Sobats,
Pernahkah sobats dibuat kesal bin jengkel
oleh seseorang yang ngeyel banget? Aku pernah. Kejadiannya tadi malam. Sebutlah
dia dengan inisial K (Kerbau? Hehe), dia adalah seorang cowok, teman lama, yang
hubungannya denganku pernah sangat akrab. Tapi yang jelas bukan TTM (teman tapi
mesra lho). Keakraban kami terjallin sekitar 7 tahun lalu. Dia sering
mencurahkan keluh kesahnya padaku yang tentu saja aku siap menjadi pendengar
setianya dan memberi masukan semampuku. Begitu juga sebaliknya. Namun hampir di
setiap percakapan, selaluuuu saja dia itu ngeselin deh sobs. Lagaknya itu
seolah dia aja yang benar. Sok menasehati, padahal awal-awalnya dia yang
curhat. Eh giliran diberi masukan, malah menggurui.
Contohnya gini nih, si K ini, curhat bahwa
ekonominya makin seret. Istrinya ngotot ingin ikutan cari duit, untuk
meringankan beban sang suami. Nah, bagus donk? Itulah tanggapan awalku. Bahwa
ga ada salahnya toh istri ikutan cari nafkah? Eh dia malah balik ngotot. Istri
itu tanggung jawabnya ngurus rumah, jagain anak, layani suami. Bukan seperti
kamu, bekerja sepanjang hari, ninggalin anak, jauh dari suami, harusnya di usia
Intan (saat itu Intan kelas 6 SD deh), kamu tuh selalu disampingnya.
Membimbingnya… bukannya malah ditinggal-tinggal tugas.
Nah lho!!! Kesel ga sih sobs? Awalnya dia
yang curhat, eh sekarang kok malah mengecam aku dan pekerjaanku?
Di lain kesempatan, via yahoo messanger
(kami memang jarang bicara langsung karena aku di Aceh dan dia di Surabaya),
dia ingin curhat tentang anaknya yang sakit, dan istrinya yang nangis-nangis
terus karena si anak tidak menunjukkan kondisi yang membaik. Aku ucapkan
empatiku, dan mencoba memberikan gambaran hati seorang ibu agar dia lebih
memaklumi suasana hati istrinya. Eh malah ujung-ujungnya mengecam aku lagi,
gara-gara kalimatku begini..
“Maklumi aja deh mas, seorang ibu itu
hatinya sangat peka, apalagi melihat anaknya terbaring tak berdaya begitu,
pasti sedih. Cara pelampiasannya memang berbeda, ada yang menangis, ada yang berlagak
tenang di depan anaknya agar si anak tidak ikut panic, nah kalo aku tuh yang
seperti itu. Pura-pura tenang walau di belakangnya aku nangis."
Eh kalimatnya kok malah menghunjamku.
"Kamu kan
lain, wong kamu ga sayang anakmu, ditinggal-tinggal begitu sih, jadi batin kamu
ga dekat dengannya."
Whaaat???? Siapa ga marah coba sobs? Itu baru dua contoh.
Yang paling sering topic pembicaraan yang bikin aku sewot adalah prinsip hidup yang dia pegang, bahwa keuangan keluarga adalah tanggung jawab suami dan
istri CUKUP di rumah saja. Mengurus anak dan layani suami. Fiuuuh!!! Cape deh!
Apa salah jika istri ingin bekerja, membantu
meringankan beban suami di masa-masa sulit seperti ini? Salah apa ga sobs? Kalo
aku bilang sih, sejauh suami mengijinkan, dan memang diperlukan, juga si istri
sendiri memang menginginkan bekerja, kenapa tidak, asalkan si istri tidak lupa
pada kodratnya. Ya walaupun mungkin otomatis waktunya akan tersita banyak di
luar rumah, tapi seorang istri yang baik tentu akan berusaha membalancing keadaannya
toh?
Malam ini, setelah berbulan tak saling
menyapa, dia chat aku via BBM.
‘Hi Al, pa kabar lagi dimana?’
Tentu kujawab baik dan aku sedang di Bekasi.
Lalu dia balas, jauh banget, ngapain? Dapat kerja di Bekasi?
Kujawab tidak dan kukatakan bahwa aku sedang
mengurus beberapa bisnis sementara ini di Bekasi. Lalu dia tanya Intan sama
siapa dan suamiku kemana? Kok dibiarkan sih oleh suamiku aku tinggal jauh dari
rumah?
Masyaallah? Apa dikiranya aku anak kecil?
Lalu apa dikiranya suamiku adalah suami yang tidak bertanggung jawab?
Kucoba menjelaskan baik-baik walau
sebenarnya aku sudah ingin meledak. Kukatakan bahwa semua sudah direncanakan
matang, justru karena aku bisa meyakinkan suamiku lah maka aku bisa mendapat
ijin tinggal sementara jauh dari rumah. Toh untuk kebaikan masa depan kami
juga. Lalu dia bilang aku salah, sudah saatnya aku mendampingi Intan. Intan
butuh aku. Cari duit itu urusan suamiku. What? Siapa dia? Ayah bukan kakak juga
bukan. Lagipula selama ini Intan bersamaku toh? Hubungan kami begitu dekat.
Intannya juga fine-fine aja. Ayah ibuku juga mendukung langkahku dengan bersuka
cita menerima Intan bersama mereka.
Rasanya aku sudah mau meledak. Sepele banget
dia dengan suamiku. Kurang asem. Kudinginkan hatiku, kucari kalimat halus yang
bisa menohoknya.
"Mas K, setiap orang punya prinsip hidup
masing-masing, aku hargai prinsip hidup kamu, bahwa suami bertanggung jawab
mencari nafkah, dan istri di rumah. Fine. Tapi tidak semua orang seprinsip kan?
Makanya banyak wanita yang bekerja, karena mereka dan suami mereka sepakat
istri bekerja. Ga ada yang salah deh sejauh semua disepakati. Sah-sah saja toh?"
Eh tulisnya….
“Al, kamu itu sudah saatnya berhenti kerja,
kamu harus bersama Intan. Gajimu yang selangit itu apa ga cukup? Apa sih yang kamu
kejar? Suamimu harus bertanggung jawab. Kamu temani Intan.”
Bah! Seolah-olah suamiku menelantarkan kami
dan aku harus banting tulang. NO. Mister Kerbau ini harus dibantai. Kuketik
kencang dan enter kalimat ini,
“Mas, aku ga ingin kita berdebat apalagi
berantem. Kamu itu sok tau banget ya? seolah-olah mengenalku begitu dekat.
Seolah-olah Intan itu telantar aku buat. Seolah-olah aku bukan ibu dan istri
yang baik. Tau apa sih kamu tentang aku? Jangan sok menggurui deh, setiap
manusia ada kelebihan dan kekurangan. Jadi mari kita hargai itu.”
Eh dibalas lagi lebih ngeyel bahwa intinya
aku HARUS kembali ke Banda Aceh, tinggal bersama Intan. Cukup suamiku aja yang
cari nafkah. Lalu aku tanyakan padanya, masih mencoba lembut, pernahkah
terpikir olehnya, bahwa yang namanya ajal itu, bisa saja suami mendahului
istri, nah jika ini terjadi padanya, pernahkah terpikir olehnya siapa yang akan
melanjutkan penyediaan biaya hidup keluarganya? Siapa yang akan menyediakan
uang sekolah anaknya? Istri toh? Nah, apa yang harus dilakukan sang istri jika
selama ini tak pernah belajar bekerja?
Eh malah kalimatku tak digubris. Itu lain
cerita, katanya. Dia mengharuskan aku kembali ke Banda Aceh, karena apa yang
kuperoleh selama ini sudah lebih dari cukup. Bahwa sebulan gajiku itu setara
dengan 17 kali gaji temanku Wina (kebetulan dia juga mengenal Wina yang bekerja
sebagai seorang admin di sebuah perusahaan financing). Jadi aku harus pulang,
segera. Biar suamiku yang bekerja. Huft. Siapa loe? Sok tau banget si mr. Kerbau ini!
Kesabaranku habis sudah, tak guna melayani
orang keras kepala seperti ini. Hanya aku masih berfikir, apa motifnya
menyuruhku pulang? Takut bursa pencari kerja di ibukota ini semakin membludak?
Haha… come on! Aku tidak sedang mencari pekerjaan disini kok, kalo pun
berminat, tentu aku milih-milih. Bukan melamar di segala penjuru. Tentu aku
memperhatikan kualifikasi yang aku miliki dan rate gaji yang ingin kuincar
donk. Aku bukan saingan bagi siapa-siapa kok. Jadi ga perlu kuatir deh..
BBku berbunyi tang ting tang ting, notified me
that some messages entered. Tapi tak lagi kugubris, kulirik sekilas, masih
kalimat mengecam, menyuruhku pulang dan tinggal di rumah. Segera ku alihkan
cursor ke contact, mencari namanya, lalu klik ‘delete’ contact. Contact mister
Kerbau pun terhapus sempurna dari BBku. Lengkap dengan ‘ignore future’
invitation, karena aku yakin seyakin-yakinnya bahwa aku tak ingin lagi berteman
dengannya.
Tapi yang bikin penasaran, kenapa dia begitu
ngotot ya? Salahkah seorang wanita yang ingin bekerja?