Foto diambil dari sini ya sobs...
Dua artikel, Kategori Lucu, dan Kategori Foto Narsis telah ikutan memeriahkan perhelatan akbarnya para sahabat bertajuk Kecebong 3 Warna, dan kini, Mak Cebong 3 kembali mengundang untuk genapin satu artikel lagi agar lengkap partisipasiku diacara mereka. Hm.. menarik, dan tentu ingin dunk berpartisipasi demi suksesnya acara ketiga sahabat ini…
Tapi…..
Bingung. Itu yang ada dalam benakku saat mulai memainkan jemari di atas simungil super tipis kesayanganku ini. Kucoba mengingat kisah sedih mana yang paling menyedihkan yang aku punya? Rasanya kebanyakan sisi hidupku penuh dengan warna abu nan kelabu deh, tapi begitu diubeg-ubeg kok aku justru tak menemukan kisah paling menyedihkan yang pantas untuk diikutkan dalam saweran kecebong 3 warna ini ya?
Bertapa sambil ngubeg-ngubeg file pun aku lakukan. Lho, gimana sih bertapa sambil ngubeg-ngubeg file? Bukannya bertapa itu bersemedi? Terus gimana bersemedi kalo sibuk ngubeg-ngubeg file ya? hahah, ada-ada aja deh Alaika ini. Eits…jangan salah, ngubeg-ngubeg filenya kan di alam fikiran, jadi tetap bisa sambil bertapa dunk…
Oke..oke, kok malah ngelantur seh? Baiklah sobats maya tercinta….
Walau aku ga begitu yakin bahwa kisah nyata ini akan mampu menguras airmata menganak sungai di pipi sobats, namun demi berpartisipasi dalam satu kategori lagi, maka kisah ini yang sebenarnya akan menjadi salah satu bagian dari chapter novel tentang my journey of life, yang udah cukup lama antri di alam fikir, maka pada hari ini, di detik-detik terakhir masa pendaftaran di acaranya mak Cebongs, kisah ini aku tuliskan dan akan segera diikutsertakan dalam acara keren itu…
Yuk kita mulai sobs……
Alkisah, di sebuah kota besar bernama Medan, Sumatera Utara, Pertengahan 1998..
Di suatu Minggu siang yang panas sekitar jam tiga siang, kala mentari masih begitu bersemangat membagikan cahaya teriknya ke seluruh pelosok kota. Berjalanlah seorang wanitacantik bernama Alaika, menggendong seorang batita perempuan bernama Intan, menuju ke sebuah wartel yang tak jauh dari rumahnya.
Sebuah payung putih ditangan wanita itu jelas bertujuan untuk melindungi keduanya dari hausnya jilatan sang cahaya. Kala itu, wartel masih menjadi primadona penghubung, perekat jarak, yang begitu digandrungi mengingat handphone masih merupakan barang langka yang hanya ada di tangan parabangsawan borjuis atau kaum berduit.
Wanita itu memasuki wartel dan langsung menuju salah satu box yang tersedia. Guratan kesedihan dan beban kerinduan yang mendalam jelas terlukis nyata di wajah melo nya. Tak ingin membuang waktu, dengan sigap diputarnya beberapa angka yang memang telah begitu erat melekat di dalam benaknya, dihapalnya fasih diluar kepala, bahkan jemarinya dapat dengan tepat menekan angka-angka pada badan pesawat telephone itu tanpa perlu menatapnya lagi.
Beban kerinduan dan keresahan semakin membuat degup jantung wanita ini semakin kencang. Gugup dan khawatir. Takut nomor yang dituju kembali ditutup dengan kasar seperti biasanya, sebelum sempat sebuah suarapun terdengar dari seberang.
Disadari sepenuhnya, bahwa memerlukan usaha keras tak kenal lelah dan kesabaran prima dalam mengetuk pintu hati ayah bunda, yang tertutup rapat bak pintu baja, tak bergeming oleh badai waktu yang telah bertalu-talu dikirimkannya.
Tindakannya yang nekad kawin lari dengan ayahnya Intan, jelas membuat ayah bundanya shock, tak pernah menyangka jika si anak perempuan satu-satunya itu, yang selama ini begitu dibanggakan dan disayang, tega meninggalkan dan mencoreng arang di kening mereka. Maka perbuatannya itu dengan sukses mengubah rasa kasih dan cinta mendalam sang ayah bunda juga adik-adik terhadapnya menjadi rasa benci yang memerah saga.
Alaika sendiri heran dengan kekuatan cinta itu. Begitu kemilau, hingga menyilaukan mata dan menggelapkan pikirannya. Hingga membuatnya yang (kata orang cukup rasional dan cerdas), bertekuk lutut dan nekad kawin lari dengan ayahnya Intan (kini sudah mantan), meninggalkan comfort zone yang selama ini dia miliki.
Pikirnya, kisahnya akan sama dengan kisah-kisah orang lain yang juga nekad kawin lari, bahwa setelah beberapa tahun, apalagi setelah memiliki putra/putri, pintu maaf itu akan terbuka dan merekapun akan dirangkul kembali oleh ayah bunda dan keluarga.
Ternyata keajaiban itu hanya milik orang lain. Dan mukjizat itu tidak berlaku baginya. Berbagai usaha dan pendekatan telah dilakukan olehnya dan suami, namun tahun berlalu dan pintu baja itu tetap terkatup rapat, tak bergeming.
Hati ayah bunda yang dulu selembut sutra, ternyata benar-benar telah membatu. Bukan hanya keduanya, ketiga adik terkasih juga ikut-ikutan memblokir dirinya. Tak ada celah untuk mengirimkan sinyal permohonan maaf apalagi memaksa diri untuk diterima kembali.
Menyesalkah dia dengan langkah yang telah ditempuh? TENTU.
Namun dibalik penyesalan itu, sejujurnya tersirat kemarahan di hatinya terhadap sikap ayah bunda yang tega membuangnya. Toh menurutnya, perbuatan memalukan yang dilakukannya tidaklah separah yang anak-anak orang lain lakukan.
Mereka kawin lari karena ayah bundanya tak setuju dengan hubungan cinta mereka….BUKAN karena telah terjadi suatu hal memalukan. BUKAN... Dirinya bersih dan suci saat mereka menikah. Kehamilan terhadap Intan baru mulai setelah usia pernikahan mereka memasuki tiga bulan. Jadi, menurutnya, tak ada noda besar/aib yang telah dia ukir.
Namun satu hal yang harus dimaklumi. Bahwa ayah bundanya BUKAN lah ayah bunda orang lain. Ayah bundanya punya prinsip sendiri. Anak bandel seperti dirinya harus dihukum. Mereka telah menyelesaikan tanggung jawab mereka dengan sempurna. Melahirkan, menyusui, membesarkan dan menyekolahkan Alaika hingga menjadi seorang chemical engineer tuntas sempurna.
Lalu saat si anak menjadi pembangkang, silau oleh sebuah cinta yang ditawarkan oleh pemuda asing, dan rela meninggalkan dan memunggungi ayah bunda yang telah dengan penuh kasih dan tanggung jawab membesarkannya, hanya karena keinginannya tak lagi diiyakan, hati ayah bunda mana yang tidak hancur berkeping?
Alaika mengerti dan paham sekali akan hal ini. Karenanya tak lelah dia mencoba, berusaha, menempuh berbagai cara. Pendekatan melalui keluarga besar, yang mereka juga telah mencoba menjadi jembatan penghubung, namun tetap tak mampu menembus tembok baja itu. Pendekatan melalui orang pintar (paranormal) pun pernah ditempuh (walau sebenarnya dia sangat tidak yakin akan hal ini), namun apa salahnya mencoba. Ternyata juga tak membuahkan hasil.
Pernah suatu ketika, hatinya begitu riang mendapati sebuah amplop besar yang dialamatkan kepadanya hadir di meja kerjanya, bertuliskan tulisan tangan ibunda. Riang hatinya tak terkira. Dibukanya dengan segera......
Namun sayang, airmatapun tak terhentikan lagi saat melihat isi dalamnya. Setumpuk surat yang pernah dikirimkan olehnya kepada ayah bunda, kini hadir di depan mata. DIKEMBALIKAN... Tidak dalam keadaan utuh, tapi telah dicabik-cabik. Beserta secarik kertas usang, dirobek dari buku menjahit ibunda, dengan sebaris tulisan yang lekuknya jelas menandakan itu adalah tulisan sang ibu, sukses mencabik hatinya.
“Jangan ganggu aku, suami dan anak-anakku lagi.!”
Tak mudah. Dan itu adalah resiko yang harus ditanggung akibat langkah yang telah diambilnya. Disadari sepenuhnya bahwa tindakannya itu benar-benar telah mengiris hati ayah bunda, namun akan lebih salah lagi jika kemudian dia mengorbankan keluarga kecilnya untuk kembali pada ayah bunda.
Langkah terbaik terhadap nasi yang telah menjadi bubur ini adalah bagaimana MENGOLAH agar bubur ini enak untuk disantap. Dan itulah yang sedang diupayakannya. Walau butuh waktu dan kesabaran yang prima.
Didikan sang ayah bahwa setiap manusia wajib berusaha sekuat daya upaya disertai doa demi terwujudnya sang cita, masih melekat kuat di hati dan ingatannya. Itu pula yang membuat Alaika tetap semangat menggapai impian itu. Impian dibukakan pintu hati sang ayah bunda.
Maka pada hari ini, walau degup jantung semakin berkejaran, walau keringat dingin kian bercucuran, dikuatkannya hatinya. Apalagi kala sebuah suara teduh menyuarakan ‘halo’ dan ‘Assalammualaikum’ di seberang sana….
Alaika: ‘Hallo, Waalaikumsalam Ayah…’
Ayah: ‘Maaf, siapa ini?” suara itu tetap riang. Pertanda baik fikir Alaika.
Alaika: ‘Ini Alaika Yah….’. Bergetar suara wanita itu.Tangannya sedingin es.
Ayah: ‘Alaika yang mana ya?’ masih ceria, terkesan dibuat-buat. Hati Alaika mulai galau.
Alaika: ‘Alaika anak ayah..’ suaranya makin bergetar.
Ayah: ‘Oh, dia sudah lama meninggal, kami sudah menguburnya beberapa tahun yang lalu nak.!’
Masih dengan suara riang, dibuat-buat.
Duuuug!!!!!
Bagai tertohok jantung Alaika. Telephone ditutup perlahan dari seberang. Dan airmata tak lagi mampu bertahan, mengalir dengan sendirinya. Sinergi antara otak, hati dan pemikirannya begitu kompak. Rasa sedih mengharu biru, membuat system syaraf di otak wanita itu memerintahkan airmata untuk mengalir deras. Hancur hatinya. Lebur, luruh.
Dihapusnya airmata itu lalu dibayarnya biaya telephone pada kasir, sambil mengayunkan langkah, kembali ke rumah. Pikirannya kosong seketika. Hancur sudah hatinya. Punah harapannya.
Pintu surga itu tertutup sudah. Galau. Kosong. Pilu. Digendongnya Intan sambil menangis sendu. Membayangkan Intannya tak akan pernah mendapatkan kasih sayang kakek neneknya. Airmatanya semakin deras mengalir…..
Sobats,
Kisah ini masih sangat membekas di sanubariku, hingga kini, walau akhirnya, tsunami yang melanda tanah rencong tempat kelahiranku, berhasil membuka pintu hati ayah bunda, membuat mereka membuka kedua tangan menerima dan merangkul aku, Intan dan ayah Intan kembali ke dalam keluarga. Mengijinkan aku kembali menyematkan nama Abdullah dibelakang namaku.... Alhamdulillah ya Allah...
Hingga kini aku masih dapat merasakan betapa tercabiknya perasaan ini saat mendengar kata-kata ayah bahwa aku, putri satu-satunya ini telah lama meninggal dunia, dan telah lama mereka kuburkan. Oh my God.
Pengalaman berharga yang telah memberi pelajaran teramat berarti bagiku sobs. Bahwa jangan pernah berani-beranian apalagi nekad melawan orang tua. Percayalah, hidup ini akan sulit, tanpa doa dan restu orang tua. Sepintar dan sehebat apapun kamu. Percaya deh. Aku telah mengalami dan membandingkan antara kehidupan di luar restu ayah bunda dan kehidupan di dalam restu keduanya.
“Alaika berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi - Jeng Nia disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, Kios 108
Dua artikel, Kategori Lucu, dan Kategori Foto Narsis telah ikutan memeriahkan perhelatan akbarnya para sahabat bertajuk Kecebong 3 Warna, dan kini, Mak Cebong 3 kembali mengundang untuk genapin satu artikel lagi agar lengkap partisipasiku diacara mereka. Hm.. menarik, dan tentu ingin dunk berpartisipasi demi suksesnya acara ketiga sahabat ini…
Bingung. Itu yang ada dalam benakku saat mulai memainkan jemari di atas simungil super tipis kesayanganku ini. Kucoba mengingat kisah sedih mana yang paling menyedihkan yang aku punya? Rasanya kebanyakan sisi hidupku penuh dengan warna abu nan kelabu deh, tapi begitu diubeg-ubeg kok aku justru tak menemukan kisah paling menyedihkan yang pantas untuk diikutkan dalam saweran kecebong 3 warna ini ya?
Bertapa sambil ngubeg-ngubeg file pun aku lakukan. Lho, gimana sih bertapa sambil ngubeg-ngubeg file? Bukannya bertapa itu bersemedi? Terus gimana bersemedi kalo sibuk ngubeg-ngubeg file ya? hahah, ada-ada aja deh Alaika ini. Eits…jangan salah, ngubeg-ngubeg filenya kan di alam fikiran, jadi tetap bisa sambil bertapa dunk…
Oke..oke, kok malah ngelantur seh? Baiklah sobats maya tercinta….
Walau aku ga begitu yakin bahwa kisah nyata ini akan mampu menguras airmata menganak sungai di pipi sobats, namun demi berpartisipasi dalam satu kategori lagi, maka kisah ini yang sebenarnya akan menjadi salah satu bagian dari chapter novel tentang my journey of life, yang udah cukup lama antri di alam fikir, maka pada hari ini, di detik-detik terakhir masa pendaftaran di acaranya mak Cebongs, kisah ini aku tuliskan dan akan segera diikutsertakan dalam acara keren itu…
Yuk kita mulai sobs……
Di suatu Minggu siang yang panas sekitar jam tiga siang, kala mentari masih begitu bersemangat membagikan cahaya teriknya ke seluruh pelosok kota. Berjalanlah seorang wanita
Sebuah payung putih ditangan wanita itu jelas bertujuan untuk melindungi keduanya dari hausnya jilatan sang cahaya. Kala itu, wartel masih menjadi primadona penghubung, perekat jarak, yang begitu digandrungi mengingat handphone masih merupakan barang langka yang hanya ada di tangan para
Wanita itu memasuki wartel dan langsung menuju salah satu box yang tersedia. Guratan kesedihan dan beban kerinduan yang mendalam jelas terlukis nyata di wajah melo nya. Tak ingin membuang waktu, dengan sigap diputarnya beberapa angka yang memang telah begitu erat melekat di dalam benaknya, dihapalnya fasih diluar kepala, bahkan jemarinya dapat dengan tepat menekan angka-angka pada badan pesawat telephone itu tanpa perlu menatapnya lagi.
Beban kerinduan dan keresahan semakin membuat degup jantung wanita ini semakin kencang. Gugup dan khawatir. Takut nomor yang dituju kembali ditutup dengan kasar seperti biasanya, sebelum sempat sebuah suarapun terdengar dari seberang.
Disadari sepenuhnya, bahwa memerlukan usaha keras tak kenal lelah dan kesabaran prima dalam mengetuk pintu hati ayah bunda, yang tertutup rapat bak pintu baja, tak bergeming oleh badai waktu yang telah bertalu-talu dikirimkannya.
Tindakannya yang nekad kawin lari dengan ayahnya Intan, jelas membuat ayah bundanya shock, tak pernah menyangka jika si anak perempuan satu-satunya itu, yang selama ini begitu dibanggakan dan disayang, tega meninggalkan dan mencoreng arang di kening mereka. Maka perbuatannya itu dengan sukses mengubah rasa kasih dan cinta mendalam sang ayah bunda juga adik-adik terhadapnya menjadi rasa benci yang memerah saga.
Alaika sendiri heran dengan kekuatan cinta itu. Begitu kemilau, hingga menyilaukan mata dan menggelapkan pikirannya. Hingga membuatnya yang (kata orang cukup rasional dan cerdas), bertekuk lutut dan nekad kawin lari dengan ayahnya Intan (kini sudah mantan), meninggalkan comfort zone yang selama ini dia miliki.
Pikirnya, kisahnya akan sama dengan kisah-kisah orang lain yang juga nekad kawin lari, bahwa setelah beberapa tahun, apalagi setelah memiliki putra/putri, pintu maaf itu akan terbuka dan merekapun akan dirangkul kembali oleh ayah bunda dan keluarga.
Ternyata keajaiban itu hanya milik orang lain. Dan mukjizat itu tidak berlaku baginya. Berbagai usaha dan pendekatan telah dilakukan olehnya dan suami, namun tahun berlalu dan pintu baja itu tetap terkatup rapat, tak bergeming.
Hati ayah bunda yang dulu selembut sutra, ternyata benar-benar telah membatu. Bukan hanya keduanya, ketiga adik terkasih juga ikut-ikutan memblokir dirinya. Tak ada celah untuk mengirimkan sinyal permohonan maaf apalagi memaksa diri untuk diterima kembali.
Menyesalkah dia dengan langkah yang telah ditempuh? TENTU.
Namun dibalik penyesalan itu, sejujurnya tersirat kemarahan di hatinya terhadap sikap ayah bunda yang tega membuangnya. Toh menurutnya, perbuatan memalukan yang dilakukannya tidaklah separah yang anak-anak orang lain lakukan.
Mereka kawin lari karena ayah bundanya tak setuju dengan hubungan cinta mereka….BUKAN karena telah terjadi suatu hal memalukan. BUKAN... Dirinya bersih dan suci saat mereka menikah. Kehamilan terhadap Intan baru mulai setelah usia pernikahan mereka memasuki tiga bulan. Jadi, menurutnya, tak ada noda besar/aib yang telah dia ukir.
Namun satu hal yang harus dimaklumi. Bahwa ayah bundanya BUKAN lah ayah bunda orang lain. Ayah bundanya punya prinsip sendiri. Anak bandel seperti dirinya harus dihukum. Mereka telah menyelesaikan tanggung jawab mereka dengan sempurna. Melahirkan, menyusui, membesarkan dan menyekolahkan Alaika hingga menjadi seorang chemical engineer tuntas sempurna.
Lalu saat si anak menjadi pembangkang, silau oleh sebuah cinta yang ditawarkan oleh pemuda asing, dan rela meninggalkan dan memunggungi ayah bunda yang telah dengan penuh kasih dan tanggung jawab membesarkannya, hanya karena keinginannya tak lagi diiyakan, hati ayah bunda mana yang tidak hancur berkeping?
Alaika mengerti dan paham sekali akan hal ini. Karenanya tak lelah dia mencoba, berusaha, menempuh berbagai cara. Pendekatan melalui keluarga besar, yang mereka juga telah mencoba menjadi jembatan penghubung, namun tetap tak mampu menembus tembok baja itu. Pendekatan melalui orang pintar (paranormal) pun pernah ditempuh (walau sebenarnya dia sangat tidak yakin akan hal ini), namun apa salahnya mencoba. Ternyata juga tak membuahkan hasil.
Pernah suatu ketika, hatinya begitu riang mendapati sebuah amplop besar yang dialamatkan kepadanya hadir di meja kerjanya, bertuliskan tulisan tangan ibunda. Riang hatinya tak terkira. Dibukanya dengan segera......
Namun sayang, airmatapun tak terhentikan lagi saat melihat isi dalamnya. Setumpuk surat yang pernah dikirimkan olehnya kepada ayah bunda, kini hadir di depan mata. DIKEMBALIKAN... Tidak dalam keadaan utuh, tapi telah dicabik-cabik. Beserta secarik kertas usang, dirobek dari buku menjahit ibunda, dengan sebaris tulisan yang lekuknya jelas menandakan itu adalah tulisan sang ibu, sukses mencabik hatinya.
“Jangan ganggu aku, suami dan anak-anakku lagi.!”
Tak mudah. Dan itu adalah resiko yang harus ditanggung akibat langkah yang telah diambilnya. Disadari sepenuhnya bahwa tindakannya itu benar-benar telah mengiris hati ayah bunda, namun akan lebih salah lagi jika kemudian dia mengorbankan keluarga kecilnya untuk kembali pada ayah bunda.
Langkah terbaik terhadap nasi yang telah menjadi bubur ini adalah bagaimana MENGOLAH agar bubur ini enak untuk disantap. Dan itulah yang sedang diupayakannya. Walau butuh waktu dan kesabaran yang prima.
Didikan sang ayah bahwa setiap manusia wajib berusaha sekuat daya upaya disertai doa demi terwujudnya sang cita, masih melekat kuat di hati dan ingatannya. Itu pula yang membuat Alaika tetap semangat menggapai impian itu. Impian dibukakan pintu hati sang ayah bunda.
Maka pada hari ini, walau degup jantung semakin berkejaran, walau keringat dingin kian bercucuran, dikuatkannya hatinya. Apalagi kala sebuah suara teduh menyuarakan ‘halo’ dan ‘Assalammualaikum’ di seberang sana….
Alaika: ‘Hallo, Waalaikumsalam Ayah…’
Ayah: ‘Maaf, siapa ini?” suara itu tetap riang. Pertanda baik fikir Alaika.
Alaika: ‘Ini Alaika Yah….’. Bergetar suara wanita itu.Tangannya sedingin es.
Ayah: ‘Alaika yang mana ya?’ masih ceria, terkesan dibuat-buat. Hati Alaika mulai galau.
Alaika: ‘Alaika anak ayah..’ suaranya makin bergetar.
Ayah: ‘Oh, dia sudah lama meninggal, kami sudah menguburnya beberapa tahun yang lalu nak.!’
Masih dengan suara riang, dibuat-buat.
Duuuug!!!!!
Bagai tertohok jantung Alaika. Telephone ditutup perlahan dari seberang. Dan airmata tak lagi mampu bertahan, mengalir dengan sendirinya. Sinergi antara otak, hati dan pemikirannya begitu kompak. Rasa sedih mengharu biru, membuat system syaraf di otak wanita itu memerintahkan airmata untuk mengalir deras. Hancur hatinya. Lebur, luruh.
Dihapusnya airmata itu lalu dibayarnya biaya telephone pada kasir, sambil mengayunkan langkah, kembali ke rumah. Pikirannya kosong seketika. Hancur sudah hatinya. Punah harapannya.
Pintu surga itu tertutup sudah. Galau. Kosong. Pilu. Digendongnya Intan sambil menangis sendu. Membayangkan Intannya tak akan pernah mendapatkan kasih sayang kakek neneknya. Airmatanya semakin deras mengalir…..
Sobats,
Kisah ini masih sangat membekas di sanubariku, hingga kini, walau akhirnya, tsunami yang melanda tanah rencong tempat kelahiranku, berhasil membuka pintu hati ayah bunda, membuat mereka membuka kedua tangan menerima dan merangkul aku, Intan dan ayah Intan kembali ke dalam keluarga. Mengijinkan aku kembali menyematkan nama Abdullah dibelakang namaku.... Alhamdulillah ya Allah...
Hingga kini aku masih dapat merasakan betapa tercabiknya perasaan ini saat mendengar kata-kata ayah bahwa aku, putri satu-satunya ini telah lama meninggal dunia, dan telah lama mereka kuburkan. Oh my God.
Pengalaman berharga yang telah memberi pelajaran teramat berarti bagiku sobs. Bahwa jangan pernah berani-beranian apalagi nekad melawan orang tua. Percayalah, hidup ini akan sulit, tanpa doa dan restu orang tua. Sepintar dan sehebat apapun kamu. Percaya deh. Aku telah mengalami dan membandingkan antara kehidupan di luar restu ayah bunda dan kehidupan di dalam restu keduanya.
“Alaika berpartisipasi dalam ‘Saweran Kecebong 3 Warna’ yang didalangi oleh Jeng Soes-Jeng Dewi - Jeng Nia disponsori oleh Jeng Anggie, Desa Boneka, Kios 108