Ayo, Move On!

Ini cerita Minggu lalu, tapi belum sempat duduk manis untuk menuliskannya karena perlu waktu untuk menenangkan hati sang sahabat yang sedang terpuruk oleh cinta yang tiba-tiba saja jadi hancur berantakan. Ceritanya sebenarnya udah mainstream bahkan klise sih, karena di dunia ini, sering sekali kita menemui kasus-kasus yang seperti ini. Bahwa sepasang kekasih menjalin hubungan dengan begitu bersungguh-sungguh, bersikap serius bahkan pembicaraan pun sudah masuk ke tingkat lamaran dan rencanakan pernikahan. Namun, eh, ga ada angin ga ada hujan, apalagi petir, tiba-tiba si pria menghilang britanya, tanpa aba-aba. Lebih sakitnya lagi, si pria masih wara-wiri di hadapan atau lingkungan tempat tinggal kita, namun kehadirannya mau pun tegur sapanya, tak lagi mampir ke hadapan kita mau pun keluarga. Nah, kalo sudah begini, tentu, moving on bukanlah hal yang mudah!

Itu pula yang sedang dihadapi oleh sahabat karib [masa kuliah dulu], yang sebenarnya udah lama banget ga saling bertemu. Minggu lalu, nomor hapenya muncul di layar my smart andro. Aih, Fera [bukan nama sebenarnya], apa kabarnya teman baikku yang satu ini? Udah married belum ya doi? Komunikasi pun tercipta, dan surprise! Dia sedang di Bandung, dan sama sekali tak tahu jika diriku sudah berdomisili di kota kembang ini. Segera deh kami meet up, tak tanggung-tanggung, Fera mandah ke kosan! Tadinya aku sudah membayangkan sebuah reunian yang penuh sukacita, mengingat banyak hal indah yang perlu kami ungkit dan pasti akan membuat kami berdua terpingkal-pingkal. Namun...,

Ealah, bukannya bersuka cita dan bergosip tentang teman-teman lain, ini malah mata, telinga dan perhatianku tercurah pada tumpahan air mata Fera akibat curhat tentang nasib cintanya yang lagi-lagi patah di tengah jalan! Oh My God! Fera melarikan diri, hati dan penderitaannya ke sini. Ke Bandung. Hiks. Jadi ingat, dulu.... beberapa tahun silam, kisah yang sama pernah terjadi. Fera akan menikah dengan Bima,  kekasihnya yang sudah mempersiapkan segala persiapan untuk melamar Fera ke keluarga besar Fera. Eh, kok bisa-bisanya, beberapa hari berselang setelah kesepakatan itu, Bima menghilang sejenak dan muncul lagi dengan berita luarbiasa menyedihkan! Bima menikah dengan gadis lain!

Dan, herannya, setiap Fera sedang dalam duka, adalah aku yang menjadi pelariannya. Tanpa disengaja sebenarnya. Entah deh, setiap mengalami dukacita oleh cinta, pasti Allah mempertemukan kami berdua. Dan kali ini, juga sama. Fera bersimbah air mata oleh cinta yang tak lagi berpihak kepadanya. Yang menyedihkan kali ini adalah, bahwa pihak keluarga dan handai tolannya, sudah familiar dan welcome banget dengan calon suami Fera. Seorang laki-laki usia 50an [duda?], beranak empat, aparat militer dengan jabatan dan pangkat cukup menggiurkan. Awalnya, Fera memang tidak tertarik untuk menerima Firman [bukan nama sebenarnya], namun karena Firman dibawa oleh salah satu kerabat Fera, untuk dijodohkan dengan Fera, yang hingga usia 44 tahun belum menemukan jodoh, akhirnya Fera mencoba untuk membuka hati. Firman termasuk lelaki yang piawai membuka dan meraih hati Fera yang sangat Islami. Tak heran jika hubungan yang awalnya dingin, berangsur hangat dan semakin serius hingga memasuki usia genap setahun.

Tak tanggung-tanggung, rencana untuk melamar pun telah dicanangkan. Yaitu selepas idul Fithri kemarin, maka Firman akan mendatangkan keluarganya untuk melamar Fera. Pihak keluarga Fera pun bersiap diri, menanti. Ealah, yang dinanti tak kunjung tiba. Bahkan, sekembalinya dari mudik lebaran ke tanah Jawa, Firman tak pernah lagi menyambangi Fera dan keluarganya sebagaimana yang biasa dilakukannya selama ini. Bahkan, sejak kepulangannya mudik itu, Firman sama sekali tak pernah menghubungi Fera via telepon mau pun sms or chat. Weleh-weleh! Yang ada malah, anak dan seorang wanita yang mengaku istri Firman, menelepon dan 'menyerang'nya.

Memang sih, Firman pernah menjelaskan bahwa perceraiannya dengan istrinya itu belum disahkan oleh korpsnya. Bercerai atau pun menikah, bukanlah hal yang sederhana bagi para aparat militer, perlu ini dan itu, tidak segampang yang dibutuhkan warga sipil. Itu pula yang membuat Fera bertahan untuk tidak menerima permintaan Firman yang ingin segera menikahinya. Walau pun sudah lama pisah ranjang, apalagi disinyalir bahwa istri sah Firman telah menikah lagi [secara siri] dengan pria lain, Fera tetap menuntut adanya surat cerai resmi dari Firman dan istrinya, jika Firman serius ingin menikahi Fera. Itu pula yang menyebabkan setahun ini, hubungan mereka hanya terbatas pada hubungan pacaran sambil menanti Firman membereskan perceraiannya.

Namun, nasib berkata lain. Sepulang mudik, Firman malah tak ada kabar beritanya. Sakit memang, tapi rasa sakit itu tak mampu menghapus harapan dan cinta yang telah dipupuk Firman di hati Fera. Walau menyadari, bahwa 'mungkin' ini adalah rencana terbaik Allah baginya, namun tetap saja Fera kok ya merasa berat hati merelakan Firman pergi. Namun di sisi lain hatinya, egoismenya berkata, bahwa tak guna menangisi lelaki tak bertanggung jawab seperti itu. Lihat saja, Firman telah mempermalukan kamu dan keluargamu, dengan tak lagi hadir memberi kabar. Tak pernah lagi singgah di rumahmu untuk sekedar sowan dan bersilaturrahmi, padahal sebelumnya, setiap hari dia mampir ke rumah! Malu kan sama tetangga? Begitulah teriakan-teriakan hati kecilnya, yang membuat kesedihannya semakin menjadi.

Menurutku sih, tidak ada gunanya lagi mengharapkan kehadiran Firman. Bukankah kelakuannya itu mencerminkan dirinya sebagai lelaki yang sulit dipegang? Bukan lelaki yang mengerti etika kehidupan? Bukan lelaki bertanggung jawab? Lihat saja, sudah kembali dari mudik, dan bahkan setiap hari melintas di hadapan rumah Fera [karena memang jalanan itu yang harus dilaluinya jika hendak ke kantornya], mbok ya singgah kek, sowan kek, sampaikan dengan baik dan bertanggung jawab, apa pun perkembangan/rencana kelanjutan hubungan mereka. Jangan main tinggal tanpa pamit begitu saja. Bukankah selaku laki-laki dewasa, aparat militer yang berpangkat pula, harusnya berjiwa besar dan ksatria? Kuyakinkan Fera untuk merelakannya, lepaskan dan ikhlaskan. Camkan dalam hati, bahwa Firman bukan calon imam yang baik untuknya.

Iya sih, it is easy to say but it is difficult to do. Apalagi karena bukan aku yang mengalaminya. Tapi kita juga harus realistis donk...
Dalam tangisnya, Fera berucap bahwa dirinya tak lagi mengharapkannya. Bahkan jika pun Firman ingin kembali, Fera sudah tak sudi. Tapi...... 'How to forget this f*c*in' man?' Itu yang diteriakkannya padaku. Hm...

Kalo aku sih, solusinya adalah, mari kita duduk, ambil secarik kertas dan pulpen. Yuk kita buat dua kolom dan beberapa baris [tabel]. Buat list kebaikan dan keburukannya. Yuk kita telaah. Dengan deretan kebaikan dan keburukan yang tercipta itu, Insyaallah akan terlihat dan lebih mudah mengelola hati. Sobats, any input from your side, please? Ditunggu tambahan solusi yang mungkin bisa menjadi masukan bagi Fera dalam mengelola kembali langkah kehidupannya, ya. Trims.

catatan perjalanan kehidupan anak manusia,
Al, Bandung, 2 September 2014

4 comments

  1. Kisah hidup orang memang berbeda-beda ya kak... Semoga temannya kak Al segera mendapat ketenangan hati dan bisa Move on...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aamiin, Makasih cut Adek Haya. :) Iya, begitulah kisah kehidupan, setiap orang memiliki garis dan lakon tersendiri.

      Delete
  2. kadang cerita hidup kayak disinetron ya mak...sedih pasi iya...tapi emang harus segera bangkit....

    ReplyDelete
  3. Banyak doa. Tingkatkan ibadah. Kalo muslim, perbanyak tilawah. Atau hafalin Quran. Klise sih, tapi it works! *pengalaman juga, hihihi*

    ReplyDelete