Hari ini, aku ingin berbagi sebuah cerita!
Cerita paling mengesankan, penuh perjuangan, haru, airmata yang mungkin tak disadari oleh teman-teman satu timku yang lainnya, dan rasa syukur yang tak teruraikan oleh kata-kata, karena aku berhasil kembali sampai di rumah dengan selamat, walau tertatih!
Yup. Ini pengalamanku mendaki sebuah gunung, yang bagi para pendaki pro mungkin dianggap hanya setinggi 2.050 mdpl. HANYA. Tapi bagiku, di usiaku yang 47 tahun ini, itu bukan HANYA, tapi SANGAT tinggi.
Karena perjalanan kesana, Masyaallah, bagian bumi-MU yang satu ini kok GA ada bagian datarnya, sih, ya Allah? MENANJAK terus dari awal? Udah itu, terjal dan sulit pula. Licin jugak! Mana senterku (headlamp) mati pulak! Hadeuh! *
Di situ saya merasa down!
Ya! Headlamp yang baru kubeli dan baru saja kuisi dengan 3 butir batre AAA energizer, kok malah Konsleiting! Padam. Sehingga melangkahlah aku di dalam keremangan cahaya (hasil nebeng dari teman lainnya), sungguh bikin
badmood dan miris, sedih, nangis!
Sebuah perjalanan yang juga mengajarkanku akan pentingnya kekompakan dan solidaritas pertemanan.
Thanks to the whole team! 😍 Love you, all!
Pendaki Pemula, yang Memilih Pendakian Malam Hari
|
Foto dulu lah sambil menanti jemputan.
Ki-Ka: Uki, Nchie, Lily, Deden, Alaika, dr. Dave |
Yes! Kami berenam saja, dari sekian anggota Grup
Nature Walk Bandung yang bersepakat untuk melakukan pendakian malam itu, Minggu dini hari, sekitaran pukul 01.30 wib. Dari ke enam kami, hanya Deden dan Uki yang masih berada di rentang usia anak muda, yaitu antara 24 - 26 thn, sementara yang lainnya, yaitu aku, Nchie, Lily Tasman dan
dr. Dave sudah berada di rentang usia 40-an ke atas. Aku sendiri malah sudah 47 thn.
Saat itu, tak ada keraguan sama sekali di dalam diri akan kemampuanku mendaki hingga ke puncak. Sejak dulu, aku memang tak pernah memasukkan faktor usia dalam kesanggupanku melakukan sesuatu. Insyaallah, pasti sanggup, itu sugesti positifku, sebagai penyemangat dan penjaga bara api di dalam diri. Tentu saja karena selama ini juga terbukti bahwa daya tahan tubuhku masih oke banget untuk diajak bekerjasama dalam berbagai kegiatan
outdoor yang menguras
energy, sih.
Sayangnya, aku lupa memasukkan faktor latihan fisik yang konsisten di dalam bagian dari persiapan pendakian ini. *ituh, Al! 😀
Gunung itu Bernama Burangrang
|
Gunung ini lah yang hendak didaki, bernama Gunung Burangrang |
Awalnya, adalah Gunung Puntang, yang menjadi tujuan pendakian kami. Keinginan untuk menjejakkan kaki di Puncak Meganya pada ketinggian 2.223 mdpl bermula dari keberhasilan kami sebelumnya dalam menjejakkan kaki di puncak Gunung Gambung Sedaningsih, Pengalengan dan puncak Gunung Manglayang (yang Manglayang ini aku ga ikutan, karena sedang berada di Aceh saat teman-teman melakukan tektokan ini). Ah iya, bagi yang belum ngeh, TEKTOK adalah istilah untuk pendakian yang tidak bermalam, jadi sifatnya adalah PP (pulang pergi).
Namun, sehari sebelum pendakian, justru kami mendapatkan kabar bahwa karena alasan keamanan, ternyata Gunung Puntang ditutup untuk sementara waktu. Padahal kami sudah menyiapkan kaos pendakian dengan tulisan Gunung Puntang lho, di belakang si kaosnya. 😁 Yah, apa boleh buat, pasti akan ada hikmahnya.
*catet!
Jadilah kami mengalihkan tujuan pendakian, dan dari hasil voting, terpilihlah
Gunung Burangrang yang kami tuju. Agenda kegiatan, tetap mengikuti agenda awal, baik jam keberangkatan mau pun tektokannya. Hanya tujuannya saja yang dialihkan.
Menuju Gunung Burangrang
Aku bahkan belum tau di mana Gunung Burangrang itu. Makanya langsung
googling to find out about this phenomenal mountain. Namun, dari hasil googling pula, kutemukan kesimpulan beberapa pendaki yang telah ke puncaknya, bahwa view yang ditemukan di sana itu, tak sepadan dengan beratnya medan pendakian. Hm..., kita lihat nanti deh!
Gunung Burangrang ini ternyata berada di kawasan Bandung Utara, akses jalannya melalui alun-alun Cimahi - Jl. Kolonel Masturi - Parongpong - Sekolah Polisi Negara dan masuk ke arah Kp. Legok Haji. Untuk menuju kesana, kami sudah carter sebuah toyota avanza yang siap mengantar dan menjemput kami ke dan dari sana nanti. Meeting point adalah di DF Lineation Center, dengan biaya perorang untuk antar/jemput ini adalah IDR. 125 ribu per orangnya.
Meeting Point at Lineation Center
|
Nongki cantik sambil menanti jemputan |
Yes, seperti biasanya, meeting point paling aman dan mudah adalah di Lineation Center, Jl. Lemah Neundeut No 10, Setrasari - Bandung. Yang beda kali ini adalah, meeting time-nya adalah pukul 23.30 wib, jelang tengah malam! Karena keberangkatan ke sana diperkirakan sekitar pukul 01.30 wib. Jadi sebelum berangkat, kami masih bisa repacking, check and recheck dulu, atau tiduran sejenak sebelum berangkat.
Aku sendiri sudah tiba di tekape sekitaran pukul 22.30 wib, soalnya driving a car in the midnight juga agak-agak gimanaaa gitu. Makanya aku percepat aja ke meeting point-nya, biar aman. Toh sesampai Lineation, justru aku bisa istirahat, tidur-tiduran dulu di sofa empuknya sebelum mobil jemputan datang.
Pendakian itu pun dimulai!
Jreng...Jreng!
|
Deden, the chief of the team |
Toyota Avanza yang membawa kami akhirnya sampai ke titik akhir perjalanannya. Kulirik jam tanganku yang telah menunjukkan angka 1.30-an, baru saja lewat tengah malam. Kami turun dari mobil, sementara si akang driver melajukan mobilnya untuk mencari putaran balik. Jalanan terlihat sempit diapit oleh rumah-rumah penduduk. Ini di mana? Pikirku yang masih dalam keadaan mengantuk. Kebanyakan dari kami memang memilih tidur selama perjalanan tadi (dari DF Lineation Clinic ke Kp. Legok Haji - di mana pendakian akan bermula). Tidur selama perjalanan adalah salah satu cara charging energy kan? Juga agar dalam pendakian nanti ga ngantuk, sih!
Setelah mendapatkan daypack masing-masing, kami pun memulai langkah. Berbekal headlamp yang telah nempel cantik di kepala masing-masing, penerangan itu pun menuntun langkah kaki kami menuju ke awal area pendakian. Adalah Deden yang kami amanahi tugas menjadi ketua pendakian ini, karena memang anak muda inilah yang paling tinggi jam terbangnya dibanding kami semua. Jika peringkat kami adalah pemilik sabuk putih di level Taekwondo, maka Deden telah memiliki sabuk hitam? Hehe. Yes, anak muda pecinta alam ini memang telah malang melintang jejak kakinya di berbagai puncak gunung tanah air. Atau malah sudah sampai ke luar negeri segala? Entah lah, aku lupa menanyakannya. 😀
Aku melangkahkan kaki di belakang Lily, seingatku, di belakangku barulah Nchie. Cahaya benderang yang memancar strongly dari headlamp-ku (kan baru beli) memberi kepercayaan diri untuk melangkah dengan pasti, menyusul teman lainnya. Namun sayang..., di sinilah pemicu badmood itu berulah!
Baru beberapa langkah, mungkin sekitar 100 meteran, si headlamp bikin masalah! PADAM! O ow! Kucoba melepaskannya dari kepala, dan coba meng-on-off-kannya beberapa kali. Hasilnya tetap PADAM. Tak ada secercah cahaya pun yang mampu diberikannya. Astargfirullah... Tuhan, pertanda apa ini? Plis..., jangan sekarang. Biarkan aku lanjutkan perjalanan ini, plis... Neutulong lon, ya Allah. Doaku. 😑
Namun tetap saja, si headlamp tak juga menyala. Aku terpaksa melangkah dalam kegelapan, berbekal biasan cahaya dari headlamp teman-teman lainnya. Duh! Baru di awal sudah begini? Siapa yang ga langsung badmood coba?
Kami mampir di sebuah pondok di atas sepetak tanah datar. yang di dalamnya duduk seorang Bapak tua. Deden melaporkan niat pendakian kami ke si Bapak, lalu bergabung dengan beberapa anak muda yang sedang memanaskan air di atas sebuah tungku. Kayaknya akan bikin kopi.
Kami pun saling menyapa dan berinteraksi dengan mereka, dan sepakatlah kami untuk mendaki bersama. Asyik. Rombongan yang tadinya hanya ber-6 kini jadi ber-11. Nambah teman seperjalanan rasanya lebih bersemangat, deh!
Namun hatiku masih miris dan risau. Sedih! Ku tak memiliki cahaya. Nyesal banget rasanya aku tak jadi bawa senter tangan sebagai cadangan. Duh. Kuutarakan pada dr. Dave masalah yang sedang kuhadapi, dan olehnya, dicoba perbaiki si headlamp itu. Teteup saja, PADAM!
Akhirnya sebuah senter jepit (emergency light) kecil mungil keluar dari daypack dr. Dave untuk bekalku menerangi langkah. "Nih, kamu pakai ini aja. Jepit aja di bagian dada, biar ga repot megangnya." Pandu si dokter kece itu. Kucoba ikuti petunjuknya dan mencoba cahayanya. Sip! Bolehlah!
Ya Allah, lancarkan perjalananku malam ini ya Allah.
Namun di balik doa itu, feeling-ku terasa negatif. Badmood bener-bener menguasai. Bahkan emosi pada si penjual headlamp menyelinap kuatkan rasa badmood itu sendiri. Huft.
Mari kita Melangkah. Mari kita mendaki.
Setelah istirahat sekitar 15 menitan itu, kami pun membentuk barisan. Sesuai kesepakatan, maka Deden melangkah paling depan, sebagai penunjuk jalan dan the chief of the team, sementara salah satu dari kelima anak muda yang ikutan bergabung bersama kami, menjadi penutup rombongan. Aku ga tau apa istilahnya. Yang jelas, dia bersedia untuk berjalan paling belakang, untuk berjaga-jaga agar keseluruhan tim tetap bersama, ga nyasar. Good arrangement!
Kami pun memulai langkah dengan penuh semangat. Mencoba untuk tak banyak bicara karena memang perlu saving energy dan napas. Aku sendiri, mencoba bersahabat dengan emergency light mungil yang diberikan dr. Dave tadi. Alhamdulillah, dia bekerja dengan baik, memberiku penerangan sehingga langkahku terasa ringan. Namun, tak bisa dipungkiri, badmood gara-gara headlamp yang konsleit teteup bercokol di hati. Kucoba untuk berdialog dengan batinku, membujuknya untuk membantuku ringankan pendakian ini.
|
Tertatih melangkah di kegelapan malam |
Etapi, langkah kami yang kian menanjak, kegelapan malam karena kami mulai masuk ke dalam hutan, jelas membuat cahaya langit terlihat redup. Emergency light mungil ini tentu tak maksimal lagi dalam menerangi langkahku. Terasa redup. Ditambah pula dengan landasan yang licin, terjal, dan rentan longsor karena tanah tak padat, membuat kami harus melangkah ekstra hati-hati. Apalagi kami sempat bertemu dengan pendaki lainnya yang terpaksa mendirikan tenda di tengah pendakian mereka, karena backpack milik salah satu dari mereka jatuh ke jurang. Hiii, serem. *Disini aku mulai waswas. Aku takut nyemplung ke jurang yang jaraknya hanya 7 atau 10 jari di sebelah kiri. Hayyah, cahaya mana cahaya!
Tuhan, pendakian ini mulai terasa berat. Napas kami terdengar ngos-ngosan. Berpacu menderu. Huft. Kami masih melangkah, perlahan dan pasti. Mencoba menjejak seaman mungkin agar tak terpeleset di atas tanah licin itu. Namun apa dayaku, penerangan yang redup, membuat langkahku terasa semakin sulit. Untungnya Nchie dan dr. Dave secara bergantian membagikan cahaya dari senter mereka untuk terangi jalanku. Hingga perlahan tapi pasti, berhasil juga kami mencapai pos 1. Istirahat sejenak, lalu lanjutkan perjalanan.
Pos 2, Memanjat, Menanjak, Berpegangan di akar dan dahan pepohonan,
dan kemudian mulai letoy.
|
Pendakian yang seakan tak berujung
Foto by Nature Walk Bandung |
Pendakian panjang yang seakan tak akan berujung. 2.050 mdpl yang harus ditempuh. Dan medan yang sulit ini benar-benar menguji ketabahan dan kekuatan fisik. Langkah terus berlanjut, setelah tentu saja beristirahat di tempat-tempat dimana kami butuh untuk
break. Rasanya adalah hal yang mustahil bertemu dengan tanah datar untuk sejenak saja, karena memang sesungguhnya lah medan tempur kali ini adalah TANJAKAN melulu hingga ke puncak. Belum lagi di banyak tempat kami harus berpegangan pada akar atau dahan pepohonan sebagai daya dukung agar bisa memanjat ke atas tanjakan, atau merunduk karena ada lekukan pepohonan atau tanah yang membentuk dinding. Aku hampir frustasi, karena selain fakir cahaya, juga staminaku mulai anjlok. Entahlah, mungkin karena kurang latihan fisik, sih.
Langkahku mulai terasa berat dan loyo. Namun tetap harus berlanjut, apalagi melihat teman-teman lainnya yang masih begitu bersemangat. Hebat euy stamina mereka. Bahkan Lily yang awalnya terlihat mulai ngos-ngosan, kini malah telah berhasil mendapatkan kembali semangatnya. Wow! Melihatku yang mulai kepayahan, Lily malah meminjamkan pool stick-nya (tongkat) untuk kupakai dalam meringankan pendakian. Thanks, Ly. 😊
Kehilangan Sunrise, dan Tertatih Mencapai Puncak
Seakan semesta sedang tak bersahabat denganku kali ini. Ibarat si tua renta, aku semakin
down. Pahaku semakin berat saja, padahal aku sudah pakai
pool stick dari Lily. Lelah dan loyo. Kedua kaki dan lutut semakin sulit diajak bekerjasama. Tinggal aku, Nchie dan dua anak muda (teman baru di pendakian) yang masih di belakang. Itu pun karena ketiganya setia menemaniku. Duh, aku jadi ga enak deh. Bikin langkah mereka terhambat seperti ini. Namun di sini juga aku jadi belajar memahami. Bahwa di sini lah sebenarnya sebuah kesetiaan diuji. Solidaritas pertemanan diperlihatkan. Bahkan orang yang baru kita kenal pun, bisa terlihat kualitasnya di pendakian seperti ini. Aku sungguh terharu dengan kebaikan semua teman-teman sependakian ini. 😇 Sempat juga terlintas sebuah pertanyaan di hatiku, apakah cukup kali ini saja aku mendaki, dan menyudahinya setelah ini?
Jangan memaksa diri jika fisik sudah tak kuat lagi! Begitu bisik hatiku.
Nchie terus menyemangati, begitu juga kedua anak muda yang unyu-unyu ini. Ayo, Mba, dikit lagi. Tuh, udah keliatan puncaknya. Begitu juga dengan Deden, dr. Dave, Lily, dan Uki dari kejauhan mereka menyemangati, bahwa puncak sudah sebegitu dekat. Aku sendiri, berusaha memompa semangat diri. HARUS sampai di puncak. Ga lucu kan kalo aku memilih nongkrong di tengah jalanan terjal ini? Dan sudah pasti tak akan diijinkan aku menyendiri begini. Maka, sugesti positif yang aku bisikkan ke dalam diri adalah, AKU PASTI KUAT. Harus sampai ke puncak, walau tertatih. Karena sesungguhnya selama ini aku sanggup, kok! Dan bener saja, walau air mata mulai menggenang, berupaya keras mengusir si
badmood yang begitu setia menghantui, kini cercah cahaya mentari yang bersemburat di ufuk Timur sungguh mencerahkan hati. Menimbulkan harapan dan semangat baru bagiku untuk terus mencapai puncak. Biarlah tak melihat sunrise, tapi berhasil sampai di atas.
Yes, I made it! We made it!
Alhamdulillah ya Allah. Semangat yang kembali, akhirnya mampu menuntun langkahku untuk berhasil sampai di atas. Puncak, yang tadinya aku harap adalah hamparan tanah datar yang luas, ternyata hanya sepetak tanah yang luasnya sebenarnya tak seberapa. Beberapa anak muda dari rombongan lain telah memasang 1 atau 2 tenda di sana. Kami menyapa mereka dengan ramah, lalu menyeberang ke hamparan tanah lainnya tak jauh dari tempat pertama.
Alhamdulillah. Ku benar-benar lelah. Lily langsung membentangkan plastik tipis yang dibawanya sebagai alas duduk kami. Lalu tanpa
ba bi bu, aku langsung merebahkan diri. Tak peduli lagi dengan
view puncak gunung yang entah bagaimana. Indah kah? Kurang indah kah? Ku tak peduli lagi. Aku lelah. Kubuka sepatu yang setia menemani langkahku, dan langsung tiduran di hamparan plastik yang dibentang Lily. Nchie, Lily, dr. Dave, dan yang lainnya sepertinya masih sempat foto-foto, atau malah ikutan selonjoran bahkan tiduran di matras yang mereka bawa? Entahlah.
Yang pasti, kami pun terhampar lelap tak lama sesudahnya. Haha. Pendakian ini,
ampyun dijeee! 😁
|
Kehilangan Daya - Terkapar, Lelah!
Ki-ka Atas: dr. Dave - Deden
Kiri Bawah: Lily, Alaika, Nchie
Kanan Bawah: Uki
Foto by Nature Walk Bandung |
Here We Are!
Yup. Pendakian mencapai ujung. Alhamdulillah. Tidur lelap kira-kira lebih dari 1 jam-an, kami kemudian bangun dan menyiapkan sarapan masing-masing. Aku sendiri lebih memilih minum energen sereal yang praktis, daripada membuat mie instant atau yang lainnya. Tak lama sesudahnya, kami pun
taking pictures. Mendokumentasikan jejak langkah kami yang akhirnya berhasil menjejak puncak Burangrang ini. Dan?
Dan benar kata artikel-artikel yang kubaca sebelumnya, bahwa
effort yang luar biasa untuk mencapai puncak ini, sesungguhnya tak sebanding dengan
view yang kita dapatkan di sini. Lelah ini serasa kurang terbayar. Kata lainnya adalah, Burangrang kurang
instagramable mah! Menurutku, loh ya!
😄,
Anyway, kami bersyukur telah sampai ke puncak gunung ternama ini. Dan
here are the pictures! Tetap kece walo tubuh serasa luluh lantak kan?
|
Lelah ini, berbayar sudah!
Foto by Nature Walk Bandung. |
|
Siapa yang ga hepi kalo sudah begini?
Tinggal mikirin turunnya nih. Haha.
Foto by Nature Walk Bandung. |
Tertatih ke Puncak Burangrang, Cap Bokong Penuhi Turunan Burangrang. 😁
Tadinya sih, aku kira proses turun tentu akan jauh lebih mudah. Karena ga perlu mengangkat kaki dan paha sedasyat saat menanjak. Etapi, ternyata enggak begitu, Sobs! Jangan salah! Hehe. Proses turun, yang awalnya membuatku begitu bersemangat, karena telah istirahat, telah tidur, dan kembali berenergi, justru perlahan tapi pasti, menyumbang lelah dan berhasil (lagi dan lagi) bikin aku
DOWN! Perjalanan turun justru dua kali lebih sulit dari perjalanan naik, padahal sudah terang benderang. Bahkan di seperempat sisa perjalanannya, aku terpaksa menyeret langkah, karena paha terasa berat banget dan gemetaran! Faktor magis kah? Atau faktor kelelahan?
Yang pasti, pendakian ini sungguh memberi pelajaran tersendiri bagiku, Sobs! Yuk, lanjut ceritanya di artikel berikutnya
di sini ya! 😊
Pengalaman tak terlupa,
Mencapai Puncak Gunung Burangrang,
Al, Bandung, 16 October 2017
(2.446 kata)