|
gambar pinjem dari buku ini |
Dear sobs…
Postingan ini adalah lanjutan dari kisah rehab rekon Aceh – Nias pasca tsunami yang telah tayang pada postingan ini dan sesuai janji, kali ini aku akan coba untuk bercerita segamblang mungkin, tentang proses rehab rekon bidang perumahan, yang pastinya adalah merupakan topic yang sudah sobats tunggu-tunggu, iya kan? Hehe.
Data mencatat bahwa hasil kolaborasi antara gempa bumi berskala 9,1 SR dan gelombang tsunami setinggi pohon kelapa itu telah membuat wilayah ini porak poranda dan menjadikan masyarakat yang tersisa (para penyintas) harus hidup dalam derita. Kehilangan belahan jiwa dan orang-orang terkasih, handai tolan, tempat tinggal, dan lingkungan sekitar. Bencana ini juga sukses menjadikan mereka kehilangan mata pencaharian dan memusnahkan asa…
Tercatat 139.195 (seratus tiga puluh Sembilan ribu seratus Sembilan puluh lima) rumah yang hancur, rusak dan tidak layak lagi untuk ditempati. Yup, tentu ini bukan sebuah angka biasa. 139.195 buah rumah harus dibangun atau rehab!
Dan siapa yang berani bilang bahwa ini adalah hal yang gampang? TIDAK ADA! Semua orang tau bahwa urusan mencari dan mempersiapkan tanah, mendata calon penerima manfaat, membangun rumah dan segala prasarana, termasuk tata ruang yang dibutuhkan untuk membangun permukiman dan menempatkan para korban bencana ke rumah-rumah tersebut, adalah merupakan pekerjaan maha berat.
Lalu darimana memulainya?
Tiada pilihan lain. Bumi yang porak poranda, kerusakan yang luar biasa dan kehilangan serta rasa sakit yang diderita, membuat insan-insan yang tersisa ini harus pasrah, kalo tidak boleh dibilang putus asa. Manut dan berterima kasih atas uluran tangan para penolong yang Tuhan kirimkan kepada mereka.
Sebagai tempat berlindung darurat, tenda-tenda pun didirikan sebagai tempat perlindungan sementara bagi para penyintas. Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, bahan tenda jelas tidak berumur panjang dan cepat lapuk akibat hujan dan panas. Oleh karenanya, penting untuk mencarikan alternative tempat tinggal lain bagi para penyintas.
|
sumber gambar koleksi pribadi |
Shelter dan Barak, kemudian menjadi alternative bagi para penyintas untuk beralih dari tenda. Departemen Pekerjaan Umum, juga beberapa NGO pun bergegas menyediakan dana serta membangun barak dan shelter, sementara pemerintah daerah (pemda) sigap mencarikan lokasi untuk lahan berdirinya barak dan shelter untuk para pengungsi.
Tentu kedua tempat berteduh ini adalah diniatkan untuk sementara waktu saja. Sebagian barak dan shelter berdiri di atas tanah milik pemerintah, baik pemda, Tentara Nasional Indonesia atau pemerintah pusat, dan sebagian lagi di atas tanah milik warga atau yayasan pesantren.
Beberapa LSM ikut berpartisipasi dalam mendirikan sejumlah barak. Barak tidak hanya dilengkapi dengan fasilitas fisik seperti sanitasi, tetapi juga fasilitas sosial dan kemanusiaan. Pada Desember 2006, jumlah titik barak menjadi 190 titik.
Pengelolaan barak dan shelter berada di bawah manajemen pemerintah daerah. Tanggung jawab operasional barak secara khusus berada di bawah muspika masing-masing kecamatan yang terdiri atas camat, danramil dan kapolsek. Camat melaporkan kepada bupati atau walikota untuk hal-hal yang tidak mampu diatasi. Gubernur sebagai kepala daerah bertanggung jawab kepada Menteri Sosial terkait dengan penanganan barak secara keseluruhan.
Departemen Sosial mengalokasikan bantuan kehidupan yang kemudian familiar dengan istilah ‘jadup’ (jatah hidup) mencakup biaya beras, lauk pauk dan makanan tambahan. Bagi para pengungsi korban tsunami, hingga istilah ‘jadup’ menjadi begitu akrab di telinga dan mungkin kelak akan tetap setia menempel di benak mereka..
Seringkali penghuni barak tidak sepenuhnya adalah warga yang sebelumnya tinggal di tempat barak tersebut berada. Lokasi barak tidak selalu mencerminkan lokasi asal penghuninya. Selain itu, terdapat barak-barak yang tidak terletak di daerah tsunami, jauh dari daerah bencana, seperti di Jantho, Samahani dan Sibreh di Aceh Besar yang dihuni sebagian besar oleh pengungsi dari Aceh Jaya.
|
gambar pinjem dari sini |
Luasnya wilayah bencana, besarnya kerusakan infrastruktur, dan lumpuhnya aparat pemerintahan setempat, membuat penanganan barak pun berbeda-beda antara satu kecamatan dan kecamatan lain, masing-masing melakukan improvisasi. Sejumlah barak menerima banyak bantuan, sebagian lagi justru kekurangan. Kualitas kehidupan di barak menjadi sangat tergantung pada kemampuan ketua barak dalam berkoordinasi dengan camat dan berbagai upayanya dalam mencari bantuan dari berbagai pihak. Di sisi lain, sebagian barak menyuburkan sikap bergantung pada bantuan. Belakangan seiring berjalannya waktu, sanitasi, privasi, dan fasilitas anak di beberapa tenda maupun barak pun dinilai kurang layak huni.
|
gambar pinjem dari sini |
Menyediakan ratusan ribu rumah bagi para korban tsunami bukanlah hal yang mudah. Apalagi tragedy ini bukanlah tragedy yang lazim terjadi, bahkan boleh dibilang sebagai hal yang sangat jarang terjadi, sehingga belum ada pembelajaran atau lesson learnt yang dipetik, yang dapat dijadikan guide atau petunjuk dalam rangka membangun kembali sekian banyak rumah bagi para korban bencana seperti ini. Singkat kata, para pelaksana rehab rekon harus bekerja tanpa panduan yang kongkrit!
Mereka harus bisa menyediakan ratusan ribu rumah bagi para korban dalam waktu 4 tahun! Menganut konsep ‘build back better’ atau membangun kembali yang lebih baik. Maka bidang perumahan dan permukiman pun harus menerapkan hal yang sama. Perumahan yang dibangun, tidak asal bangun, tapi harus rumah yang layak, lebih baik dan tahan gempa.
Darimana dan bagaimana memulainya? Siapa saja yang akan mendapat bantuan? Para korban yang rumah miliknya hancur atau rusak saja kah? Lalu bagaimana dengan para penyewa, yang rumahnya hancur juga? Bantuan seperti apa yang harus diberikan kepada mereka? Akankah si penyewa mendapatkan rumah juga? Lalu si pemilik rumah yang disewa itu bagaimana? Digantikah rumahnya? Dan berbagai pertanyaan yang saling susul menyusul.
Data yang tidak valid dan masih tumpang tindih, adalah kenyataan yang berada di depan mata, dan membutuhkan kerja keras untuk mengurut kembali sehingga data yang tersaji untuk pemenuhan jumlah rumah yang harus dibangun/rehabilitasi adalah sesuai dengan yang dibutuhkan. Agar para korban benar-benar mendapatkan haknya.
Pendataan calon penerima bantuan perumahan dilakukan melalui pendekatan berbasis masyarakat desa, karena merekalah pihak yang paling memahami dan tau persis siapa (korban) yang berhak menerima bantuan serta tempat tinggalnya sebelum terjadi bencana.
Setiap anggota masyarakat yang merasa sebagai korban bencana aktif mendaftarkan diri ke KP4D (Komite Percepatan Pembangunan Perumahan dan Permukiman di Desa) untuk didata dan diverifikasi serta divalidasi. KP4D merupakan kelompok masyarakat korban di tingkat desa dengan anggota dari unsur2 perangkat desa dan tokoh masyarakat desa terkait. KP4D sendiri melakukan pendataan secara aktif terhadap korban dan kelayakannya untuk mendapatkan bantuan. Hasil akhir proses ini adalah berupa daftar korban yang berhak menerima bantuan perumahan.
Daftar ini kemudian diumumkan di tempat-tempat tertentu sebagai bentuk uji public dan selanjutnya dilaukan rembuk warga dengan melibatkan sebanyak-banyaknya warga masyarakat. Dengan cara ini diharapkan bahwa para calon penerima rumah bantuan adalah benar-benar penyintas dari warga setempat yang dikenal oleh masyarakat luas di desa yang bersangkutan.
Proses ini kemudian diakhiri (jika sudah valid di tingkat desa) dengan finalisasi data yang disahkan oleh geuchik (kepala desa), tuha peut, KP4D dan camat masing-masing wilayah.
Data yang telah dihasilkan ini, kemudian akan diverifikasi lagi oleh petugas dari Komite Verifikasi dan Penertiban Penerima Manfaat Bantuan Perumahan (Komvertib). Komite ini bertugas untuk verifikasi ulang dan penertiban terhadap dugaan-dugaan adanya penyimpangan penerimaan bantuan.
BRR NAD – Nias, memang telah berupaya melakukan tahapan dan verifikasi berlapis, untuk melindungi para korban mendapatkan haknya, dan menghindarkan adanya orang-orang yang mendapatkan apa yang tidak menjadi haknya.
Namun…. Seperti yang telah kita ketahui bersama, banyak temuan mengungkapkan bahwa ada penduduk yang bahkan mendapatkan bantuan rumah yang berlebih! Bahkan ada penerima bantuan yang mendapatkan rumah, padahal dia sama sekali bukan korban tsunami!
How can it be? Siapa yang harus disalahkan? Para pelaku rehab rekon kah? Atau para pendata level desa? Sebagai orang-orang yang paling tau siapa yang korban dan siapa yang bukan?
Tentu sobats dapat menjawabnya sendiri dengan logika. Di tengah kesempitan yang begitu menjepit, masih ada penguasa di level bawah sana, yang tega mengambil kesempatan! Memanipulasi data. Masyaallah.
Lalu apakah BRR tinggal diam menemukan kecurangan-kecurangan ini? Tentu tidak. Para oknum yang terbukti menyalahi aturan (mendapatkan bantuan yang bukan haknya), telah dilaporkan ke kepolisian untuk tindakan lebih lanjut.
BRR dan para pelaku rehab rekon lainnya, tak hanya melibatkan masyarakat desa terkait dalam hal verifikasi data beneficiaries, tapi juga berusaha merangkul masyarakat untuk turut serta dalam berbagai aktifitas lainnya, seperti penataan ruang desa, perencanaan prasarana dan sarana dasar pada kawasan desa, penelusuran status kepemilikan lahan dan peruntukannya, dan aktifitas lainnya.
Menggunakan pendekatan berbasis pada masyarakat setempat berarti menempatkan masyarakat sebagai subjek dalam proses perencanaan dan pelaksanaan rehabilitasi dan rekonstruksi pascabencana. Dengan pendekatan seperti ini, masyarakat memegang peranan penting untuk membangun kembali desanya yang rusak bahakan hancur. Pendekatan seperti ini diyakini bisa memastikan agar warga punya rasa memiliki pada desanya dan merawat hasil-hasil pembangunan yang dihasilkan oleh desanya sendiri.
Oya sobs, untuk juga sobats ketahui, banyak sekali jenis bantuan yang diberikan dalam bidang perumahan permukiman ini lho. Bukan hanya bantuan pembangunan rumah bagi para korban yang rumahnya hancur oleh bencana ini, tapi bantuan juga diberikan bagi korban yang rumahnya mengalami kerusakan. Besarnya bantuan tentu dipertimbangkan sesuai dengan tingkat kerusakan si rumah itu sendiri. Lalu bentuk bantuan lainnya adalah bantuan yang diberikan bagi para korban, yang adalah pendatang dari luar daerah, yang berstatus sebagai penyewa rumah, yang rumah tersebut hancur atau rusak oleh tsunami. Untuk kasus seperti ini, bantuan diberikan berupa uang tunai (pada awalnya) bagi korban, yang dapat dipakai untuk menyewa rumah lainnya, atau dijadikan DP bagi cicilan rumah di tempat lain. Atau bantuan berupa akan dibangunkan rumah baginya, jika dia memiliki lahan (dimana pun lahan itu berada, sejauh masih di wilayah tersebut).
Berbicara tentang pembangunan perumahan dalam proses rehab rekon bukan perkara singkat. Banyak hal yang harus disampaikan, namun mengingat ini adalah sekilas info, maka aku rasa cukup sekian dulu aja postingan bidang perumahan ya sobs… untuk informasi lebih detil nya, sobats semua bisa membaca buku seri BRR bidang Perumahan yang bisa di akses disini. Informasinya lengkap banget deh sobs disana…. J
Para pelaksana rehab rekon telah berupaya semaksimal mungkin memenuhi komitmennya. Pada April 2009, BRR NAD Nias mengakhiri masa tugasnya, dan menyerah terima kan hasil pekerjaan beserta sisa pekerjaan yang masih harus dituntaskan (yang masih sedikit lagi) kepada pemerintah daerah. Selanjutnya adalah tugas Pemerintah Daerah untuk menuntaskan dan memoles apa-apa yang telah dihasilkan oleh para pelaku rehab rekon, termasuk meniadakan barak.
Sejauh ini, Aceh dan Nias telah jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Khususnya Aceh, kita akan tercengang melihat gedung-gedung sekolah yang telah begitu indah dan berkualitas, termasuk mutu pendidikannya yang telah jauh meningkat. Kita akan tercengang melihat mulusnya jalanan hingga ke jalan desa, akan indahnya tata ruang desa, kecamatan dan kota. Kita akan berdecak kagum melihat kemajuan provinsi yang sempat kehilangan asa karena dihantam tsunami.
Namun, dibalik kesuksesan itu, tentu ada noda yang tak bisa dipungkiri. Seperti pemberitaan bahwa hingga kini, masih ada manusia yang tinggal di barak-barak pengungsi…. Benarkah itu? Berapa persen dibandingkan keberhasilan yang telah dicapai? Dan layakkah menyalahkan pelaku rehab rekon? Bukankah harusnya tugas pemerintah menindak lanjutinya? Menyelesaikan pekerjaan yang tinggal sedikit lagi menuju rampung kala itu? (2009?). Dan kini? 2012 telah tiga perempat terlalui, masih belum beres juga? Semoga Pemerintah Daerah berkenan untuk klarifikasi ya jika berita itu tidak benar, dan hendaknya menindak lanjuti hingga tuntas jika berita itu benar...
Yah… semoga dengan pemerintah baru ini, Pemda Aceh dapat menuntaskan pekerjaan yang (sedikit) tersisa ini ya sobs…. Yuk sama-sama kita doa kan yuk…..