sakit adalah untuk mendapatkan infus, agar dirimu kembali bertenaga, Yah, karena kami yakin bahwa ayah baik-baik saja, hanya stamina yang drop.
Bagai tanggul yang pecah, ku tak kuasa menahan air mata. Lelaki berjiwa besar nan sangat pemaaf itu, panutanku itu, yang pundaknya selalu ada sebagai tempatku menumpahkan air mata, kini telah pergi. Tepat pada Selasa, 2 November 2021, pukul 23.31 wib. Tuhan...., Engkau panggil dia kembali kepada-Mu tepat 5 hari sebelum hari kelahirannya.
Baca juga: 𝕌𝕟𝕥𝕦𝕜𝕞𝕦 𝔸𝕪𝕒𝕙, 𝔾𝕠𝕠𝕕𝕓𝕪𝕖 𝕄𝕪 𝕃𝕠𝕧𝕖𝕝𝕪 𝕆𝕗𝕗𝕚𝕔𝕖.
𝔸𝕝𝕝𝕒𝕙 𝕒𝕟𝕕 𝕥𝕙𝕖 𝕌𝕟𝕚𝕧𝕖𝕣𝕤𝕖 ℍ𝕒𝕧𝕖 𝕆𝕦𝕣 𝔹𝕒𝕔𝕜!
Usai menerima kabar duka, semua berlangsung begitu cepat. Ada dua manusia lainnya yang juga shock mendapati kabar ini, yaitu adikku yang tinggal di Depok, dan Intan, putriku yang tinggal di Jakarta Selatan. Keduanya bergerak cepat. Dan Alhamdulillah, Allah always has our back! Ini yang selalu aku katakan kepada Intan, dan Allah memang selalu ada untuk kami, dan kita semua?
Yes, tengah malam itu, walau dalam keadaan duka lara, berhasil mendapatkan klinik yang masih buka untuk lakukan antigen test. Dan syukurnya lagi, per hari itu, 2 November 2021, peraturan wajib swab test untuk calon penumpang pesawat terbang sudah berganti ke (cukup) antigen test saja. Alhamdulillah.
Intan berhasil antigen test dan mendapatkan tiket pesawat untuk penerbangan paling awal ke Banda Aceh esok harinya. Begitu juga dengan adikku, Andri. Dan di tengah duka lara ini, Allah tetap menguatkan kami dengan mengijinkan kami terbang dalam pesawat yang sama. Masyaallah. Alhamdulillah ya Allah, thank you, thank you, thank you.
Suatu hal yang rasanya sulit diperoleh, apalagi di masa mendesak seperti malam itu. Bisa mendapatkan antigen test di tengah malam buta, lalu mendapatkan tiket untuk penerbangan paling pagi, dan ternyata justru Allah mempermanis hasil dari upaya ini, melipur duka lara ini dengan menempatkan kami di dalam satu pesawat, sehingga bisa melalui berita duka ini dalam kebersamaan. Alhamdulillah ya, Allah. Again, thank you, thank you, thank you.
𝕊𝕖𝕝𝕒𝕞𝕒𝕥 𝕁𝕒𝕝𝕒𝕟, 𝔹𝕒𝕡𝕒𝕜
Banda Aceh, 3 November 2021.
Kami sudah ditunggu oleh Bang Taufit, di bandara international Sultan Iskandar Muda. Kakak angkatku ini dengan setia telah menanti kedatangan kami sekitar sejam yang lalu, dan begitu urusan ambil bagasi selesai, kami bertiga langsung dilarikan Bang Taufit untuk segera tiba di rumah (duka).
Suasana mengharu biru kala kami tiba di rumah.
Haru, duka, dan kesedihan mendalam menyatu, menyergap relung hatiku, yang kuyakin juga menerpa Andri dan Intan. Walau di pesawat tadi telah banyak air mata yang mengalir deras, namun kini, justru mengalir semakin deras.
Apalagi ketika kami masuk ke ruangan tengah di mana jasad ayahku dibaringkan. Ah, bertatapan dengan ibu sungguh mengoyak hatiku. Runtuh pertahananku. Air mataku menghambur, memecah belah tanggul pertahananku. My strong mom was standing, menatapku sejenak, kami saling berpelukan, lalu bergerak cepat ke tempat jenazah dibaringkan. Karena tidak ingin memperlama prosesi pelepasan tubuh ayah kembali ke asalnya.
Ah, sungguh, tak kuat hamba ya, Allah. Lelaki baik itu kini terbujur kaku. Diam, beku dengan seluruh tubuh dan wajah sudah terbungkus oleh kain kafan. Piluuu.... Dad, why do you leave so fast? I still wanna hug you and talk to you!
Kami berkumpul di sekeliling jasad ayahku, bergabung dengan pak ustadz yang adalah juga sahabat ayahku, sedang menunggu kedatangan kami.
"Alhamdulillah, kini seluruh anak dan cucu almarhum Pak Abdullah sudah berkumpul, dan apakah kita perlu membuka penutup wajah agar pihak keluarga bisa mengucapkan selamat jalan kepada almarhum?"
Kami hanya mampu mengangguk, tak kuasa mengeluarkan suara, bahkan untuk berkata, "Iya, Pak Ustadz."
Kelu. Kuyakin, rasa yang sama juga hadir dan menguasai hati ibu, dan ketiga adikku serta Intan.
𝕃𝕖𝕝𝕒𝕜𝕚 𝕓𝕒𝕚𝕜 𝕪𝕒𝕟𝕘 𝕥𝕖𝕣𝕥𝕚𝕕𝕦𝕣 𝕡𝕦𝕝𝕒𝕤 𝕕𝕖𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕤𝕦𝕟𝕘𝕘𝕚𝕟𝕘𝕒𝕟 𝕤𝕖𝕟𝕪𝕦𝕞𝕒𝕟 𝕕𝕚 𝕓𝕚𝕓𝕚𝕣.
Aku tak mampu menggambarkan suasana ketika pak ustadz membuka bagian penutup wajah ayahku. Kuyakin teman-teman yang sudah pernah mengalami kehilangan orang-orang terkasih, hapal benar gimana rasanya momen ini, right?
Air mata semakin tak terbendung. Bahkan juga dari ketiga pasang mata adikku. Walau cowok, terdengar jelas isakan tangis mereka. Apalagi aku, ibu, dan Intan. Ah, bapak, kami mengikhlaskan bapak pulang ke pangkuan-Nya, tapiiii....,
Satu persatu kami dipersilahkan mencium ayah untuk terakhir kalinya, mengucapkan selamat jalan baginya. Dan sungguh...., bukannya aku cengeng, tapi memang cengeng sih..., rasanya aku sulit sekali melepaskan wajahku dari wajah ayah. Kuciumi beliau begitu lama, karena berdialog dengannya dari lubuk hatiku yang terdalam.
Bapak, terima kasih untuk seluruh jasamu dalam membesarkanku, mengajarkanku banyak hal sebagai bekal dalam kehidupanku, menjadikan role model bagi kami, dan ah, you are the best! Aku belum ingin melepaskanmu pergi, tapi siapa aku hingga berani-beraninya melawan DIA, Sang Maha? Pergilah, Bapak, I consider that you just moving to another world. Kita masih akan berkomunikasi kan?
Tangan salah satu adikku menyentuh pundakku, memintaku untuk bergeser dan memberi peluang kepada Intan untuk saying goodbye to her grand daddy. Sama seperti aku, anak gadis yang jarang sekali menangis ini pun terisak. Mencium kakeknya dan mungkin juga berdialong dari lubuk hatinya yang terdalam. Terlena dalam wajah teduh sang kakek, hingga harus juga disentuh pundaknya untuk bergeser demi memberi kesempatan pada para cucu lainnya saying goodbye. Ah, kini aku tau persis perihnya rasa kehilangan itu.
ℝ𝕖𝕤𝕥 𝕀𝕟 ℙ𝕖𝕒𝕔𝕖, 𝔹𝕒𝕡𝕒𝕜.
Tanah tempat peristirahatan terakhir ayah tidak terlalu jauh dari rumah. Bahkan masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. Ah, Alhamdulillah. Allah memang always has our back. Allah tuh sayang sama bapak. Bukan hanya diberikan lokasi rumah baru yang berdekatan dengan rumah adik-adikku, tapi juga ternyata dekat juga dengan lokasi TPU (Tempat Pemakaman Umum) yang ternyata diperuntukkan untuk ayah, sehingga ibu dan kami bisa mengunjunginya sesering mungkin. Ah, Alhamdulillah ya, Allah. Thank you, thank you, thank you.
Dan tak terasa, hari ini, saat tulisan ini published, adalah hari ke 47 kepergian ayahku. Dan Alhamdulillah, karena rumah terakhirnya begitu dekat, kami begitu konsisten dan dengan sukacita mengunjunginya setiap hari, membacakan surah Yasin untuknya, di samping pusaranya. Alhamdulillah.
Dan..., ini adalah pencapaianku yang luarbiasa, membaca Yasin setiap hari tanpa putus, selama 47 hari dengan hari ini. Alhamdulillah. Rasa cinta kepada ayahku, menciptakan konsistensi yang menakjubkan. OMG. That is the beauty of love!
Selamat jalan bapak, kami berusaha ikhlas, walau butuh waktu untuk menghentikan aliran air mata ini.
Istirahatlah dalam damai, di taman indah alam barzakh.
Tempatkan ayahku di syurgamu kelak, ya Allah. Dan beri ayahku tempat yang nyaman, tenang, dan damai baginya kini di alam kuburnya. Aamiin ya Rabbal Alamin.
In Memory of My Amazing Dad
Day 47 - 19 December 2021