Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '. Kisah sebelumnya disini
Khai tak mampu meredam rasa kaget yang luar biasa menderanya, menyaksikan temuan demi temuan setiap langkah mereka semakin 'turun' ke bawah. Yang paling membuat matanya terbelalak adalah, hotel megah sekaliber Kuala Tripa, kini runtuh bak menara kertas! Ya Allah, betapa dasyat bala yang Engkau turunkan kepada kami kali ini.
Tersentak oleh pemandangan mata yang melecut hati dan pemikiran, Khai berbalik arah, teringat akan motornya yang diikatkannya pada kabel tiang listrik. Dia berharap dapat membawanya sekalian pulang. Hatinya kini dipenuhi kekuatiran yang maha dasyat, menguatirkan nasib ayah bunda yang entah bagaimana. Ya Allah, lindungi ayah dan ibu hamba, ya Allah.
Perjuangan untuk mencapai rumah seakan tiada akhir. Tubuh nan lelah, di tambah dengan beratnya medan yang harus ditempuh, hampir saja membuatnya putus asa. Reruntuhan bangunan, kayu-kayu dan aneka material lainnya, plus mayat yang bergeletakan sejauh mata memandang, sungguh menyajikan pemandangan yang tak akan pernah luput dari ingatan. Tak henti, Khai mau pun para survivors lainnya menyebut nama Allah, disertai rasa perih yang kian menyayat kalbu. Mereka terus berjalan, mencoba untuk sesegera mungkin mencapai rumah, atau mencari anggota keluarga mereka yang hilang tersapu gelombang. Semakin ke bawah, Khai semakin bertemu dengan banyak orang. Orang-orang dengan wajah pilu, putus asa, bertatapan kosong, namun ada juga yang histeris menangis. Aneka rupa ekspressi itu, membuat Khai semakin tak sabar untuk mencapai rumah. Bayang ayah dan ibu, semakin memacu semangatnya untuk bertahan. Tak lagi dihiraukannya rasa lelah dan beratnya jalanan yang harus ditaklukkan. Ditambah dengan harus menuntun sepeda motornya yang kini bak sapi ngambek tak mau lagi bekerjasama. Berat!
Hari telah menjelang malam, ketika akhirnya Khai berhasil mencapai gang tempat tinggalnya. Itu pun setelah dia memutuskan untuk menitipkan sepeda motornya di rumah seorang temannya di Lampineng [daerah ini hanya tersapu 'ekor' gelombang], dan kemudian Khai melangkah pulang. Perjalanan yang tentu saja tidak mulus, karena hatinya yang penyayang, tak tega untuk terus melangkah sementara ada beberapa suara yang merintih membutuhkan bantuan. Maka beberapa kali, dihentikannya langkah, mencoba mengulurkan tangan, membantu korban yang terjepit di bawah tumpukan kayu, atau terjebak kayu-kayu yang memenuhi jalanan. Akhirnya, perjalanan panjang itu terhenti di depan gang menuju rumahnya. Jalanan penuh mayat dan tumpukan kayu sehingga tak mungkin untuk mencapai rumah lewat jalan biasa. Diputuskannya untuk memutar dari mushalla. Dan sesampai di mushalla, tertarik hatinya untuk singgah, mana tahu ayah dan ibu juga mengungsi di mushalla. Apalagi hari telah gulita, sungguh sulit rasanya menjangkau rumah tanpa secercah cahaya yang menerangi.
Namun, informasi yang melegakan hati dari para tetangga, bahwa ayah dan ibu selamat, dan kini sudah pulang ke rumah, membuatnya tenang. Plong! Sehingga diputuskannya lah untuk menginap saja di mushalla bersama para survivors lainnya, dan besok pagi baru pulang untuk bertemu ayah ibu. Hatinya tiada henti memanjatkan puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi, yang telah menyelamatkan kedua orang tuanya.
Dan, malam itu, Khai beristirahat dengan tenang, meluruskan tubuh yang terasa begitu lelah, rehat dan berusaha memulihkan tenaga, karena esok hari, pekerjaan berat telah menanti.
Sama sekali tak disadarinya, di rumah, ayah dan ibunya dilanda mimpi buruk, menguatirkan dirinya yang tak ada kabar beritanya. Andai saja dia mau berkorban sedikit saja lagi, pulang, maka ayahnya tentu tak akan histeris dan terus menangis malam itu. Tapi Khai mana kepikiran sejauh itu, ditambah lagi tenaganya yang memang telah terkuras habis. Barulah keesokan harinya, anak muda ini, menangis tersedu menyaksikan betapa ayahandanya dilanda trauma dan masygul hatinya.
Ikuti kisah berikutnya, tentang malam pertama yang dialami oleh para survivors di rumah kami. Tentang Bayu, Udin, Dr. Fanni, dan ayahandaku yang tiba-tiba menjadi lelaki yang berlimpah air mata.
Kisah-kisah selanjutnya dapat dibaca di sini, ya, Sobs!
Khai dan Perjuangan Pulang
Waktu merambat teramat lambat. Para survivors, dan orang-orang yang daerahnya hanya dijamah oleh 'sedikit' sisa gelombang, kini sudah beramai-ramai meninjau situasi. Membuat jalanan, dan daerah tempat di mana Khai berada, terasa kian penuh. Para survivors, yang tadinya kelelahan, juga tak mampu lagi bertahan. Rasa penasaran akan keluarga mereka, juga akan apa yang telah terjadi, menyedot seluruh akal sehat mereka untuk segera bertindak. Berpencar, mereka menelusuri jalanan, dan mulai terkaget dan terpekik, setiap menyaksikan mayat-mayat yang berserakan di berbagai area. Terlebih di dalam lokasi kuburan Belanda [Kherkoof]. Beberapa mayat terlihat telungkup di prasasti-prasasti makam yang biasanya indah terawat namun kini telah terselubung lumpur pekat. Mayat-mayat itu juga terlihat sangat menyedihkan. Ekspressi para mayat juga sungguh tragis, membekaskan saat-saat akhir mereka jelang maut. Ada yang mulutnya terbuka seperti menjerit panik, ada yang meringis, melolong, merintih, dan berbagai ekspressi lainnya.
Image taken from here |
Tersentak oleh pemandangan mata yang melecut hati dan pemikiran, Khai berbalik arah, teringat akan motornya yang diikatkannya pada kabel tiang listrik. Dia berharap dapat membawanya sekalian pulang. Hatinya kini dipenuhi kekuatiran yang maha dasyat, menguatirkan nasib ayah bunda yang entah bagaimana. Ya Allah, lindungi ayah dan ibu hamba, ya Allah.
Perjuangan untuk mencapai rumah seakan tiada akhir. Tubuh nan lelah, di tambah dengan beratnya medan yang harus ditempuh, hampir saja membuatnya putus asa. Reruntuhan bangunan, kayu-kayu dan aneka material lainnya, plus mayat yang bergeletakan sejauh mata memandang, sungguh menyajikan pemandangan yang tak akan pernah luput dari ingatan. Tak henti, Khai mau pun para survivors lainnya menyebut nama Allah, disertai rasa perih yang kian menyayat kalbu. Mereka terus berjalan, mencoba untuk sesegera mungkin mencapai rumah, atau mencari anggota keluarga mereka yang hilang tersapu gelombang. Semakin ke bawah, Khai semakin bertemu dengan banyak orang. Orang-orang dengan wajah pilu, putus asa, bertatapan kosong, namun ada juga yang histeris menangis. Aneka rupa ekspressi itu, membuat Khai semakin tak sabar untuk mencapai rumah. Bayang ayah dan ibu, semakin memacu semangatnya untuk bertahan. Tak lagi dihiraukannya rasa lelah dan beratnya jalanan yang harus ditaklukkan. Ditambah dengan harus menuntun sepeda motornya yang kini bak sapi ngambek tak mau lagi bekerjasama. Berat!
Hari telah menjelang malam, ketika akhirnya Khai berhasil mencapai gang tempat tinggalnya. Itu pun setelah dia memutuskan untuk menitipkan sepeda motornya di rumah seorang temannya di Lampineng [daerah ini hanya tersapu 'ekor' gelombang], dan kemudian Khai melangkah pulang. Perjalanan yang tentu saja tidak mulus, karena hatinya yang penyayang, tak tega untuk terus melangkah sementara ada beberapa suara yang merintih membutuhkan bantuan. Maka beberapa kali, dihentikannya langkah, mencoba mengulurkan tangan, membantu korban yang terjepit di bawah tumpukan kayu, atau terjebak kayu-kayu yang memenuhi jalanan. Akhirnya, perjalanan panjang itu terhenti di depan gang menuju rumahnya. Jalanan penuh mayat dan tumpukan kayu sehingga tak mungkin untuk mencapai rumah lewat jalan biasa. Diputuskannya untuk memutar dari mushalla. Dan sesampai di mushalla, tertarik hatinya untuk singgah, mana tahu ayah dan ibu juga mengungsi di mushalla. Apalagi hari telah gulita, sungguh sulit rasanya menjangkau rumah tanpa secercah cahaya yang menerangi.
Namun, informasi yang melegakan hati dari para tetangga, bahwa ayah dan ibu selamat, dan kini sudah pulang ke rumah, membuatnya tenang. Plong! Sehingga diputuskannya lah untuk menginap saja di mushalla bersama para survivors lainnya, dan besok pagi baru pulang untuk bertemu ayah ibu. Hatinya tiada henti memanjatkan puji syukur ke hadirat Ilahi Rabbi, yang telah menyelamatkan kedua orang tuanya.
Dan, malam itu, Khai beristirahat dengan tenang, meluruskan tubuh yang terasa begitu lelah, rehat dan berusaha memulihkan tenaga, karena esok hari, pekerjaan berat telah menanti.
Sama sekali tak disadarinya, di rumah, ayah dan ibunya dilanda mimpi buruk, menguatirkan dirinya yang tak ada kabar beritanya. Andai saja dia mau berkorban sedikit saja lagi, pulang, maka ayahnya tentu tak akan histeris dan terus menangis malam itu. Tapi Khai mana kepikiran sejauh itu, ditambah lagi tenaganya yang memang telah terkuras habis. Barulah keesokan harinya, anak muda ini, menangis tersedu menyaksikan betapa ayahandanya dilanda trauma dan masygul hatinya.
Ikuti kisah berikutnya, tentang malam pertama yang dialami oleh para survivors di rumah kami. Tentang Bayu, Udin, Dr. Fanni, dan ayahandaku yang tiba-tiba menjadi lelaki yang berlimpah air mata.
Kisah-kisah selanjutnya dapat dibaca di sini, ya, Sobs!
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Kuala Lumpur, 21 Juli 2013
Diposting sembari menanti penerbangan lanjutan ke Istanbul.