Kisah ini terungkap kembali (hampir aja ilang dari ingatan sih) pada saat kebersamaan kami kemarin itu. Terbukanya kembali pintu hati ibunda untuk menerima Fadjri adikku, otomatis membangkitkan kenangan-kenangan manis maupun konyol tentangnya. Nuansa bahagia yang mengaliri hati kami saat itu, membuat kenangan konyol ini sekonyong-konyong (cieee…. Kayak nulis apa gituuu …) muncul ke permukaan.
Ya… kenangan masa kanak-kanak yang pada saat kuungkap membuat Fadjri (sang korban) bangkit dan menarik gemas rambutku. Kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD deh kayaknya, dan Fajri masih berumur dua tahun. Aku sedang getol-getolnya membaca majalah bobo saat itu, ketika ibuku memintaku menjaga Fadjri yang tertidur nyenyak di ayunan. Ibuku kayaknya waktu itu akan memasak deh.
Tugas menjaga adik yang sedang tidur tentu aku kerjakan dengan senang hati donk. Enteng itu mah. Hobby membacaku pasti tidak akan terganggu dunk.
Maka membacalah aku dengan asyiknya, sampai suatu saat Fajri terjaga dan mulai menangis…. Oek..oek… Kudekati ayunannya, dan aku bersimpuh seraya tangan yang satu mulai mengayun (ayunan per saat itu masih digantungkan di tali yang dicantolkan ke cantolan/pengait besar di plafon rumah, tidak seperti ayunan modern sekarang in pastinya), sementara tangan yang satu tetap memegang majalah, membaca. Cieee. Gayaku saat itu pasti intelek banget walau yang dibaca hanya si “Juwita dan Si Sirik”. . Hehe.
Sejenak Fadjri diam, tapi kemudian mulai oek-oek lagi. Kukeraskan usaha mengayunku.. diam sejenak. Aku pun tenang. Lanjut membaca. Serius banget. Eh Fadjri kok malah nangis lagi. Kujengukkan mukaku ke dalam ayunan, kedua mata nya sudah terbuka pertanda cukup sudah tidurnya. Minta digendong nih kayaknya. Tapi akukan belum selesai membaca?
Kucoba mengayunnya lagi, sambil meninabobokan kembali. Diam sejenak. Gembira hatiku. Tapi mulai lagi deh, the lesson learnt I get is; setiap ayunan yang lebih kuat, tangisannya akan terhenti. Begitu rupanya, adikku ingin diayun lebih tinggi. Okay. 'Everything I do, I do it for you deh De’, as well as to read lah. Hehe. Maka saat Fadjri mulai menangis lagi, kuat ayun pun aku tambah, tanpa mengalihkan pandanganku dari majalah tercinta.
Hingga….. tak disangka tak dinyana…. Tangisan Fadjri terhenti seketika, hanya beberapa saat, disambung dengan tangisan yang menggema ke seantero rumah. Kualihkan pandang dari majalah bobo ke sumber bunyi gedebug yang mengiringi tangisan Fadjri.
Masyaallah, adikku itu beserta ayunannya telah menyatu dengan lantai. Ya ampuun. Gugup ku bangkit, mencoba meraih dirinya, namun belum sempat aku bertindak, ibundaku telah hadir dengan ledakan amarahnya. Disambarnya Fadjri dari ayunan yang tergeletak di lantai, dibelainya penuh kasih. Fadjri masih menangis keras.
Masih sempat ibuku memelototiku sembari merampas majalah yang masih tergenggam erat di tangan kiriku. Dirobek sempurna oleh ibuku tercinta. Ku tak berkutik. Tak melawan. Pasrah. Airmata adalah teman setia. Mengalir sempurna menganak sungai di pipiku (halah… gaya bahasa apa ini ya, lupa euy!). Hatiku tercabik, bukan akibat cabikan ibuku terhadap si “Juwita dan si Sirik” kesayangan, tapi karena sedih telah menjatuhkan adik tercinta ke lantai.
Ibuku bukan tipe ibu cerewet yang akan merepet panjang lebar, yang justru membuatku semakin bersalah. Beliau tidak memarahiku panjang lebar, malah sibuk memperhatikan dan mendiamkan Fadjri. Diriku dibiarkan menanggung beban rasa bersalah ini seorang diri. Kuhanya dapat menangis disudut kamar, mencuri pandang dan berdoa agar adikku tak apa-apa.
Jika dulu aku sudah pandai bahasa Inggris, I will say this words; Dear… I do sorry for this. Really don’t mean to put you in danger. I do love you my lovely brother. Be okay for me, please.’
Sungguh ku tak Sengaja.
Fadjri dan yang lainnya tergelak saat kisah itu kuulang kembali, dan ibuku ikut tertawa. Bahagia melihat senyumnya kembali menghiasi bibir indahnya. I love you Umi.
Ya… kenangan masa kanak-kanak yang pada saat kuungkap membuat Fadjri (sang korban) bangkit dan menarik gemas rambutku. Kala itu aku masih duduk di kelas tiga SD deh kayaknya, dan Fajri masih berumur dua tahun. Aku sedang getol-getolnya membaca majalah bobo saat itu, ketika ibuku memintaku menjaga Fadjri yang tertidur nyenyak di ayunan. Ibuku kayaknya waktu itu akan memasak deh.
Tugas menjaga adik yang sedang tidur tentu aku kerjakan dengan senang hati donk. Enteng itu mah. Hobby membacaku pasti tidak akan terganggu dunk.
Maka membacalah aku dengan asyiknya, sampai suatu saat Fajri terjaga dan mulai menangis…. Oek..oek… Kudekati ayunannya, dan aku bersimpuh seraya tangan yang satu mulai mengayun (ayunan per saat itu masih digantungkan di tali yang dicantolkan ke cantolan/pengait besar di plafon rumah, tidak seperti ayunan modern sekarang in pastinya), sementara tangan yang satu tetap memegang majalah, membaca. Cieee. Gayaku saat itu pasti intelek banget walau yang dibaca hanya si “Juwita dan Si Sirik”. . Hehe.
Sejenak Fadjri diam, tapi kemudian mulai oek-oek lagi. Kukeraskan usaha mengayunku.. diam sejenak. Aku pun tenang. Lanjut membaca. Serius banget. Eh Fadjri kok malah nangis lagi. Kujengukkan mukaku ke dalam ayunan, kedua mata nya sudah terbuka pertanda cukup sudah tidurnya. Minta digendong nih kayaknya. Tapi akukan belum selesai membaca?
Kucoba mengayunnya lagi, sambil meninabobokan kembali. Diam sejenak. Gembira hatiku. Tapi mulai lagi deh, the lesson learnt I get is; setiap ayunan yang lebih kuat, tangisannya akan terhenti. Begitu rupanya, adikku ingin diayun lebih tinggi. Okay. 'Everything I do, I do it for you deh De’, as well as to read lah. Hehe. Maka saat Fadjri mulai menangis lagi, kuat ayun pun aku tambah, tanpa mengalihkan pandanganku dari majalah tercinta.
Hingga….. tak disangka tak dinyana…. Tangisan Fadjri terhenti seketika, hanya beberapa saat, disambung dengan tangisan yang menggema ke seantero rumah. Kualihkan pandang dari majalah bobo ke sumber bunyi gedebug yang mengiringi tangisan Fadjri.
Masyaallah, adikku itu beserta ayunannya telah menyatu dengan lantai. Ya ampuun. Gugup ku bangkit, mencoba meraih dirinya, namun belum sempat aku bertindak, ibundaku telah hadir dengan ledakan amarahnya. Disambarnya Fadjri dari ayunan yang tergeletak di lantai, dibelainya penuh kasih. Fadjri masih menangis keras.
Masih sempat ibuku memelototiku sembari merampas majalah yang masih tergenggam erat di tangan kiriku. Dirobek sempurna oleh ibuku tercinta. Ku tak berkutik. Tak melawan. Pasrah. Airmata adalah teman setia. Mengalir sempurna menganak sungai di pipiku (halah… gaya bahasa apa ini ya, lupa euy!). Hatiku tercabik, bukan akibat cabikan ibuku terhadap si “Juwita dan si Sirik” kesayangan, tapi karena sedih telah menjatuhkan adik tercinta ke lantai.
Ibuku bukan tipe ibu cerewet yang akan merepet panjang lebar, yang justru membuatku semakin bersalah. Beliau tidak memarahiku panjang lebar, malah sibuk memperhatikan dan mendiamkan Fadjri. Diriku dibiarkan menanggung beban rasa bersalah ini seorang diri. Kuhanya dapat menangis disudut kamar, mencuri pandang dan berdoa agar adikku tak apa-apa.
Jika dulu aku sudah pandai bahasa Inggris, I will say this words; Dear… I do sorry for this. Really don’t mean to put you in danger. I do love you my lovely brother. Be okay for me, please.’
Sungguh ku tak Sengaja.
Fadjri dan yang lainnya tergelak saat kisah itu kuulang kembali, dan ibuku ikut tertawa. Bahagia melihat senyumnya kembali menghiasi bibir indahnya. I love you Umi.