Halo sobats maya tercinta…. Semoga semuanya dalam keadaan sehat sempurna ya? Pasti sedang pada mimpi indah nih kayaknya....atau masih ada juga yang sedang berada di halamannya Alaika saat artikel ini dipost-kan? Hehe.
Tau ga sobs, dua hari ga sempat posting dan bersilaturrahmi kok rasanya kangen banget ya dengan sobats semua? Bener lho, ga boong. Suer!!! Apalagi teringat janji pada Mak Cebongs untuk ikutan perhelatan akbar yang sedang mereka gelar, tentunya sebagai sahabat yang baik, walau belum pernah nih kopdar dengan ketiga penyelenggara kontes, aku ingin ikut serta mensukseskan acaranya mereka….
Bagiku, kalah menang bukahlah hal utama, yang penting bisa berpartisipasi memeriahkan perhelatan yang sedang digelar oleh para sahabat, ini yang lebih penting.
So, untuk mempersingkat waktu (cieeee…. Kok kalimatnya kayak saat buka acara tadi ya? hihi), maka yuk ikuti kisah nyata menggelikan yang tak akan pernah terlupakan dari ingatanku ini yuk sobs…..
suatu ketika di pertengahan Juni 2006,
di sebuah pulau indah nan perawan bernama Nias………
Aku dan team yang terdiri dari dua bule asal Portland, United States of Oregon bernama Kecia dan Jenny, beserta seorang teman asli Aceh bernama Ratna, ditugaskan oleh organisasi tempatku bekerja saat itu untuk mendesain sebuah proyek Kesehatan Masyarakat yang akan dilaksanakan di beberapa kecamatan di Kabupaten Nias Selatan. Tahap awal yang harus dilakukan adalah melaksanakan Need Assessment.
Maka berangkatlah kami berempat ke pulau yang pada masa itu memang masih-masih sangat perawan. Indah namun terisolir… sehingga boro-boro mengharapkan koneksi internet yang apik, dapat sinyal yang bagus untuk komunikasi aja sulit banget. Maka istilah GSM (Geser Sikit Mati) menjadi sangat popular bagi kami saat itu…
Kunjungan itu adalah kunjungan kali kedua aku menjelajah Nias dalam cakupan wilayah yang lebih luas. Jika dikunjungan pertama, aku hanya turun ke pulau ini bersama supervisorku Caitlin, yang asli California, dalam rangka memilih kabupaten mana yang akan jadi target proyek, maka dikunjungan kedua ini, tentu waktu tinggal teamku akan lebih lama lagi dengan cakupan wilayah yang tentunya menjadi lebih besar.
Bagiku dan team, ini adalah pekerjaan yang sangat menantang juga mengasyikkan. Berinteraksi dengan penduduk setempat yang jelas berbeda jauh budaya, karakteristik dan kesehariannya, bercengkrama dengan anak-anak kecil yang lugu nan polos dan pemalu, sungguh menyenangkan.
Need Assessment kami lakukan melalui beberapa metode, baik focus group discussion dengan kelompok masyarakat, kepala puskesmas, perawat/bidan, kepala Pustu bahkan dengan dukun beranak yang tinggal terpencil di desa nun jauh di pedalaman.
Kegiatan ini berjalan lancar dengan response yang sangat baik dari setiap pihak yang kami kunjungi. Hingga sampailah kami pada sebuah Pustu (Puskesmas Pembantu) di sebuah desa bernama S*l*ga, kecamatan L***wau, Nias Selatan. Kepala Pustu menyambut kami dengan baik, memberikan segala info yang kami butuhkan dan menyampaikan harapan-harapannya jika memang desa ini kelak terpilih menjadi salah satu pilot project dari project Community Health ini.
Sabar donk sobs…… Justru disinilah kisah menggelikan ini bermula. Kisah yang sebenarnya akan jadi tragis dan membahayakan andai saja insting dan pikiranku tidak bersinergi dengan baik pada saat itu sobs. Huft!.
Oke… oke. Jadi ceritanya begini sobs,….
Saat sedang serius bertanya jawab dan diskusi dengan sang kepala Pustu, tiba-tiba aku kebelet pipis. O iya sobs, sebagai info tambahan nih, bahwa di Nias Selatan terutama, susah banget mendapatkan toilet/kamar mandi yang layak (pada saat itu lho…). Namun aku yakin, sebagai puskesmas pembantu, tentu lah mereka memiliki toilet yang layak dan bersih. Aku yakin itu. Apalagi penampakan PUSTU nya sendiri juga bersih dan lumayan nyaman. Juga aku lihat istri kepala Pustu juga berpenampilan bersih. Maka pamitlah aku pada kepala Pustu, numpang ke toiletnya mereka.
Maka, dengan ditunjukkan arah oleh ibu kepala PUSTU, maka melangkahlah aku ke belakang, menuju dapur yang tak jauh dari ruang tamu tempat kami duduk. Keluar dari pintu dapur, mataku menangkap sebuah pintu lain yang didekatnya diletakkan sebuah drum biru besar berisi air. Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa ini pasti toilet/kamar mandi yang aku cari. Tak salah lagi. Apalagi ada gayung di atas drum plastik itu. Kulangkahkan kaki dengan pasti dunk kesana, apalagi pipisku rasanya udah diujung tanduk nih sobs.
Kuputar handle pintu itu dan melangkah masuk dalam kegelapan. Gelap banget nih toilet, dimana saklarnya ya? Kuarahkan kedua tanganku ke dinding, meraba dan mencari, namun sobs, belum sempat jemariku menemukan saklar lampunya, eh sebuah suara asing dan mengerikan, yang jelas-jelas berasal dari hadapanku, benar-benar membuatku melompat refleks, keluar dari kegelapan itu., Ya Allah, apa ini? Pikirku…..
Sesampai di luar, bersamaan dengan cahaya yang menerpa, ingatanku langsung melayang pada beberapa cerita teman yang sudah duluan ke pulau ini. Bahwa toilet yang layak telah disiapkan oleh beberapa NGO yang membangun rumah bagi masyarakat korban gempa di pulau ini, namun teteup aja masyarakat pulau ini belum terbiasa menggunakan toilet untuk toilet, tapi malah menggunakannya sebagai rumah bagi peliharaan utama mereka bernama BABI.
Ya Allah, jadi yang tadi di dalam itu adalah babi? Oh my God! Untung saja aku ga langsung buka celana, dan jongkok di closetnya….. kalo ga, bisa diseruduk aku. Ih.. amit…amit!
Selamat dari peristiwa itu, aku malah jadi penasaran untuk mencari toilet yang sebenarnya. Kuarahkan langkahku menuju dapur dan bicara dengan istri kepala Pustu yang sedang memasak.
‘Bu, maaf, saya ga nemu toiletnya? Yang mana toiletnya?’
‘Lho, jadi belum kencing?’
Kugelengkan kepala seraya tersenyum dalam hati mendengar kata ‘kencing’. Si ibu menunjuk sebuah tempat yang dipagari dengan terpal plastic yang sudah usang. Hm… itu toh. Baiklah. Kulangkahkan kakiku kesana setelah mengucapkan terima kasih.
Dan olala….. terpana aku menatap ‘toilet’ yang satu ini. Sayang aku meninggalkan kameraku di ruang tamu sana, bahkan HP pun tak bersamaku saat itu. Ingin banget kuabadikan pemandangan ini sobs. Ternganga aku menatapnya.
Sebuah tanah datar tanpa sebuah lubang pun diatasnya. Lebih parah lagi, tak sepercik air pun tersedia disana. Okelah, kalo pipis saja bisa di atas tanah datar ini, lalu cebok/bilasnya pake apa dunk?
Lalu kalo mau pup, dimana? Ya ampun…. Bisa-bisanya toilet dijadikan kandang babi, lalu untuk toilet mereka sendiri hanya seperti ini.
Apa boleh buat sobs, pipis yang sudah diujung tanduk itu tak mampu lagi kutahankan, maka berbekal beberapa helai tissue yang kusambar dari dalam tasku tadi, mulailah aku melepaskan hajat kecilku itu... dan tercatatlah dalam sejarah hidupku, pipis pertama tanpa bilas dengan air, tanpa bersuci. Ga ada pilihan lain sobs. Terpakse aye!!
Lalu sobs, tuntas melepas hajat, kuayunkan langkah kembali ke teamku yang tentunya sudah mendapatkan banyak informasi yang kami butuhkan dari sang kepala Pustu.
‘How is the toilet?/gimana toiletnya?’ bisik Jenny saat aku duduk kembali disampingnya.
Timbul isengku.
‘Not bad, you should try/lumayan, kamu harus coba lho!” jawabku dengan senyum meyakinkan. Sambil menunjukkan arah pada Jenny yang ingin pipis juga.
Kubayangkan Jenny akan mengalami hal yang sama seperti yang baru saja kualami sambil tersenyum geli. Benar saja, tak lama, Jenny bergegas kembali dan meninju bahuku begitu dia duduk kembali di samping.
“Kamu nakal!!!” jeritnya dalam bahasa Indonesia yang cadel. Tawaku dan Jenny jelas membuat Ratna dan Kecia penasaran. Tapi jelas dunk kami ga bisa langsung update kejadian itu pada kedua rekan itu sebelum keluar dulu dari Pustu.
Tak sanggup menahan tawa yang ingin meledak, Jenny segera memberi kode agar kami segera mengakhiri diskusi serta permisi secepatnya. Dan sobs, dapat dibayangkan bagaimana meledaknya ketawa kami saat Jenny menceritakan pada Ratna dan Kecia kejadian yang kami alami tadi.
Gile bener. Seumur-umur di Aceh aku belum pernah lihat langsung hewan bernama babi. Apalagi menyentuh dan memakannya, jelas haram bagi umat muslim. Tapi di pulau indah ini, hewan mirip kerbau tapi pendek ini hampir saja mencium/menyerudukku dengan hidung jeleknya itu. Ih…. Untung aku sigap dan lompat keluar. Ampun deh….
Dan, kejadian ini tetap menjadi topic hangat yang sering kami ulang-ulang saat melakukan project design di ruang kerja, sepulang dari Nias. Bahkan sampai kini, jika aku dan Jenny or Kecia maupun Ratna, ketemu di ym or skype, pasti obrolannya akan lari ke kejadian itu lagi dan lagi. Hahaha….
“Alaika berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi - Jeng Nia disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, Kios 108