Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '. Kisah sebelumnya di sini
All About Tsunami: The Survivor - Ibundaku dan Rumah Kami. Suasana musholla kala itu riuh rendah oleh suara tangisan dan zikir. Tangisan yang tak hanya berasal dari anak-anak, namun juga dari para wanita yang berzikir dalam lirih. Ini adalah pengalaman pertama mereka, diguncang oleh gempa sedasyat itu, diikuti pula oleh kejaran air hitam mengerikan yang menerjang tanpa kompromi. Masih lekat di bayangan pupil mata mereka, bagaimana air hitam itu menerjang dan menelan mereka-mereka yang kalah cepat menaiki tangga, atau yang tertinggal di belakang saat sama-sama berlari menyelamatkan diri tadi.
Lantai dua musholla itu, tak lagi berayun. Namun was-was tak kunjung beranjak dari hati mereka akan adanya gempa susulan. Suasana riuh rendah, namun aura mencekamnya begitu kentara. Ibuku masih memejamkan mata sejak pertama kali mendudukkan dirinya di lantai musholla. Jemarinya bergantian menekuk mengikuti zikir yang mengalir deras dari bibirnya. Wanita lima puluh tiga tahun [saat kejadian] itu memang tak berani membuka matanya. Mencoba berkonsentrasi penuh pada alunan zikir yang dilafazdkannya, sembari mencoba meredakan debaran jantungnya yang berdegup demikian cepat. Bahkan pertanyaan 'ayahwa' [seorang lelaki tua, yang sudah seperti keluarga sendiri bagi kami], yang menguatirkan keselamatan Ayahandaku yang ternyata tidak berada di dalam musholla, tak digubris oleh ibuku. Barulah pada pertanyaan yang ke lima kalinya, ibuku tersadar dari zikirnya, dan terhenyak.
"Ayahnya Khai, ga ada di antara kita, Umi Khai. Kemana Bapak, ya?" Suara Ayahwa terdengar gusar.
"Ha? Ga ada? Tadi di belakang saya. Ya Allah, kemana Ayahnya Khai? Ya Allah!" Ibuku mulai panik. Berusaha bangkit, namun lututnya serasa begitu lemah. Efek melarikan diri dengan bantuan tenaga dari 'langit' tadi, ternyata kini memberinya efek lemah luar biasa. Namun kegusarannya akan kondisi dan keberadaan suami tercinta, membuatnya berupaya keras untuk berdiri. Ya Allah, selamatkan suami hamba ya Allah. Selamatkan dia ya Allah. Pintanya.
Kini terlihat di matanya suasana musholla. Penuh dengan para tetangga yang dikenalnya dengan baik. Yang rata-rata mencemaskan keberadaan keluarga mereka yang tak bersama mereka di musholla. Ibunya Putri, tetangga dekat kami, juga sedang memiliki kekuatiran serupa. Anak lelakinya, tidak bersama mereka. Saat gempa tadi, si anak memang sedang ada acara di sekolahnya. Sama halnya dengan adikku Khai, yang malah sedang berhari minggu di sebuah pantai. Beberapa lelaki, tua muda telah turun dari musholla, mencoba mencari tau tentang situasi dan kondisi yang baru saja terjadi.
Sesosok tubuh berbalut lumpur, tertatih menaiki tangga. Sekujur tubuhnya dibungkus lumpur hitam, mulai dari ujung rambut, wajah hingga kaki. Melangkah tertatih, lemah. Seketika ibuku menjerit, kakinya yang melemah tadi tiba-tiba bertenaga. Berlari beliau menyongsong lelaki yang terlihat begitu lemah itu.
"Ya Allah, apa yang terjadi? Ayah kenapa?" Ratapnya dalam bahasa Aceh, menyambut Ayahku yang langsung menghenyakkan dirinya di atas lantai musholla. Bukan, bukan pingsan, tapi beliau mencoba menarik napas panjang dan beristirahat setelah terlepas dari tragedi dasyat itu.
"Kiamat kecil baru saja melanda. Gelombang hitam itu merenggut banyak sekali nyawa. Menghancurkan semuanya. Rumah-rumah rusak parah, jalanan penuh puing dan mayat. Rumah kita, ada banyak orang di lantai 2 rumah kita." Ucapan ayahku semakin membuat ibuku kuatir, dan sulit untuk membayangkan, air maut bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Ayah. Sungguh, matanya tak sempat melihat air apa yang telah menyerang itu. Merem sejak pertama mendudukkan diri di lantai musholla, telah menyelamatkan dirinya dari menatap langsung mimpi buruk itu.
"Yah, Ayah sendiri bagaimana? Bisa berjalan? Ayo kita pulang ke rumah. Jangan biarkan rumah kita kosong atau dipenuhi orang-orang yang tidak kita kenal. Ayo, Yah." Pikiran kritis ibuku yang terbiasa hidup di alam konflik, mulai bekerja.
"Mi, ini tidak seperti yang Umi bayangkan. Kita bahkan sulit untuk berjalan. Jalanan penuh lumpur dan puing reruntuhan, penuh mayat, sulit untuk melangkah. Ayah ga apa-apa. Hanya tadi tersangkut di kawat berduri."
Dan mulailah ayahku menceritakan kisahnya, didengar juga dengan keprihatinan oleh beberapa tetangga lainnya. Ibuku menangis. Merasa berdosa, merasa dirinya egois, malah duduk merem tanpa teringat sedikit pun pada suaminya yang tertinggal di belakangnya tadi. Feelingnya tadi kuat mengatakan bahwa Ayahku juga berada di antara mereka, di lantai dua musholla itu, tak jauh darinya, makanya dirinya tak kuatir. Apalagi tadi memang sebelum sampai di lantai 2, dirinya sempat menoleh dan melihat Ayahku sedang mencapai anak tangga pertama. Siapa sangka, justru setelah ibuku berpaling lagi dan meneruskan langkah, justru di belakangnya, si Ayah dihantam oleh sebuah balok kayu, yang membuatnya jatuh dan terhanyut!
Tak ada bujukan yang berhasil meluluhkan keinginan ibuku untuk turun dan kembali ke rumah. Apalagi para tetangga lainnya juga sepakat, untuk segera turun dan mengecek kondisi rumah masing-masing. Maka, Ayah [yang saat itu belum terasa sakit kakinya], menuruti. Juga turut serta Ayahwa, di antara para tetangga lainnya. Tepat seperti yang digambarkan oleh Ayah. Jalanan penuh lumpur, puing bangunan, kayu-kayu, dan mayat! Setiap berpapasan dengan mayat, mereka mencoba untuk mengenalinya, in case itu adalah jenazah orang yang mereka kenal. Dan, memang, dari sekian mayat yang bergelimpangan, beberapa dari mereka adalah para tetangga mereka, namun, banyak juga yang adalah mayat 'kiriman' alias orang yang tak dikenal, dan diseret oleh gelombang hingga ke kompleks perumahan ini.
Mayat-mayat itu, tak hanya bergelimpangan atau tertimbun di dalam lumpur dan reruntuhan yang merendam jalanan, namun juga ada yang tersangkut di pagar, di pekarangan, di jendela atau pintu-pintu rumah. Benar-benar membuat hati pilu dan shock. Ini benar-benar suguhan di luar dugaan. Traumatis!
Susah payah berjalan dalam rendaman lumpur yang melebihi lutut orang dewasa, plus hambatan puing bangunan yang bercampur tubuh tak bernyawa, akhirnya ayah, ibu dan para tetangga berhasil mencapai rumah masing-masing.
All About Tsunami: The Survivor - Ibundaku dan Rumah Kami. Suasana musholla kala itu riuh rendah oleh suara tangisan dan zikir. Tangisan yang tak hanya berasal dari anak-anak, namun juga dari para wanita yang berzikir dalam lirih. Ini adalah pengalaman pertama mereka, diguncang oleh gempa sedasyat itu, diikuti pula oleh kejaran air hitam mengerikan yang menerjang tanpa kompromi. Masih lekat di bayangan pupil mata mereka, bagaimana air hitam itu menerjang dan menelan mereka-mereka yang kalah cepat menaiki tangga, atau yang tertinggal di belakang saat sama-sama berlari menyelamatkan diri tadi.
Lantai dua musholla itu, tak lagi berayun. Namun was-was tak kunjung beranjak dari hati mereka akan adanya gempa susulan. Suasana riuh rendah, namun aura mencekamnya begitu kentara. Ibuku masih memejamkan mata sejak pertama kali mendudukkan dirinya di lantai musholla. Jemarinya bergantian menekuk mengikuti zikir yang mengalir deras dari bibirnya. Wanita lima puluh tiga tahun [saat kejadian] itu memang tak berani membuka matanya. Mencoba berkonsentrasi penuh pada alunan zikir yang dilafazdkannya, sembari mencoba meredakan debaran jantungnya yang berdegup demikian cepat. Bahkan pertanyaan 'ayahwa' [seorang lelaki tua, yang sudah seperti keluarga sendiri bagi kami], yang menguatirkan keselamatan Ayahandaku yang ternyata tidak berada di dalam musholla, tak digubris oleh ibuku. Barulah pada pertanyaan yang ke lima kalinya, ibuku tersadar dari zikirnya, dan terhenyak.
"Ayahnya Khai, ga ada di antara kita, Umi Khai. Kemana Bapak, ya?" Suara Ayahwa terdengar gusar.
"Ha? Ga ada? Tadi di belakang saya. Ya Allah, kemana Ayahnya Khai? Ya Allah!" Ibuku mulai panik. Berusaha bangkit, namun lututnya serasa begitu lemah. Efek melarikan diri dengan bantuan tenaga dari 'langit' tadi, ternyata kini memberinya efek lemah luar biasa. Namun kegusarannya akan kondisi dan keberadaan suami tercinta, membuatnya berupaya keras untuk berdiri. Ya Allah, selamatkan suami hamba ya Allah. Selamatkan dia ya Allah. Pintanya.
Kini terlihat di matanya suasana musholla. Penuh dengan para tetangga yang dikenalnya dengan baik. Yang rata-rata mencemaskan keberadaan keluarga mereka yang tak bersama mereka di musholla. Ibunya Putri, tetangga dekat kami, juga sedang memiliki kekuatiran serupa. Anak lelakinya, tidak bersama mereka. Saat gempa tadi, si anak memang sedang ada acara di sekolahnya. Sama halnya dengan adikku Khai, yang malah sedang berhari minggu di sebuah pantai. Beberapa lelaki, tua muda telah turun dari musholla, mencoba mencari tau tentang situasi dan kondisi yang baru saja terjadi.
Sesosok tubuh berbalut lumpur, tertatih menaiki tangga. Sekujur tubuhnya dibungkus lumpur hitam, mulai dari ujung rambut, wajah hingga kaki. Melangkah tertatih, lemah. Seketika ibuku menjerit, kakinya yang melemah tadi tiba-tiba bertenaga. Berlari beliau menyongsong lelaki yang terlihat begitu lemah itu.
"Ya Allah, apa yang terjadi? Ayah kenapa?" Ratapnya dalam bahasa Aceh, menyambut Ayahku yang langsung menghenyakkan dirinya di atas lantai musholla. Bukan, bukan pingsan, tapi beliau mencoba menarik napas panjang dan beristirahat setelah terlepas dari tragedi dasyat itu.
"Kiamat kecil baru saja melanda. Gelombang hitam itu merenggut banyak sekali nyawa. Menghancurkan semuanya. Rumah-rumah rusak parah, jalanan penuh puing dan mayat. Rumah kita, ada banyak orang di lantai 2 rumah kita." Ucapan ayahku semakin membuat ibuku kuatir, dan sulit untuk membayangkan, air maut bagaimana yang sebenarnya dimaksudkan oleh Ayah. Sungguh, matanya tak sempat melihat air apa yang telah menyerang itu. Merem sejak pertama mendudukkan diri di lantai musholla, telah menyelamatkan dirinya dari menatap langsung mimpi buruk itu.
"Yah, Ayah sendiri bagaimana? Bisa berjalan? Ayo kita pulang ke rumah. Jangan biarkan rumah kita kosong atau dipenuhi orang-orang yang tidak kita kenal. Ayo, Yah." Pikiran kritis ibuku yang terbiasa hidup di alam konflik, mulai bekerja.
"Mi, ini tidak seperti yang Umi bayangkan. Kita bahkan sulit untuk berjalan. Jalanan penuh lumpur dan puing reruntuhan, penuh mayat, sulit untuk melangkah. Ayah ga apa-apa. Hanya tadi tersangkut di kawat berduri."
Dan mulailah ayahku menceritakan kisahnya, didengar juga dengan keprihatinan oleh beberapa tetangga lainnya. Ibuku menangis. Merasa berdosa, merasa dirinya egois, malah duduk merem tanpa teringat sedikit pun pada suaminya yang tertinggal di belakangnya tadi. Feelingnya tadi kuat mengatakan bahwa Ayahku juga berada di antara mereka, di lantai dua musholla itu, tak jauh darinya, makanya dirinya tak kuatir. Apalagi tadi memang sebelum sampai di lantai 2, dirinya sempat menoleh dan melihat Ayahku sedang mencapai anak tangga pertama. Siapa sangka, justru setelah ibuku berpaling lagi dan meneruskan langkah, justru di belakangnya, si Ayah dihantam oleh sebuah balok kayu, yang membuatnya jatuh dan terhanyut!
Tak ada bujukan yang berhasil meluluhkan keinginan ibuku untuk turun dan kembali ke rumah. Apalagi para tetangga lainnya juga sepakat, untuk segera turun dan mengecek kondisi rumah masing-masing. Maka, Ayah [yang saat itu belum terasa sakit kakinya], menuruti. Juga turut serta Ayahwa, di antara para tetangga lainnya. Tepat seperti yang digambarkan oleh Ayah. Jalanan penuh lumpur, puing bangunan, kayu-kayu, dan mayat! Setiap berpapasan dengan mayat, mereka mencoba untuk mengenalinya, in case itu adalah jenazah orang yang mereka kenal. Dan, memang, dari sekian mayat yang bergelimpangan, beberapa dari mereka adalah para tetangga mereka, namun, banyak juga yang adalah mayat 'kiriman' alias orang yang tak dikenal, dan diseret oleh gelombang hingga ke kompleks perumahan ini.
Mayat-mayat itu, tak hanya bergelimpangan atau tertimbun di dalam lumpur dan reruntuhan yang merendam jalanan, namun juga ada yang tersangkut di pagar, di pekarangan, di jendela atau pintu-pintu rumah. Benar-benar membuat hati pilu dan shock. Ini benar-benar suguhan di luar dugaan. Traumatis!
![]() |
Foto dipinjam dari Buku BRR Seri A. Foto. |
Terhenyak, bengong, melongo, adalah reaksi awal mereka menyaksikan kehancuran yang terpampang di depan mata. Reaksi yang sama juga diperlihatkan dengan sukses oleh ibuku. Ayah sendiri, begitu air mulai surut tadi, sudah berhasil balik ke rumah untuk melihat situasi, namun belum sampai masuk ke dalam. Hanya saja, sempat berkomunikasi jarak jauh [ayah di luar rumah] dengan the survivors yang selamat di lantai dua rumah kami.
Lumpur hitam setinggi lutut orang dewasa, plus lemari yang roboh, sofa dan meubel lainnya yang berjatuhan, serta pintu depan yang lepas dari tempatnya, menyambut kedatangan ayah dan ibu. Beberapa ikan bandeng berserakan di dalam rumah. Kemungkinan terseret oleh gelombang dasyat tadi. Tak heran, jarak lautan dan kompleks perumahan kami tidaklah terlalu jauh.
Suara orang-orang terdengar di lantai atas. Tak sabar ibuku bergegas dan terpana, menyaksikan ada sembilan manusia dalam kondisinya masing-masing 'terdampar' di sana. Seorang wanita usia sekitar 37 an yang sedang hamil tua, terbaring lemah di atas tempat tidurnya Khai. Seorang anak kecil usia sekitar 2 tahunan, menangis, sedang dibujuk oleh seorang bapak. Seorang anak muda seusia Khai, 25 tahunan terduduk lesu, tapi ibuku hapal dengan pakaian yang dikenakan pemuda itu. [Ibu langsung parno, jangan-jangan ini baju barunya Khai!]. Seorang anak lelaki umur 10 tahunan, terbaring lemah di teras depan. Dan beberapa orang lelaki lainnya, terlihat juga dalam keadaan lemah.
Ayah dan ibu memperkenalkan diri sebagai pemilik rumah. Yang disambut dengan santun oleh para survivors. Tetangga depan rumahku, Ibunya Putri, suami dan anak-anaknya juga ikutan bernaung di lantai dua rumah kami, mengingat rumahnya sendiri telah direndam oleh lumpur, dan tak memiliki lantai dua. Wanita hamil tadi ternyata seorang dokter, yang terlempar keluar dari mobil yang sedang dikendarainya bersama suami serta seorang anaknya tadi, oleh gelombang maut itu. Wanita itu menangis sedih, menguatirkan keadaan suami dan anaknya. Selamatkah mereka? Hanya Tuhan yang tau.
"Ya ampun, ini siapa yang telah mengubrak abrik pakaian anak saya? Kalo mau pakai bajunya, kenapa tidak diambil saja yang bagian atas? Jangan diubrak abrik seperti ini, dan tak perlu juga memakai baju yang bahkan anak saya sendiri belum memakainya?" Nada tegas dan marah itu terdengar nyata, setelah ibuku membuka lemari pakaian Khai untuk baju ganti ayahku, mendapati lemari Khai telah diubrak abrik isinya.
Beberapa orang terdiam. Hanya satu orang yang telah berganti pakaian. Yang lain masih dengan kostumnya yang basah dan kotor. Si pemuda, yang ternyata memang menggunakan baju baru Khai, merasa agak malu, namun egonya terlihat nyata.
"Ya sudah, nanti saya ganti!" Katanya sambil melengos. Tak lama, dia mendekati si dokter, berbicara pelan padanya.
"Ibu, saya mau turun, ibu mau dibantu turun? Biar saya gendong turun."
Si dokter malah menggeleng, "Tidak, terima kasih, saya di sini saja dulu!" Agak ketus suaranya. Dan si pemuda itu pun berlalu, ditonton oleh the survivors lainnya.
Ibunya Putri, tetangga depan rumah yang tak mampu menyembunyikan rasa penasarannya.
"Maaf, Bu, itu saudara ibu? Kenapa tidak ikut bersamanya saja?"
Si dokter malah menangis.
"Bukan, Bu. Saya tidak kenal. Dia memang yang membantu saya tadi, membantu menarik saya ke teras ini saat saya berupaya menggapai pilar teras. Tapi setelah selamat di sini, dia meminta imbalan. Dua cincin saya telah saya berikan padanya tadi. Dan, dia pasti mengincar kalung emas saya ini. Hanya ini yang masih saya miliki untuk bertahan nanti, Bu." Dan si dokter itu pun menangis sendu.
Ya ampun, di tengah bencana yang sedasyat ini, masih ada juga jiwa-jiwa kotor yang ditunggangi iblis. Menolong dengan pamrih, mencoba memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan.
Yah, setan dan iblis memang bebas berkeliaran di celah mana pun! Si pemuda telah berlalu, menyisakan 8 survivors, plus ayah, ibu, dan keluarga ibu Putri, di lantai dua rumah kami. Sementara adikku, Khai, entah di mana dan bagaimana nasibnya? Bagaimanakah mereka menjalani malam yang mencekam, tanpa makanan dan penerangan nanti malam? Dan siapa sajakah para survivors di rumah kami ini?
Ikuti lanjutannya di postingan-postingan berikut, ya, Sobs!
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Bandung, 30 Juni 2013