Setiap tahun, setelah perjuangan tak mudah meraih hari kemenangan, berlapar dahaga menahan hawa nafsu selama 30 hari lamanya, minus 7 hari umumnya bagi para wanita akil baliq, tentunya kita semua akan bergembira menyambut hari istimewa yang satu ini. Lebaran, yup, Lebaran!
Dari anak kecil hingga dewasa, kuyakin, setiap kita punya cara tersendiri di dalam merayakannya. Baju baru, penganan/cemilan lebaran seperti lontong/ketupat dan teman-temannya, serta dekorasi rumah yang serba bersih, baru dan ciamik, hingga ke menunaikan shalat Ied di pagi Idul Fithri. Semuanya tentulah tak asing di mata kita. Akrab banget karena itulah yang paling umum kita lakoni.
Namun, tentu tak dapat kita pungkiri, jika nun di beberapa sudut kota/desa, ada hati yang nelangsa. Ada jiwa yang sedang kosong oleh kecewa dan duka lara. Ada yang karena baru saja kehilangan orang terkasih, baik itu ayah, bunda, anak, pasangan hidup atau sekedar sodara maupun handai tolan. Keping hati yang nelangsa ini, mau tak mau, membuat pemiliknya tak begitu antusias menyambut lebaran yang seharusnya semarak, apalagi jika kita merayakannya di negeri tercinta ini. Di mana tradisi mudiknya saja, sudah cukup membangkitkan aura suka cita di hati kebanyakan masyarakatnya, untuk tak sabar berkumpul dengan sanak keluarga dan handai tolan, dalam merayakannya. Belum lagi persiapan menyambut pagi Idul Fithri yang biasanya akan lebih heboh karena banyak sudut rumah yang harus didekor, toples yang harus diisi, ketupat dan konconya yang harus dimasak, dan berbagai persiapan lainnya menyambut si hari kemenangan.
Namun, sayangnya, keping-keping hati yang nelangsa ini, tak mampu dicerahkan oleh suasana apapun. Ramadhan boleh saja berlalu, hari kemenangan boleh saja tiba, tetapi, suasana hati yang lara, tak hendak berlalu. Mendung ini, tentu tak akan mampu dihalau oleh si pawang hujan. Tak ada cara mengusirnya karena kepergian si bulan suci, justru semakin membuat suasana ini semakin sendu.
Kuperhatikan sepasang manusia yang telah masuk usia senja itu, sepertinya juga sedang di dalam suasana kelabu ini. Hatiku ikutan sendu, kelabu. Kuyakin, abu-abu pasti warnanya. Aku ikutan sedih. Amboi... Tuhanku, ya Rabb! Kesalahan apa yang telah mereka perbuat hingga harus mengalami hal seperti ini. Lagi dan lagi, hati keduanya dilukai oleh ulah tak patuh dari putra tersayang?
Beberapa tahun lalu, kejadian ini telah pernah terjadi, dan kini, putra yang lain yang tak kalah disayang, telah mengulang jejak yang sama. Adakah ini garis nasib atau ada formula yang salah terapan?
Entahlah, hatiku ikut lara, berduka. Tak terasa, gairah dan rasa sukacita yang tadi bergelora di dada untuk sambut hari kemenangan, kini turut redup seketika. Hatiku seakan tanpa dikomando, ikut serta berempati. Inginku hanya satu, sambut lebaran secara sederhana, silaturrahmi kanan kiri, lalu berdiam diri di rumah dan membuat catatan ini untuk peringatan bagi diri sendiri. Kali ini, lebaranku tiba-tiba berubah sendu. Duhai, betapa duka lara dan sendu hati itu menular begitu cepatnya. Semoga mendung ini segera berlalu, ingin kulihat senyum indah kembali merekah di bibir keduanya. Kirimkan sukacita bagi kedua manusia berusia senja itu, ya Ilahi Rabbi. Karena Engkaulah pemilik stock bahagia dan sukacita. Berilah bagi keduanya, agar dunia ini terasa indah dan kembali bersahabat bagi keduanya. Aamiin.
Dari anak kecil hingga dewasa, kuyakin, setiap kita punya cara tersendiri di dalam merayakannya. Baju baru, penganan/cemilan lebaran seperti lontong/ketupat dan teman-temannya, serta dekorasi rumah yang serba bersih, baru dan ciamik, hingga ke menunaikan shalat Ied di pagi Idul Fithri. Semuanya tentulah tak asing di mata kita. Akrab banget karena itulah yang paling umum kita lakoni.
Namun, tentu tak dapat kita pungkiri, jika nun di beberapa sudut kota/desa, ada hati yang nelangsa. Ada jiwa yang sedang kosong oleh kecewa dan duka lara. Ada yang karena baru saja kehilangan orang terkasih, baik itu ayah, bunda, anak, pasangan hidup atau sekedar sodara maupun handai tolan. Keping hati yang nelangsa ini, mau tak mau, membuat pemiliknya tak begitu antusias menyambut lebaran yang seharusnya semarak, apalagi jika kita merayakannya di negeri tercinta ini. Di mana tradisi mudiknya saja, sudah cukup membangkitkan aura suka cita di hati kebanyakan masyarakatnya, untuk tak sabar berkumpul dengan sanak keluarga dan handai tolan, dalam merayakannya. Belum lagi persiapan menyambut pagi Idul Fithri yang biasanya akan lebih heboh karena banyak sudut rumah yang harus didekor, toples yang harus diisi, ketupat dan konconya yang harus dimasak, dan berbagai persiapan lainnya menyambut si hari kemenangan.
Namun, sayangnya, keping-keping hati yang nelangsa ini, tak mampu dicerahkan oleh suasana apapun. Ramadhan boleh saja berlalu, hari kemenangan boleh saja tiba, tetapi, suasana hati yang lara, tak hendak berlalu. Mendung ini, tentu tak akan mampu dihalau oleh si pawang hujan. Tak ada cara mengusirnya karena kepergian si bulan suci, justru semakin membuat suasana ini semakin sendu.
Kuperhatikan sepasang manusia yang telah masuk usia senja itu, sepertinya juga sedang di dalam suasana kelabu ini. Hatiku ikutan sendu, kelabu. Kuyakin, abu-abu pasti warnanya. Aku ikutan sedih. Amboi... Tuhanku, ya Rabb! Kesalahan apa yang telah mereka perbuat hingga harus mengalami hal seperti ini. Lagi dan lagi, hati keduanya dilukai oleh ulah tak patuh dari putra tersayang?
Beberapa tahun lalu, kejadian ini telah pernah terjadi, dan kini, putra yang lain yang tak kalah disayang, telah mengulang jejak yang sama. Adakah ini garis nasib atau ada formula yang salah terapan?
Entahlah, hatiku ikut lara, berduka. Tak terasa, gairah dan rasa sukacita yang tadi bergelora di dada untuk sambut hari kemenangan, kini turut redup seketika. Hatiku seakan tanpa dikomando, ikut serta berempati. Inginku hanya satu, sambut lebaran secara sederhana, silaturrahmi kanan kiri, lalu berdiam diri di rumah dan membuat catatan ini untuk peringatan bagi diri sendiri. Kali ini, lebaranku tiba-tiba berubah sendu. Duhai, betapa duka lara dan sendu hati itu menular begitu cepatnya. Semoga mendung ini segera berlalu, ingin kulihat senyum indah kembali merekah di bibir keduanya. Kirimkan sukacita bagi kedua manusia berusia senja itu, ya Ilahi Rabbi. Karena Engkaulah pemilik stock bahagia dan sukacita. Berilah bagi keduanya, agar dunia ini terasa indah dan kembali bersahabat bagi keduanya. Aamiin.
sebuah catatan kecil,
Al, Margonda Raya, 20 July 2015