Biskuit Legend Penuh Kenangan

Hari mulai beranjak siang ketika perutku mulai agak bergemuruh memberi isyarat. Ah, tak terasa, sudah sekian lama aku menarikan jemari di keyboard-nya Macsy, ketak-ketik merangkai kata, membentuk alur cerita, dan menjadikannya kisah untuk dibaca. 

Kulirik angka penunjuk waktu yang tertera pada sudut kanan Macsy yang telah memperlihatkan angka 12.30 wib. Wow, pantesan saja perutku mulai keroncongan. Sejak memutuskan untuk melakukan intermittent fasting dua bulan lalu, maka aku komit untuk tidak mengkonsumsi apapun selain air minum sebelum pukul 12 siang. Dan aktivitas makan malam sudah berakhir pada pukul 20.00 wib malam harinya. 

Biscuit Legend

Khong Guan - Regal Biscuit Marie

Sejak tadi pagi, aku memang sudah duduk di laptop ini dan fokus untuk menulis. Dan ajaibnya, karena dari kemarin pikiranku melayang pada beberapa jenis biskuit yang kayaknya bakalan enak nih jika dimakan sambil menyesap teh hangat di sore hari, lalu image beberapa biskuit pun bermunculan di layar laptopku, termasuk sebuah artikel tentang produsen biskuit ini, yang ternyata ditulis oleh teman bloggerku, Mba Lia Latifah. Haha. 

Mengagumkannya adalah, si biskuit legend "Marie-Regal" dan "Khong Guan" justru yang paling sering muncul! Amazing. Sebegitunya ya, gaes? Jadi ingat dengan kalimat ini, 'think become thought, thought become reality'. Wow! 

Ah, tetiba hatiku jadi melow. Ya Allah, kedua biskuit legend ini memang langsung membawa kenanganku pada almarhum ayah. Kedua jenis biskuit ini selalu ada di rumah kami, dan menjadi cemilan favorit aku dan adik-adikku. Herannya, kami tak pernah bosan menikmatinya, karena ibuku selalu saja punya cara dalam mengubah citarasa mau pun bentuknya menjadi penganan lain yang jauh lebih sedap dari sekedar roti kering a.k.a biskuit itu. Hehe. 

Olahan makanan mau pun cemilan dari kreasi tangan dan pemikiran ibuku memang selalu mampu menarik minat aku, adik-adik, juga ayah untuk selalu kangen akan masakan dan cemilan rumahan alias hasil karya ibuku. 

Sebagai ibu rumah tangga sejati, ibu memang selalu memperhatikan pentingnya asupan gizi dan kebersihan makanan yang kami konsumsi demi memastikan seluruh anggota keluarga kami terjamin kesehatannya. Dan benar saja, aku dan adik-adik, juga ayah, jadi tak suka berlama-lama di luar rumah. Begitu aktivitas luar rumah kami selesai, maka kami pun seperti 'tersedot' untuk kembali ke rumah, dan berkumpul bersama, menikmati cemilan atau masakan ibu. Ah, I really missed that moment!

Moment Yang Berlalu dan Tak Mungkin Kembali

Kesempatan memang sungguh jarang untuk terulang. Begitu juga dengan kisah demi kisah yang kita rajut di dalam kehidupan. Ibarat air sungai yang mengalir, maka kita tak akan pernah bisa merengkuh air yang sama untuk kedua kalinya, karena si air telah mengalir jauh, dan tak akan pernah kembali. 

Anak-anak telah dewasa, orang tua beranjak senja. Ayah telah berlalu, kembali kepada Sang Maha. Tinggal kini ibu yang masih ada. Ah, malam ini, sembari merajut untaian kata ini, tak terasa ada bening yang mulai luruh. Runtuh. 

Tak hanya bola mata yang membasah, tapi hati ini pun beranjak biru. Rindu. 

"Assalammualaikum, Mak. Teungoh peu, Mak. Golom teungeut?" (Assalammualaikum, Mak. Lagi apa? Belum tidur?"

Serbuku begitu nada memanggilku pada salah satu aplikasi messenger yang kami gunakan bersambut. 

"Golom, kiban, nyak?" ("Belum, gimana, nak?") Jawaban lembut ibu langsung meneduhkan hatiku. Ah, aku jadi makin kangen. Thanks to technology yang telah virtually menghubungkan aku dengan ibu hanya dalam hitungan detik. Alhamdulillah.

Lalu kami pun ngobrol sejenak, bertukar kabar tentang hari ini, dan ditutup dengan pesan agar menjaga kesehatan masing-masing. Tak sabar rasanya ingin segera membawa ibu kembali tinggal bersamaku. Ijinkan lah ya, Rabb. Please.... 


Sebuah catatan penutup malam,

Al, Jakarta, 15 Feb 2023

0 comments