Tertatih ke Puncak Burangrang and I made it!

Hari ini, aku ingin berbagi sebuah cerita! Cerita paling mengesankan, penuh perjuangan, haru, airmata yang mungkin tak disadari oleh teman-teman satu timku yang lainnya, dan rasa syukur yang tak teruraikan oleh kata-kata, karena aku berhasil kembali sampai di rumah dengan selamat, walau tertatih! 

Yup. Ini pengalamanku mendaki sebuah gunung, yang bagi para pendaki pro mungkin dianggap hanya setinggi 2.050 mdpl. HANYA. Tapi bagiku, di usiaku yang 47 tahun ini, itu bukan HANYA, tapi SANGAT tinggi.

Karena perjalanan kesana, Masyaallah, bagian bumi-MU yang satu ini kok GA ada bagian datarnya, sih, ya Allah? MENANJAK terus dari awal? Udah itu, terjal dan sulit pula. Licin jugak! Mana senterku (headlamp) mati pulak! Hadeuh! *Di situ saya merasa down!

Ya! Headlamp yang baru kubeli dan baru saja kuisi dengan 3 butir batre AAA energizer, kok malah Konsleiting! Padam. Sehingga melangkahlah aku di dalam keremangan cahaya (hasil nebeng dari teman lainnya), sungguh bikin badmood dan miris, sedih, nangis! 

Sebuah perjalanan yang juga mengajarkanku akan pentingnya kekompakan dan solidaritas pertemanan. Thanks to the whole team! 😍  Love you, all!

Pendaki Pemula, yang Memilih Pendakian Malam Hari

Pendakian Gunung Burangrang
Foto dulu lah sambil menanti jemputan.
Ki-Ka: Uki, Nchie, Lily, Deden, Alaika, dr. Dave
Yes! Kami berenam saja, dari sekian anggota Grup Nature Walk Bandung yang bersepakat untuk melakukan pendakian malam itu, Minggu dini hari, sekitaran pukul 01.30 wib. Dari ke enam kami, hanya Deden dan Uki yang masih berada di rentang usia anak muda, yaitu antara 24 - 26 thn, sementara yang lainnya, yaitu aku, Nchie, Lily Tasman dan dr. Dave sudah berada di rentang usia 40-an ke atas. Aku sendiri malah sudah 47 thn.

Saat itu, tak ada keraguan sama sekali di dalam diri akan kemampuanku mendaki hingga ke puncak. Sejak dulu, aku memang tak pernah memasukkan faktor usia dalam kesanggupanku melakukan sesuatu. Insyaallah, pasti sanggup, itu sugesti positifku, sebagai penyemangat dan penjaga bara api di dalam diri. Tentu saja karena selama ini juga terbukti bahwa daya tahan tubuhku masih oke banget untuk diajak bekerjasama dalam berbagai kegiatan outdoor yang menguras energy, sih.

Sayangnya, aku lupa memasukkan faktor latihan fisik yang konsisten di dalam bagian dari persiapan pendakian ini. *ituh, Al! 😀

Gunung itu Bernama Burangrang
Pendakian Gunung Burangrang
Gunung ini lah yang hendak didaki, bernama Gunung Burangrang
Awalnya, adalah Gunung Puntang, yang menjadi tujuan pendakian kami. Keinginan untuk menjejakkan kaki di Puncak Meganya pada ketinggian 2.223 mdpl bermula dari keberhasilan kami sebelumnya dalam menjejakkan kaki di puncak Gunung Gambung Sedaningsih, Pengalengan dan puncak Gunung Manglayang (yang Manglayang ini aku ga ikutan, karena sedang berada di Aceh saat teman-teman melakukan tektokan ini). Ah iya, bagi yang belum ngeh, TEKTOK adalah istilah untuk pendakian yang tidak bermalam, jadi sifatnya adalah PP (pulang pergi).

Pendakian Gunung Puntang

Namun, sehari sebelum pendakian, justru kami mendapatkan kabar bahwa karena alasan keamanan, ternyata Gunung Puntang ditutup untuk sementara waktu. Padahal kami sudah menyiapkan kaos pendakian dengan tulisan Gunung Puntang lho, di belakang si kaosnya. 😁 Yah, apa boleh buat, pasti akan ada hikmahnya. *catet!
Jadilah kami mengalihkan tujuan pendakian, dan dari hasil voting, terpilihlah Gunung Burangrang  yang kami tuju. Agenda kegiatan, tetap mengikuti agenda awal, baik jam keberangkatan mau pun tektokannya. Hanya tujuannya saja yang dialihkan.


Menuju Gunung Burangrang

Aku bahkan belum tau di mana Gunung Burangrang itu. Makanya langsung googling to find out about this phenomenal mountain. Namun, dari hasil googling pula, kutemukan kesimpulan beberapa pendaki yang telah ke puncaknya, bahwa view yang ditemukan di sana itu, tak sepadan dengan beratnya medan pendakian. Hm..., kita lihat nanti deh!

Gunung Burangrang ini ternyata berada di kawasan Bandung Utara, akses jalannya melalui alun-alun Cimahi - Jl. Kolonel Masturi - Parongpong - Sekolah Polisi Negara dan masuk ke arah Kp. Legok Haji. Untuk menuju kesana, kami sudah carter sebuah toyota avanza yang siap mengantar dan menjemput kami ke dan dari sana nanti. Meeting point adalah di DF Lineation Center, dengan biaya perorang untuk antar/jemput ini adalah IDR. 125 ribu per orangnya. 

Meeting Point at Lineation Center


Lineation Clinic
Nongki cantik sambil menanti jemputan
Yes, seperti biasanya, meeting point paling aman dan mudah adalah di Lineation Center, Jl. Lemah Neundeut No 10, Setrasari - Bandung. Yang beda kali ini adalah, meeting time-nya adalah pukul 23.30 wib, jelang tengah malam! Karena keberangkatan ke sana diperkirakan sekitar pukul 01.30 wib. Jadi sebelum berangkat, kami masih bisa repacking, check and recheck dulu, atau tiduran sejenak sebelum berangkat. 

Aku sendiri sudah tiba di tekape sekitaran pukul 22.30 wib, soalnya driving a car in the midnight juga agak-agak gimanaaa gitu. Makanya aku percepat aja ke meeting point-nya, biar aman. Toh sesampai Lineation, justru aku bisa istirahat, tidur-tiduran dulu di sofa empuknya sebelum mobil jemputan datang. 

Pendakian itu pun dimulai!

Jreng...Jreng!

Deden, the chief of the team
Toyota Avanza yang membawa kami akhirnya sampai ke titik akhir perjalanannya. Kulirik jam tanganku yang telah menunjukkan angka 1.30-an, baru saja lewat tengah malam. Kami turun dari mobil, sementara si akang driver melajukan mobilnya untuk mencari putaran balik. Jalanan terlihat sempit diapit oleh rumah-rumah penduduk. Ini di mana? Pikirku yang masih dalam keadaan mengantuk. Kebanyakan dari kami memang memilih tidur selama perjalanan tadi (dari DF Lineation Clinic ke Kp. Legok Haji - di mana pendakian akan bermula). Tidur selama perjalanan adalah salah satu cara charging energy kan? Juga agar dalam pendakian nanti ga ngantuk, sih! 


Setelah mendapatkan daypack masing-masing, kami pun memulai langkah. Berbekal headlamp yang telah nempel cantik di kepala masing-masing, penerangan itu pun menuntun langkah kaki kami menuju ke awal area pendakian. Adalah Deden yang kami amanahi tugas menjadi ketua pendakian ini, karena memang anak muda inilah yang paling tinggi jam terbangnya dibanding kami semua. Jika peringkat kami adalah pemilik sabuk putih di level Taekwondo, maka Deden telah memiliki sabuk hitam? Hehe. Yes, anak muda pecinta alam ini memang telah malang melintang jejak kakinya di berbagai puncak gunung tanah air. Atau malah sudah sampai ke luar negeri segala? Entah lah, aku lupa menanyakannya. 😀


Aku melangkahkan kaki di belakang Lily, seingatku, di belakangku barulah Nchie. Cahaya benderang yang memancar strongly dari headlamp-ku (kan baru beli) memberi kepercayaan diri untuk melangkah dengan pasti, menyusul teman lainnya. Namun sayang..., di sinilah pemicu badmood itu berulah!

Baru beberapa langkah, mungkin sekitar 100 meteran, si headlamp bikin masalah! PADAM! O ow! Kucoba melepaskannya dari kepala, dan coba meng-on-off-kannya beberapa kali. Hasilnya tetap PADAM. Tak ada secercah cahaya pun yang mampu diberikannya. Astargfirullah... Tuhan, pertanda apa ini? Plis..., jangan sekarang. Biarkan aku lanjutkan perjalanan ini, plis... Neutulong lon, ya Allah. Doaku. 😑
Namun tetap saja, si headlamp tak juga menyala. Aku terpaksa melangkah dalam kegelapan, berbekal biasan cahaya dari headlamp teman-teman lainnya. Duh! Baru di awal sudah begini? Siapa yang ga langsung badmood coba?

Kami mampir di sebuah pondok di atas sepetak tanah datar. yang di dalamnya duduk seorang Bapak tua. Deden melaporkan niat pendakian kami ke si Bapak, lalu bergabung dengan beberapa anak muda yang sedang memanaskan air di atas sebuah tungku. Kayaknya akan bikin kopi. 
Kami pun saling menyapa dan berinteraksi dengan mereka, dan sepakatlah kami untuk mendaki bersama. Asyik. Rombongan yang tadinya hanya ber-6 kini jadi ber-11. Nambah teman seperjalanan rasanya lebih bersemangat, deh!

Namun hatiku masih miris dan risau. Sedih! Ku tak memiliki cahaya. Nyesal banget rasanya aku tak jadi bawa senter tangan sebagai cadangan. Duh. Kuutarakan pada dr. Dave masalah yang sedang kuhadapi, dan olehnya, dicoba perbaiki si headlamp itu. Teteup saja, PADAM!

Akhirnya sebuah senter jepit (emergency light) kecil mungil keluar dari daypack dr. Dave untuk bekalku menerangi langkah. "Nih, kamu pakai ini aja. Jepit aja di bagian dada, biar ga repot megangnya." Pandu si dokter kece itu. Kucoba ikuti petunjuknya dan mencoba cahayanya. Sip! Bolehlah! 

Ya Allah, lancarkan perjalananku malam ini ya Allah. 

Namun di balik doa itu, feeling-ku terasa negatif. Badmood bener-bener menguasai. Bahkan emosi pada si penjual headlamp menyelinap kuatkan rasa badmood itu sendiri. Huft. 

Mari kita Melangkah. Mari kita mendaki.

Setelah istirahat sekitar 15 menitan itu, kami pun membentuk barisan. Sesuai kesepakatan, maka Deden melangkah paling depan, sebagai penunjuk jalan dan the chief of the team, sementara salah satu dari kelima anak muda yang ikutan bergabung bersama kami, menjadi penutup rombongan. Aku ga tau apa istilahnya. Yang jelas, dia bersedia untuk berjalan paling belakang, untuk berjaga-jaga agar keseluruhan tim tetap bersama, ga nyasar. Good arrangement!

Kami pun memulai langkah dengan penuh semangat. Mencoba untuk tak banyak bicara karena memang perlu saving energy dan napas. Aku sendiri, mencoba bersahabat dengan emergency light mungil yang diberikan dr. Dave tadi. Alhamdulillah, dia bekerja dengan baik, memberiku penerangan sehingga langkahku terasa ringan. Namun, tak bisa dipungkiri, badmood gara-gara headlamp yang konsleit teteup bercokol di hati. Kucoba untuk berdialog dengan batinku, membujuknya untuk membantuku ringankan pendakian ini. 
Pendakian ke Burangrang
Tertatih melangkah di kegelapan malam

Etapi, langkah kami yang kian menanjak, kegelapan malam karena kami mulai masuk ke dalam hutan, jelas membuat cahaya langit terlihat redup. Emergency light mungil ini tentu tak maksimal lagi dalam menerangi langkahku. Terasa redup. Ditambah pula dengan landasan yang licin, terjal, dan rentan longsor karena tanah tak padat, membuat kami harus melangkah ekstra hati-hati. Apalagi kami sempat bertemu dengan pendaki lainnya yang terpaksa mendirikan tenda di tengah pendakian mereka, karena backpack milik salah satu dari mereka jatuh ke jurang. Hiii, serem. *Disini aku mulai waswas. Aku takut nyemplung ke jurang yang jaraknya hanya 7 atau 10 jari di sebelah kiri. Hayyah, cahaya mana cahaya! 

Tuhan, pendakian ini mulai terasa berat. Napas kami terdengar ngos-ngosan. Berpacu menderu. Huft. Kami masih melangkah, perlahan dan pasti. Mencoba menjejak seaman mungkin agar tak terpeleset di atas tanah licin itu. Namun apa dayaku, penerangan yang redup, membuat langkahku terasa semakin sulit. Untungnya Nchie dan dr. Dave secara bergantian membagikan cahaya dari senter mereka untuk terangi jalanku. Hingga perlahan tapi pasti, berhasil juga kami mencapai pos 1. Istirahat sejenak, lalu lanjutkan perjalanan. 

Pos 2, Memanjat, Menanjak, Berpegangan di akar dan dahan pepohonan,
dan kemudian mulai letoy.


Pendakian yang seakan tak berujung
Foto by Nature Walk Bandung
Pendakian panjang yang seakan tak akan berujung. 2.050 mdpl yang harus ditempuh. Dan medan yang sulit ini benar-benar menguji ketabahan dan kekuatan fisik. Langkah terus berlanjut, setelah tentu saja beristirahat di tempat-tempat dimana kami butuh untuk break. Rasanya adalah hal yang mustahil bertemu dengan tanah datar untuk sejenak saja, karena memang sesungguhnya lah medan tempur kali ini adalah TANJAKAN melulu hingga ke puncak. Belum lagi di banyak tempat kami harus berpegangan pada akar atau dahan pepohonan sebagai daya dukung agar bisa memanjat ke atas tanjakan, atau merunduk karena ada lekukan pepohonan atau tanah yang membentuk dinding. Aku hampir frustasi, karena selain fakir cahaya, juga staminaku mulai anjlok. Entahlah, mungkin karena kurang latihan fisik, sih.

Langkahku mulai terasa berat dan loyo. Namun tetap harus berlanjut, apalagi melihat teman-teman lainnya yang masih begitu bersemangat. Hebat euy stamina mereka. Bahkan Lily yang awalnya terlihat mulai ngos-ngosan, kini malah telah berhasil mendapatkan kembali semangatnya. Wow! Melihatku yang mulai kepayahan, Lily malah meminjamkan pool stick-nya (tongkat) untuk kupakai dalam meringankan pendakian. Thanks, Ly. 😊

Kehilangan Sunrise, dan Tertatih Mencapai Puncak

Seakan semesta sedang tak bersahabat denganku kali ini. Ibarat si tua renta, aku semakin down. Pahaku semakin berat saja, padahal aku sudah pakai pool stick dari Lily. Lelah dan loyo. Kedua kaki dan lutut semakin sulit diajak bekerjasama. Tinggal aku, Nchie dan dua anak muda (teman baru di pendakian) yang masih di belakang. Itu pun karena ketiganya setia menemaniku. Duh, aku jadi ga enak deh. Bikin langkah mereka terhambat seperti ini. Namun di sini juga aku jadi belajar memahami. Bahwa di sini lah sebenarnya sebuah kesetiaan diuji. Solidaritas pertemanan diperlihatkan. Bahkan orang yang baru kita kenal pun, bisa terlihat kualitasnya di pendakian seperti ini. Aku sungguh terharu dengan kebaikan semua teman-teman sependakian ini. 😇  Sempat juga terlintas sebuah pertanyaan di hatiku, apakah cukup kali ini saja aku mendaki, dan menyudahinya setelah ini? Jangan memaksa diri jika fisik sudah tak kuat lagi! Begitu bisik hatiku.

Nchie terus menyemangati, begitu juga kedua anak muda yang unyu-unyu ini. Ayo, Mba, dikit lagi. Tuh, udah keliatan puncaknya. Begitu juga dengan Deden, dr. Dave, Lily, dan Uki dari kejauhan mereka menyemangati, bahwa puncak sudah sebegitu dekat. Aku sendiri, berusaha memompa semangat diri. HARUS sampai di puncak. Ga lucu kan kalo aku memilih nongkrong di tengah jalanan terjal ini? Dan sudah pasti tak akan diijinkan aku menyendiri begini. Maka, sugesti positif yang aku bisikkan ke dalam diri adalah, AKU PASTI KUAT. Harus sampai ke puncak, walau tertatih. Karena sesungguhnya selama ini aku sanggup, kok! Dan bener saja, walau air mata mulai menggenang, berupaya keras mengusir si badmood yang begitu setia menghantui, kini cercah cahaya mentari yang bersemburat di ufuk Timur sungguh mencerahkan hati. Menimbulkan harapan dan semangat baru bagiku untuk terus mencapai puncak. Biarlah tak melihat sunrise, tapi berhasil sampai di atas.

Yes, I made it! We made it!

Alhamdulillah ya Allah. Semangat yang kembali, akhirnya mampu menuntun langkahku untuk berhasil sampai di atas. Puncak, yang tadinya aku harap adalah hamparan tanah datar yang luas, ternyata hanya sepetak tanah yang luasnya sebenarnya tak seberapa. Beberapa anak muda dari rombongan lain telah memasang 1 atau 2 tenda di sana. Kami menyapa mereka dengan ramah, lalu menyeberang ke hamparan tanah lainnya tak jauh dari tempat pertama.

Alhamdulillah. Ku benar-benar lelah. Lily langsung membentangkan plastik tipis yang dibawanya sebagai alas duduk kami. Lalu tanpa ba bi bu, aku langsung merebahkan diri. Tak peduli lagi dengan view puncak gunung yang entah bagaimana. Indah kah? Kurang indah kah? Ku tak peduli lagi. Aku lelah. Kubuka sepatu yang setia menemani langkahku, dan langsung tiduran di hamparan plastik yang dibentang Lily. Nchie, Lily, dr. Dave, dan yang lainnya sepertinya masih sempat foto-foto, atau malah ikutan selonjoran bahkan tiduran di matras yang mereka bawa? Entahlah.

Yang pasti, kami pun terhampar lelap tak lama sesudahnya. Haha. Pendakian ini, ampyun dijeee! 😁
Gunung Burangrang
Kehilangan Daya - Terkapar, Lelah!
Ki-ka Atas: dr. Dave - Deden
Kiri Bawah: Lily, Alaika, Nchie
Kanan Bawah: Uki
Foto by Nature Walk Bandung
Here We Are!

Yup. Pendakian mencapai ujung. Alhamdulillah. Tidur lelap kira-kira lebih dari 1 jam-an, kami kemudian bangun dan menyiapkan sarapan masing-masing. Aku sendiri lebih memilih minum energen sereal yang praktis, daripada membuat mie instant atau yang lainnya. Tak lama sesudahnya, kami pun taking pictures. Mendokumentasikan jejak langkah kami yang akhirnya berhasil menjejak puncak Burangrang ini. Dan?

Dan benar kata artikel-artikel yang kubaca sebelumnya, bahwa effort yang luar biasa untuk mencapai puncak ini, sesungguhnya tak sebanding dengan view yang kita dapatkan di sini. Lelah ini serasa kurang terbayar. Kata lainnya adalah, Burangrang kurang instagramable mah! Menurutku, loh ya! 😄,

Anyway, kami bersyukur telah sampai ke puncak gunung ternama ini. Dan here are the pictures! Tetap kece walo tubuh serasa luluh lantak kan?

Burangrang Mountain
Lelah ini, berbayar sudah!
Foto by Nature Walk Bandung.
Burangrang Mountain
Siapa yang ga hepi kalo sudah begini?
Tinggal mikirin turunnya nih. Haha.
Foto by Nature Walk Bandung.
Tertatih ke Puncak Burangrang, Cap Bokong Penuhi Turunan Burangrang. 😁

Tadinya sih, aku kira proses turun tentu akan jauh lebih mudah. Karena ga perlu mengangkat kaki dan paha sedasyat saat menanjak. Etapi, ternyata enggak begitu, Sobs! Jangan salah! Hehe. Proses turun, yang awalnya membuatku begitu bersemangat, karena telah istirahat, telah tidur, dan kembali berenergi, justru perlahan tapi pasti, menyumbang lelah dan berhasil (lagi dan lagi) bikin aku DOWN! Perjalanan turun justru dua kali lebih sulit dari perjalanan naik, padahal sudah terang benderang. Bahkan di seperempat sisa perjalanannya, aku terpaksa menyeret langkah, karena paha terasa berat banget dan gemetaran! Faktor magis kah? Atau faktor kelelahan?

Yang pasti, pendakian ini sungguh memberi pelajaran tersendiri bagiku, Sobs! Yuk, lanjut ceritanya di artikel berikutnya di sini ya! 😊


Pengalaman tak terlupa,
Mencapai Puncak Gunung Burangrang,
Al, Bandung, 16 October 2017
(2.446 kata)

26 comments

  1. Ya Allah, pengalamannya seru banget mbak.. Dari dulu pun aku mau nyoba mendaki gunung, tapi waktunya selalu bentrok. Ah, pengen nyobain juga.. ^^

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mendaki gunung emang seru banget, Mba. Butuh perjuangan ekstra untuk mencapai puncaknya. Juga, saat turun, kudu semangat dan tetap butuh perjuangan. Dibalik itu, banyak sekali pembelajaran yang bisa kita petik. :)
      Mudah2an nanti akan ketemu waktu yang pas, ya! :)

      Delete
  2. Hahahaaa...jadi inget lagi waktu Oma lelah dan putus semangat. Sebenernya buatku banyak banget pembelajaran sewaktu pendakian, dan suka banget prosesnya, kalo puncak adalah bonusnya.

    Seberapa lama lelah mbaku, dan kehabisan tenaga, aku kan tetap menunggu dan menyalurkan energi buat semangat lagi naik ke puncak berbarengan. Itulah gunanya sahabat.

    Ayoo Oma, semangaat olah raga ya! tu..wa..ga..pat..

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haha, Oma Nchie emang baik banget dan penuh kesabaran. Makasih sudah menemaniku yaaa. Hayuk, kita naik gunung lagi, Insyaallah energi dan semangatku telah pulih kembali. :)

      Delete
  3. Yeaaayyy!!! Selamat atas berhasilnya mencapai puncak Burangrang ya, Mbak.
    Seru banget bacanya.
    Aku belum pernah naik gunung seumur hidupku. Tapi baru-baru ini wacana daki gunung muncul dari suami. Deg degan sih, tapi aku pengen juga bisa menantang diriku.
    Jadi faktor latihan lebih penting dari faktor umurkan ya? Baiklah, aku mau latihan fisik dulu.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, akhirnya sampai juga ke puncaknya walau tertatih. Heran deh, baru kali ini aku sampai kehabisan tenaga seperti itu. Ya itu, badmood berpengaruh banget sih. Kudu bisa dimanage dengan baik agar tetap bisa semangat. :)

      Wah, daki gunung dengan suami? Asyik banget. Awas jadi manja lho! Haha.

      Delete
  4. Wahh keren mba al, salut deh! Saya belum pernah naik gunung nih, tp sering liat temen2 yg suka mendaki gunung. View nya cakep yaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ayo, Mba, dicoba sekali-sekali. Cari yang mudah dan rendah dulu, kayak saya. Pelan-pelan baru ke yang levelnya lebih tinggi. Pasti hepi deh kalo udah nyoba, sensasinya beda banget!

      Delete
  5. Maapkan kami batal ikut. Tadinya mau ke Puncak Mega kan... Pas beralih ke Burangrang kami gak ikut aja soalnya selain suami ada kerjaan minggu paginya, juga karena kalau ke Burangrang kami sudah pernah. Tahun 2014 apa 2015 lupa tepatnya. Kami bareng IMOSA ke sana...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Oh, pantesan dirimu ga jadi ikutan, Teh. Sudah pernah ke sini ternyata ya. Pengalamannya naik ke Burangrang waktu itu gimana Teh? Melelahkan juga kah spt yang aku alami? Hehe

      Delete
  6. Mbak Al tangguh bener. Kebayang dah kalau saya ikutan, dijamin udah nyusahin teman-teman yang lain. Hahahaha

    ReplyDelete
    Replies
    1. Mencoba untuk tetap tangguh, Mba Andy. Padahal udah ga kuat, cuma masih semangat sih. Ke depan kudu banyak latihan lagi nih akunya. Ayo, coba sekali-sekali, Mba Andy. :)

      Delete
  7. naik gunung memang menguras tenaga ya mba Al, apalagi ada faktor umur gini hahaha. Aku juga masih nggak percaya bisa sampai ke gunung ijen dengan ketinggian 2.443 mdpl. Mendaki jam 2 malam waktu itu dan pas lagi haid hiks. Eeh sampai jugaa, segala capek langsung hilang begitu sampai :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener banget, Mba Lianny. Tenaga udah cepat drop. Apalagi jika jarang latihan fisik. Lelahnya cepat banget menghampiri.
      Wah, dirimu keren, sudah mendaki ke puncak gunung ijen. Seru pastinya!

      Delete
  8. Pantesan Teh Al segar bugar, mainnya ke gunung sih... Tapi emang kebayar ya capeknya pendakian dengan pemandangan yang indah. Duh, pengeen

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ah, main ke gunung juga baru beberapa kali, Mba. Lagi mencoba hobi yang lama terpendam nih. :)
      Ayo Mba, dicoba. Pasti ketagihan deh.

      Delete
  9. Pengalaman yang keren, Kak!
    Aku jadi kepingin juga... hehehe

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hayo, Mba Riski, nyobain. Ajakin suami utk naik gunung bareng. Lebih asyik pastinya.

      Delete
  10. Mbak, aku acungi jempol keren banget mampu mendaki di usia yang akupun lebih muda, tapi gak. berani naik lebih rendah dr itu. keliling Ragunan aja aku udah ngos ngosan. Pasti kak Alaika berlatih fisik dan olah raganya rajin ya. Hm aku harus olah raga jg nih, Supaya tetep fit juga

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hehe, pengennya sih berlatih dan olah fisik yang konsisten, Mba. Cuma, sayangnya aku jarang latihan, makanya pendakian yang ini aku lebih banyak lelahnya. Sampe hampir menyerah. Untungnya semangat masih setia di dalam diri, jadinya bisa juga sampai ke puncak. Hehe

      Delete
  11. Senang nya teh,,. Masih bisa explore terus ngerasain sensasiny Naik gunung cape tapi senang Karena gk kerasa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Alhamdulillah, masih diberi kesempatan dan kekuatan untuk bisa sampai ke sana. :)

      Delete
  12. Ya ampun, mendaki gunung itu beraaattt... Salut deh bisa menaklukkannya :)

    ReplyDelete
  13. Di usia mba Alaika yang sudah 47 tahun, untuk anak jaman now itu keren mba. :D
    Yukk... mba muncak ke Gunung Ciremai. 3078 mdpl pasti sanggup mba.

    ReplyDelete
  14. rasanya naik gunung gmn mba? hehe soalnya aku blm pernah

    ReplyDelete
  15. Iya ya mbak, latihan jalan sbelum hiking kyknya penting. Juga kalau bisa latih pernafasan dengan berennag atau lari :D
    Keinget pas cuma jalan ke kampung Baduy aku ngos2an apalagi yg naik gunung :D
    Tapi lelahnya terbayar begitu melihat pemandangan di atas ya mbak :D

    ReplyDelete