Ehem.... judulnya kayak gimanaaa gitu ya? Hihi
Merantau, adalah sebuah keinginan yang sudah lama sekali tersimpan di angan. Mungkin sejak kuliah sih, sejak memiliki banyak sekali teman-teman sekampus yang berasal dari luar daerah. Yang harus hidup ngekost dengan segala 'cerita anak kost'nya. Anehnya, cerita suka duka anak kost ini justru semakin menguatkan keinginanku untuk suatu hari nanti bisa merasakan sendiri, gimanaaa sih sebenarnya rasanya jadi anak kost itu.
Untuk bisa ngekost, ga mungkin donk aku pamit pada orang tua dan menyewa kamar kost. Wong jarak antara rumah dan kampusku itu dekat banget. Cuma butuh 5 menit perjalanan doank gitu lho. Masak mau ngekost. Haha. Jadinya, terpaksa deh memendam angan-angan ini, hingga waktu tak terhingga. Entah sampai kapan bisa mewujudkannya.
Hingga kemudian, di tahun 1995, setamat kuliah, akhirnya kesempatan ini sampai juga, tapi judulnya ga sama persis. Bukan menjadi anak kost, tapi menjadi orang perantauan. Menikah dan bekerja di Medan, membuka jalan bagiku untuk dapat merasakan suka duka hidup merantau. Tinggal jauh dari orang tua. [Memang sih, Medan - Banda Aceh itu ga jauh-jauh amat sih, tapi butuh waktu 9 - 10 jam perjalanan juga by darat lho]. Jadilah aku memulai bagian kehidupan dengan judul merantau.
Merantau di kota Medan, membuatku betah. Kayaknya lebih banyak sukanya deh daripada dukanya. Mungkin karena dalam perantauan ini, aku ditemani oleh suami dan anakku ya sobs? Jadi kesannya ya indah aja, walau terkadang himpitan masalah finansial, tak munafik harus diakui sebagai salah satu warna yang sering menggelapkan cerahnya kehidupan.
Sembilan tahun hidup di perantauan pertama [Medan], membuat hidup ku berwarna warni dengan rasa yang nano-nano. Merah, hijau, kuning, biru bahkan kelabu, datang silih berganti, malah terkadang juga secara bersamaan. Asam, asin, manis, pedas dan pahit juga suka datang silih berganti atau malah sering juga berkolaborasi. Semuanya aku jalani dengan satu usaha, yaitu berusaha menikmatinya dengan sikap yang bijak. Yah, namanya merantau, tentu tak senikmat kala kita berada di kampung halaman, bener ga sobs?
Penghujung tahun 2004, adalah suatu masa yang memberikan perubahan maha besar dalam kehidupanku. Tsunami melanda dan membuat Aceh porak-poranda [26 Desember 2005], dan memanggil jiwaku untuk kembali ke tanah kelahiran. Ayah ibu dan adik bungsuku, membuatku tak mampu menunda hingga esok harinya untuk segera berangkat pulang kampung. Mencari dan memastikan mereka bertiga selamat dari hantaman gelombang petaka itu. Dan mulailah aku menjejakkan kakiku kembali dari tanah perantauan, ke kampung halaman, yang telah aku tinggalkan selama sembilan tahun, tanpa sekalipun aku berkesempatan untuk menjenguknya.
Kehidupan di tanah bencana, dimana rumah kami tak lagi dapat ditempati, membuat kami seperti hidup dalam 'perantauan' juga. Kami tinggal di pengungsian untuk beberapa lama. Dan aku sendiri mulai bergabung dengan sebuah organisasi international bidang kesehatan [International Medical NGO] untuk membantu saudara-saudaraku yang tertimpa bencana.
Agak aneh memang, kita memang berada di tanah kelahiran, tapi rasanya sungguh seperti merantau, karena segalanya telah berubah drastis. Rumah, lingkungan dan alam sekitar telah berubah. Membuat kami benar-benar merasa seperti tak lagi berada di kampung halaman sendiri. Terkadang aku suka berfikir.
Kata adalah Doa. Betapa sering dulu aku berangan-angan untuk bisa merasakan hidup ngekost dan merantau. Dan Allah memang tak langsung menjabahnya, tapi kemudian, kala waktunya tiba, harapan itu menjadi kenyataan, bahkan disaat angan itu telah dilupa oleh alam fikirku.
Bekerja di NGO, membuat aku dan staff lainnya, harus traveling ke daerah-daerah terpencil dimana program kami diimplementasikan. Dan aku mulai merasakan pahit getir juga suka duka dari kegiatan 'merantau' ini. Berada di pulau terpencil, dalam keadaan tubuh yang fit, biasanya memberikan semangat dan gairah tersendiri. Kita bersemangat dan ceria menjalaninya. Namun kala tubuh kita sedang kurang sehat, namun tugas/pekerjaan tetap harus dijalankan, itu baru merupakan hal yang menyedihkan. Itu juga yang beberapa kali aku alami.
Mengalami sakit di kampung orang. Duuuh, sedih banget, aku pernah mengalaminya. Dan ini bukan di sebuah kampung atau desa lho sobs. Malah di kota besar, Jakarta gitu lho. Kala itu, aku ditugaskan untuk mengurus workshop nasional yang akan diselenggarakan di salah satu hotel ternama di ibukota ini. Eh kok malah demam. Demam tinggi dan batuk pula. Alhasil, aku harus bedrest, dan sama-sekali ga bisa beraktifitas. Udah itu, sendirian pula, karena kolega-kolega lainnya harus menjalankan tugas mereka, mempersiapkan dan mengawal jalannya workshop. Duuuh, rasanya gimanaaa gitu sobs! Pahit Gan!
Delapan tahun di tanah kelahiran, paska tsunami [2005 - 2012], membuat aktifitasku lebih banyak di 'rantau'. Rantau yang aku maksud disini adalah, keberadaanku lebih banyak di daerah-daerah dimana program kami diimplementasikan. Mengunjungi dan memonitor proyek. Mulai dari pulau terpencil seperti Nias dan Simeulu, hingga ke kabupaten-kabupaten yang telah maju pesat. Semuanya menambah kekayaan pengalamanku dalam hal melalang buana 'merantau'. Rasanya gimanaa gitu sobs.
Hingga kemudian, perantauaan yang sebenarnya pun aku jalani. Maksudnya?
Ya, kini aku benar-benar kembali merantau. Mengakhiri tugas di Aceh pada Maret 2012, lalu aku mulai mengembangkan sayap kecilku. Merantau ke Bekasi, seorang diri, untuk sebuah project pribadi.Rasanya gimana Al? Hm... rasanya gimana yaaa? Menyenangkan sih, tapi sediiiih juga, karena jauh dari Intan. Meninggalkannya di Banda Aceh sana, walau bersama ayah ibuku, tetap membuat hatiku sering diliput lara. Kangen!
Dan kini aku merentangkan sayap kecil ini dan terbang ke Bandung. Memulai hidup di rantau yang baru. Untuk apa dan apa yang membawamu ke Bandung Al? Hehe... pasti pada ga percaya kan jika aku bilang untuk main-main or having fun? Hahaha.
Ga usah tanya untuk apa deh sobs, yang jelas adalah untuk sesuatu yang bermanfaat bagiku dan keluargaku tentunya. .. :)
Nah, sebuah kisah pahit hidup di perantauan inilah yang ingin aku share pada sobats semua, bahwa,
betapapun enaknya hidup di perantauan, apalagi seorang diri, kita akan terjerembab dan merasakan sebuah kerinduan yang mengharu biru, mana kala..... PENYAKIT menghampiri!
Aku masih sehat sehat saja ketika itu, bangun pagi dengan ceria, mandi dan bersiap-siap untuk ke kantor. Aktifitas harian pun berjalan lancar hingga malam harinya. Ada rasa pahit yang mulai menggelitik di ujung lidah, beranjak ke tengah dan menguasai seluruh saraf perasa di lidahku. Tak hanya itu, suhu tubuh mulai meninggi dan mengemudikan Gliv pun terasa tak lagi nyaman. Aku hapal gejala ini. Ini mau demam. Dan demam ini bisa jadi karena tubuhku yang terasa begitu lelah, terforsir mengurus dan menjaga Intan sewaktu opname di rumah sakit kemarin. Intan kena Demam Berdarah dan membuat kami terperangkap di sebuah rumah sakit untuk beberapa hari.
Tak heran, jika setelah semua usai, Intan sembuh dan kembali ke Aceh, kini emaknya yang disambangi oleh sang demam. Semoga saja ini bukan Demam Berdarah. Dan aku bukanlah orang yang suka mengkonsumsi obat-obatan kimiawi. Maka demam ini hanya aku tangani dengan beristirahat yang cukup, minum madu dan sari kurma. Biasanya sih berhasil. Tapi tidak kali ini. Malamnya suhu tubuh malah makin tinggi. Akhirnya aku menyerah, memasukkan sebutir paracethamol tablet ke mulutku, dan berdoa agar Allah menyembuhkan aku melalui tablet ini.
Paginya suhu tubuhku mulai normal, hanya rasa pahit di lidah yang masih tersisa. Plus rasa lemas yang teramat sangat. Sarapan pagi hanya nasi hangat plus ati ampela yang aku minta tolong belikan pada si mbanya ibu kost. Dan Masyaallah, tak lama setelah sarapan, aku justru memuntahkan semuanya. Tak mau kompromi, muntahan itu dimuntahkan perutku mengotori lantai kamar, hingga ke kamar mandi saat aku melarikan tubuhku kesana. Aku sampai menangis, takut ambruk seorang diri. There is no one at home, bahkan si mba juga sudah keluar untuk ke pasar.
Aku bener-bener takut, takut meninggal tanpa seorang pun mengetahuinya. Hehe... Aku menangis, untuk meredakan rasa takut yang begitu menghantuiku. Barulah setelah itu, aku coba untuk menetralkan racun [aku menduga diriku keracunan makanan], dengan meminum satu botol susu bear brand, dan minum air putih yang banyak. Eh baru setengah botol, aku sudah muntah lagi dan harus lari ke kamar mandi lagi.
Aku benar-benar takut. Takut mati. :D Apalagi ketika tak ada lagi isi perut yang keluar, sementara masih muntah-muntah juga. Aku bahkan jadi takut untuk minum atau memasukkan makanan baru ke tubuhku. Aku hanya diam untuk beberapa saat, no action. Takut muntah lagi. Barulah ketika merasa agak legaan aku masuk dan lying on the bed. Mencoba mengoleskan minyak kayu putih di dada dan punggung serta leher. Memberanikan diri untuk minum bear brand juga air putih. Lalu tiduran. Saat itu aku benar-benar merasakan kesedihan luar biasa. Sedihnya hidup di rantau, sendirian... ga ada yang ngerawat kala sakit begini... hiks...hiks... Dan mungkin karena lelah menangis, aku tertidur pulas. Dan setelah bangun, merasakan kondisiku jauh lebih baik. Alhamdulillah....
Hidup di rantau memang penuh warna dan rasa. Nano nano deh pokoknya..... :)