Rasanya saya suka sekali menggunakan kalimat ini; ‘Hari begitu cepatnya berlalu’. Tapi memang bener kok, seperti inilah yang saya rasakan.
Bahwa ga terasa kalo hari ini sudah Jumat lagi. Ya ampuun. Batterai apa yang dipakai sang waktu ya sampai detik demi detik putarannya begitu cepat, berputar bagai gasing si Maulana, anak tetangga sebelah.
Baru kemarin rasanya saya meeting dengan beberapa kolega, baru kemarin rasanya review laporan beberapa konsultan untuk dapat dilakukan pembayaran, baru kemarin rasanya minta waktu satu minggu untuk memfinalkan TOR (Term of Reference) konsultan penyusunan Qanun (di provinsi lain dikenal sebagai PERDA) tentang Persampahan, eh hari ini semua list to do itu sudah saatnya untuk disubmit. Ya ampun. Hidup ini benar-benar dynamic, bergerak terus dan cepat dan bagi saya sih, teteup…Hidup itu Indah. Thanks ya Rabbi. Alhamdulillah atas ...
segala kekuatan dan kesabaran yang masih Engkau hibahkan kepada hamba ya Allah, hingga mampu memandang setiap kendala sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Kemampuan menaklukkan tantangan ini tentu memerlukan seni dan ketrampilan tersendiri, yang nantinya akan menjadi nilai tambah bagi kita dalam improvisasi kehidupan.
Sobats maya, malu juga rasanya pada diri sendiri yang terlanjur komit untuk rilis satu postingan satu hari. Hehe. Ternyata tak mudah mewujudkan itu sobs. Saying is easy but doing is really difficult. Lalu kenapa ga posting? Kehabisan ide untuk posting kah?
Noo….. banyak sekali ide untuk menulis, karena dalam 5 hari ke belakang ini, Allah menurunkan keajaiban bagi saya dan keluarga. Tak sabar saya ingin segera menurunkan (cieee…kayak wartawan wae) tulisan ini sobs, berbagi kebahagiaan ini dengan para sobats semua.
Tapi ya harus bagaimana sobs, tuntutan pekerjaan mengharuskan saya to be professional. Azas prioritas harus dikedepankan. Jadilah postingan tertunda (karena belum sempat nulis, hehe), dan saya terpaksa berjibaku dengan deretan pekerjaan yang rasanya kok adaaaaaa aja.
Senin sampai Jumat ini, rasanya kok seperti ga punya waktu bahkan untuk tertawa lebar. Wajah serasa berkerut karena serius banget dengan berbagai pertemuan dan negosiasi. Bahkan tadi seorang teman berkomentar bahwa wajah saya begitu kusam? Really? Mosok seh? Mungkin karena dia melihat saya via web cam kali ya? Jadi ya mungkin gelap atau gimana gitu pencahayaan. Hehe, teteup aja.. upaya pembenaran diri. Sedikit galau sih dengan komentarnya itu, tapi ga pa2, ntar juga cerah lagi.
Huft, untunglah hari ini sudah Jumat. Yeaaayyy!!! Bisa say break for a while pada urusan kantor. Apalagi mau hari raya Qurban, jadi kantor harus ikhlas berqurban (baca: staff boleh libur Senin-Selasa, ikut surat edaran gubernur Aceh untuk para PNSnya, walau kita bukan PNS sih, tapi UN Indonesia harus toleran donk). Kabar ini disambut gembira oleh kita semua, walau embel2 di dalam surat edaran itu menyatakan bahwa hari libur Senin Selasa ini akan diganti dengan bekerja pada Sabtu 10 Dec 2011 dan juga tanggal 26 Dec 2011 nya. Kita mah oke-oke aja, yang penting Senin Selasanya libur. Horray!!!
Jumat sore ini, rencana semula untuk berkunjung ke rumah ibunda terpaksa ditunda terlebih dahulu, disebabkan oleh sebuah pesan di BM dari Intan (putri saya) yang mengabarkan bahwa ayahnya menelphone, ingin ketemu Intan untuk ngasih uang THR. (Di Aceh, hari raya Idul Qurban juga dirayakan semeriah Idul Fithri dan anak-anak juga mendapat uang THR, selain beli baju baru, lagi.). Intan bilang bahwa ayahnya ingin segera ketemu karena malam ini jam 7 akan berangkat ke Medan via bus. Dan ingin ketemu Intan di terminal. Intan minta kesediaanku untuk mengantarnya.
Saya memang selalu mengingatkan Intan untuk selalu bersikap baik pada ayahnya, walau sang ayah terkadang ingat dan terkadang sama sekali lupa akan anandanya ini. Saya besarkan hatinya saat dia mengeluh, bahwa ayahnya sudah tak sayang lagi padanya. Saya minta dia untuk berfikir positif, bahwa mungkin ayahnya sedang sibuk dengan kehidupannya sendiri, dengan pekerjaannya, sehingga belum sempat untuk memberi kabar atau bahkan memberi nafkah bagi Intan. Saya besarkan hati Intan bahwa ayahnya tidak pernah memberinya uang karena mungkin juga ayah sedang tidak punya… bukan tidak sayang. Jadi yang perlu Intan lakukan adalah berdoa agar ayahandanya selalu dalam lindungan Allah, sehingga sehat dan kuat untuk bekerja, memperoleh nafkah yang tentunya nanti jika sudah punya pasti akan diberikan juga untuk anaknya ini. Bahwa jika ayahnya tenang, bahagia, pasti dia akan ingat dengan anaknya. Saya yakinkan Intan, bahwa seorang ayah, seburuk apapun dia, pasti tetap punya rasa SAYANG pada anaknya.
Saya bukakan matanya bahwa dia jauh lebih beruntung dibanding anak-anak lain yang walaupun punya ayah dan ibu yg lengkap (tidak bercerai), tapi kehidupan mereka morat marit karena kesulitan ekonomi. Atau karena sang ayah dan ibu sibuk sendiri-sendiri, sehingga ga sempat untuk mengurus dan memberi perhatian pada anaknya.
Biasanya Intan memang tercerahkan setiap mendengar wejangan-wejangan saya (halah, wejangan…).. Malam ini, selesai shalat magrib, saya dan Intan pun meluncur ke terminal baru, Banda Aceh. Saat itu sang ayah sudah beberapa kali menelphone menanyakan jadi tidak Intan menemuinya, karena dia sudah dalam bis dan bis siap diberangkatkan.
Dalam perjalanan, saya juga bertekad melunakkan hati untuk bersikap baik padanya nanti. Saya tidak ingin memelihara dendam berlama-lama. Tiga tahun sudah saya berusaha untuk menjauhinya, agar tidak bentrok dan malah berantem karena saya benar-benar bertemperamen tinggi, hehe.
Walau saya berhasil untuk selalu mengingatkan Intan untuk tetap menghormati ayah kandungnya, tapi saya belum mampu untuk memaafkannya. Sulit rasanya melupakan perbuatan2 kasar dan menyakitkan yang telah dilakukannya dahulu, yang akhirnya membuat saya memutuskan ikatan perkawinan kami secara resmi. Dan hingga saya memperoleh penggantinya, dendam itu rasanya sulit sekali terhapuskan.
Malam ini, mungkin juga terpengaruh suasana Idul Qurban yang akan kita jelang, rasanya kok ada yang membisiki hati saya, untuk meng-ikhlaskan dendam ini pergi. Makanya saat Intan tadi bertanya siapa yang akan antar dia ketemu ayahnya, saya tidak minta si mba untuk mengantarnya. Biar saya yang antar kali ini. Intan memang jarang banget ketemu ayahnya, dalam 4 tahun perpisahan ini, mungkin hanya 6 kali ketemu ayahnya? Dan tercatat di memori saya bahwa masih bisa dihitung dengan sebelah tangan frekuensi pemberian uang jajan untuk Intan dari ayahnya, itupun tidak seberapa. Walau kesal saya tetap mencoba berfikir positif, mungkin sang ayah belum ada rezeki.
Walau jelas di dalam perjanjian cerai tertulis bahwa adalah kewajiban sang ayah untuk menafkahi Intan, tapi saya tidak pernah protes dan menuntut untuk hal ini. Saya berdoa agar Allah tetap memberikan saya kesehatan dan kontrak kerja yang bagus, sehingga saya mampu untuk menghidupi dan membesarkan putri tercinta ini. Dan Alhamdulillah, Allah bukan hanya memberi saya pekerjaan yang sangat layak, tapi juga menghadiahi saya seorang suami pengganti dan ayah baru bagi Intan, yang sangat baik dan pengertian. Alhamdulillah ya Allah… (sengaja nambahin kata Allah di belakangnya biar ga mirip kalimatnya Syahrini, hehe).
Well, back to pertemuan tadi di terminal… sungguh mengharukan. Ayahnya Intan sudah berada di bus yang siap berangkat, karena kami sedikit terlambat gara-gara macet. Tumben Banda Aceh macet, mungkin karena orang-orang sibuk mempersiapkan idul Adha kali ya?
Kami samperin bus yang ditumpangi ayah Intan, dan mantan suami saya itupun terlihat sigap melompat dari pintu belakang bis, bergegas cepat menuju putrinya.
Keduanya berpelukan, erat. Terenyuh hati saya. Betapapun, ikatan ayah dan anak tetap tak terputuskan. Saya bisa menangkap kerinduan dari pelukan Firman (ayah Intan) yang begitu erat pada Intan, begitu juga sebaliknya. Saya tidak boleh marah atau cemburu melihat ini. Intan, bagaimanapun adalah anaknya, dia juga berhak untuk memeluk Intan seperti saya memeluk putri kami ini. Saya ikhlaskan hati ini melihat perlakuan itu. Saya singkirkan rasa kesal yang mencoba menghasut sanubari ini. Bahwa Firman tak berhak sok akrab seperti itu, karena adalah saya yang membiayai kehidupan dan kebutuhan Intan selama ini. Saya halau perasaan2 hasutan itu. Saya gali dan pancing niat ikhlas yang sempat muncul dalam perjalanan tadi. Saya perangi sisi negative hati saya, yang bergaung nyaring agar saya tetap mendendam padanya.
Perang yang berkecamuk di hati ini terpaksa berhenti saat Firman melepaskan pelukannya pada Intan, dan mengulurkan tangannya pada saya.
‘Apa kabar dek? Sorry merepotkan ya..’
Saya tersadar, saya sambut uluran tangan itu. Ada rasa sedih yang mengiris hati ini saat menerima uluran tangan itu.
‘Baik, ga pa2 kok, mau lebaran di Medan?’ Alhamdulillah, tulus suara saya.
‘Ga, besok sore lanjut ke Jakarta…’ Jawabnya.
‘Hari raya tempat bu Ega ya Yah?’ tanya Intan.
(Bu Ega adalah mantan pacar ayahnya, yang menurut Intan, sudah mulai tersambung kembali hubungan mereka). Terlihat grogi Firman menjawab,
‘Ga kok nak..’ Intan tidak memperpanjang.
‘Jam berapa berangkat bang?’ tanya saya mencairkan suasana. Ada rasa iba di hati saya melihat keadaannya. Tidak terurus, dengan pancaran mata yang membuat iba. (duh, mungkin itu hanya perasaanku? Atau terpengaruh oleh curhat2 mantan kakak ipar saya, yang sering menelphone untuk curhat tingkah laku adik mereka ini, yang masih saja seperti dulu. Tidak berubah. Entahlah…
Yang jelas, rasa iba ini begitu besar, apalagi kulirik putriku juga berlinang airmatanya. Mungkin pilu hati melihat sang ayah yang sampai kini masih menjomblo (single, entah kalo pacar, mungkin banyak?).
Kakak ipar sering bercerita bahwa Firman semakin parah setelah saya tinggalkan. Pacaran sana sini, janji akan nikahi si A, tapi malah pacaran lagi dengan si B. Pernah beberapa kali punya hubungan serius, dimana para mantan kakak iparku ini sudah dikenalkan dengan sang pacar, dan siap untuk ke pelaminan pada bulan anu…. Tapi ujung-ujungnya, pihak keluarga wanita, menelphone mantan kakak iparku, menanyakan kabar Firman dan kapan akan melamar anak mereka. Huft. Bukan hanya sekali dua hal ini terjadi, sehingga saya hapal benar tujuan si mantan kakak ipar saya setiap menelphone saya. Curhat tentang Firman.
Intan juga mengetahui hal ini, dan prihatin dengan kelakuan sang ayah. Saya hanya bisa menyabarkannya, mari kita berdoa agar ayah cepat sadar, dan memperbaiki kelakuannya.
Lama kami tak mendengar kabar darinya, terutama setelah putus dari bu Ega tadi, putusnya juga karena Oomnya bu Ega, ternyata keberatan Ega menjalin hubungan dengan Firman, karena si Oom sudah tau persis kelakuan Firman dan tidak rela keponakannya, Ega, mengalami nasib serupa dengan saya.
Firman uring-uringan, marah pada si Oom yang tak lain adalah abang iparnya sendiri. Ngambek dan menghilang dari keluarga besarnya. Saya sendiri masih menjalin hubungan erat sih dengan para kakak dan adiknya Firman. Yaaa…namanya saya sudah lama (11 tahun) bergabung dengan keluarga besar mereka, tentu saya akan pertahankan hubungan manis dan baik ini. Silaturrahmi tetap harus dijaga walau saya bukan lagi istri dari adik kandung mereka.
Klakson bus yang mengingatkan agar para penumpang segera naik kembali ke bus, membuat pertemuan ini harus berakhir. Sekali lagi Intan dan Firman berpelukan, setelah beberapa lembar uang seratus ribuan diserahkan Firman ke tangan Intan. Kemudian Firman kembali menyalami saya.
‘Hati2 ya bang, salam untuk kakak-kakak dan adik-adik di Medan.’ Ucap saya.
Saya lihat Intan mengusap matanya. Saya tau pasti, perasaan hatinya yang begitu lembut dan halus, membuat airmata itu tak sabar ingin mengalir keluar.
Kami kembali ke mobil begitu selesai memberikan lambaian terakhir pada Firman saat bus melaju meninggalkan terminal.
Saya rangkul Intan penuh kasih, menuju mobil. Intan berubah pilek (menahan tangis) saat sudah di dalam mobil. Saya tahu, perasaan iba melihat keadaan sang ayah, membuatnya pilu. Saya tarik tissue dari kotak dan menyerahkannya sambil melajukan mobil kami.
‘Sayang…. Umi tahu anak umi sedih, kasihan melihat ayah yang masih sendiri ya?’
Intan hanya mengangguk sambil me-lap air matanya dengan tissue yang saya berikan.
‘Percaya deh sayang, ayah itu baik-baik saja kok. Ayah kan sudah dewasa, sudah bisa mengurus dirinya dengan baik. Yang paling penting adalah, Intan tetap dan terus berdoa agar Allah memberikan kesehatan dan perlindungan bagi ayah, agar ayah tetap sehat, bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, bisa segera dapat jodoh yang baik, dan juga agar Allah memberikan hidayahNya untuk ayah, agar ayah bisa berada di jalan lurus. Oke sayang?’
Anggukan lagi, tapi tangisannya mulai terdengar.
‘Sayang…. Lihat deh status2 ayah di FB nya,' (saya sendiri sih tidak berteman dengan Firman di FB), tapi Intan sering memperlihatkan status ayahnya setiap Firman update status), 'selalu riang kan?'
'Itu artinya ayah baik-baik saja dan happy.' (walau saya sendiri kurang yakin tentang hal ini, tapi saya harus sugestikan Intan untuk berfikir ayahnya is oke-oke saja).
Bisa berabe jika ananda ini terus in sad mood.
Anggukan lagi yang diperlihatkan Intan. Saya genggam erat jemarinya. Memberinya kehangatan agar merasa tenang.
‘Yuk kita sama-sama mendoakan ayah yuk, Bismillahirrahmannirrahim’ (Intan langsung mengikutiku, sama seperti setiap saat saya mengajaknya berdoa).
‘Ya Allah, lindungilah ayah saya dalam perjalanan, semoga ayah saya selamat sampai ke tujuan, lindungi juga setiap langkahnya ya Allah, agar selalu berjalan di jalanMu, beri juga ayah saya rezeki yang halal ya Allah dan kesehatan yang prima, amiin.’ putriku mengikuti dengan khusyuk dan penuh semangat.
Terasa doa ini begitu ikhlas kini. Ya, setulus hati saya mengucapkan doa ini, dan semoga Allah berkenan mengabulkannya. Saya ikhlas menghapus dendam ini, dan tulus berdoa agar Firman segera menemukan jodohnya, yang akan mampu dan sabar menuntunnya di jalan yang benar. Yang jauh lebih baik dari saya (yang terpaksa menyerah setelah gagal berulang kali menuntunnya kembali ke jalan yang baik). Amiin Ya Rabbal Alamin.
secarik kisah dalam lembaran kehidupan
Bahwa ga terasa kalo hari ini sudah Jumat lagi. Ya ampuun. Batterai apa yang dipakai sang waktu ya sampai detik demi detik putarannya begitu cepat, berputar bagai gasing si Maulana, anak tetangga sebelah.
Baru kemarin rasanya saya meeting dengan beberapa kolega, baru kemarin rasanya review laporan beberapa konsultan untuk dapat dilakukan pembayaran, baru kemarin rasanya minta waktu satu minggu untuk memfinalkan TOR (Term of Reference) konsultan penyusunan Qanun (di provinsi lain dikenal sebagai PERDA) tentang Persampahan, eh hari ini semua list to do itu sudah saatnya untuk disubmit. Ya ampun. Hidup ini benar-benar dynamic, bergerak terus dan cepat dan bagi saya sih, teteup…Hidup itu Indah. Thanks ya Rabbi. Alhamdulillah atas ...
segala kekuatan dan kesabaran yang masih Engkau hibahkan kepada hamba ya Allah, hingga mampu memandang setiap kendala sebagai tantangan yang harus ditaklukkan. Kemampuan menaklukkan tantangan ini tentu memerlukan seni dan ketrampilan tersendiri, yang nantinya akan menjadi nilai tambah bagi kita dalam improvisasi kehidupan.
Sobats maya, malu juga rasanya pada diri sendiri yang terlanjur komit untuk rilis satu postingan satu hari. Hehe. Ternyata tak mudah mewujudkan itu sobs. Saying is easy but doing is really difficult. Lalu kenapa ga posting? Kehabisan ide untuk posting kah?
Noo….. banyak sekali ide untuk menulis, karena dalam 5 hari ke belakang ini, Allah menurunkan keajaiban bagi saya dan keluarga. Tak sabar saya ingin segera menurunkan (cieee…kayak wartawan wae) tulisan ini sobs, berbagi kebahagiaan ini dengan para sobats semua.
Tapi ya harus bagaimana sobs, tuntutan pekerjaan mengharuskan saya to be professional. Azas prioritas harus dikedepankan. Jadilah postingan tertunda (karena belum sempat nulis, hehe), dan saya terpaksa berjibaku dengan deretan pekerjaan yang rasanya kok adaaaaaa aja.
Senin sampai Jumat ini, rasanya kok seperti ga punya waktu bahkan untuk tertawa lebar. Wajah serasa berkerut karena serius banget dengan berbagai pertemuan dan negosiasi. Bahkan tadi seorang teman berkomentar bahwa wajah saya begitu kusam? Really? Mosok seh? Mungkin karena dia melihat saya via web cam kali ya? Jadi ya mungkin gelap atau gimana gitu pencahayaan. Hehe, teteup aja.. upaya pembenaran diri. Sedikit galau sih dengan komentarnya itu, tapi ga pa2, ntar juga cerah lagi.
Huft, untunglah hari ini sudah Jumat. Yeaaayyy!!! Bisa say break for a while pada urusan kantor. Apalagi mau hari raya Qurban, jadi kantor harus ikhlas berqurban (baca: staff boleh libur Senin-Selasa, ikut surat edaran gubernur Aceh untuk para PNSnya, walau kita bukan PNS sih, tapi UN Indonesia harus toleran donk). Kabar ini disambut gembira oleh kita semua, walau embel2 di dalam surat edaran itu menyatakan bahwa hari libur Senin Selasa ini akan diganti dengan bekerja pada Sabtu 10 Dec 2011 dan juga tanggal 26 Dec 2011 nya. Kita mah oke-oke aja, yang penting Senin Selasanya libur. Horray!!!
Jumat sore ini, rencana semula untuk berkunjung ke rumah ibunda terpaksa ditunda terlebih dahulu, disebabkan oleh sebuah pesan di BM dari Intan (putri saya) yang mengabarkan bahwa ayahnya menelphone, ingin ketemu Intan untuk ngasih uang THR. (Di Aceh, hari raya Idul Qurban juga dirayakan semeriah Idul Fithri dan anak-anak juga mendapat uang THR, selain beli baju baru, lagi.). Intan bilang bahwa ayahnya ingin segera ketemu karena malam ini jam 7 akan berangkat ke Medan via bus. Dan ingin ketemu Intan di terminal. Intan minta kesediaanku untuk mengantarnya.
Saya memang selalu mengingatkan Intan untuk selalu bersikap baik pada ayahnya, walau sang ayah terkadang ingat dan terkadang sama sekali lupa akan anandanya ini. Saya besarkan hatinya saat dia mengeluh, bahwa ayahnya sudah tak sayang lagi padanya. Saya minta dia untuk berfikir positif, bahwa mungkin ayahnya sedang sibuk dengan kehidupannya sendiri, dengan pekerjaannya, sehingga belum sempat untuk memberi kabar atau bahkan memberi nafkah bagi Intan. Saya besarkan hati Intan bahwa ayahnya tidak pernah memberinya uang karena mungkin juga ayah sedang tidak punya… bukan tidak sayang. Jadi yang perlu Intan lakukan adalah berdoa agar ayahandanya selalu dalam lindungan Allah, sehingga sehat dan kuat untuk bekerja, memperoleh nafkah yang tentunya nanti jika sudah punya pasti akan diberikan juga untuk anaknya ini. Bahwa jika ayahnya tenang, bahagia, pasti dia akan ingat dengan anaknya. Saya yakinkan Intan, bahwa seorang ayah, seburuk apapun dia, pasti tetap punya rasa SAYANG pada anaknya.
Saya bukakan matanya bahwa dia jauh lebih beruntung dibanding anak-anak lain yang walaupun punya ayah dan ibu yg lengkap (tidak bercerai), tapi kehidupan mereka morat marit karena kesulitan ekonomi. Atau karena sang ayah dan ibu sibuk sendiri-sendiri, sehingga ga sempat untuk mengurus dan memberi perhatian pada anaknya.
Biasanya Intan memang tercerahkan setiap mendengar wejangan-wejangan saya (halah, wejangan…).. Malam ini, selesai shalat magrib, saya dan Intan pun meluncur ke terminal baru, Banda Aceh. Saat itu sang ayah sudah beberapa kali menelphone menanyakan jadi tidak Intan menemuinya, karena dia sudah dalam bis dan bis siap diberangkatkan.
Dalam perjalanan, saya juga bertekad melunakkan hati untuk bersikap baik padanya nanti. Saya tidak ingin memelihara dendam berlama-lama. Tiga tahun sudah saya berusaha untuk menjauhinya, agar tidak bentrok dan malah berantem karena saya benar-benar bertemperamen tinggi, hehe.
Walau saya berhasil untuk selalu mengingatkan Intan untuk tetap menghormati ayah kandungnya, tapi saya belum mampu untuk memaafkannya. Sulit rasanya melupakan perbuatan2 kasar dan menyakitkan yang telah dilakukannya dahulu, yang akhirnya membuat saya memutuskan ikatan perkawinan kami secara resmi. Dan hingga saya memperoleh penggantinya, dendam itu rasanya sulit sekali terhapuskan.
Malam ini, mungkin juga terpengaruh suasana Idul Qurban yang akan kita jelang, rasanya kok ada yang membisiki hati saya, untuk meng-ikhlaskan dendam ini pergi. Makanya saat Intan tadi bertanya siapa yang akan antar dia ketemu ayahnya, saya tidak minta si mba untuk mengantarnya. Biar saya yang antar kali ini. Intan memang jarang banget ketemu ayahnya, dalam 4 tahun perpisahan ini, mungkin hanya 6 kali ketemu ayahnya? Dan tercatat di memori saya bahwa masih bisa dihitung dengan sebelah tangan frekuensi pemberian uang jajan untuk Intan dari ayahnya, itupun tidak seberapa. Walau kesal saya tetap mencoba berfikir positif, mungkin sang ayah belum ada rezeki.
Walau jelas di dalam perjanjian cerai tertulis bahwa adalah kewajiban sang ayah untuk menafkahi Intan, tapi saya tidak pernah protes dan menuntut untuk hal ini. Saya berdoa agar Allah tetap memberikan saya kesehatan dan kontrak kerja yang bagus, sehingga saya mampu untuk menghidupi dan membesarkan putri tercinta ini. Dan Alhamdulillah, Allah bukan hanya memberi saya pekerjaan yang sangat layak, tapi juga menghadiahi saya seorang suami pengganti dan ayah baru bagi Intan, yang sangat baik dan pengertian. Alhamdulillah ya Allah… (sengaja nambahin kata Allah di belakangnya biar ga mirip kalimatnya Syahrini, hehe).
Well, back to pertemuan tadi di terminal… sungguh mengharukan. Ayahnya Intan sudah berada di bus yang siap berangkat, karena kami sedikit terlambat gara-gara macet. Tumben Banda Aceh macet, mungkin karena orang-orang sibuk mempersiapkan idul Adha kali ya?
Kami samperin bus yang ditumpangi ayah Intan, dan mantan suami saya itupun terlihat sigap melompat dari pintu belakang bis, bergegas cepat menuju putrinya.
Keduanya berpelukan, erat. Terenyuh hati saya. Betapapun, ikatan ayah dan anak tetap tak terputuskan. Saya bisa menangkap kerinduan dari pelukan Firman (ayah Intan) yang begitu erat pada Intan, begitu juga sebaliknya. Saya tidak boleh marah atau cemburu melihat ini. Intan, bagaimanapun adalah anaknya, dia juga berhak untuk memeluk Intan seperti saya memeluk putri kami ini. Saya ikhlaskan hati ini melihat perlakuan itu. Saya singkirkan rasa kesal yang mencoba menghasut sanubari ini. Bahwa Firman tak berhak sok akrab seperti itu, karena adalah saya yang membiayai kehidupan dan kebutuhan Intan selama ini. Saya halau perasaan2 hasutan itu. Saya gali dan pancing niat ikhlas yang sempat muncul dalam perjalanan tadi. Saya perangi sisi negative hati saya, yang bergaung nyaring agar saya tetap mendendam padanya.
Perang yang berkecamuk di hati ini terpaksa berhenti saat Firman melepaskan pelukannya pada Intan, dan mengulurkan tangannya pada saya.
‘Apa kabar dek? Sorry merepotkan ya..’
Saya tersadar, saya sambut uluran tangan itu. Ada rasa sedih yang mengiris hati ini saat menerima uluran tangan itu.
‘Baik, ga pa2 kok, mau lebaran di Medan?’ Alhamdulillah, tulus suara saya.
‘Ga, besok sore lanjut ke Jakarta…’ Jawabnya.
‘Hari raya tempat bu Ega ya Yah?’ tanya Intan.
(Bu Ega adalah mantan pacar ayahnya, yang menurut Intan, sudah mulai tersambung kembali hubungan mereka). Terlihat grogi Firman menjawab,
‘Ga kok nak..’ Intan tidak memperpanjang.
‘Jam berapa berangkat bang?’ tanya saya mencairkan suasana. Ada rasa iba di hati saya melihat keadaannya. Tidak terurus, dengan pancaran mata yang membuat iba. (duh, mungkin itu hanya perasaanku? Atau terpengaruh oleh curhat2 mantan kakak ipar saya, yang sering menelphone untuk curhat tingkah laku adik mereka ini, yang masih saja seperti dulu. Tidak berubah. Entahlah…
Yang jelas, rasa iba ini begitu besar, apalagi kulirik putriku juga berlinang airmatanya. Mungkin pilu hati melihat sang ayah yang sampai kini masih menjomblo (single, entah kalo pacar, mungkin banyak?).
Kakak ipar sering bercerita bahwa Firman semakin parah setelah saya tinggalkan. Pacaran sana sini, janji akan nikahi si A, tapi malah pacaran lagi dengan si B. Pernah beberapa kali punya hubungan serius, dimana para mantan kakak iparku ini sudah dikenalkan dengan sang pacar, dan siap untuk ke pelaminan pada bulan anu…. Tapi ujung-ujungnya, pihak keluarga wanita, menelphone mantan kakak iparku, menanyakan kabar Firman dan kapan akan melamar anak mereka. Huft. Bukan hanya sekali dua hal ini terjadi, sehingga saya hapal benar tujuan si mantan kakak ipar saya setiap menelphone saya. Curhat tentang Firman.
Intan juga mengetahui hal ini, dan prihatin dengan kelakuan sang ayah. Saya hanya bisa menyabarkannya, mari kita berdoa agar ayah cepat sadar, dan memperbaiki kelakuannya.
Lama kami tak mendengar kabar darinya, terutama setelah putus dari bu Ega tadi, putusnya juga karena Oomnya bu Ega, ternyata keberatan Ega menjalin hubungan dengan Firman, karena si Oom sudah tau persis kelakuan Firman dan tidak rela keponakannya, Ega, mengalami nasib serupa dengan saya.
Firman uring-uringan, marah pada si Oom yang tak lain adalah abang iparnya sendiri. Ngambek dan menghilang dari keluarga besarnya. Saya sendiri masih menjalin hubungan erat sih dengan para kakak dan adiknya Firman. Yaaa…namanya saya sudah lama (11 tahun) bergabung dengan keluarga besar mereka, tentu saya akan pertahankan hubungan manis dan baik ini. Silaturrahmi tetap harus dijaga walau saya bukan lagi istri dari adik kandung mereka.
Klakson bus yang mengingatkan agar para penumpang segera naik kembali ke bus, membuat pertemuan ini harus berakhir. Sekali lagi Intan dan Firman berpelukan, setelah beberapa lembar uang seratus ribuan diserahkan Firman ke tangan Intan. Kemudian Firman kembali menyalami saya.
‘Hati2 ya bang, salam untuk kakak-kakak dan adik-adik di Medan.’ Ucap saya.
Saya lihat Intan mengusap matanya. Saya tau pasti, perasaan hatinya yang begitu lembut dan halus, membuat airmata itu tak sabar ingin mengalir keluar.
Kami kembali ke mobil begitu selesai memberikan lambaian terakhir pada Firman saat bus melaju meninggalkan terminal.
Saya rangkul Intan penuh kasih, menuju mobil. Intan berubah pilek (menahan tangis) saat sudah di dalam mobil. Saya tahu, perasaan iba melihat keadaan sang ayah, membuatnya pilu. Saya tarik tissue dari kotak dan menyerahkannya sambil melajukan mobil kami.
‘Sayang…. Umi tahu anak umi sedih, kasihan melihat ayah yang masih sendiri ya?’
Intan hanya mengangguk sambil me-lap air matanya dengan tissue yang saya berikan.
‘Percaya deh sayang, ayah itu baik-baik saja kok. Ayah kan sudah dewasa, sudah bisa mengurus dirinya dengan baik. Yang paling penting adalah, Intan tetap dan terus berdoa agar Allah memberikan kesehatan dan perlindungan bagi ayah, agar ayah tetap sehat, bisa mendapatkan pekerjaan yang layak, bisa segera dapat jodoh yang baik, dan juga agar Allah memberikan hidayahNya untuk ayah, agar ayah bisa berada di jalan lurus. Oke sayang?’
Anggukan lagi, tapi tangisannya mulai terdengar.
‘Sayang…. Lihat deh status2 ayah di FB nya,' (saya sendiri sih tidak berteman dengan Firman di FB), tapi Intan sering memperlihatkan status ayahnya setiap Firman update status), 'selalu riang kan?'
'Itu artinya ayah baik-baik saja dan happy.' (walau saya sendiri kurang yakin tentang hal ini, tapi saya harus sugestikan Intan untuk berfikir ayahnya is oke-oke saja).
Bisa berabe jika ananda ini terus in sad mood.
Anggukan lagi yang diperlihatkan Intan. Saya genggam erat jemarinya. Memberinya kehangatan agar merasa tenang.
‘Yuk kita sama-sama mendoakan ayah yuk, Bismillahirrahmannirrahim’ (Intan langsung mengikutiku, sama seperti setiap saat saya mengajaknya berdoa).
‘Ya Allah, lindungilah ayah saya dalam perjalanan, semoga ayah saya selamat sampai ke tujuan, lindungi juga setiap langkahnya ya Allah, agar selalu berjalan di jalanMu, beri juga ayah saya rezeki yang halal ya Allah dan kesehatan yang prima, amiin.’ putriku mengikuti dengan khusyuk dan penuh semangat.
Terasa doa ini begitu ikhlas kini. Ya, setulus hati saya mengucapkan doa ini, dan semoga Allah berkenan mengabulkannya. Saya ikhlas menghapus dendam ini, dan tulus berdoa agar Firman segera menemukan jodohnya, yang akan mampu dan sabar menuntunnya di jalan yang benar. Yang jauh lebih baik dari saya (yang terpaksa menyerah setelah gagal berulang kali menuntunnya kembali ke jalan yang baik). Amiin Ya Rabbal Alamin.
secarik kisah dalam lembaran kehidupan