Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '.
Kisah sebelumnya di sini
"Bapak! Bapak, peu na droe neuh di sinan? [apa ada di situ?] Kak Fatma, Kak Fatma!" Suara itu semakin terdengar jelas. Membuat para survivors di rumah kami, semakin menajamkan pendengarannya. Lambat laun, ayahku mulai mengenal suara yang tak berwujud itu. Terdengar seperti berasal dari sebelah rumah Ikhsan, tetangga kami yang ibunya tewas tertimpa lemari.
"Itu suara Gade. Ya kan?" Seru ayahku, bangkit dari duduknya di atas sajadah. Namun kakinya yang semakin berdenyut dan bengkak, akhirnya membuatnya tak mampu bergerak. Kembali ibuku yang mengambil peran. Bergerak cepat, ibu dan bu Nellis [ibunya Putri, tetangga depan rumah kami] menuju teras. Tak nampak siapa-siapa di bawah. Gulita sungguh pekat menyelimuti. Namun cahaya senter yang berusaha disorot ke teras rumah ayah, membuat ibu dan bu Nellis mengetahui dengan pasti arah suara itu.
"Gade, kamu kah itu?" Seru ibuku.
"Iya, Kak! Alhamdulillah, Kakak bagaimana? Bapak juga bersama kakak kah? Khai juga di situ?" Berondongnya segera. Terdengar nada lega di suara itu. Gade, adalah 'anak angkat' ayah dan ibuku. Sebenarnya ga cocok sih dibilang anak angkat, mengingat usianya yang sepuluh tahun di atasku. Lebih cocok disebut 'adik' angkat bagi ibuku. Makanya dia memanggil ibuku sebagai kakak, namun untuk ayah, yang begitu dia segani, panggilan pun jatuh menjadi Bapak. Gade, adalah orang sekampung ibuku, yang merantau ke Banda Aceh, kuliah dan pernah numpang tinggal sekian lama di rumah kami.
"Alhamdulillah kami selamat, Gade. Hanya Khai belum tau di mana keberadaan dan bagaimana nasibnya." Hampir lepas tangis ibuku menyebut nama Khai. Betapa pun, beliau adalah orang yang melahirkan, mengasuh dan membesarkannya. Hati keibuannya tak lagi sanggup diredam. Tangis itu akhirnya pecah, justru di saat secercah cahaya datang menghampiri. Ya, Gade, adalah orang pertama yang datang mencari mereka.
"Kak, saya akan pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan. Sulit mengevakuasi kakak, Bapak dan semua yang ada di situ malam ini. Ada berapa orang di situ, Kak? Nanti saya kembali untuk membawa makanan. Besok pagi, kita coba untuk turun dan mengungsi ya."
"Kami sepuluh orang di sini. Iya, Gade. Ada beberapa yang terluka, termasuk Bapak yang kakinya udah infeksi. Ga bisa jalan." Masih lirih suara itu.
"Baik, Kak. Kakak yang sabar ya. Sampaikan salam saya pada Bapak. Saya balik dulu ke rumah untuk mengambil makanan. Mohon sabar ya, Kak, karena cuma bisa berjalan kaki nih. Jalanan penuh lumpur, puing dan mayat."
Dan setelah diiyakan oleh ibuku, Gade pun menghilang, bertemankan sebuah senter dan tongkat kayu, penolong arah, kembali ke rumahnya yang membutuhkan 1,5 jam dengan berjalan kaki. Dan pasti akan butuh 1,5 jam lagi untuk berjalan kaki balik ke lokasi ini.
Tinggallah kini, para survivors, dalam duka dan perut yang mulai keroncongan. Untungnya, mereka sudah terlatih dan rutin berpuasa, sehingga masalah lapar seperti ini, masih merupakan cobaan kecil di bandingkan dengan apa yang baru saja mereka alami. Ayahku melanjutkan tasbih dan doa-doanya. Bergabung kemudian ibuku [setelah bertayamum], menjadi makmum untuk shalat Isya yang dipimpin oleh ayahku.
Foto dipinjam dari buku seri BRR, buku 0. Tsunami |
"Bapak! Bapak, peu na droe neuh di sinan? [apa ada di situ?] Kak Fatma, Kak Fatma!" Suara itu semakin terdengar jelas. Membuat para survivors di rumah kami, semakin menajamkan pendengarannya. Lambat laun, ayahku mulai mengenal suara yang tak berwujud itu. Terdengar seperti berasal dari sebelah rumah Ikhsan, tetangga kami yang ibunya tewas tertimpa lemari.
"Itu suara Gade. Ya kan?" Seru ayahku, bangkit dari duduknya di atas sajadah. Namun kakinya yang semakin berdenyut dan bengkak, akhirnya membuatnya tak mampu bergerak. Kembali ibuku yang mengambil peran. Bergerak cepat, ibu dan bu Nellis [ibunya Putri, tetangga depan rumah kami] menuju teras. Tak nampak siapa-siapa di bawah. Gulita sungguh pekat menyelimuti. Namun cahaya senter yang berusaha disorot ke teras rumah ayah, membuat ibu dan bu Nellis mengetahui dengan pasti arah suara itu.
"Gade, kamu kah itu?" Seru ibuku.
"Iya, Kak! Alhamdulillah, Kakak bagaimana? Bapak juga bersama kakak kah? Khai juga di situ?" Berondongnya segera. Terdengar nada lega di suara itu. Gade, adalah 'anak angkat' ayah dan ibuku. Sebenarnya ga cocok sih dibilang anak angkat, mengingat usianya yang sepuluh tahun di atasku. Lebih cocok disebut 'adik' angkat bagi ibuku. Makanya dia memanggil ibuku sebagai kakak, namun untuk ayah, yang begitu dia segani, panggilan pun jatuh menjadi Bapak. Gade, adalah orang sekampung ibuku, yang merantau ke Banda Aceh, kuliah dan pernah numpang tinggal sekian lama di rumah kami.
"Alhamdulillah kami selamat, Gade. Hanya Khai belum tau di mana keberadaan dan bagaimana nasibnya." Hampir lepas tangis ibuku menyebut nama Khai. Betapa pun, beliau adalah orang yang melahirkan, mengasuh dan membesarkannya. Hati keibuannya tak lagi sanggup diredam. Tangis itu akhirnya pecah, justru di saat secercah cahaya datang menghampiri. Ya, Gade, adalah orang pertama yang datang mencari mereka.
"Kak, saya akan pulang ke rumah untuk menyiapkan makanan. Sulit mengevakuasi kakak, Bapak dan semua yang ada di situ malam ini. Ada berapa orang di situ, Kak? Nanti saya kembali untuk membawa makanan. Besok pagi, kita coba untuk turun dan mengungsi ya."
"Kami sepuluh orang di sini. Iya, Gade. Ada beberapa yang terluka, termasuk Bapak yang kakinya udah infeksi. Ga bisa jalan." Masih lirih suara itu.
"Baik, Kak. Kakak yang sabar ya. Sampaikan salam saya pada Bapak. Saya balik dulu ke rumah untuk mengambil makanan. Mohon sabar ya, Kak, karena cuma bisa berjalan kaki nih. Jalanan penuh lumpur, puing dan mayat."
Dan setelah diiyakan oleh ibuku, Gade pun menghilang, bertemankan sebuah senter dan tongkat kayu, penolong arah, kembali ke rumahnya yang membutuhkan 1,5 jam dengan berjalan kaki. Dan pasti akan butuh 1,5 jam lagi untuk berjalan kaki balik ke lokasi ini.
Tinggallah kini, para survivors, dalam duka dan perut yang mulai keroncongan. Untungnya, mereka sudah terlatih dan rutin berpuasa, sehingga masalah lapar seperti ini, masih merupakan cobaan kecil di bandingkan dengan apa yang baru saja mereka alami. Ayahku melanjutkan tasbih dan doa-doanya. Bergabung kemudian ibuku [setelah bertayamum], menjadi makmum untuk shalat Isya yang dipimpin oleh ayahku.
Di sebuah tempat di Kota Medan, Tambak Siombak
07:58:53 Wib. Minggu, 26 Desember 2004
07:58:53 Wib. Minggu, 26 Desember 2004
Suasana tambak Siombak terlihat damai pagi itu. Aku baru saja bangun tidur dan berniat untuk jalan pagi keliling tambak udang kami seraya menikmati kedamaian hati. Menaburkan pelet [makanan udang] ke kolam-kolam/tambak adalah sebuah kenikmatan tersendiri bagiku, sejak aku mengenal aktivitas ini. Yup, melihat kepala udang yang bermunculan menangkap pelet yang aku lemparkan, selalu saja mampu membuat hatiku mekar berseri, damai. Ada rasa bahagia dan harapan yang terpancar darinya. Yaa, harapan agar udang-udangku tumbuh sehat dan bernilai jual tinggi. Hehe. Yes, gini-gini, aku pernah jadi juragan tambak udang lho. Tapi sayang, gagal panen! Haha.
Bermalam di tambak udang setiap Sabtu malam, adalah juga merupakan aktivitas baru yang sering kami [aku, Intan dan ayahnya] lakukan. Terkadang, tak hanya kami, tapi juga Deddy [adik iparku] beserta istri dan anaknya juga ikutan menginap, sehingga pondok kami penuh dan semarak.
Pukul 07:58:53 WIB.
Aku sudah menggenggam pelet yang siap aku tebarkan, ketika tiba-tiba air kolam bergolak. Mataku terbelalak, refleks aku menarik tubuhku menjauh dari kolam. Berteriak aku memanggil ayah Intan yang sedang menuruni tangga pondok. Dalam sekejap dia sudah bergabung denganku, juga Deddy dan istrinya, sementara anak-anak [Intan dan Viora] masih tidur di dalam pondok.
"Gempa!" Satu kata itu terucap secara bersamaan dari bibir kami. Menyadari itu, kami menjauh dari kolam. Ayah Intan dan Deddy berlari menjemput anak-anak, sementara aku dan Azzani, duduk di tanah datar tak jauh dari kolam. Bumi terasa berayun, lembut tapi dalam ayunan yang besar. Cukup menimbulkan rasa pusing. Bersama kami menatap air kolam yang bergolak. Duh, lindungi udang-udang kami ya, Allah. Batinku was-was. Gempa ini lumayan lama, ada sekitar 10 menitan. Ya, hanya udang yang aku kuatirkan saat itu, mengingat tiga minggu lagi kami akan panen. :)
Akhirnya gempa itu reda juga. Dan kami bisa menarik napas lega. Tak ada prasangka apa-apa, selain sebuah catatan di hati bahwa gempa ini lumayan lama dan terasa lumayan keras. Tak ada pun niat di hati kami untuk mengetahui magnitude gempa ini. Aktivitas kami pun berlanjut, seperti biasanya. Bersantai di hari Minggu, bermain di tepi kolam seraya membakar ikan dan menyiapkan menu makan siang lainnya. Bisa dikata, gempa yang mengguncang tadi pagi, has no effect lah bagi kami, karena toh tak ada kerusakan apa-apa yang ditimbulkannya.
Hingga siangnya...,
sebuah telefon dari teman membuatku shock.
"Al, keluargamu ga papa? Pusat gempa tadi di Aceh, dan menimbulkan kerusakan parah lho!"
"Hah? Masak sih? Aku belum tau infonya. Aku di tambak nih. Ada apa? Update me, please!" Dan jangan ditanya bagaimana rasa hatiku kala itu. Deg-degan, Was-was!
Dan hatiku semakin was-was mendengar informasi darinya. Televisi mulai memberitakan tentang gempa tadi, yang ternyata ber-episentrum di kepulauan Simeulu, dan telah menimbulkan kehancuran tragis di bumi Serambi Mekkah, tempat di mana ayah, ibu dan satu adikku serta kerabat lainnya berdomisili! Oh My God. Lindungi ayah ibu dan adikku, serta mereka semua.
Kami memutuskan untuk pulang ke rumah, dan mulai memantau informasi yang mulai memenuhi layar kaca. Hatiku sungguh was-was. Tiga perempat hatiku sudah terbang ke Aceh, namun aku sungguh merasa diri ini bak hantu yang sedang bergentayangan. Di satu sisi, aku didera derita batin yang teramat sangat. Komunikasi terputus sama sekali. Tak satu provider pun yang berhasil menembus komunikasi ke Aceh. Kucoba untuk 'nekad' menghubungi nomor hape ayahku, yang hanya disambut oleh tulalit. Oh, Tuhan, jangan ambil ayah dan ibuku, sebelum pintu maaf mereka terbuka untukku, ya Allah, please. Itulah doa utama yang terus saja mengalir di hatiku.
Aku begitu was-was. Sembilan tahun sudah aku dikucilkan dari keluargaku, di-blackllist oleh ayah dan ibu, gegara keputusan nekadku untuk menikah tanpa restu. Ya, nekad menikah dengan ayahnya Intan, adalah keputusan paling berani yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Menjadi anak durhaka, adalah prestasi paling buruk yang pernah aku torehkan. Karenanya, aku pun terkucilkan dari keluarga, bahkan tak bisa mengakses hubungan dengan ketiga adikku. Itulah konsekuensi yang harus aku terima oleh keputusan nekad itu. Jutaan doa telah aku panjatkan, dan berbagai usaha telah aku jalani demi membuka pintu hati dan menggapai pintu maaf dari ayah dan bunda, namun usaha itu belum membuahkan hasil. Jadi bagaimana aku ga panik dan was-was seandainya pintu syurga itu telah pergi membawa kuncinya sebelum aku sempat membukanya?
Apalagi, setiap aku hubungi, telefon ayahku hanya memperdengarkan bunyi tulalit. Duh, Gusti!
Ayah Intan jelas tak berhasil menyabarkanku, yang nekad mengemas pakaian, untuk pulang ke Aceh, memastikan keadaan ayah ibuku. Aku harus pulang. Aku harus memastikan ayah dan ibu serta Khai selamat dari tragedi ini. Walau untuk itu, aku rela dibunuh oleh ayah, jika beliau ingin membunuhku! I don't care, I wanna go home, seeking for them. Tekadku.
Malam itu, aku tak bisa tidur nyenyak. Tak sabar menanti esok malam untuk berangkat ke Banda Aceh. Inginnya berangkat pagi tapi tiket bus dan pesawat sudah full book. Hiks. Rasanya waktu berlalu dengan begitu lambat, bahkan merambat ribuan kali lebih lama daripada siput. Ya Allah, bagaimana nasib ayah ibuku? Tayangan di televisi tiada henti menyiarkan serangan dan serbuan air bah, yang telah menghasilkan kehancuran yang sedemikian rupa. Belum lagi tayangan orang-orang bergegas kesana kemari, berurai air mata. Duh, bagaimana kondisi daerah tumpah darahku?
Lindungi mereka ya Allah. Lindungi ayah ibu, adik serta saudara-saudara hamba yang lain.
Yuk, baca kisah-kisah lanjutannya pada postingan-postingan berikut, yuk, Sobs!
Bermalam di tambak udang setiap Sabtu malam, adalah juga merupakan aktivitas baru yang sering kami [aku, Intan dan ayahnya] lakukan. Terkadang, tak hanya kami, tapi juga Deddy [adik iparku] beserta istri dan anaknya juga ikutan menginap, sehingga pondok kami penuh dan semarak.
Pukul 07:58:53 WIB.
Aku sudah menggenggam pelet yang siap aku tebarkan, ketika tiba-tiba air kolam bergolak. Mataku terbelalak, refleks aku menarik tubuhku menjauh dari kolam. Berteriak aku memanggil ayah Intan yang sedang menuruni tangga pondok. Dalam sekejap dia sudah bergabung denganku, juga Deddy dan istrinya, sementara anak-anak [Intan dan Viora] masih tidur di dalam pondok.
"Gempa!" Satu kata itu terucap secara bersamaan dari bibir kami. Menyadari itu, kami menjauh dari kolam. Ayah Intan dan Deddy berlari menjemput anak-anak, sementara aku dan Azzani, duduk di tanah datar tak jauh dari kolam. Bumi terasa berayun, lembut tapi dalam ayunan yang besar. Cukup menimbulkan rasa pusing. Bersama kami menatap air kolam yang bergolak. Duh, lindungi udang-udang kami ya, Allah. Batinku was-was. Gempa ini lumayan lama, ada sekitar 10 menitan. Ya, hanya udang yang aku kuatirkan saat itu, mengingat tiga minggu lagi kami akan panen. :)
Akhirnya gempa itu reda juga. Dan kami bisa menarik napas lega. Tak ada prasangka apa-apa, selain sebuah catatan di hati bahwa gempa ini lumayan lama dan terasa lumayan keras. Tak ada pun niat di hati kami untuk mengetahui magnitude gempa ini. Aktivitas kami pun berlanjut, seperti biasanya. Bersantai di hari Minggu, bermain di tepi kolam seraya membakar ikan dan menyiapkan menu makan siang lainnya. Bisa dikata, gempa yang mengguncang tadi pagi, has no effect lah bagi kami, karena toh tak ada kerusakan apa-apa yang ditimbulkannya.
Hingga siangnya...,
sebuah telefon dari teman membuatku shock.
"Al, keluargamu ga papa? Pusat gempa tadi di Aceh, dan menimbulkan kerusakan parah lho!"
"Hah? Masak sih? Aku belum tau infonya. Aku di tambak nih. Ada apa? Update me, please!" Dan jangan ditanya bagaimana rasa hatiku kala itu. Deg-degan, Was-was!
Dan hatiku semakin was-was mendengar informasi darinya. Televisi mulai memberitakan tentang gempa tadi, yang ternyata ber-episentrum di kepulauan Simeulu, dan telah menimbulkan kehancuran tragis di bumi Serambi Mekkah, tempat di mana ayah, ibu dan satu adikku serta kerabat lainnya berdomisili! Oh My God. Lindungi ayah ibu dan adikku, serta mereka semua.
Kami memutuskan untuk pulang ke rumah, dan mulai memantau informasi yang mulai memenuhi layar kaca. Hatiku sungguh was-was. Tiga perempat hatiku sudah terbang ke Aceh, namun aku sungguh merasa diri ini bak hantu yang sedang bergentayangan. Di satu sisi, aku didera derita batin yang teramat sangat. Komunikasi terputus sama sekali. Tak satu provider pun yang berhasil menembus komunikasi ke Aceh. Kucoba untuk 'nekad' menghubungi nomor hape ayahku, yang hanya disambut oleh tulalit. Oh, Tuhan, jangan ambil ayah dan ibuku, sebelum pintu maaf mereka terbuka untukku, ya Allah, please. Itulah doa utama yang terus saja mengalir di hatiku.
Aku begitu was-was. Sembilan tahun sudah aku dikucilkan dari keluargaku, di-blackllist oleh ayah dan ibu, gegara keputusan nekadku untuk menikah tanpa restu. Ya, nekad menikah dengan ayahnya Intan, adalah keputusan paling berani yang pernah aku lakukan seumur hidupku. Menjadi anak durhaka, adalah prestasi paling buruk yang pernah aku torehkan. Karenanya, aku pun terkucilkan dari keluarga, bahkan tak bisa mengakses hubungan dengan ketiga adikku. Itulah konsekuensi yang harus aku terima oleh keputusan nekad itu. Jutaan doa telah aku panjatkan, dan berbagai usaha telah aku jalani demi membuka pintu hati dan menggapai pintu maaf dari ayah dan bunda, namun usaha itu belum membuahkan hasil. Jadi bagaimana aku ga panik dan was-was seandainya pintu syurga itu telah pergi membawa kuncinya sebelum aku sempat membukanya?
Apalagi, setiap aku hubungi, telefon ayahku hanya memperdengarkan bunyi tulalit. Duh, Gusti!
Ayah Intan jelas tak berhasil menyabarkanku, yang nekad mengemas pakaian, untuk pulang ke Aceh, memastikan keadaan ayah ibuku. Aku harus pulang. Aku harus memastikan ayah dan ibu serta Khai selamat dari tragedi ini. Walau untuk itu, aku rela dibunuh oleh ayah, jika beliau ingin membunuhku! I don't care, I wanna go home, seeking for them. Tekadku.
Malam itu, aku tak bisa tidur nyenyak. Tak sabar menanti esok malam untuk berangkat ke Banda Aceh. Inginnya berangkat pagi tapi tiket bus dan pesawat sudah full book. Hiks. Rasanya waktu berlalu dengan begitu lambat, bahkan merambat ribuan kali lebih lama daripada siput. Ya Allah, bagaimana nasib ayah ibuku? Tayangan di televisi tiada henti menyiarkan serangan dan serbuan air bah, yang telah menghasilkan kehancuran yang sedemikian rupa. Belum lagi tayangan orang-orang bergegas kesana kemari, berurai air mata. Duh, bagaimana kondisi daerah tumpah darahku?
Lindungi mereka ya Allah. Lindungi ayah ibu, adik serta saudara-saudara hamba yang lain.
Yuk, baca kisah-kisah lanjutannya pada postingan-postingan berikut, yuk, Sobs!
Well, Sobs, kisah selanjutnya bisa diikuti pada postingan berikut:
- all about tsunami: Khai and the Genk
- all about tsunami: Khai and Perjuangan Pulang
- all about tsunami: Malam Pertama
- all about tsunami: Hari Kedua
- ........
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Bandung, 15 Juli 2013
28 comments
Duh, jadi ikut deg2an Mbak
ReplyDeleteIkutan sedih juga :(
Nantikan kisah berikutnya yang semakin mengharu biru ya, Mak. :)
Deletekebayang mbak bgmn perasaannya mbak, saat pengen sungkem dgn ortu namun belum dikasih kesempatan, jadi kepo nih dgn lanjutannya
ReplyDeleteIya, rasanya dunia ku telah kiamat waktu itu, Mbak, dan takut banget ga bisa masuk syurga. :(
DeleteNantikan kisah lanjutannya ya, Mbak. :)
Semoga keluarganya selamat dan baik2 saja yah mb.. Amin..
ReplyDeleteAamiin, makasih, Mak Lina. :)
DeleteYa Allah peristiwa itu sudah lama berlalu. Tapi membaca catatan Mbak Al, peristiwa itu kembali mencekam. Duh Gusti semoga tak ada lagi kejadian seperti ini..
ReplyDeleteIya, Mba Evi. Bagaimana pun, kisah ini pernah mengukir duka bagi kita semua. Membacanya kembali, selain membangkitkan duka, semoga juga menjadikan pembelajaran bagi kita semua, bahwa bencana bisa saja terjadi kapan dan di mana saja, dan kita harus siap mengantisipasinya berdasarkan pengalaman2 yang kita petik dari kejadian2 sebelumnya.
DeleteAamiin, semoga tak lagi terulang bencana spt ini ya, Mbak. Trims atas kunjungan dan doanya. :)
dulu aku jg ikut nangis lihat beritanya di tv
ReplyDeletememang sangat tragis. :(
Deletekejadian yang akan selalu di ingat ,, duka bangsa , duka saudara kita
ReplyDeleteBencana kadang tidak hanya derita, tapi kesempatan yang diberikan Allah pada kita untuk memperbaiki hubungan dengan orang-orang yang semestinya tak pernah putus. Memang sulit untuk bersyukur sementara banyak orang lain telah kehilangan keluarga, tapi kita dapat membalasnya dengan membantu orang lain yang tidak memiliki banyak kesempatan.
ReplyDeletembak al, selalu ditunggu lanjutannya..
ReplyDeleteMenanti dengan was2 sambungannya mbk
ReplyDeletekenangan yang membuat miris mak :(
ReplyDeletehiks mba, menantikan sambungannya juga nih mba.
ReplyDeletesy yg membacanya aja merasa deg2an, kalut, dan sedih, Mbak
ReplyDeleteTadi malam nyuri baca sembari nidurin Faiz..aku ceritain sedikit tentang tsunami Aceh #Faiz matanya berkaca-kaca.
ReplyDeleteSubhanalloh Mba Al...
Salam
Astin
selalu nunggu kelanjutannya :'(
ReplyDeleteIkutan menyimak perjuangan penyintas Tsunami Aceh 26 Des 2004 ya mbak Al. Salam
ReplyDeletehaduuuh ini lanjutannya gimana :(
ReplyDeletepasti ada rasa tidak tenang ya mbak Al. Apa kabar mbak Al maaf aku baru bisa berkunjung kesini
ReplyDeletehaduuh ngeri deh bacanya..tapi aku suka nonton film tentang tsunami, bisa belajar utk lebih menghargai hidup. Waktu tsunami Aceh terjadi aku sedang ada di India dan salah satu pulau kecil di perairannya punah akibat tsunami itu...pulau bersama seluruh penghuninya. So heartbreaking :( Sending a lot of prayer for tsunami victims in Aceh.
ReplyDeleteWoh! Saya terlarut dalam cerita ini, keren. Walaupun sedikit agak sedih dan was-was. Ditunggu cerita selanjutnya :)
ReplyDeleteSerem Mak, mbayanginya...semoga gak terulang lagi kejadian2 seperti ini ya Mak..
ReplyDeletebatinmu tentu shok sekali ya mbak...
ReplyDeleteAll about tsunami. Aku jadi inget dosenku. Biasa bercanda2 setiap harinya. Waktu itu pagi2. Kami papasan. Wajahnya murung. Aku ledekin ngajak becanda, diem aja. Ngga lama, ada yg ngasih tau kalo keluarganya ngga ada yg bisa dihubungi pasca tsunami tadi pagi. :(
ReplyDelete...
ReplyDeletemau lanjut membaca...