Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '.
Hari ini (26 Dec 2016), dua belas tahun yang lalu, sebuah bencana maha dasyat bernama cantik telah menggoreskan tinta hitam legam tak terlupakan di benak siapa pun, masyarakat Indonesia yang pernah menyaksikan, mengalami atau hanya sekedar melihat beritanya. Yah, Tsunami. Gelombang maut yang diawali oleh sebuah gempa bumi dengan skala luar biasa besarnya itu [9,1 SR], menggulung daratan Aceh dan meluluh-lantakkan apa yang ada di atasnya, pada 26 Desember 2004.
Mereka yang selamat sempat berpikir; inikah saatnya kiamat? Lantas mereka pun teringat akan sebuah hadist, bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat, sementara hari itu adalah hari Minggu. Jadi ini bukanlah kiamat atau akhir zaman. Ini adalah sebuah kiamat kecil paling mengerikan yang pernah mereka saksikan seumur hidup mereka.
Mula-mula adalah gempa yang membuat orang pun tak bisa bertahan, tak kuasa berdiri. Sebuah gempa yang berskala 'hanya kurang 0,9 skala untuk mencapai angka 10, skala terbesar pada seismograf, alat pengukur gempa]. Guncangan yang sukses membuat orang-orang oleng, berjatuhan ke tanah, mual dan muntah-muntah. Bangunan retak, namun tak membuatnya ambruk. Sigap mereka menjauhi arena kala sang gempa berhenti sejenak. Gempa dasyat tadi, membuat mereka berfikir untuk kembali ke rumah masing-masing, untuk memastikan/memeriksa kondisi rumah dan anak istri. Begitu juga dengan ayahandaku, setelah mencoba menghubungi ibu yang gagal terhubung [komunikasi langsung lumpuh sejak gempa melanda], maka mereka segera memutuskan untuk pulang.
Di rumah, ibuku yang tinggal sendirian di rumah, ternyata sudah menghambur keluar sejak gempa mengguncang tadi. Berkumpul bersama para tetangga lainnya, dan sama sekali tak berani masuk ke rumah lagi, walau gempa telah reda. Mereka masih berkumpul di jalanan depan rumah, membahas perkara yang sungguh luar biasa itu. Belum pernah seumur hidup, mereka merasakan gempa sedasyat itu. Ayahku tiba tepat tak lama setelahnya, dan bergabung dengan para tetangga. Namun seorang tetangga [anggota Brimob, yang kantornya tak jauh dari kompleks perumahan kami], tiba-tiba muncul [berlari] dari mulut gang mendekati gerombolan kecil ini, seraya berteriak, "AIR LAUT NAIK, AIR LAUT NAIK, LARIIII!"
Ayah, ibu dan para tetangga hanya bisa bengong menatap wajah panik itu. Namun ibuku yang memang alert-nya paling ok, sigap berlari ke dalam rumah, dan tak lama sudah keluar lagi seraya menjinjing sebuah tas berisi barang-barang berharga [sejak Aceh dilanda konflik dan berstatus DOM, ibuku memang selalu siaga dengan sebuah tas berisi koleksi emas dan surat-surat berharga lainnya]. Tas itu selalu saja siaga di sampingnya, jika ada urgent thing, seperti kali ini.
Sigap pula ibu masuk ke dalam mobil dan memerintahkan ayahku untuk starter mesin. Sigap pula ayahku meluncurkan kendaraan roda empat itu, melaju menuju ke arah musholla. Para tetangga ada yang berlarian sambil menggendong anak-anaknya, ada yang mengendarai kendaraan, atau hanya berlari kecil. Panik. Itulah yang terlihat saat itu. Sesampai di ujung gang, di perempatan menuju musholla, ayahku sempat bingung hendak melajukan kemana mobilnya. Akhirnya, ibuku juga yang memberi arahan. Berbeloklah mereka ke arah musholla. Ibuku sigap turun, dan atas perintah ayahku, ibu langsung berlari, menaiki tangga musholla menuju lantai dua, dimana para tetangga lainnya juga sedang berusaha naik ke lantai dua.
Sementara itu, ayahku masih mencoba memposisi mobilnya dalam posisi aman. Menarik rem tangan, memasang persnelling satu, keluar mobil dan mengunci mobil dari luar. Barulah beliau berlari menuju anak tangga. Sempat tertangkap oleh matanya, cairan hitam yang seakan mengejar dan mengancamnya. Hanya setinggi betis, namun cairan hitam itu tiba-tiba saja berubah bak tembok tinggi yang mengejar langkahnya. Anak tangga pertama telah menanti untuk beliau pijak, namun sayang, sebuah balok kayu menghantam kakinya hingga membuat beliau terjatuh, langsung disambut gelombang yang telah menjelma setinggi pinggang orang dewasa. Serba cepat. Arus itu begitu kuat dan kian meninggi. Membuatnya terseret tanpa mampu berdiri lagi. Pasrah, beliau mengikuti arus, yang ternyata menghempaskannya pada sebuah pagar kawat berduri, yang mengitari area kantor Brimob. Beliau rasakan kakinya nyeri, tersangkut pada lapisan terbawah si kawat berduri. Tertancap dalam, dan membuat beliau berada pada posisi berdiri. Air semakin tinggi, telah merendam tubuhnya hingga hidung. Membuatnya kesulitan untuk menghirup udara. Beberapa kali beliau mencoba menarik kakinya dari tancapan si kawat berduri, namun ternyata tak juga mampu mengoyak kulit kaki dan melepaskannya dari kaitan si kawat.
Saat itu, ayahku merasa bahwa inilah saatnya sang ajal menjemputnya. Pasrah tapi juga sedih. Sedih karena anak dan istri, nantinya tak akan menemukan di mana jasadnya. Air hitam ini, pasti akan menghanyutkannya entah kemana. Berurai air matanya, namun kepasrahannya akan takdir, membuatnya benar-benar ikhlas. Sempat juga terucap di lubuk hatinya sebuah dialog dengan sang Ilahi Rabbi.
"Ya Allah, hamba pasrah pada takdir-Mu ya Allah. Jika memang hanya sampai di sini kehidupanku, ambillah aku dalam iman dan islam. Namun jika masih ada ajalku ya Allah, selamatkanlah hamba."
Ajaib, sebuah bisikan di dalam hatinya, seakan memerintahkan agar ayah menengadah. Dan benar saja, begitu beliau menengadah, posisi hidungnya yang tadi telah terendam oleh air berlumpur dan membuatnya kesulitan bernapas, kini hidungnya terangkat tinggi dan leluasa bernapas. Tak hanya itu, tiba-tiba saja, secara ajaib, kakinya tersentak, terlepas dari jeratan si kawat berduri. Mengapung beliau ke permukaan dan arus kuat itu pun menyeretnya kembali. Mengikuti arus dan gelombang air hitam berlumpur yang mengalir dengan kecepatan luar biasa.
Cobaan masih belum berakhir. Arus maha dasyat itu menyeretnya hingga beberapa meter ke depan, menghempaskannya, membuatnya timbul tenggelam hingga suatu ketika tangannya menjangkau sebuah dahan pohon kuda-kuda yang begitu tinggi. Di sana lah beliau berjuang, mencoba bertahan dengan memeluk erat si dahan, hingga akhirnya beliau berhasil bertahan di atas dahan tersebut. Baru sejenak bernapas lega, dari kejauhan mata tuanya, melihat sebuah bahaya lain yang mengancam jiwanya.
Seekor lembu, sedang terseret gelombang dengan arus yang mengarah tepat ke dahan pohon yang sedang didudukinya. Secara logika, beliau tak akan mungkin bisa selamat kali ini. Arus itu jelas-jelas mengarah kepadanya, dan lembu sebesar itu, jika sampai menghantam dahan kecil pegangannya, sudah pasti akan membuat dirinya dan si dahan akan patah. Tamat sudah kini riwayatanya. Begitulah yang ada di dalam benak ayahkku kala itu.
Namun kepasrahan dan doa yang beliau lantunkan, secara ajaib dan di luar logika, membuat arus itu berbelok tepat di depan dahan di mana beliau sedang berlindung. Ya, lembu dan arus itu berbelok menjauh dari dahan. Masyallah. Maha Besar Engkau ya Allah. Lega, beliau duduk di dahan, pasrah. Pedih hatinya menyaksikan beberapa orang yang dikenalnya terombang ambing dalam gelombang, tak jauh di depan matanya, berteriak minta tolong. Air saat itu begitu tinggi, sekitar 4 meter ketinggiannya. Orang-orang yang dihanyutkan gelombang, berusaha dan berteriak menyelamatkan diri, namun gagal akibat arus gelombang yang begitu dasyat. Ayahku hanya bisa meneteskan air mata menyaksikan semua itu. Menyadari, dirinya pun hampir saja mengalami nasib yang sama, jika saja tangannya dan kuasa Allah tak menuntunnya untuk menggapai dahan pohon yang kini sedang didudukinya.
Begitulah, jika memang belum sampai ajal, ada saja cara Allah mengulurkan bantuan-Nya ya, Sobs!
Seperti cara Allah mengulurkan tangan kuasa-Nya, menyelamatkan ayahandaku. Lalu bagaimanakah nasib ibuku?
Well, Sobs, kisah selanjutnya bisa diikuti pada postingan berikut:
Hari ini (26 Dec 2016), dua belas tahun yang lalu, sebuah bencana maha dasyat bernama cantik telah menggoreskan tinta hitam legam tak terlupakan di benak siapa pun, masyarakat Indonesia yang pernah menyaksikan, mengalami atau hanya sekedar melihat beritanya. Yah, Tsunami. Gelombang maut yang diawali oleh sebuah gempa bumi dengan skala luar biasa besarnya itu [9,1 SR], menggulung daratan Aceh dan meluluh-lantakkan apa yang ada di atasnya, pada 26 Desember 2004.
Mereka yang selamat sempat berpikir; inikah saatnya kiamat? Lantas mereka pun teringat akan sebuah hadist, bahwa kiamat terjadi pada hari Jumat, sementara hari itu adalah hari Minggu. Jadi ini bukanlah kiamat atau akhir zaman. Ini adalah sebuah kiamat kecil paling mengerikan yang pernah mereka saksikan seumur hidup mereka.
Kesan itulah yang dirasakan Mar'ie Muhammad, Ketua PMI. Mar'ie termasuk dalam rombongan yang pada hari bencana tiba di Banda Aceh, petang hari, dengan pesawat pribadi Wapres Jusuf Kalla. "Saya melangkah, ada mayat, melangkah lagi, ada mayat lagi, dengan bentuk yang sudah mengenaskan," tutur mantan Menteri Keuangan itu. "Anak-anak kecil di jalanan berteriak sambil menangis memanggil ibunya; orang-orang dewasa dengan pandangan kosong, kadang berteriak, stress kehilangan keluarganya; makanan tidak ada, air tidak ada, listrik mati, minyak tidak ada. Ini seperti latihan kiamat, kiamat kecil." Ia sendiri selama seminggu setelah pulang dari Aceh menderita stress berat, kadang spontan berteriak begitu terbayang kiamat kecil itu. ~Dikutip dari seri buku BRR - Buku 0. Tsunami
Mula-mula adalah gempa yang membuat orang pun tak bisa bertahan, tak kuasa berdiri. Sebuah gempa yang berskala 'hanya kurang 0,9 skala untuk mencapai angka 10, skala terbesar pada seismograf, alat pengukur gempa]. Guncangan yang sukses membuat orang-orang oleng, berjatuhan ke tanah, mual dan muntah-muntah. Bangunan retak, namun tak membuatnya ambruk. Sigap mereka menjauhi arena kala sang gempa berhenti sejenak. Gempa dasyat tadi, membuat mereka berfikir untuk kembali ke rumah masing-masing, untuk memastikan/memeriksa kondisi rumah dan anak istri. Begitu juga dengan ayahandaku, setelah mencoba menghubungi ibu yang gagal terhubung [komunikasi langsung lumpuh sejak gempa melanda], maka mereka segera memutuskan untuk pulang.
Di rumah, ibuku yang tinggal sendirian di rumah, ternyata sudah menghambur keluar sejak gempa mengguncang tadi. Berkumpul bersama para tetangga lainnya, dan sama sekali tak berani masuk ke rumah lagi, walau gempa telah reda. Mereka masih berkumpul di jalanan depan rumah, membahas perkara yang sungguh luar biasa itu. Belum pernah seumur hidup, mereka merasakan gempa sedasyat itu. Ayahku tiba tepat tak lama setelahnya, dan bergabung dengan para tetangga. Namun seorang tetangga [anggota Brimob, yang kantornya tak jauh dari kompleks perumahan kami], tiba-tiba muncul [berlari] dari mulut gang mendekati gerombolan kecil ini, seraya berteriak, "AIR LAUT NAIK, AIR LAUT NAIK, LARIIII!"
Ayah, ibu dan para tetangga hanya bisa bengong menatap wajah panik itu. Namun ibuku yang memang alert-nya paling ok, sigap berlari ke dalam rumah, dan tak lama sudah keluar lagi seraya menjinjing sebuah tas berisi barang-barang berharga [sejak Aceh dilanda konflik dan berstatus DOM, ibuku memang selalu siaga dengan sebuah tas berisi koleksi emas dan surat-surat berharga lainnya]. Tas itu selalu saja siaga di sampingnya, jika ada urgent thing, seperti kali ini.
Sigap pula ibu masuk ke dalam mobil dan memerintahkan ayahku untuk starter mesin. Sigap pula ayahku meluncurkan kendaraan roda empat itu, melaju menuju ke arah musholla. Para tetangga ada yang berlarian sambil menggendong anak-anaknya, ada yang mengendarai kendaraan, atau hanya berlari kecil. Panik. Itulah yang terlihat saat itu. Sesampai di ujung gang, di perempatan menuju musholla, ayahku sempat bingung hendak melajukan kemana mobilnya. Akhirnya, ibuku juga yang memberi arahan. Berbeloklah mereka ke arah musholla. Ibuku sigap turun, dan atas perintah ayahku, ibu langsung berlari, menaiki tangga musholla menuju lantai dua, dimana para tetangga lainnya juga sedang berusaha naik ke lantai dua.
Sementara itu, ayahku masih mencoba memposisi mobilnya dalam posisi aman. Menarik rem tangan, memasang persnelling satu, keluar mobil dan mengunci mobil dari luar. Barulah beliau berlari menuju anak tangga. Sempat tertangkap oleh matanya, cairan hitam yang seakan mengejar dan mengancamnya. Hanya setinggi betis, namun cairan hitam itu tiba-tiba saja berubah bak tembok tinggi yang mengejar langkahnya. Anak tangga pertama telah menanti untuk beliau pijak, namun sayang, sebuah balok kayu menghantam kakinya hingga membuat beliau terjatuh, langsung disambut gelombang yang telah menjelma setinggi pinggang orang dewasa. Serba cepat. Arus itu begitu kuat dan kian meninggi. Membuatnya terseret tanpa mampu berdiri lagi. Pasrah, beliau mengikuti arus, yang ternyata menghempaskannya pada sebuah pagar kawat berduri, yang mengitari area kantor Brimob. Beliau rasakan kakinya nyeri, tersangkut pada lapisan terbawah si kawat berduri. Tertancap dalam, dan membuat beliau berada pada posisi berdiri. Air semakin tinggi, telah merendam tubuhnya hingga hidung. Membuatnya kesulitan untuk menghirup udara. Beberapa kali beliau mencoba menarik kakinya dari tancapan si kawat berduri, namun ternyata tak juga mampu mengoyak kulit kaki dan melepaskannya dari kaitan si kawat.
Saat itu, ayahku merasa bahwa inilah saatnya sang ajal menjemputnya. Pasrah tapi juga sedih. Sedih karena anak dan istri, nantinya tak akan menemukan di mana jasadnya. Air hitam ini, pasti akan menghanyutkannya entah kemana. Berurai air matanya, namun kepasrahannya akan takdir, membuatnya benar-benar ikhlas. Sempat juga terucap di lubuk hatinya sebuah dialog dengan sang Ilahi Rabbi.
"Ya Allah, hamba pasrah pada takdir-Mu ya Allah. Jika memang hanya sampai di sini kehidupanku, ambillah aku dalam iman dan islam. Namun jika masih ada ajalku ya Allah, selamatkanlah hamba."
Ajaib, sebuah bisikan di dalam hatinya, seakan memerintahkan agar ayah menengadah. Dan benar saja, begitu beliau menengadah, posisi hidungnya yang tadi telah terendam oleh air berlumpur dan membuatnya kesulitan bernapas, kini hidungnya terangkat tinggi dan leluasa bernapas. Tak hanya itu, tiba-tiba saja, secara ajaib, kakinya tersentak, terlepas dari jeratan si kawat berduri. Mengapung beliau ke permukaan dan arus kuat itu pun menyeretnya kembali. Mengikuti arus dan gelombang air hitam berlumpur yang mengalir dengan kecepatan luar biasa.
Cobaan masih belum berakhir. Arus maha dasyat itu menyeretnya hingga beberapa meter ke depan, menghempaskannya, membuatnya timbul tenggelam hingga suatu ketika tangannya menjangkau sebuah dahan pohon kuda-kuda yang begitu tinggi. Di sana lah beliau berjuang, mencoba bertahan dengan memeluk erat si dahan, hingga akhirnya beliau berhasil bertahan di atas dahan tersebut. Baru sejenak bernapas lega, dari kejauhan mata tuanya, melihat sebuah bahaya lain yang mengancam jiwanya.
Seekor lembu, sedang terseret gelombang dengan arus yang mengarah tepat ke dahan pohon yang sedang didudukinya. Secara logika, beliau tak akan mungkin bisa selamat kali ini. Arus itu jelas-jelas mengarah kepadanya, dan lembu sebesar itu, jika sampai menghantam dahan kecil pegangannya, sudah pasti akan membuat dirinya dan si dahan akan patah. Tamat sudah kini riwayatanya. Begitulah yang ada di dalam benak ayahkku kala itu.
Namun kepasrahan dan doa yang beliau lantunkan, secara ajaib dan di luar logika, membuat arus itu berbelok tepat di depan dahan di mana beliau sedang berlindung. Ya, lembu dan arus itu berbelok menjauh dari dahan. Masyallah. Maha Besar Engkau ya Allah. Lega, beliau duduk di dahan, pasrah. Pedih hatinya menyaksikan beberapa orang yang dikenalnya terombang ambing dalam gelombang, tak jauh di depan matanya, berteriak minta tolong. Air saat itu begitu tinggi, sekitar 4 meter ketinggiannya. Orang-orang yang dihanyutkan gelombang, berusaha dan berteriak menyelamatkan diri, namun gagal akibat arus gelombang yang begitu dasyat. Ayahku hanya bisa meneteskan air mata menyaksikan semua itu. Menyadari, dirinya pun hampir saja mengalami nasib yang sama, jika saja tangannya dan kuasa Allah tak menuntunnya untuk menggapai dahan pohon yang kini sedang didudukinya.
Begitulah, jika memang belum sampai ajal, ada saja cara Allah mengulurkan bantuan-Nya ya, Sobs!
Seperti cara Allah mengulurkan tangan kuasa-Nya, menyelamatkan ayahandaku. Lalu bagaimanakah nasib ibuku?
Well, Sobs, kisah selanjutnya bisa diikuti pada postingan berikut:
- all about tsunami - The Survivors - Ibundaku dan Rumah
- all about tsunami: The Eleven Survivors
- all about tsunami: Hari Kedua
- all about tsunami: Gade and Me
- all about tsunami: Khai and the Genk
- all about tsunami: Khai and Perjuangan Pulang
- all about tsunami: Malam Pertama
- all about tsunami: Hari Kedua
- ........
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Bandung, 28 Juni 2013