Sobats maya tercinta,
Kuyakin sobats semua saat ini sedang tersenyum indah karena dibuai
mimpi, atau sedang mengerutkan kening karena mimpi yang menyita pemikiran? Atau
malah sedang menangis tersedu karena mimpi putus cinta? Whatever! J
Terus kenapa kamu sendiri belum tidur Al?
Nah itu sobs! Inginnya sih tidur, tapi kok ya mataku sulit terpejam,
rasanya ingin melek terus karena rasa hati yang exciting tiada tara.
Entahlah
sobs, hatiku kok rasanya enteng banget setelah berhasil mengakhiri sebuah kencan mesra penuh harmony dengan beberapa
bacaan 'ringan' bertajuk ‘resettlement’, yang tak ayal dan
tak bohong, telah membuat otakku tak henti berputar, memikirkan dan menganalisa
bagaimana memasukkan issue gender ke dalam proses resettlement ini.
Resettlement? Empat
tahun yang lalu, aku sempat pusing dan berkeringat dingin saat bosku memintaku
untuk berkoordinasi dengan kedeputian perumahan dan pemukiman, agar the team work yang sedang menggodok
perencanaan perumahan dan relokasi komunitas masyarakat korban gempa dan
tsunami, tak lupa memperhitungkan unsur kesetaraan gender di dalam perencanaan
tersebut.
Adalah kata
resettlement yang masih begitu asing di telingaku saat itu. Sering sih
mendengarnya, tapi makna yang dimaksud dari kata ini yang masih membuatku
gamang. Tak hendak menyalahkan tapi
justru memaafkan diri, wajar jika aku tak memahami istilah ini, wong aku hanya
seorang kapitan chemical engineer, sejak kapan harus menguasai
permasalahan perumahan segala? Hihi.
Tapi masak mau protes
dan menunjukkan kebodohan telak di hadapan boss yang begitu sering menganggap
aku bisa diandalkan? Satu cara jitu yang aku lakukan saat itu adalah lari
mencari wangsit pencerahan pada mbah andalan. Yup. Sopo meneh sobs, yo
pasti mbah Google dunk. J
Dan mbah Google pun
tak sembarang memberi pencerahan, tapi dia juga membantuku mengatur pencahayaan
agar kadar terang/cerahnya sesuai dan lebih dari memadai. Lalu apakah resettlement
itu? Ternyata arti dari kata ini adalah pemukiman kembali/relokasi atau
hal-hal yang berkaitan dengan pemindahan suatu komunitas masyarakat ke suatu
wilayah yang dianggap lebih layak.
Banyak sekali jampi-jampi
informasi yang diberikan oleh mbah Google untuk pengayaan wawasanku sebelum maju
ke medan perang melibatkan diri dalam kelompok perencanaan resettlement
tersebut. Tentu aku harus mempersiapkan diri terlebih dahulu tentang gender
issues related to resettlement, lesson learnt dari daerah, kota ataupun Negara
lain terkait hal ini, yang tentunya akan sangat berguna sebagai masukan dalam
perencanaan yang dimaksud.
Nah, beberapa hari
belakangan, waktuku pun tersita untuk berfikir kembali tentang topik ini sobs.
Membuat sebuah concept bagaimana memasukkan unsur kesetaraan gender ke dalam
proses perencanaan pemukiman kembali komunitas masyarakat korban konflik, dan
Alhamdulillah, sementara ini tugas tersebut telah selesai dan membuatku bisa
bernapas lega seperti biasanya.
Lalu apakah aku akan
mengajak para sahabat untuk ikut mengerutkan kening, berfikir hal-hal berat di
tengah malam seperti ini? Yang konon adalah malam Minggu pula? NO. TENTU TIDAK
sobs…
Tenang saja, aku tak
akan mengajak pikiran sobats mengembara ke hal-hal berat yang membutuhkan
pemikiran serius. Kutahu bahwa setiap kita telah begitu lelah berjibaku dengan
perjuangan kehidupan, sehingga akan sangat tidak bijaksana jika postingan yang
kusajikan adalah hal-hal yang justru membuat sobats harus berfikir keras untuk
memahaminya.
Namun berhubung
diriku belum punya postingan terbaru malam ini sobs… tak ada salahnya jika aku
rekomendasikan sebuah postingan lama yang menurutku sangat layak dibaca.
Postingan ini berjudul Kegagalan adalah Kesuksesan yang tertunda. Kuyakin
sobats sudah terlalu sering mendengar istilah ini, dan untuk menyingkat waktu,
yuk langsung ke TKP yuk sobs….
19 comments
Ok mbak alaika, siap meluncur ke TKP.
ReplyDeletePaling seneng kalau berhubungan dengan motivasi.
Siap meluncur ke tkp :)
ReplyDeletesegera ke tekape mbak :)
ReplyDeleteResettlement...relokasi, pemukiman kembali...jadi mirip tata kota kah? Konsep kesetaraan gender ya Mbak...mikir deh tuh kayak gimana ya relokasinya
ReplyDeletehihi... jd kayak postingan dalam postingan nih mbak Al :)
ReplyDeletesoal Resettlement, br dengar sy mbak. hehe #agak katrok kurang baca soale
happy sunday anyway^^
@HP Yitno
ReplyDeleteOk mas, ditunggu di TKP.. :)
@Sarnisa Anggriani Kadir
ReplyDeleteditunggu ya say...
satu kosatakata baru yang bisa sy dapat...
ReplyDeletepenasaran ama artikelnya yang satu... langsung ke TKP aahh... ^_^
Dan kegagalan bisa berarti kita belum benar2 mencoba
ReplyDelete@Ririe Khayan
ReplyDeleteIya Rie...
Gender issue dalam bidang resettlement paling dominan itu adalah: wanita memiliki keterbatasan akses pada kesempatan ekonomi termasuk aset produktif, pinjaman modal, kepemilikan lahan, pendapatan dari pertanian, lapangan kerja formal dan pasar.
keterbatasan akses terhadap kehadiran dan pengaruh wanita dalam pengambilan kebijakan pada tingkat masyarakat
keterbatasan akses tehradap kesempatan untuk memperolah pendidikan formal yang bermutu, formal dan informal, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan yang bermutu, informasi, komunikasi dan teknologi, dst.
Nah prinsip kesetaraan gender yang dapat diaplikasikan dalam resettlement ini adalah:
memberikan kesempatan pada kaum wanita/istri, untuk turut andil menyumbangkan ide-idenya terhadap tata letak/layout interior rumahnya, misal : tempat cuci piring harus dekat dengan dapur, WC agar tidak terlalu jauh ke ujung rumah, dan berbagai pertimbangan lainnya yang tentu berbeda menurut kaca mata wanita dan pria.
memberikan kesempatan pada kaum wanita untuk ikut terlibat dan berpartisipasi aktif dalam perencanaan pembangunan perumahan dan lingkungan di tempat mereka yang baru itu, sehingga kebutuhan utama mereka seperti akses terhadap water sanitation, health need, nutrition, dsb dapat terperhatikan dan terwujudkan.
mengusulkan sistem kepemilikan lahan secara bersama yaitu dengan mencantumkan nama suami istri atau adik dan kakak (yang orang tuanya telah meninggal dunia saat konflik/tsunami) agar memiliki kesamaan hak terhadap tanah dimana rumahnya dibangun.
dan banyak lagi hal menarik lainnya yang jika ditulis disini akan jadi sebuah postingan, hehe.
@Syam
ReplyDeletehehe... begitulah mba.. :)
istilah ini, sepertinya memang jarang dibicarakan kok mba, kecuali oleh para pihak yang terkait atau yang bertanggung jawab saja. Bukan karena kita katrok lho!
trims atas kunjungannya ya mba...
@Honeylizious Rohani Syawaliah
ReplyDeleteBisa jadi begitu mba Hani... :)
trims atas kunjungannya, slmt berhari minggu...
@Chumhienk™
ReplyDeleteayo diingat-ingat kosa kata ini, mana tau suatu hari akan berhadapannya dengannya. :D
ditunggu di TKP ya... :)
aku pernah kata itu tp msh asing di tlinga..,menuju tkp.
ReplyDeletesaya nunggu yang, untuk mu yang duduk diskusi mba, hihihiih #OOT :p
ReplyDeletepenasaran dengan postingannya disana
ReplyDeleteMbak Al suka begadang ya :)
ReplyDeletekalimat "kegagalan adlh sukses yg tertunda" paling sering sy dengar waktu lagi kontes nyanyi AFI itu.. Yg kalah nangis2 sambil blg "kegagalan adlh sukses yg tertunda..". Pada saat itu sy liatnya agak2 lebay, nangis sambil nenteng koper trus ngomong kyk gitu... Tapi kalo dipikir2 lagi memang bener bgt kalimat itu "kegagalan adlh sukses yg tertunda" selama kita gak berputus asa & tetep berusaha.. :)
ReplyDeleteLangsung terbang ke Area .......
ReplyDelete