Postingan sebelumnya ada
disini
Kamis, 15 November 2012, sore menjelang malam.
Hari ini, perjalanan yang memakan waktu sekitar 12 jam pun di akhiri dengan berhentinya si badan besar berlogo Sinar Jaya di terminal Mendolo. Perjalanan yang menurut temanku sih termasuk lama [dari jam 6 pagi dari kota Bandung dan sampai di jam 6 malam]. Tak heran, karena sepanjang jalan, berbagai karnaval menyambut tahun baru Hijriah membuat jalanan semakin ramai. Deretan anak-anak dan para guru, berbaris membuat jalanan semakin berwarna. Asyik juga sih, namun ya itu tadi, efeknya adalah molornya jam ketibaan [halah, kayak bahasa negeri jiran aja deh] kami ke meeting point. Untungnya
Ririe belum sampai. Jadi aku dan
Una bisa menunggu sambil makan, sejak pagi kami berdua hanya makan cemilan yang kami bawa dari rumah.
Namun ternyata sobs, terminal yang satu ini tak seperti harapan dan jauh dari bayangan. Suasana sepinya saat kami menjejakkan kaki di atasnya, langsung memadamkan angan untuk bersantai ria sambil mencicipi aneka makanan [yang biasanya] tersedia di warung-warung terminal. Celingak celinguk aku dan Una mencari warung yang masih buka, namun tak satu pun yang sesuai harapan. Ada sih beberapa kios yang masih buka, tapi mereka hanya menjual minuman botol, aneka oleh-oleh atau penganan berkemasan. Bukan makanan pengisi perut [baca: nasi dan lauk pauk atau mie dan sejenisnya]. Ya sudahlah....
Mencari toilet adalah tujuan selanjutnya. Setelah melepas hajat, kami pun ber-sms dengan Ririe yang ternyata masih jauh. Maka berkelana lah kami menjelajah terminal, mencari warung/kios yang mungkin menyediakan mie instant. Dan Alhamdulillah, ada sebuah warung yang ditunggui oleh pemiliknya yang ramah. Si ibu segera menyiapkan pesanan yang kami minta. Dua gelas teh manis hangat dan sepiring mie instant rebus. Una masih memilih melihat dulu tampilan mie rebus pesananku, baru nanti akan bereaksi selanjutnya. :)
Terus terang, seumur-umur, aku baru kali ini mendapati sebuah terminal yang sepi seperti ini. Bagai tak ada tanda kehidupan. Di sudut sana, terlihat beberapa tukang ojek yang sedang duduk-duduk. Mie rebus yang terhidang, terkesan nikmat, dan tentu segera kulahap donk. Enak, lumayanlah, walau sebenarnya aku sedang diet mie instant. Apa boleh buat, dalam situasi no other option, pantangan bolehlah dilanggar. :)
Una ternyata juga berminat akan mie nya, tapi minta yang versi gorengnya. Dan terus terang juga menggelitik saraf lapar di dalam perutku menatap mie gorengnya itu. Oya, sambil menikmati mie kami, Una dan mas Stumon sempat chat. Makasih ya mas, telah menemani kami dalam masa penantian [Ririe]. Sayang banget dirimu ga ikut serta ya mas! #Jangan melotot iri gitu donk ah!
Selesai makan, saatnya warung di tutup dan kami dipersilahkan [atau diusir ya? hehe] untuk duduk menanti di luar warung saja.
 |
Ini terminal apa apa ya? Sepinya ini lho! |
Dan mulailah kami dikerubuti oleh para tukang ojek begitu kami duduk-duduk di bangku panjang ini. Sedikit memaksa agar kami menggunakan jasa mereka saja untuk diantar ke tempat tujuan. Namun bujukan itu terhenti dengan sendirinya saat kami katakan bahwa kami sedang menanti jemputan dari Barjarnegara.Oya,
Idah Ceris yang tinggal di Banjarnegara, juga memutuskan untuk bergabung dalam perjalanan ini. Asyikkk! dan kami jadinya ngerental mobil tetangganya Idah. Makasih ya Dah... Jadi lah kami menanti Idah dan Ririe, di terminal yang sepi ini.
Sambil menanti, aku ingatkan Una untuk cek kembali penginapan Gunung Mas yang telah di booked Una kemarin. Olala, ternyata, karena kami belum sampai di mereka hingga sore hari, mereka telah lepaskan kamar yang telah kami pesan itu pada orang lainnya. Gile bener. Mau marah tapi ga ada gunanya. Menggunakan Laxy, kamipun browsing penginapan-penginapan lainnya. Semua penginapan yang ada di jalan utama telah penuh dan sungguh membuat kami kecewa. Masak ga jadi nginap di Dieng? Kan besok mau berburu sunrise?
Hingga akhirnya, seseorang dari penginapan yang kami dapati dari internet, menjanjikan akan mencoba cari penginapan/homestay yang agak jauh dari jalan utama. Tak apa, yang penting dapat! itu yang ada di pikiran kami saat itu, dan sungguh berharap si 'seseorang' itu dapat membantu. Hingga beberapa belas menit kemudian, si orang tersebut berhasil mendapatkan sebuah kamar di homestay bernama Mawar Putih. Review penginapan bisa di baca di postingannya Idah Ceris yang
ini. Mungkin untuk pembelajaran juga bagi teman-teman yang akan ke Dieng, pastikan penginapan yang telah di book tidak dilepas ke orang lain, yaitu dengan menghubungi kembali si pemilik penginapan, menginformasikannya bahwa kita tetap akan menginap disana, hanya akan terlambat tiba karena sesuatu hal. Kesalahan kami adalah, bahwa kami tidak mengabarinya lagi setelah booking kemarin. :D
Dua jam berlalu, aku dan Una sudah lelah juga mandah sana mandah sini di terminal itu, hingga akhirnya Ririe telefon, menanyakan posisi kami. Dia telah sampai namun tidak melihat keberadaan kami. Bergegas kami menyamperinya, yang ternyata berada di pintu gerbang masuk terminal. Mobil travel yang ditumpanginya menurunkannya di pintu gerbang itu, sementara kami menunggu di warung dekat pintu gerbang keluar.
Berjalanlah aku dan Una ke pintu gerbang masuk, dan gembira rasanya mendapati si nona cantik ini telah berdiri disana. Peluk-peluk pun terjadi. Gembira rasanya berhasil mengubah pendiriannya. hehe.
Kemarin memang Ririe memutuskan untuk tidak jadi ikutan dalam misi ini, karena pekerjaan kantor yang seabrek sudah menantinya di Senin ini.... namun berkat rayuan dan negosiasi [yang kata Ririe maut banget], aku akhirnya berhasil mengubah keputusannya, dan membuatnya hadir disini. Walau untuk itu, Ririe harus menempuh perjalanan yang teramat panjang [mungkin nanti bisa dibaca di postingan Ririe tentang hal ini].
Tiga anggota pasukan telah hadir, tinggal menunggu anggota terakhir yang sebenarnya berjarak paling dekat dari daerah tujuan. Yup, nungguin Idah lah kami sambil bercengkerama di pinggiran taman, dekat pintu gerbang. Beberapa kali sang satpam terminal menawarkan gardunya untuk kami tempati, katanya lebih hangat dan ada kursinya. Namun kami dengan sopan menolaknya. Bukan apa-apa, rasanya lebih enak duduk di tempat terbuka, jadi nanti Idah akan gampang menemukan kami.
Akhirnya yang dinantipun tiba. Idah dan Xenia serta sopirnya. Aha. Saatnya melanjutkan perjalanan donk! Tapi Una masih minta diantarkan ke atm terlebih dahulu, dan kami memutuskan untuk belanja beberapa makanan cemilan saja daripada berhenti di warung yang juga susah didapati karena waktu yang telah larut. Ha? Jam delapan sudah larut? Kayaknya sih begitu sobs, soalnya ga ada lagi warung yang keliatan buka sih. Lagian mengingat jarak tempuh ke Dieng akan memakan waktu kurang lebih satu jam, maka kami putuskan untuk tidak makan malam dengan menu makanan utama deh.
Satu jam kemudian, kami pun tiba di Dieng, udara dinginnya sungguh mendamaikan. Dingin sih, tapi tidak terlalu. Tadinya aku membayangkan suatu suhu yang bikin menggigil. Tapi ternyata ga sampai segitunya sih. Haha....
udah ditunggu oleh si pemilik penginapan dan kami langsung diajak ke homestaynya. Pemiliknya memang sangat baik dan ramah. Sesuai dengan berita-berita yang ada di internet, bahwa masyarakat Dieng itu sangat ramah dan welcome terhadap para pelancong.
Kami mendapati sebuah kamar dengan dua bed. Ada sih beberapa kamar lainnya di kiri dan kanan kamar kami. Tapi kami memilih sekamar ber4 saja, biar selain lebih akrab, juga dingin-dingin begini kan enaknya rame-rame.
Jadilah kami berdua-duaan di satu bed. Aku dan Ririe sementara Una dan Idah. Pemilik homestay sudah memberitau jika ingin melihat sunrise, maka kami sudah harus meninggalkan homestay paling lambat jam 4 pagi. Dan kami sungguh tidak ingin kehilangan moment ini, maka alarm masing-masing pun di setel. Aku sendiri menyetel alarm di angka 3 pagi, karena paling tidak aku akan butuh waktu 1/2 jam untuk berkemas.
Eh Ririe malah menyetel lebih cepat lagi. 1/2 Jam lebih cepat. Dan jadilah aku sudah terbangun jam 1/2 tiga. Yang lainnya aku lihat masih tidur pulas. Aku sendiri udah ga bisa tidur, oleh suara alarm HPnya Ririe yang setiap beberapa menit sekali terus berbunyi. Yo wes, aku bangun lebih dulu, siap-siap, baru kemudian menggebrak mereka untuk segera bangun. hehe.
Agak sedikit panik saat kami sudah ready, sementara si mas supir tidak bisa dihubungi. HPnya off. Oh my God! Namun kita harus tenang donk... segera kita coba keluar rumah dan mencari mobil, mungkin parkir dimana gitu. Eh ternyata yang dicari tak jauh-jauh kok perginya. Si mas supir tidur lelap di dalam mobil yang diparkir di samping homestay. Dengan berat hati, terpaksa kita bangunkan si masnya. Dan meluncurlah Xenia hitam itu membawa kami hingga ke kaki bukit Sikunir, dimana sang sunrise akan menyapa dunia.
Perjalanan ke bukit sikunir ini memakan waktu sekitar 45 menit kurang lebih. Banyak sekali mobil dan motor yang telah parkir di sana. Ternyata keputusan kami untuk tidak menggunakan jasa si bapak pemilik homestay sebagai pemandu pendakian adalah tepat. Bisa menghemat biaya! Kita tidak memerlukan pemandu, karena memang rame sekali orang-orang dengan tujuan yang sama menuju pendakian.
Kami pun mengikuti arus [orang-orang yang mendaki] dengan penuh semangat. Tua muda, besar kecil tak terkecuali, semua dengan satu tujuan. Pendakian yang tadinya aku pikir akan berat, terasa ringan karena kebersamaan.
Well sobs, episode pendakian dan ada apa di atas bukit sikunir ini akan dilanjutkan pada postingan berikutnya yaaaa......
Saleum,
Al, Bandung, 19 November 2012