Rumah duka ini terasa semakin hampa, Hanya wajah2 pelayat yang menyiratkan duka dan tanda tanya yang kutemukan saat aku dan Intan kembali memasuki halaman hingga ke pintu teras. Tak banyak diantara mereka yang aku kenal, sama seperti kemarin saat aku dan Umi berkunjung. Kali ini, aku hanya memberi salam dengan menghaturkan kedua tangan di dada sambil mengangguk tersenyum kepada para pelayat lainnya, melangkah masuk langsung menuju kamar Kania. Istri almarhum yang aku yakin tentu masih berada di kamar, ditemani mama dan tantenya.
Kudapati Kania yang bersandar lemah di kepala tempat tidur, sembari mulutnya komat kamit. Jemarinya yang lincah memindahkan biji tasbih dari yang satu ke berikutnya mengindikasikan wanita muda itu sedang bertasbih. Tertangkap kesedihan batin luar biasa yang sedang melandanya, ditambah penantian yang terasa begitu panjang sejak berita duka itu diterimanya Jumat sore kemarin. Kini, Minggu sore menjelang Magrib, jenazah sang kekasih hati tak kunjung tiba jua. Kusambut senyum getir yang dipaksakan menyambut kedatanganku. Kudekati dan kuusap lembut kepalanya.
Melihat kedekatan kami bertahun lalu, teman-teman di kantor lama, mengira Kania adalah keponakan kandungku. Terlebih kedatangannya ke Banda Aceh ini adalah karena aku yang membawanya, 7 tahun lalu. Kala itu Kania baru saja tamat kuliah dan tentu belum punya pekerjaan. Keluarganya yang sederhana tentunya sangat membutuhkan Kania untuk segera bekerja agar dapat membantu biayai adik2nya lanjutkan sekolah. Tergerak hatiku kala itu untuk mengajaknya ikut serta ke kota ini, walau belum jelas sama sekali pekerjaan apa yang dapat aku tawarkan untuknya nanti. Walau rumah tanggaku dengan Oomnya (ayahnya Intan) saat itu sedang diambang kehancuran.
yuk baca lanjutannya disini......,
Kudapati Kania yang bersandar lemah di kepala tempat tidur, sembari mulutnya komat kamit. Jemarinya yang lincah memindahkan biji tasbih dari yang satu ke berikutnya mengindikasikan wanita muda itu sedang bertasbih. Tertangkap kesedihan batin luar biasa yang sedang melandanya, ditambah penantian yang terasa begitu panjang sejak berita duka itu diterimanya Jumat sore kemarin. Kini, Minggu sore menjelang Magrib, jenazah sang kekasih hati tak kunjung tiba jua. Kusambut senyum getir yang dipaksakan menyambut kedatanganku. Kudekati dan kuusap lembut kepalanya.
Melihat kedekatan kami bertahun lalu, teman-teman di kantor lama, mengira Kania adalah keponakan kandungku. Terlebih kedatangannya ke Banda Aceh ini adalah karena aku yang membawanya, 7 tahun lalu. Kala itu Kania baru saja tamat kuliah dan tentu belum punya pekerjaan. Keluarganya yang sederhana tentunya sangat membutuhkan Kania untuk segera bekerja agar dapat membantu biayai adik2nya lanjutkan sekolah. Tergerak hatiku kala itu untuk mengajaknya ikut serta ke kota ini, walau belum jelas sama sekali pekerjaan apa yang dapat aku tawarkan untuknya nanti. Walau rumah tanggaku dengan Oomnya (ayahnya Intan) saat itu sedang diambang kehancuran.
yuk baca lanjutannya disini......,