Tsunami tak hanya menyisakan alam seisi yang porak poranda. Namun juga menjadikan anak-anak berubah status. Menjadi yatim, piatu, atau malah keduanya [yatim piatu] secara sekaligus, serentak pula. Itulah kisah nyata yang terjadi di bumi Aceh akibat terjangan gelombang tsunami, 26 Desember 2004. Kira-kira hampir delapan tahun yang lalu.
Menjadi yatim, atau piatu atau malah keduanya, jelas bukan pilihan, apalagi harapan. Status ini hadir tanpa diminta karena memang sudah begitulah suratan takdir. Siapa pun tentu sepakat bahwa umur, adalah sesuatu yang mutlak ketetapan Ilahi Rabbi, tanpa seorang pun mampu menegosiasikannya untuk menambah perpanjangan waktu.
Menyaksikan para bocah yang menjadi yatim, piatu bahkan yatim piatu dalam sekejap mata, bukanlah hal yang lazim terjadi. Namun itu yang terhidang di depan mata kala aku kembali ke tanah kelahiran dan bergabung dengan sebuah LSM International yang sedang membantu Aceh pada masa tanggap darurat itu. Pilu, perih, sedih dan iba campur aduk di relung hati, menyaksikan kenyataan pahit yang harus di hadapi para bocah itu.
Adalah tidak mudah bersahabat dengan kenyataan ini. Orang dewasa saja, serasa tak putus airmatanya akibat deraan musibah itu, konon lagi anak kecil, yang biasanya hidup dalam naungan kasih sayang dan perlindungan ayah bunda, eh tiba-tiba, tak hanya kehilangan tempat tinggal, namun malah kehilangan ayahanda, bunda atau malah secara tragis, hilang kedua-nya.
Tragis dan memilukan. Itulah yang kami hadapi. Berhadapan dengan anak-anak yang kehilangan pegangan hidup, membuat kami sangat terpanggil untuk turut serta mengulurkan tangan-tangan kecil kami, dalam rangka membantu sesama, ingin berbuat sebesar mungkin untuk cerahkan hari-hari mereka. Walaupun, jelas... itu bukan hal mudah. Masing-masing kami hanya punya dua tangan, satu kepala untuk berfikir dan dana yang tentu ada batasnya.
Karenanya, disamping melaksanakan program utama ketika itu, kami pun mencoba untuk menggunakan momentum emas dalam rangka menceriakan wajah para yatim. Walau pada pelaksanaannya, cakupan partisipan tak lagi terbatas pada para yatim, namun juga untuk para piatu, yatim piatu, bahkan kami juga mengundang anak-anak korban tsunami yang masih lengkap kedua orang tuanya, yang berasal dari enam desa di wilayah kerja kami kala itu.
Mengapa? Karena anak-anak non yatim juga menderita trauma karena tsunami. Jadi tak ada salahnya untuk ikut serta dalam program tiga hari yang kami gelar itu. Selain untuk sama-sama membangkitkan kembali semangat hidup dan mencerahkan jiwa mereka, juga agar anak-anak yang masih lengkap kedua orang tua nya ini, lebih ngeh dan mampu bersikap lebih baik, santun dan menghargai anugerah terindah [masih memiliki orang tua] yang Allah hibahkan pada mereka.
Maka, mulailah kami menyiapkan segala sesuatu untuk event penting itu. Menggunakan momen suci bulan Ramadhan, kami pun menggusung sebuah paket bernama Pesantren Kilat. Sebuah paket yang sudah tak asing lagi di telinga ya sobs? Yang menjamur ibarat cendawan di musim hujan, :). Tapi bagi kami, ini adalah momentum indah penuh berkah. Ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan dan dioptimalkan sedapat mungkin.
Maka sebuah proposal pun disusun sedemikian rupa, yang langsung disetujui oleh pak Bos. Walau tak mengerti sepenuhnya [pak Bos adalah asli Amerika, dan tentu belum pernah melihat langsung bagaimana event yang satu ini], namun mendengar uraianku, beliau langsung oke dan sangat mendukung ide ini. Alhamdulillah. Setiap niat baik memang akan selalu mendapatkan kemudahan. Ada pula sebuah organisasi dari Australia [Youth of the Street] yang menyumbangkan lebih dari 150 pelbed [tempat tidur lipat ala tentara] serta bantal udara. Klop banget deh.
Untuk pengisian dan pemberian materi Islami sesuai dengan konsep Pesantren Kilatnya, kami menyewa tenaga professional, karena kami ingin agar target yang mau dicapai dari acara ini dapat diraih dengan sempurna. Agar manfaat dari acara ini benar-benar memberi dampak positif bagi anak-anak/partisipan.
Hari H pun tiba. Anak-anak terlihat begitu suka cita. Terlihat dari wajah-wajah ceria mereka, saat beberapa mini bus datang menjemput mereka dari desa masing-masing. Tempat pelaksanaan acara adalah di sebuah gedung Sekolah Menengah Umum di dalam kota Banda Aceh. Sengaja kami memilih tempat di dalam kota, agar anak-anak bisa sekalian refreshing/main ke kota, dan keluar sejenak dari camp pengungsi di desa mereka. Alhamdulillah, Kepala SMU ini begitu baik hati, mengijinkan kami menggunakan gedungnya tanpa harus membayar biaya sewa. Lagi-lagi Alhamdulillah. Allah mempermudah jalan. :)
Acara dimulai tepat jam satu siang, yang dimulai dengan shalat zuhur berjamaah di aula gedung SMU nya, diimami oleh fasilitator senior dari tiga fasilitator yang kami hire. Selesai shalat berjamaah, kemudian anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok. Sengaja kami mencampur baurkan mereka, sehingga tidak lagi hanya berinteraksi dengan teman-teman sesama satu desa, melainkan berbaur dengan anak-anak lainnya dari desa yang berbeda.
Setelah pembagian kelompok, masih bertempat di aula, setiap anak diminta untuk saling mengenal anggota kelompoknya. Baru kemudian, setiap anak di dalam kelompok, diminta untuk memperkenalkan teman di sebelahnya. Jadi mereka tidak memperkenalkan diri sendiri, melainkan memperkenalkan temannya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi dan daya ingat si anak. Juga memancing keseriusan si anak dalam hal mengingat dan berfikir. Dan yang paling penting adalah melatih si anak untuk berani bicara [santun] di depan umum.
Efek dari perkenalan ini adalah terjalinnya keakraban diantara anak-anak tersebut. Jika awalnya tidak saling mengenal [kecuali yang berasal dari desa yang sama], kini terlihat telah mampu berinteraksi dengan 'orang/anak asing'. Juga terlihat masing-masing anak mampu memperlihatkan rasa simpatik dan respek terhadap anak-anak lainnya, terutama terhadap si anak yang telah yatim, atau piatu, atau bahkan yatim piatu. Sementara si yatim sendiri [juga yang piatu atau yatim piatu], terlihat [sejenak] telah mampu tersenyum ceria. Bahkan tertawa tergelak kala sang fasilitator [yang memang kocak] sedang memberi pencerahan-pencerahan disertai guyonan segar menggelitik perut.
Mereka bekerja dengan sangat professional dan penuh humor, sehingga terkesan jauh dari garing. Guyonan segar bernuansa Islami, dengan piawai mereka ramu apik sehingga dapat diserap sempurna oleh anak- -anak yang rata-rata berusia antara 8-12 tahun itu. Acara berbuka puasa pun berlangsung dengan khidmat, penuh keakraban dan disiplin. Tidak ada yang namanya rebutan makanan, semua berlangsung tertib. Sungguh mengharukan dan juga membanggakan.
Shalat magrib berjamaah, diselingi dengan pencerahan dari kakak fasilitator yang berbicara dengan penuh humor, membuat senyuman dan gelak tawa membahana di ruang aula. Anak-anak juga terlihat tertib saat menjalankan shalat tarawih. Mendengarkan kisah para nabi, juga berbagai kisah penuh manfaat akan pentingnya ketaatan anak dan baktinya pada orang tua.
Ruangan terlihat hening, senyap, setiap kakak fasilitator berbicara tentang pentingnya sikap bakti anak terhadap orang tua. Banyak wajah sendu terlihat nyata, kala topik ini menjadi pembahasan. Tentu saja, karena sebagian besar partisipan yang hadir adalah para bocah yang telah kehilangan orang tuanya. Namun sang fasilitator, begitu piawai menghibur hati para yatim, atau piatu dan yatim piatu, dengan segera menyelipkan cara bakti pengganti. Yaitu rajin mengirimkan doa bagi orang tua yang telah mendahului sang anak. Bukankah bantuan paling dahsyat bagi orang tua di alam sana, adalah doa tulus dari anaknya yang soleh/solehah? Dengan telaten para fasilitator membimbing para bocah, mengirimkan doa bagi orang tuanya yang telah tiada itu. Sehingga wajah-wajah sendu tadi pun lambat laun berubah kembali cerah, karena tetap bisa menunjukkan baktinya, walau sang pegangan hidup telah mendahului.
Setiap kelompok mendapatkan kakak ketua [yang adalah para panitia], sebagai pemimpin dan juga teman bagi anak-anak saat tidur di ruangan yang telah dibagi. Sayang sekali dokumentasi berupa foto dan laporan original kegiatan ini hilang sobs, salah hapus saat aku merapikan folder ku dua tahun lalu. Hiks..hiks...
Padahal aku ingin sekali menunjukkan ruangan tempat anak-anak ini tidur, dimana pelbed nya berbaris rapi lengkap dengan bantal udaranya yang berwarna biru. Indah, rapi dan menyejukkan hati. Tapi udah hilang.... hiks..hiks...
Acara puncak yang cukup mendirikan bulu roma dan sukses menuai air mata adalah pada hari ketiga/penutupan. Dimana anak-anak yang sedang terlelap dibuai mimpi, dibangunkan oleh panitia di tengah malam buta. Sekitar jam 2 dini hari. Mereka dibangunkan untuk melaksanakan shalat tahajjud, dan berdoa. Bisa sobats bayangkan kan? Bagaimana para bocah yang masih dengan rasa kantuk luar biasa, harus bangun dan berjalan ke belakang untuk berwudhu, lalu bertahajjud di aula.
Bukan hanya itu sobs... sedang asyik dan kusyuk berdoa, tiba-tiba lampu padam [sengaja dipadamkan]. Suasana langsung sepi, hening. Anak-anak merapat. Takut akan kegelapan [namanya juga gedung sekolahan, jadi kesannya sedikit angker deh dalam pekatnya malam]. Tak ada yang bersuara untuk beberapa menit. Benar-benar hening. Lalu sebuah narasi dibacakan, dengan intonasi yang begitu berwibawa, menyejukkan tapi juga ... sungguh mendirikan bulu roma.
Begitu piawainya para fasilitator ini meramu kata, merangkai bait puisi, dan membacanya silih berganti, antara narasi, puisi, narasi, hingga hening malam itu, berubah menjadi isak tangis dari para bocah, yang merindu akan ayah bunda, dan keinginan untuk terus berbakti. Menyadari bahwa tak ada penghalang untuk tetap berbakti, meskipun sang ayah maupun bunda telah tak lagi di sisi.
Isak tangis makin menjadi saat narasi ditutup dengan bait bait puisi akan kepasrahan manusia pada Tuhannya. Dilanjut dengan ajakan untuk saling bermaafan seiring menyala kembali lampu yang tadi sengaja dipadamkan panitia. Seorang putri yang tak lain adalah Intan, berlari menubruk dan memelukku erat. 'Intan sayang Umi! Maafkan Intan kalo banyak salah ya mi...'. Sungguh membuatku terharu.
Cahaya yang benderang, membuat wajah-wajah para bocah kembali terlihat nyata, bersimbah air mata. Semuanya patuh, berdiri, bergerak membentuk lingkaran obat nyamuk. Termasuk panitia dan fasilitator, semua berada dalam satu lingkaran. Mulai bersalaman sesuai putaran. Hingga semuanya kebagian bersalaman, berpelukan sambil berurai airmata. Wajah-wajah itu kemudian menjadi sangat sumringah kala kami mengumumkan bahwa PELBED dan BANTAL udara nya menjadi souvenir bagi mereka. BOLEH DIBAWA PULANG.
Sungguh sebuah acara yang begitu mengesankan dan melekat di ingatan, terutama di ingatanku sobs, juga Intan [putriku yang sengaja aku ajak serta]. Semoga juga berkesan dan bermanfaat bagi para peserta dan menjadi bekal bagi mereka dalam pengembangan akhlak di hari-hari mendatang. Amin Ya Rabbal Alamin.
Adalah tidak mudah bersahabat dengan kenyataan ini. Orang dewasa saja, serasa tak putus airmatanya akibat deraan musibah itu, konon lagi anak kecil, yang biasanya hidup dalam naungan kasih sayang dan perlindungan ayah bunda, eh tiba-tiba, tak hanya kehilangan tempat tinggal, namun malah kehilangan ayahanda, bunda atau malah secara tragis, hilang kedua-nya.
Tragis dan memilukan. Itulah yang kami hadapi. Berhadapan dengan anak-anak yang kehilangan pegangan hidup, membuat kami sangat terpanggil untuk turut serta mengulurkan tangan-tangan kecil kami, dalam rangka membantu sesama, ingin berbuat sebesar mungkin untuk cerahkan hari-hari mereka. Walaupun, jelas... itu bukan hal mudah. Masing-masing kami hanya punya dua tangan, satu kepala untuk berfikir dan dana yang tentu ada batasnya.
Karenanya, disamping melaksanakan program utama ketika itu, kami pun mencoba untuk menggunakan momentum emas dalam rangka menceriakan wajah para yatim. Walau pada pelaksanaannya, cakupan partisipan tak lagi terbatas pada para yatim, namun juga untuk para piatu, yatim piatu, bahkan kami juga mengundang anak-anak korban tsunami yang masih lengkap kedua orang tuanya, yang berasal dari enam desa di wilayah kerja kami kala itu.
Mengapa? Karena anak-anak non yatim juga menderita trauma karena tsunami. Jadi tak ada salahnya untuk ikut serta dalam program tiga hari yang kami gelar itu. Selain untuk sama-sama membangkitkan kembali semangat hidup dan mencerahkan jiwa mereka, juga agar anak-anak yang masih lengkap kedua orang tua nya ini, lebih ngeh dan mampu bersikap lebih baik, santun dan menghargai anugerah terindah [masih memiliki orang tua] yang Allah hibahkan pada mereka.
Maka, mulailah kami menyiapkan segala sesuatu untuk event penting itu. Menggunakan momen suci bulan Ramadhan, kami pun menggusung sebuah paket bernama Pesantren Kilat. Sebuah paket yang sudah tak asing lagi di telinga ya sobs? Yang menjamur ibarat cendawan di musim hujan, :). Tapi bagi kami, ini adalah momentum indah penuh berkah. Ini adalah kesempatan emas yang harus dimanfaatkan dan dioptimalkan sedapat mungkin.
Maka sebuah proposal pun disusun sedemikian rupa, yang langsung disetujui oleh pak Bos. Walau tak mengerti sepenuhnya [pak Bos adalah asli Amerika, dan tentu belum pernah melihat langsung bagaimana event yang satu ini], namun mendengar uraianku, beliau langsung oke dan sangat mendukung ide ini. Alhamdulillah. Setiap niat baik memang akan selalu mendapatkan kemudahan. Ada pula sebuah organisasi dari Australia [Youth of the Street] yang menyumbangkan lebih dari 150 pelbed [tempat tidur lipat ala tentara] serta bantal udara. Klop banget deh.
dokumentasi original hilang sobs, jadi gambar pinjem dari sini |
senasib dengan pelbed, jadi pinjem dari sini aja gambarnya yaaa |
Untuk pengisian dan pemberian materi Islami sesuai dengan konsep Pesantren Kilatnya, kami menyewa tenaga professional, karena kami ingin agar target yang mau dicapai dari acara ini dapat diraih dengan sempurna. Agar manfaat dari acara ini benar-benar memberi dampak positif bagi anak-anak/partisipan.
Hari H pun tiba. Anak-anak terlihat begitu suka cita. Terlihat dari wajah-wajah ceria mereka, saat beberapa mini bus datang menjemput mereka dari desa masing-masing. Tempat pelaksanaan acara adalah di sebuah gedung Sekolah Menengah Umum di dalam kota Banda Aceh. Sengaja kami memilih tempat di dalam kota, agar anak-anak bisa sekalian refreshing/main ke kota, dan keluar sejenak dari camp pengungsi di desa mereka. Alhamdulillah, Kepala SMU ini begitu baik hati, mengijinkan kami menggunakan gedungnya tanpa harus membayar biaya sewa. Lagi-lagi Alhamdulillah. Allah mempermudah jalan. :)
Acara dimulai tepat jam satu siang, yang dimulai dengan shalat zuhur berjamaah di aula gedung SMU nya, diimami oleh fasilitator senior dari tiga fasilitator yang kami hire. Selesai shalat berjamaah, kemudian anak-anak dibagi menjadi beberapa kelompok. Sengaja kami mencampur baurkan mereka, sehingga tidak lagi hanya berinteraksi dengan teman-teman sesama satu desa, melainkan berbaur dengan anak-anak lainnya dari desa yang berbeda.
Setelah pembagian kelompok, masih bertempat di aula, setiap anak diminta untuk saling mengenal anggota kelompoknya. Baru kemudian, setiap anak di dalam kelompok, diminta untuk memperkenalkan teman di sebelahnya. Jadi mereka tidak memperkenalkan diri sendiri, melainkan memperkenalkan temannya. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan konsentrasi dan daya ingat si anak. Juga memancing keseriusan si anak dalam hal mengingat dan berfikir. Dan yang paling penting adalah melatih si anak untuk berani bicara [santun] di depan umum.
Efek dari perkenalan ini adalah terjalinnya keakraban diantara anak-anak tersebut. Jika awalnya tidak saling mengenal [kecuali yang berasal dari desa yang sama], kini terlihat telah mampu berinteraksi dengan 'orang/anak asing'. Juga terlihat masing-masing anak mampu memperlihatkan rasa simpatik dan respek terhadap anak-anak lainnya, terutama terhadap si anak yang telah yatim, atau piatu, atau bahkan yatim piatu. Sementara si yatim sendiri [juga yang piatu atau yatim piatu], terlihat [sejenak] telah mampu tersenyum ceria. Bahkan tertawa tergelak kala sang fasilitator [yang memang kocak] sedang memberi pencerahan-pencerahan disertai guyonan segar menggelitik perut.
Mereka bekerja dengan sangat professional dan penuh humor, sehingga terkesan jauh dari garing. Guyonan segar bernuansa Islami, dengan piawai mereka ramu apik sehingga dapat diserap sempurna oleh anak- -anak yang rata-rata berusia antara 8-12 tahun itu. Acara berbuka puasa pun berlangsung dengan khidmat, penuh keakraban dan disiplin. Tidak ada yang namanya rebutan makanan, semua berlangsung tertib. Sungguh mengharukan dan juga membanggakan.
Shalat magrib berjamaah, diselingi dengan pencerahan dari kakak fasilitator yang berbicara dengan penuh humor, membuat senyuman dan gelak tawa membahana di ruang aula. Anak-anak juga terlihat tertib saat menjalankan shalat tarawih. Mendengarkan kisah para nabi, juga berbagai kisah penuh manfaat akan pentingnya ketaatan anak dan baktinya pada orang tua.
Ruangan terlihat hening, senyap, setiap kakak fasilitator berbicara tentang pentingnya sikap bakti anak terhadap orang tua. Banyak wajah sendu terlihat nyata, kala topik ini menjadi pembahasan. Tentu saja, karena sebagian besar partisipan yang hadir adalah para bocah yang telah kehilangan orang tuanya. Namun sang fasilitator, begitu piawai menghibur hati para yatim, atau piatu dan yatim piatu, dengan segera menyelipkan cara bakti pengganti. Yaitu rajin mengirimkan doa bagi orang tua yang telah mendahului sang anak. Bukankah bantuan paling dahsyat bagi orang tua di alam sana, adalah doa tulus dari anaknya yang soleh/solehah? Dengan telaten para fasilitator membimbing para bocah, mengirimkan doa bagi orang tuanya yang telah tiada itu. Sehingga wajah-wajah sendu tadi pun lambat laun berubah kembali cerah, karena tetap bisa menunjukkan baktinya, walau sang pegangan hidup telah mendahului.
Setiap kelompok mendapatkan kakak ketua [yang adalah para panitia], sebagai pemimpin dan juga teman bagi anak-anak saat tidur di ruangan yang telah dibagi. Sayang sekali dokumentasi berupa foto dan laporan original kegiatan ini hilang sobs, salah hapus saat aku merapikan folder ku dua tahun lalu. Hiks..hiks...
Padahal aku ingin sekali menunjukkan ruangan tempat anak-anak ini tidur, dimana pelbed nya berbaris rapi lengkap dengan bantal udaranya yang berwarna biru. Indah, rapi dan menyejukkan hati. Tapi udah hilang.... hiks..hiks...
Acara puncak yang cukup mendirikan bulu roma dan sukses menuai air mata adalah pada hari ketiga/penutupan. Dimana anak-anak yang sedang terlelap dibuai mimpi, dibangunkan oleh panitia di tengah malam buta. Sekitar jam 2 dini hari. Mereka dibangunkan untuk melaksanakan shalat tahajjud, dan berdoa. Bisa sobats bayangkan kan? Bagaimana para bocah yang masih dengan rasa kantuk luar biasa, harus bangun dan berjalan ke belakang untuk berwudhu, lalu bertahajjud di aula.
Bukan hanya itu sobs... sedang asyik dan kusyuk berdoa, tiba-tiba lampu padam [sengaja dipadamkan]. Suasana langsung sepi, hening. Anak-anak merapat. Takut akan kegelapan [namanya juga gedung sekolahan, jadi kesannya sedikit angker deh dalam pekatnya malam]. Tak ada yang bersuara untuk beberapa menit. Benar-benar hening. Lalu sebuah narasi dibacakan, dengan intonasi yang begitu berwibawa, menyejukkan tapi juga ... sungguh mendirikan bulu roma.
Begitu piawainya para fasilitator ini meramu kata, merangkai bait puisi, dan membacanya silih berganti, antara narasi, puisi, narasi, hingga hening malam itu, berubah menjadi isak tangis dari para bocah, yang merindu akan ayah bunda, dan keinginan untuk terus berbakti. Menyadari bahwa tak ada penghalang untuk tetap berbakti, meskipun sang ayah maupun bunda telah tak lagi di sisi.
Isak tangis makin menjadi saat narasi ditutup dengan bait bait puisi akan kepasrahan manusia pada Tuhannya. Dilanjut dengan ajakan untuk saling bermaafan seiring menyala kembali lampu yang tadi sengaja dipadamkan panitia. Seorang putri yang tak lain adalah Intan, berlari menubruk dan memelukku erat. 'Intan sayang Umi! Maafkan Intan kalo banyak salah ya mi...'. Sungguh membuatku terharu.
Cahaya yang benderang, membuat wajah-wajah para bocah kembali terlihat nyata, bersimbah air mata. Semuanya patuh, berdiri, bergerak membentuk lingkaran obat nyamuk. Termasuk panitia dan fasilitator, semua berada dalam satu lingkaran. Mulai bersalaman sesuai putaran. Hingga semuanya kebagian bersalaman, berpelukan sambil berurai airmata. Wajah-wajah itu kemudian menjadi sangat sumringah kala kami mengumumkan bahwa PELBED dan BANTAL udara nya menjadi souvenir bagi mereka. BOLEH DIBAWA PULANG.
Sungguh sebuah acara yang begitu mengesankan dan melekat di ingatan, terutama di ingatanku sobs, juga Intan [putriku yang sengaja aku ajak serta]. Semoga juga berkesan dan bermanfaat bagi para peserta dan menjadi bekal bagi mereka dalam pengembangan akhlak di hari-hari mendatang. Amin Ya Rabbal Alamin.
Apa kabar ya anak-anak ini sekarang? |
Artikel ini diikutsertakan pada Giveaway: Cinta untuk Anak Yatim
dan sama sekali tidak bermaksud ria lho sobs.
Hanya sebagai catatan bagiku dan siapa tau bisa menginspirasi. :)