Kisah sebelumnya bisa di baca di;
Petualangan Gaib, Petualangan Gaib 2, Petualangan Gaib 3 dan
Petualangan Gaib 4
Iri hati dan dengki, adalah faktor penggerak timbulnya tindakan-tindakan negatif dan merugikan, yang senantiasa dilancarkan oleh siapa saja yang berhati picik. Hati yang picik jelas menodai akal sehat dan bahkan mengajarkannya untuk menghalalkan segala cara, logic mau pun unlogic, dalam mencapai maksud dan tujuan yang diidamkannya. ~Alaika Abdullah~
Baru saja bernapas lega karena si datuk Srigala telah hengkang ke negeri antah berantah, dan baru saja hatiku bahagia karena Nenek bilang perobatanku sudah selesai dan kita sudah boleh 'tutup obat' agar sempurna kesembuhanku. Eh, sore ini, saat sedang memasak di dapur, sudah ada
makhluk lain yang menari-nari di sekeliling Dijah. Tentu saja mataku belum mampu menembus selubung gaib itu, Sobs, tapi pertengkaran mulut antara Dijah [aku hanya mendengar suara Dijah saja sih] dengan si makhluk itu, yang terjadi dengan sengit, membuat hatiku tak bisa untuk tak was-was.
Ya Allah, apalagi sih ini? Enggak selesai-selesai!!
Dijah menjelaskan bahwa si Dodo, mantan mitra bisnisnya [seorang paranormal juga], mengirimkan setannya untuk membujuknya kembali bermitra seperti dulu. Aku sampai melongo mendengar penjelasan panjang Dijah, tentang kemitraan mereka dahulu. Kutangkap dengan jelas, betapa Dijah telah dibodoh-bodohi oleh Dodo selama ini. Tak hanya soal
fee yang berat sebelah [lebih banyak untuk Dodo], tapi paranormal itu juga memanfaatkan keahlian Dijah untuk keuntungan dirinya sendiri. Dijah yang lugu dan polos, hanya bak kerbau dicucuk hidung saat diminta Dodo untuk menandatangani beberapa blanko kosong. Menurut Dodo, blanko itu berisi perjanjian kredit pembelian sebuah ruko untuk tempat praktek mereka, yang saat itu butuh tempat yang jauh lebih luas. Kredit itu akan mereka tanggung berdua. Namun pada kenyataannya? Blanko kosong itu jauh dari apa yang dikatakan Dodo, isinya adalah perjanjian mutlak Dijah, yang akan mengangsur cicilan hutang ratusan juta pada rentenir, dan uangnya mutlak dipakai Dodo untuk membeli rumah pribadinya. Ampun deh!
Jadilah Dijah kemudian terlibat hutang pada beberapa rentenir, dan sebagai akibatnya, satu persatu harta benda Dijah
lewat dirampas rentenir, jika terlambat mencicil. Namun dasar Dijah, tetap saja perlakuan jahat Dodo saat itu, tak berhasil membuka mata hatinya. Tetap saja dia berteman dekat dengan Dodo dan istrinya, yang menurutnya sudah seperti abang kandungnya sendiri. Hingga suatu ketika, nenek sekeluarga berhasil membuka matanya, menunjukkan betapa jahatnya kelakuan Dodo, yang memanfaatkan Dijah dan kelebihan-kelebihan gaib Nenek. Barulah Dijah tersadar dan menarik diri. Dan efeknya? Sama seperti saat menarik diri dari datuk Srigala, Dodo pun kemudian blingsatan. Apalagi saat itu, Dodo berniat kuat untuk memperistri Dijah [jadi istri keduanya], dalam rangka menyerap ilmu dan kehebatan Dijah. Maka, niat Dijah memutuskan hubungan kemitraan mereka pun membuat Dodo marah.
Kemarahan yang tak mampu dikelola dengan baik, justru membuat akal piciknya bertambah picik. Namanya paranormal jahat, maka tindakan yang diambil pun
related to magical thing lah! Ya santet! Dodo pun mengirim peneror gaib alias setan! Aih. Dan efeknya bagiku?
Bertambah wawasan akan fenomena gaib! Itu jika aku mau menilainya secara positif. Jika menilai sekilas secara negatif, maka jawabanku akan menjadi
hadeuh, ada-ada aja ini! Ga selesai-selesai ini urusan! Kapan mau pulang kampung?? Tapi melihat Dijah yang diteror dan butuh teman/pengawal, tentu saja aku dengan tulus hati ingin bertahan menemaninya. Apalagi Dijah tak bisa hanya ditinggal berdua dengan Cindy, dalam kondisi seperti ini. Masa' di saat dia butuh pendamping seperti ini, aku tega meninggalkannya, sementara selama ini, Dijah telah dengan begitu telaten merawatku?
I will stay, to protect you as far as I can! Janjiku dalam hati kecilku. Maka aku pun tetap tinggal, apalagi aku memang telah sepakat untuk mengajak Dijah dan Cindy berhari raya di rumah orang tuaku.
Kepada Nenek pernah suatu kali kucetuskan kalimat ini, "Nek, bukankah Dijah itu sakti? Lalu kenapa mesti takut dan kalah oleh Dodo dan setan-setannya itu?" Lalu Nenek dengan santai menjawab, "Al, tak selamanya Dijah itu sakti, karena sebenarnya yang sakti itu kami. Selama kami berada di dalam tubuhnya, maka dia tak akan mampu ditembus oleh aura negatif atau serangan pihak lawan, tapi kami kan ga selamanya bersamanya? Apalagi sejak membuang si Srigala itu, ketahanan tubuh Dijah sebagian dilumpuhkan oleh si Srigala itu. Juga, penyakit medis berupa darah tinggi dan maag akut yang diderita Dijah, membuat staminanya sering terganggu, di saat itulah pengaruh jahat gampang masuk." Lalu aku pun hanya bisa manggut-manggut sambil dalam hati bergumam
Ooo, pahamlah, Nek!
Pertarungan Kedua
Jarum pendek pada jam dinding kamar Dijah masih menunjukkan angka 4 dan jarum panjangnya bertengger di angka 8, menandakan waktu masih berada pada kisaran pukul 4 lewat 40 menit. Aku masih asyik berzikir, dengan khusyuk memindahkan satu persatu butiran tasbih kesayangan [yang kubeli di Mesjid Raya Medan dan telah didoakan oleh Buya] dengan kelincahan jemariku. Ada getaran bahagia di hati, merasakan lidahku yang kian kompak dengan jemariku, gesit memindahkan butiran demi butiran itu. Dijah masih terbaring lemah di atas springbed-nya, terserang oleh tensi darah yang meninggi. Wanita muda ini, memang mengidap tekanan darah tinggi sejak lama, dan sudah beberapa hari ini tensinya memang meninggi. Pusing kepala sejak usai makan siang tadi, membuatnya tak mampu bergerak segesit biasanya, justru memilih dan memang kusarankan untuk rebahan saja.
Juga, usai shalat ashar tadi, Dijah kembali rebahan, tanpa terlebih dahulu berzikir seperti biasanya. Katanya pusing banget, dan memang suhu tubuhnya agak tinggi. Aku dan Cindy, putrinya, yang ikut-ikutan bertasbih, masih santun duduk di sajadah, meneruskan zikir kami, ketika tiba-tiba saja ekor mataku yang memang sudah terbiasa awas, menangkap getaran mencurigakan pada tubuh Dijah. Feeling-ku yang mulai tajam, memacu emosiku ikut memuncak! Hadeuh! Kenapa lagi ini???? Kerasukan lagi??? Sigap aku bangkit, menanggalkan dengan kasar mukenaku, dan dengan tasbih yang masih ditangan, kudekati Dijah.
Matanya nyalang, bibirnya tersenyum sinis. Bener perkiraanku. Dijah kerasukan roh jahat! Aku sudah hapal benar, walau baru sekali melihat dia kerasukan roh jahat, yang adalah setan kiriman dukunnya si batu kuningku dulu. Tapi itu cukup membekas di ingatanku, sehingga mudah bagiku menandai mana yang roh baik dan mana yang jahat. Dan yang ini, jelas jahat, karena dia tiba-tiba menggerakkan tangan Dijah untuk melepaskan ikatan benang [benang khusus yang diberikan nenek] berbentuk gelang di tangan Dijah.
Refleks, kusentak tangan itu. "Hei, siapa kamu? Jangan putuskan gelang itu! Cindy, panggil Nenek, Nak!" Bentakku, lalu meminta Cindy memanggil Nenek. Aku sendiri sudah naik ke spring bed dan berebut dengan tangan Dijah yang telah dikuasai oleh roh jahat itu.
Bentakan kerasku, agaknya mengagetkannya, dan mata nyalang itu, menatapku tajam dan melalui mulut Dijah, suaranya mendesis, tajam. "Aku si Dodo! Kau ga usah ikut campur. Pulang sana, kau sudah sembuhkan? Ga usah kau ikut campur urusanku! Aku ingin yang punya badan ini mati!"
Tentu aku kaget, tapi agaknya amarah yang juga menguasaiku, tak menggentarkanku oleh perintahnya. Siapa dia mau memerintah aku, eh? Masih memegang tasbih, kutarik kuat tangannya, mencoba menjauhkan tangan kanan yang tenaganya luar biasa itu dari benang/gelang itu. Aku ingat, dengan benang itulah Nenek bisa memantau keberadaan Dijah, jadi jika benang itu lepas, maka Nenek dan keluarga gaibnya, tak akan bisa mendeteksi dimana keberadaan Dijah. Jadi, benang itu tak boleh putus.
"Saya bukannya ingin ikut campur, tapi saya ga ingin ada keributan di sini. Tolong, keluarlah dari tubuhnya, dia sedang sakit! Jangan bikin ribut, ayo bicara baik-baik. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Astargfirullah, Lahaula Walakuata Illabillah..." Kalimat zikir itu kuulang-ulang seraya dalam hati memanggil nenek. Cindy juga berulang kali menghentakkan kakinya, memanggil nenek.
"Dia harus mati! Gara-gara dia pasienku lari semua. Gara-gara dia kami jadi sepi. Ga ada yang percaya sama kami lagi. Dia bangsat! Dia harus mati! Kau tau? Dia bodoh! Aku pinter, aku yang membuatnya terjebak hutang ratusan juta pada rentenir! Pinter aku kan? Haha..."
"Sudah, ga usah kau baca-baca itu, aku pun bisa berzikir lebih pandai dari kau! Aku ini ustadz! Ga takut aku dengan kalimat-kalimatmu itu, aku ini ustadz, tau kau??"
Jelas aku terhenyak oleh kalimat-kalimat panjang yang diucapkan dengan amarah itu. Yang lebih membuatku terhenyak adalah bahwa dia ustadz! Ustadz cabul? Ustadz salah kaprah kaleee? Tapi aku tak lagi gentar oleh suara amarahnya. Aku pun bisa marah, memangnya dia saja yang bisa membentak-bentak, tapi ibuku selalu bilang, jangan lawan orang yang sedang marah dengan kemarahan, gunakan kebaikan atau kelemahlembutan!
"Baik, kalo Bapak memang Ustadz, ayo kita bicara baik-baik. Ga perlu kita berantem donk! Ayo, Pak Ustadz, kita bicarakan dengan baik. Apa yang bisa saya bantu. Lepaskan dulu dia, jangan dicekik seperti ini, nanti dia mati, Bapak juga yang rugi! Ayo Cindy, panggil Nenek, biar Pak Ustadz dan kita bicara baik-baik." Bujukku mengatur modulasi.
Cindy mengerti maksudku, dan kembali menghentakkan kakinya tiga kali, memanggil Nenek. Tapi si ustadz salah kaprah malah membentak Cindy dengan garang.
"Hey, anak cacat! Dasar bodoh kau, gara-gara kau mamakmu habis banyak duit! Anak cacat kau! Puih!" Ustadz salah kaprah ini malah meludahi Cindy yang langsung menghindar ke belakang. Mendapat makian dan celaan 'anak cacat', membuat gadis kecil 6 tahunan ini terpana. Matanya terluka, aku merasakan kesedihan yang luar biasa di hatiku menatap gadis kecil yang kini terpaku bagai orang bodoh, oleh celaan itu. Kurang ajar ini si ustadz! Memang Cindy terlahir cacat [berkepala besar/hydrocephalus dan tidak memiliki beberapa organ tubuh], namun Dijah telah berhasil membiayai pengobatan dan beberapa kali operasi pemulihan bagi Cindy hingga gadis kecil ini kini tumbuh cantik, normal dan cerdas. Dasar ustadz ga punya hati!
"Allahu Akbar, Lahaula Walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah, Cindy, terus panggil Nenek, Nak, panggil Nenek!" Kataku, silih berganti antara menyebut nama Allah dan meminta Cindy memanggil nenek. Tanganku seakan mendapat tenaga entah dari mana, berhasil menjauhkan kedua tangan itu dari leher Dijah. Kukunci tangan itu dengan masing-masing tanganku, dan karenanya, kini kaki-kaki Dijah yang beraksi. Kaki kiri Dijah digerakkan si ustadz menghantam kaca jendela nako di sisi springbed. Sungguh membuat amarahku meledak.
"Hey bangsat! Ustadz keparat! Kau kira kau saja yang bisa marah, ha???? Kubilang ayo kita bicara baik-baik ga kau dengar? Awas kalo kaki adikku terluka ya! Jangan harap kau bisa pulang baik-baik! Binatang!!" Kaki kananku, entah digerakkan oleh siapa, mungkin oleh amarahku sendiri, malah melayang menjangkau kakinya yang menghantam jendela. Kukait kaki itu dan menguncinya.
"Binatang memang kau ini, ga ngerti diajak bicara baik-baik! Lahaula Walakuata Illabillah, hanya kekuatan-Mu ya Allah, yang maha kuat, tunjukkan padanya bahwa hanya Engkau yang Maha kuat ya Allah. Lahaula walakuata Illabillah. Cindy, panggil nenek!"
Si ustadz salah kaprah terlihat menggelepar, "Awas kau ya, mentang-mentang kuat ilmumu, kau usir-usir aku. Awas kau!"
Aku tak peduli dengan kata-katanya, melainkan terus merapal kalimat yang itu-itu saja. Lahaula Walakuata Illabillah, karena sesungguhnya kuyakini benar akan kekuatan kata-kata itu. Karena memang segala sesuatu hanya akan terjadi dengan kekuatan Allah.
"Oke, cukup. Aku akan pergi, tapi suruh dia keluar dari Medan! Jangan ambil pasien-pasienku! Suruh dia pergi. Aku mau bicara baik-baik denganmu. Suruh dia keluar dari kota Medan ini!"
"Ok, baik, tanpa kamu suruh pun, Dijah akan pergi dari Medan. Kamu tau? Dia sudah bosan di Medan ini. Sekarang pergi, keluar dari tubuhnya." Bentakku seraya mengencangkan jepitan tanganku yang bertasbih di pergelangan tangannya.
"Aku benci kalian. Kau lagi, untuk apa kau ikut campur urusanku? Si Halimah lagi, sok kuat! Bangsat kalian! Tunggu saja kalo ga keluar dia dari Medan, kuhabiskan kalian semua!"
"Eh, masih bertahan? Allahu Akbar, Lahaula Walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah! Cindy, Nenek mana sih?" Aku sebenarnya sudah lelah, dan emosiku sudah benar-benar memuncak! Aku lelah dengan teror ini. Lelah dengan fenomena gaib ini, lelah dengan pertarungan gila ini!
Dan di puncak kelelahan dan mulai putus asa ini, tiba-tiba saja, tubuh Dijah kembali menggelepar, suara si ustadz salah kaprah itu menghilang, berganti dengan suara celat yang aku kenal. Allahu Akbar, Icha! Dan aku merasa aman sudah! Kujatuhkan diriku diatas tubuh Dijah, memeluk tubuh Dijah yang telah berisi Icha. Menangis tersedu aku di atas tubuhnya. Jin kecil itu memelukku erat.
"Unda, jangan angis, Unda ebat, Unda belani anget! Belani ngucir Dodo! Dodo udah ditangkap Nenek. Udah acuk botol!" Penjelasan itu, yang disampaikan dengan suara celatnya, tak mampu meredam air mata dan sedu sedanku. Aku lelah, aku ingin rehat dari aktivitas ini! Lebih benar lagi adalah, aku takut! Takut tak mampu menyelamatkan Dijah jika hal ini terulang lagi. Aku menangis, hingga peristiwa yang sama [saat setan batu kuning merasuki Dijah] terulang lagi. Yaitu, nenek masuk ke tubuh Dijah, dan membelaiku lembut, menenangkan aku, dan memujiku, betapa beraninya aku menghadapi teror itu. Tapi aku, sungguh, aku tak butuh pujian! Aku sesungguhnya tetap takut berhadapan dengan hal ini. Apalagi nenek bilang, bahwa beliau sengaja tidak tampil lebih awal saat tadi kami memanggilnya, karena beliau yakin aku akan mampu menghandle masalah ini. Oh My God!
Aku tak ingin keberanian dan kehebatan seperti ini. Aku ingin Dijah lepas dari teror ini! Dan aku ingin kembali pada kehidupan normalku. Aku rindu bertualang di duniaku, dunia maya dan nyata yang aku cintai! Allah, help us! Bantu kami lepas dari pengaruh-pengaruh jahat ini. Tak tega rasanya aku meninggalkan Dijah dalam keadaan seperti ini, tapi seberapa dayaku ya Allah? Aku bukan manusia sakti, aku takut hal ini terulang lagi!
Dan Nenek, memang ahli membaca pikiran. Beliau tau persis isi hati dan isi kepalaku.
"Nenek tau kau lelah, Nak. Nenek tak berhak menahanmu di sini, juga tak berhak menitipkan Dijah dan Cindy ke rumah orang tuamu. Nenek tau kau lelah. Nenek mohon maaf telah menyeretmu ke dalam masalah seperti ini, Nak! Harusnya kau sudah bebas sekarang, sudah sembuh, sudah boleh pulang dan beraktifitas kembali, bukannya malah Nenek tahan kau dan titipkan Dijah bersamamu. Maafkan Nenek ya, Nak..."
Dan, Sobats? Siapa yang bisa menahan air mata mendengar kalimat lemah lembut itu, keluar dari bibir seorang jin yang sudah berusia tiga ratus tahunan? Aku langsung menangis, tersedu, memeluk Nenek dan menyesali diriku sendiri. Menyerapahi fikiranku yang tak kukunci sehingga Nenek dengan gampang membaca isi hatiku. Ya Allah, bantu hamba memperbaiki semua ini. Betapa aku tak tau diri, jika sampai meninggalkan orang yang telah menyembuhkan aku begitu saja, justru di saat dia membutuhkan bantuanku. Ampuni hamba ya Allah, bantu hamba menetralisir semua ini. Kuatkan aku untuk tetap bertahan bersama Dijah dan petualangan ini...
Bersambung
Sebuah catatan pembelajaran
bahwa tiada yang tak mungkin terjadi di dalam kehidupan ini,
bahkan hal yang sulit diterima oleh nalar sekali pun
Al, Bandung, 16 January 2014