#6: Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - Sebuah Review

Sudah pernah membaca novel Buya Hamka yang satu ini? Atau malah banyak yang tak lagi mengenal siapa sih sebenarnya Buya Hamka?

Bagi Sobats yang seusia denganku, kuyakin pastilah masih pada familiar dengan beliau kan? Sang tokoh penulis sastra pujangga baru, yang pada saat penulisan novel [romantis] ini, banyak menuai tudingan dan tantangan keras dari para ulama, karena [menurut anggapan masa itu], adalah tak layak jika seorang ulama, yang harusnya menyiarkan dakwah, kok malah menelurkan novel-novel romantis seperti itu. Namun Buya Hamka tetap melaju pada tulisan-tulisan sastranya yang semakin digemari banyak orang, hingga akhirnya, 10 tahun kemudian, cibiran dan tantangan keras pun mulai hening, lelah. :) Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck dan karya-karya beliau yang lainnya seperti Di Bawah Lindungan Ka'bah, dan lain-lainnya semakin digemari.

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck sendiri, selain menarik minat khalayak pada zamannya, ternyata juga menarik minat pihak PT. Soraya Film untuk dihadirkan ke dalam bentuk movie, sehingga semakin memberi kesempatan para pecandu film tanah air untuk juga dapat menikmati karya sastra yang satu ini. Dan secara tak disangka pula, sebuah tiket gratis mendarat di tanganku untuk turut serta menyaksikan film ini [tengkiu Yoswa], hehe, dan inilah review ala Alaika Abdullah, related to the movie. 

Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck - The Movie

Kisah bermula dari seorang pemuda bernama Zaenuddin [diperankan oleh Herjunot Ali], putra kelahiran Makassar dari Ayah yang berdarah Minangkabau dan ibu berdarah Bugis. Sayangnya, perkawinan campuran ini, di mana adat Minang menganut alur matrilineal [garis keturunan berasal dari pihak ibu] sementara Bugis dan sebagian besar suku lainnya di Indonesia menganut alur patrilineal, menjadikan posisi Zaenuddin terjepit oleh pandangan sosial yang tidak menggembirakan. Zaenuddin tidak dipandang sebagai putra Makassar, tak pula diakui sebagai putra Minangkabau, alur matrilineal menempatkan Zaenuddin pada posisi tak lagi memiliki hubungan kekerabatan dengan keluarganya di Minangkabau. Namun begitu, keinginan hati Zaenuddin untuk berkunjung dan mengenal kampung halaman almarhum sang Ayah serta memperdalam ilmu agama di sana, tak terhenti, sehingga merantaulah si pemuda ke Batipuh, Tanah Datar, Sumatera Barat, kampung halaman sang ayah.

Kehadirannya di Minangkabau yang tidak mendapatkan sambutan hangat dan bersahabat, tak menggoyahkan niat Zaenuddin untuk terus bertahan, apalagi setelah hatinya terpaut pada seorang gadis cantik baik budi, putri asli Minangkabau, bernama Hayati [diperankan oleh Pevita Pearce], yang juga menyimpan rasa yang sama terhadap Zaenuddin. Meskipun mendapat tentangan keras dari pihak keluarga besar [NinikMamak Hayati], namun cinta kasih keduanya semakin menggelora, hingga akhirnya pihak keluarga besar Hayati memutuskan untuk 'mengusir' Zaenuddin dari Batipuh, dengan dalih agar pergi saja ke Bukit Tinggi yang tingkat ilmu agamanya lebih tinggi daripada Batipuh.

Duka lara pun mendera hati keduanya, namun tak mampu untuk menolak 'takdir' yang telah digariskan oleh keluarga besar Hayati. Perpisahan harus terjadi, namun terlebih dahulu diikat oleh sumpah - janji keduanya untuk saling setia. Namun sayang, belum lama kepergian Zaenuddin ke Bukit tinggi, kesetiaan yang terikrar mulai ternodai oleh godaan seorang pemuda kaya raya berdarah Minang murni, terhadap Hayati yang cantik jelita. Awalnya Hayati memang masih mencoba untuk bertahan pada kesetiaannya, namun bujukan Ninik-mamak serta [agaknya] kekayaan sang pemuda [Aziz, diperankan oleh Reza Rahadian], membuatnya mengalah, menerima pinangan dan menikah dengan sang pemuda.

Zaenuddin yang teramat mencintai Hayati, tak hanya terluka, tapi patah hati itu sempat membuatnya terkapar selama dua bulan di tempat tidur akibat ditinggal kawin oleh sang kekasih. Penyakit demam pengkhianatan cinta yang begitu parah melandanya, membuat ibu dan bapak kost Zaenuddin serta Muluk [anak si bapak-ibu kost] menjadi sangat prihatin. Mencoba berbagai upaya penyembuhan hingga akhirnya berupaya keras untuk mendatangkan Hayati, walau hanya sejenak untuk menjenguk Zaenuddin. Dikisahkan, bahwa akhirnya Hayati, ditemani suaminya Azis, berkenan juga untuk menjenguk. Adegan mengharukan pun terjadi, di mana Zaenuddin yang sedang demam tinggi, langsung tersadar begitu mendengar suara Hayati. Semangatnya timbul kembali karena menyangka bahwa Hayati memang datang untuk dirinya. Sayang seribu sayang, kuku-kuku jemari Hayati yang telah berinai, jelas menyadarkan Zaenuddin bahwa Hayati telah menjadi milik orang lain. Sekali lagi, Zaenuddin terpukul, dan shock. Histeris dan mengusir keduanya [Hayati dan suaminya] untuk segera meninggalkan dirinya. Lalu Zaenuddin pun tenggelam kembali ke dalam siksaan pengkhianatan cinta, yang sungguh membuatnya kian frustasi. Kedua orang tua dan abang angkatnya kehilangan akal, tak tau lagi harus berbuat apa. Pasrah.

Hingga kemudian titik balik itu tiba. Melalui ucapan berupa suntikan semangat dari Muluk [abang angkatnya] yang setia. Bahwa tak seharusnya Zaenuddin membenamkan dirinya, apalagi sampai menghancurkan dirinya sendiri hanya karena seorang wanita. Apalagi seorang wanita yang sangat tidak setia seperti Hayati. Harusnya Zaenuddin bangkit, bersemangat lagi untuk raih masa depan. Tunjukkan pada dunia bahwa Zaenuddin, si anak Makassar bukan pemuda biasa, melainkan dengan bakat menulisnya yang luar biasa, pasti akan mampu bangkit dan menjadi pemenang. Bahkan Muluk menjanjikan akan mengenalkan Zaenuddin dengan beberapa sahabatnya di pulau Jawa, yang bekerja pada penerbitan.

Tak disangka, suntikan demi suntikan kata ini, membuat mata Zaenuddin terbuka, semangatnya terpacu dan langsung bergerak memutuskan langkah, hijrah ke Batavia. Ditemani oleh Muluk [diperankan oleh Randy Nidji], yang menjadi temannya yang setia. Disinilah roda kehidupan mulai berbalik. Disaat bintang kesuksesan Zaenuddin beranjak naik, justru roda kesuksesan Aziz berbalik arah. Hobbynya berjudi dan berfoya-foya, akhirnya menjerat dirinya ke dalam belitan hutang hingga membuatnya bangkrut, hingga akhirnya takdir mempertemukan mereka dengan seorang konglomerat tajir yang membuat suami istri itu [Aziz dan Hayati] terperanjak. Konglomerat itu adalah Zaenuddin, pemuda tak bermarga yang sempat mereka under-estimate. 

Lalu bagaimanakah cerita selanjutnya? Apa yang membuat film dan novel Buya Hamka diberi judul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck? Monggo langsung beli tiketnya, dan duduk manis di kursi-kursi empuk yang availabel di XXI deh, Sobs! Jangan kuatir, secara garis besar, film ini dikemas dengan kualitas tata produksi yang cukup baik. Akting para pemain diperankan dengan meyakinkan dan solid. Tata artistik dan sinematografinya juga sudah lebih dari cukup. Tata musiknya juga oke banget. Satu lagi, pencitraan yang berlatar belakang tahun 1930an terkesan apik. Sayangnya? Ritme untuk plot tenggelamnya Van der Wijck terlihat begitu tergesa-gesa, sehingga alur yang dari awal terasa begitu menyatu dan mengalir nyaman, tiba-tiba pada 3/4 jalan cerita, seakan berlangsung begitu cepat dan selesai! Itu sih menurut eikeh, Sobs!

Baiknya sih, mending Sobats segera cari tiket deh, dan puaskan rasa penasaran Sobats akan film yang satu ini dengan menontonnya secara langsung. Ok, Sobats tersayang? :)

gambar dari sini
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck [Film, romance, 2013

Directed by Sunil Soraya
Producted by Sunil Soraya, Ram Soraya
Written by Imam Tantowi, Donni Dhirgantoro, Riheam Junianti, Sunil Soraya [Screenplay]
Adapted from Buya Hamka's Novel,  Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck
Starring: Herjunot Ali, Pevita Pearce, Reza Rahadian, Randy Nidji, Gesya Shandy, Arzetti Bilbina, Kevin Andrean, Jajang C Noer, Niniek L. Karim, Femmy Prety, Dewi Agustin, Rangga Djoned, Fanny Bauty
Music by Steve Smith Music Production
Cinematography by Yudi Datau
Editing by Sastha Sunu
Studio Soraya Intercine Films
Running time : 163 minutes
Country:  Indonesia, Language : Indonesia

Belajar review,
Al, somewhere, 6 Januari 2014

19 comments

  1. Sayang ya, saya ngga bisa ikut nonton film ini. Tapi dulu pernah baca novelnya, pinjem di perpustakaan sekolah. Dan sepertinya, dulu itu novel2 seperti ini jadi bacaan wajib.

    ReplyDelete
  2. Ane telat kakanda... rencananya malam nich mau Nonton, tapi Jogja masih diguyur hujan.. jadi ditunda lagi.. T-T

    *SaHaTaGo (Salam hangat Tanpa Gosong) Pojok Bumi Kali Bayem - Yogyakarta

    ReplyDelete
  3. Letak kekuatan film ini ada di ... skenarionya ... kata-katanya ...
    Indah sekali ... ada berjuta rasa berhamburan disana ...

    salah satunya ... kalau tidak salah ... "... makan hati ... berulam jantung ..."
    juga ... "... tak ada kampung ... tak ada halaman ... " ...
    dan banyak lagi ...
    Juga adegan bagaimana pergulatan "harga diri" Zainuddin ... ketika menjelaskan ... "Siapa yang kejam ... aku atau engkau, Hayati ... " ah adegan ini membekas sangat ...

    Salam saya

    (dan satu lagi ... kalau tidak pakai cium bibir waktu di Rumah sakit itu ... mungkin lebih ok kali yaaa)

    ReplyDelete
  4. sudah baca novelnya dulu waktu SMA mbak..

    bagus ceritanya, jadi pengen nonton nih....

    salam saya :)

    ReplyDelete
  5. gak bisa nonton, hiks... terpaksa tunggu lama deh

    ReplyDelete
  6. Salah satu film yang mampu membuat saya tidak beranjak dari tempat duduk, meski sudah sangat kebelet ingin ke toilet. Soalnya, sayang sekali jika melewati adegan demi adegan dengan kalimat-kalimat nan puitis membuai itu.. :)

    ReplyDelete
  7. belum sempat nonton film ini, semoga kamis besok masih tayang di jogja :)

    http:jarwadi.me
    http://jarwadi.blogdetik.com

    ReplyDelete
  8. Saya belum nonton film lagi sejak tahun 1997
    Bukunya sudah pernah baca
    Keren
    Salam hangat dari Surabaya

    ReplyDelete
  9. kabarnya scene yang pas tenggelam kapalnya kurang greget ya kak?

    ReplyDelete
  10. akubelum nonton, kayanya gak bakal bisa nonton di bioskop mbak nunggu DVNya aja :)

    ReplyDelete
  11. Jadi pengen nonton lagi, yuk! heheheheee...

    ReplyDelete
  12. Wah udah pada bikin review filmnya. Harus segera menyusul :D

    ReplyDelete
  13. hahahahaha.. tadi aku heran kok poster filmnya beda. mbak udh cucok tuh mbak, ikutan main film hahaha.

    ReplyDelete
  14. makasih jeng Al, serasa ikutan nonton filmnya ^^

    ReplyDelete
  15. uwaa...
    vey belum baca novelnya tapi jadi pingin baca. kalau filmnya nunggu beredar aja di dunmay. eh? :D
    makasih mbak al, reviewnya bagus

    ReplyDelete
  16. Suka banget sama bukunya dan pengen nonton filmnya ini. Banyak yang bilang bagus juga. Tergesa-gesa ya Mba Al ritmenya? mungkin karena banyak yang mau dimasukkin kali ya Mba sama si sutradara...

    ReplyDelete
  17. Walaupun buku klasik, malu nih aku belum pernah baca bukunya. Walaupun sering dengar judulnya dulu waktu jaman sekolah. Sepertinya filmnya juga menarik ya

    ReplyDelete
  18. jd pengen nonton nih.. udah telat bgt yak.. hehe.. smoga msh ada

    ReplyDelete