Kisah sebelumnya di sini.
Mungkin pepatah dadakan inilah yang kemudian bersenandung di benakku malam itu. Masih tak habis pikir bagaimana dan sejak kapan si permata kuning indah tapi jahat itu bersemayam di dalam tubuhku. Dibenamkan ke dalam tubuhku sekitar lima tahun yang lalu, melalui perantaraan angin! Begitu tutur Nek Limah, ingin kupercaya, tapi sulit sekali menghubungkannya dengan logika. Dikirim melalui angin? Sungguh di luar nalar deh rasanya. Tapi kalo sudah bertajuk kekuatan gaib? Siapa yang berani mengatakan tidak mungkin? Ya sudahlah Al, percaya saja, lagi pula ga penting lagi kan tentang kapan dan bagaimananya? Yang penting adalah bagaimana mengeluarkan si kuning jantan yang kabarnya justru lebih ganas dari si betina yang telah dikeluarkan tadi.
Maka, aku pun berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tiduran dan istirahat. Kulirik putrinya Dijah yang telah tertidur pulas. Sementara Dijah sendiri masih ‘berkelana’ di alam gaib [di rumahnya Nek Limah], menyiapkan obat untuk Buya yang sedang demam. Jadi yang bersamaku malam ini adalah Icha, si cantik bijak, keponakan gaibnya Dijah.
Awalnya agak sulit diterima nalarku sih, tubuh Dijah tapi jiwa milik Icha. Tapi kemudian aku pun terbiasa dengan fenomena ‘rasuk raga’ ini. Icha sendiri begitu manja denganku. Namanya bocah, minta dikeloni dan dipeluk kayak bayi. Jadilah aku tidur seraya memeluk tubuh Dijah yang wanita dewasa sementara roh di dalamnya adalah roh seorang bocah empat tahunan.
Tak sabar ku menanti keesokan harinya, agar proses pengeluaran si batu jantan bisa segera dilakukan. Namun betapa kecewanya aku ketika sore esok harinya, tetes demi tetes darah haid membasahi underware-ku. Hadeuh! Pasti proses pengambilan si jantan kuning itu harus ditunda deh. Dan benar saja, Nek Limah dengan nada kecewa berat bergumam, "Itu pasti akal-akalannya supaya ga jadi dikeluarkan. Diluncurkannya darahmu agar kita kira haid. Tak apa, kita tunggu sampai kau bersih." Dan kecewa pun segera mengisi relung hatiku. Sedikit prasangka negatif merebak di dada, Ya Allah, mengapa Engkau ijinkan aral ini merintangi tindakan kami? Namun wasangka ini segera kutepis sebelum Nek Limah yang ahli membaca pikiran menegurku. Tak baik berburuk sangka, apalagi kepada Ilahi Rabbi, pasti akan ada hikmahnya, walau saat itu, yang memenuhi rongga hatiku adalah gundah gulana.
Esok harinya, Dijah malah demam. Wanita setengah peri ini, ternyata bertubuh rentan juga. Gampang sekali terserang demam dan flu jika telah terserang debu. Sama sepertiku yang alergi debu. Namun tak hanya itu, staminanya yang menurun oleh serangan flu plus kadar kolesterolnya yang meningkat, membuat kepalanya ikutan pusing dan rasa sakit yang luar biasa pada tengkuknya. Wanita itu terbaring lemah, saat kukompres. Ada rasa haru di hatiku, membayangkan betapa hampa hidupnya yang menjanda, dengan seorang putri tanpa sanak keluarga. Hanya keluarga gaib yang dia miliki. Tiba-tiba rasa sayang yang luar biasa membuncah di hatiku terhadapnya. Kuelus kepalanya, dahinya terasa begitu panas dan aku mulai kuatir. Duh Tuhan, selamatkan Dijah ya Allah.
Dijah membuka matanya, kutangkap tatapan yang aneh terpancar dari kedua mata itu. Duh, kenapa lagi ini? Kuatirku mulai memacu jantung untuk berdegup lebih kencang, dan tiba-tiba suara Dijah yang meluncur dari bibirnya sungguh membuatku terperangah.
"Kak, tolong awak, dia mau cekik awak..."
Kulihat kedua tangan wanita itu mencekik lehernya sendiri. Otakku langsung memerintahku refleks. Kuraih tangan itu, yang telah menempel erat dan bertenaga di lehernya sendiri, membuat napas Dijah mulai terengah. Ya Allah, setan apa ini yang merasuki Dijah, yang mencekik leher Dijah. Panik aku berseru memanggil nama putri Dijah. 'Cindy, panggil nenek, Nak! Panggil Nenek!' Lalu aku berzikir, dengan suara yang nyaring.
Cindy yang cepat tanggap langsung berdiri, menghentakkan kakinya tiga kali ke lantai seraya memanggil Nek Limah, 'Nenek! Nenek!'
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lahaula Walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah." Kalimat itulah yang kuulang-ulang seraya tanganku semakin kuat menarik tangan Dijah. Membebaskan kedua tangan itu dari upaya mencekik lehernya sendiri. Sungguh pertarungan yang menguras tenaga bagiku. Apalagi dengan kondisi kaki kiriku yang masih lemah. Terengah aku, mempertahankan kedua tangan yang telah lepas dari leher itu, namun berusaha untuk kembali meraih leher Dijah. Sebenarnya aku sudah ketakutan luar biasa, namun tiba-tiba suaraku malah menggelegar penuh amarah, membentak sesuatu yang aku sendiri tak mampu melihatnya. Tanpa sadar kaki kiriku yang lemah itu malah telah terulur, menekan tangan kanan Dijah agar tak mampu kembali ke lehernya.
"Siapa Kamu?? Mengapa mengganggunya. Ayo keluar, tak berhak Kamu mengganggunya!"
Eh, suara dari bibir Dijah malah menjawab, lembut.
"Kak, pulanglah kakak sama abang, abang menunggumu, Kak. Aku diminta majikanku membunuh yang punya badan ini, majikanku orang *ar*, kami benci sama dia, gara-gara dia kami jadi ketahuan ada di dalam tubuh kakak. Kak, pulanglah kakak ke abang, dia masih sangat mencintaimu dan menunggumu."
Sungguh, aku bagai disambar api. Kurang ajar. Aku langsung ingat akan seseorang yang masih begitu akrab denganku, yang masih kujaga silaturrahim dengannya, yang kutahu memang sering sekali berdukun untuk menundukkan suaminya. Dan wanita itu memang berlangganan pada seorang dukun *ar*. Aku sendiri memang sudah jarang sekali bertemu dengannya, tapi masih berkomunikasi via internet dan tau update berita tentang kelakuannya itu dari teman yang lain. Hm, jadi si abang bersekongkol dengannya mendukuniku? Pada si dukun *ar* ini? Oh My God!
"Pergi kau, keluar tidak dari tubuh ini? Ha? Ayo keluar! Allahu Akbar, Lahaula walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah, Ya Allah, hanya Engkaulah yang Maha Kuasa Ya Allah, tiada daya upaya melainkan atas ijinMu ya Allah, Lahaula Walakuata Illabillah." Kurapal kalimat itu penuh keyakinan. Hanya itu yang diperintah otakku untuk kubaca dan kuulang. Jelas aku bukan dukun, bukan orang pintar. Yang kutau dan kuyakini adalah bahwa hanya kekuasaan Allah lah yang Maha Besar, dan hanya kepada Allah lah aku bermohon pertolongan, walau jujur, aku berharap agar Nek Limah segera datang.
Kami semakin berperang. Tangan itu semakin meronta untuk kembali mencekik leher Dijah, aku berupaya sekuat tenaga yang kumiliki untuk menjauhkan tangan itu dari leher wanita yang rohnya sudah pergi sejak tadi. Ya Allah, bantu hamba ya Allah, kemana Nek Limah? Kenapa belum hadir juga? Aku sudah ingin menangis, saat tiba-tiba saja kurasakan tubuh Dijah bergetar hebat, dan getaran berikutnya diikuti oleh suara celat yang begitu aku kenal.
"Unda, Unda, jangan sedih, Umi Dijah udah selamat, setannya udah ditangkap Nenek!"
Ya Allah, aku langsung menangis tersedu seraya memeluk tubuh Dijah yang telah diisi oleh Icha. Allahu Akbar, Alhamdulillah ya Allah. Dan aku terus saja menangis tersedu, bahkan Icha tak mampu meredakan tangisanku. Aneka rasa berkecamuk di dada. Ini pengalaman pertamaku melawan setan, sebuah perlawanan yang menguras tenaga dan sungguh diluar logika dan sulit diterima nalarku, tapi baru saja aku alami. Ya Allah. Alhamdulillah ya Allah, telah Engkau selamatkan Dijah. Tangisku semakin menjadi, bahkan saat tubuh Dijah kembali berguncang, dan kudengar sapaan khas Nek Limah.
"Assalammualaikum, sudah, sudah Al, jangan menangis lagi. Bukan kau yang dikejarnya, si Dijah yang mau dibinasakannya. Kau aman, nak."
Aku justru semakin menangis. Justru aku tak ingin ada orang lain yang menjadi korbannya. Setan itu harusnya mengincarku, bukannya Dijah!
"Tapi Nek, Al ga ingin Dijah celaka hanya karena Al. Al ingin semua selamat. Al ga mau Dijah mati karena Al, Nek. Huuu huuu huuu."
Nek Limah meraih kepalaku dan membawanya ke dalam pelukannya. Belaian lembut tangannya menenangkan hatiku.
"Sudah, tak apa, jangan menangis lagi. Kau tau tidak? Nenek bangga sama kau, ternyata cucu Nenek begitu pemberani. Kau lawan dia dengan gagah berani. Sudah, jangan menangis lagi, sudah Nenek tangkap dia. Itu setan yang ada di batu kuning yang kita angkat kemarin. Tapi kau tenang saja, dia ga bisa ganggu kita lagi, sudah masuk botol dan akan nenek masukkan nanti ke dalam guci Nenek."
Entahlah, tiba-tiba aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Nek Limah menjelaskan bahwa dirinya sedang shalat Ashar tadi saat kami memanggilnya, makanya tidak langsung datang. Namun selesai shalat, beliau langsung hadir lengkap dengan botol di tangannya. Subhanallah, sungguh, ini merupakan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan di dalam kehidupanku. Pengalaman pertama bertarung melawan setan terkutuk. Hampir saja Dijah tewas jika aku tak berusaha keras mempertarungkan tenagaku. Ckckck. Amazing, tapi sungguh mengerikan.
Sungguh menguji kesabaran dan bikin was-was menanti kondisiku kembali suci. Batu laknat itu [batu kuning jantan] yang sempat naik hingga mendekati jantungku sungguh membuat kami semua spot jantung termasuk jantung ibuku yang telah hadir untuk menguatkan dan menemaniku jalani proses operasi itu. Nek Limah berulang kali hadir melalui tubuh Dijah untuk menenangkan ibuku yang terlalu kuatir akan kondisiku yang tidak stabil. Batu itu memang menjadi beringas karena betinanya telah diangkat, sementara aku tiba-tiba haid sehingga proses pengeluaran si jantan terpaksa ditunda. Namun upaya keras Nek Limah, Buya dan seluruh keluarganya akhirnya berhasil membuat si batu kuning itu turun hingga ke pinggang belakangku dan berhasil dihentikan pergerakannya dengan cara ditotok aliran darahku di bagian itu.
Akhirnya hari yang dinantikan pun tiba. Kondisiku sudah suci dan siap untuk proses pengeluaran batu kuning jantan yang kini tetap berada di posisi pinggang belakangku. Ibuku sendiri dapat melihat sebuah lingkaran biru sebesar batu kecil pada posisi itu. Aku sendiri semakin was-was. Pasti sakit sekali nanti saat Nek Limah mem-beset pinggangku dengan pisau silet andalannya itu.
Seperti prosesi sebelumnya, mangkuk besar berisi bunga mawar, melati, dan beberapa macam dedaunan lainnya telah siap di hadapan Nek Limah, juga piring putih berisi botol minyak kayu putih, minyak suluk, tasbih biru muda miliknya, silet, handiplast, dan pinset. Duh, sungguh bikin aku deg-degan. Aku disuruh telungkup di hadapan Nek Limah yang telah merasuk ke dalam tubuh Dijah. Ibuku bertugas menyinari punggungku [area yang akan dibedah] dengan lampu emergency [listrik mati pula saat itu], Cindy [putri Dijah] menyaksikan proses itu di samping ibuku. Proses itu terjadi di dalam kamar Dijah yang hanya diterangi oleh lampu emergency.
Nek Limah menyakinkan ibu agar tak kuatir akan penerangan yang seadanya itu, bahwa mata kaum jin itu bahkan bisa melihat dengan jelas bahkan di dalam kegelapan. Jadi tugas ibuku adalah menyinari bagian pinggangku agar ibuku bisa membantu Nek Limah nanti mengeluarkan si batu dengan pinset yang telah disediakan. Jadilah ibuku sebagai asisten Nek Limah malam itu. Was-was hatinya melihat sayatan silet itu semakin tajam digoreskan oleh Nek Limah, karena si batu semakin berusaha masuk menjauhi permukaan kulit tubuhku.
"Tahan ya Al, istirghfar, dia coba melawan. Ayo, keluar kau, jangan bandel, tak kan kubiarkan kau bersemayam di tubuh cucuku lagi!" Kurasakan sambitan tasbih biru muda itu tiga kali di atas pinggangku. Dan kemudian ibuku berseru tertahan.
"Itu dia Nek, itu dia!"
"Tarik dia dengan pinset itu, jepit dan tarik, Mala!" Kuyakin ibuku berusaha keras menjepit si batu kuning itu, namun seruan tertahan dari mulutnya membuatku was-was, batu itu selalu terlepas dari jepitan pinset itu. Sepertinya si batu yang satu ini memang jauh lebih ganas dibanding yang betina. Namun ibuku tentu tak mau menyerah. Lubang yang dihasilkan oleh sayatan Nek Limah itu terasa diobok-obok oleh pinset yang dijepit oleh tangan ibu, sakit, namun ku berusaha untuk bertahan. Tak boleh mengeluh karena keluhanku akan membuat ibuku kuatir. Beliau dan Nek Limah harus fokus. Tangan Nek Limah beberapa kali menyambit pinggangku dengan tasbihnya, hingga akhirnya ibuku berhasil menjepit batu kuning yang ternyata berbentuk lonjong itu dan meletakkan di atas tissue yang telah digelar oleh Nek Limah di atas karpet.
Tak menghiraukan rasa sakit di pinggangku, aku bangkit untuk melihat si batu jahanam itu. Oh, begitu rupanya bentukmu!
Nenek mengingatkan agar aku tak menyentuh si permata kuning jahat itu, karena dia akan berusaha untuk menyusup kembali ke dalam tubuhku. Oleh karenanya, begitu ibuku selesai memotretnya dengan camera hapenya, batu kuning itu segera dibungkus oleh Nek Limah dengan tissue dan dimasukkan ke dalam plastik, dan setelah dikunci dengan rapalan khusus lalu digantung di dinding teras rumah Dijah untuk besok pagi dibuang ke sungai Deli. Alhamdulillah ya Allah, lega rasanya melihat si jahat itu telah keluar dari tubuhku. Semoga kejahatan yang hendak mencelakaiku ini berakhir hingga di sini ya Allah. Aamiin. Dan malam itu, setelah berusaha untuk melek [ga boleh langsung tidur agar racun yang tersisa tidak mengalir ke jantung], akhirnya jam 1 malam aku diperbolehkan tidur oleh Nek Limah.
Pengalaman adalah guru yang paling sempurna, mengalami sendiri adalah berita nyata yang terjamin kebenarannya.
Mungkin pepatah dadakan inilah yang kemudian bersenandung di benakku malam itu. Masih tak habis pikir bagaimana dan sejak kapan si permata kuning indah tapi jahat itu bersemayam di dalam tubuhku. Dibenamkan ke dalam tubuhku sekitar lima tahun yang lalu, melalui perantaraan angin! Begitu tutur Nek Limah, ingin kupercaya, tapi sulit sekali menghubungkannya dengan logika. Dikirim melalui angin? Sungguh di luar nalar deh rasanya. Tapi kalo sudah bertajuk kekuatan gaib? Siapa yang berani mengatakan tidak mungkin? Ya sudahlah Al, percaya saja, lagi pula ga penting lagi kan tentang kapan dan bagaimananya? Yang penting adalah bagaimana mengeluarkan si kuning jantan yang kabarnya justru lebih ganas dari si betina yang telah dikeluarkan tadi.
Maka, aku pun berusaha memejamkan mata, mencoba untuk tiduran dan istirahat. Kulirik putrinya Dijah yang telah tertidur pulas. Sementara Dijah sendiri masih ‘berkelana’ di alam gaib [di rumahnya Nek Limah], menyiapkan obat untuk Buya yang sedang demam. Jadi yang bersamaku malam ini adalah Icha, si cantik bijak, keponakan gaibnya Dijah.
Awalnya agak sulit diterima nalarku sih, tubuh Dijah tapi jiwa milik Icha. Tapi kemudian aku pun terbiasa dengan fenomena ‘rasuk raga’ ini. Icha sendiri begitu manja denganku. Namanya bocah, minta dikeloni dan dipeluk kayak bayi. Jadilah aku tidur seraya memeluk tubuh Dijah yang wanita dewasa sementara roh di dalamnya adalah roh seorang bocah empat tahunan.
Tak sabar ku menanti keesokan harinya, agar proses pengeluaran si batu jantan bisa segera dilakukan. Namun betapa kecewanya aku ketika sore esok harinya, tetes demi tetes darah haid membasahi underware-ku. Hadeuh! Pasti proses pengambilan si jantan kuning itu harus ditunda deh. Dan benar saja, Nek Limah dengan nada kecewa berat bergumam, "Itu pasti akal-akalannya supaya ga jadi dikeluarkan. Diluncurkannya darahmu agar kita kira haid. Tak apa, kita tunggu sampai kau bersih." Dan kecewa pun segera mengisi relung hatiku. Sedikit prasangka negatif merebak di dada, Ya Allah, mengapa Engkau ijinkan aral ini merintangi tindakan kami? Namun wasangka ini segera kutepis sebelum Nek Limah yang ahli membaca pikiran menegurku. Tak baik berburuk sangka, apalagi kepada Ilahi Rabbi, pasti akan ada hikmahnya, walau saat itu, yang memenuhi rongga hatiku adalah gundah gulana.
Pertarungan Maut
Dijah membuka matanya, kutangkap tatapan yang aneh terpancar dari kedua mata itu. Duh, kenapa lagi ini? Kuatirku mulai memacu jantung untuk berdegup lebih kencang, dan tiba-tiba suara Dijah yang meluncur dari bibirnya sungguh membuatku terperangah.
"Kak, tolong awak, dia mau cekik awak..."
Kulihat kedua tangan wanita itu mencekik lehernya sendiri. Otakku langsung memerintahku refleks. Kuraih tangan itu, yang telah menempel erat dan bertenaga di lehernya sendiri, membuat napas Dijah mulai terengah. Ya Allah, setan apa ini yang merasuki Dijah, yang mencekik leher Dijah. Panik aku berseru memanggil nama putri Dijah. 'Cindy, panggil nenek, Nak! Panggil Nenek!' Lalu aku berzikir, dengan suara yang nyaring.
Cindy yang cepat tanggap langsung berdiri, menghentakkan kakinya tiga kali ke lantai seraya memanggil Nek Limah, 'Nenek! Nenek!'
"Allahu Akbar, Allahu Akbar, Lahaula Walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah." Kalimat itulah yang kuulang-ulang seraya tanganku semakin kuat menarik tangan Dijah. Membebaskan kedua tangan itu dari upaya mencekik lehernya sendiri. Sungguh pertarungan yang menguras tenaga bagiku. Apalagi dengan kondisi kaki kiriku yang masih lemah. Terengah aku, mempertahankan kedua tangan yang telah lepas dari leher itu, namun berusaha untuk kembali meraih leher Dijah. Sebenarnya aku sudah ketakutan luar biasa, namun tiba-tiba suaraku malah menggelegar penuh amarah, membentak sesuatu yang aku sendiri tak mampu melihatnya. Tanpa sadar kaki kiriku yang lemah itu malah telah terulur, menekan tangan kanan Dijah agar tak mampu kembali ke lehernya.
"Siapa Kamu?? Mengapa mengganggunya. Ayo keluar, tak berhak Kamu mengganggunya!"
Eh, suara dari bibir Dijah malah menjawab, lembut.
"Kak, pulanglah kakak sama abang, abang menunggumu, Kak. Aku diminta majikanku membunuh yang punya badan ini, majikanku orang *ar*, kami benci sama dia, gara-gara dia kami jadi ketahuan ada di dalam tubuh kakak. Kak, pulanglah kakak ke abang, dia masih sangat mencintaimu dan menunggumu."
Sungguh, aku bagai disambar api. Kurang ajar. Aku langsung ingat akan seseorang yang masih begitu akrab denganku, yang masih kujaga silaturrahim dengannya, yang kutahu memang sering sekali berdukun untuk menundukkan suaminya. Dan wanita itu memang berlangganan pada seorang dukun *ar*. Aku sendiri memang sudah jarang sekali bertemu dengannya, tapi masih berkomunikasi via internet dan tau update berita tentang kelakuannya itu dari teman yang lain. Hm, jadi si abang bersekongkol dengannya mendukuniku? Pada si dukun *ar* ini? Oh My God!
"Pergi kau, keluar tidak dari tubuh ini? Ha? Ayo keluar! Allahu Akbar, Lahaula walakuata Illabillah, Lahaula Walakuata Illabillah, Ya Allah, hanya Engkaulah yang Maha Kuasa Ya Allah, tiada daya upaya melainkan atas ijinMu ya Allah, Lahaula Walakuata Illabillah." Kurapal kalimat itu penuh keyakinan. Hanya itu yang diperintah otakku untuk kubaca dan kuulang. Jelas aku bukan dukun, bukan orang pintar. Yang kutau dan kuyakini adalah bahwa hanya kekuasaan Allah lah yang Maha Besar, dan hanya kepada Allah lah aku bermohon pertolongan, walau jujur, aku berharap agar Nek Limah segera datang.
Kami semakin berperang. Tangan itu semakin meronta untuk kembali mencekik leher Dijah, aku berupaya sekuat tenaga yang kumiliki untuk menjauhkan tangan itu dari leher wanita yang rohnya sudah pergi sejak tadi. Ya Allah, bantu hamba ya Allah, kemana Nek Limah? Kenapa belum hadir juga? Aku sudah ingin menangis, saat tiba-tiba saja kurasakan tubuh Dijah bergetar hebat, dan getaran berikutnya diikuti oleh suara celat yang begitu aku kenal.
"Unda, Unda, jangan sedih, Umi Dijah udah selamat, setannya udah ditangkap Nenek!"
Ya Allah, aku langsung menangis tersedu seraya memeluk tubuh Dijah yang telah diisi oleh Icha. Allahu Akbar, Alhamdulillah ya Allah. Dan aku terus saja menangis tersedu, bahkan Icha tak mampu meredakan tangisanku. Aneka rasa berkecamuk di dada. Ini pengalaman pertamaku melawan setan, sebuah perlawanan yang menguras tenaga dan sungguh diluar logika dan sulit diterima nalarku, tapi baru saja aku alami. Ya Allah. Alhamdulillah ya Allah, telah Engkau selamatkan Dijah. Tangisku semakin menjadi, bahkan saat tubuh Dijah kembali berguncang, dan kudengar sapaan khas Nek Limah.
"Assalammualaikum, sudah, sudah Al, jangan menangis lagi. Bukan kau yang dikejarnya, si Dijah yang mau dibinasakannya. Kau aman, nak."
Aku justru semakin menangis. Justru aku tak ingin ada orang lain yang menjadi korbannya. Setan itu harusnya mengincarku, bukannya Dijah!
"Tapi Nek, Al ga ingin Dijah celaka hanya karena Al. Al ingin semua selamat. Al ga mau Dijah mati karena Al, Nek. Huuu huuu huuu."
Nek Limah meraih kepalaku dan membawanya ke dalam pelukannya. Belaian lembut tangannya menenangkan hatiku.
"Sudah, tak apa, jangan menangis lagi. Kau tau tidak? Nenek bangga sama kau, ternyata cucu Nenek begitu pemberani. Kau lawan dia dengan gagah berani. Sudah, jangan menangis lagi, sudah Nenek tangkap dia. Itu setan yang ada di batu kuning yang kita angkat kemarin. Tapi kau tenang saja, dia ga bisa ganggu kita lagi, sudah masuk botol dan akan nenek masukkan nanti ke dalam guci Nenek."
Entahlah, tiba-tiba aku merasakan kelegaan yang luar biasa. Nek Limah menjelaskan bahwa dirinya sedang shalat Ashar tadi saat kami memanggilnya, makanya tidak langsung datang. Namun selesai shalat, beliau langsung hadir lengkap dengan botol di tangannya. Subhanallah, sungguh, ini merupakan pengalaman yang tak akan pernah terlupakan di dalam kehidupanku. Pengalaman pertama bertarung melawan setan terkutuk. Hampir saja Dijah tewas jika aku tak berusaha keras mempertarungkan tenagaku. Ckckck. Amazing, tapi sungguh mengerikan.
Male Yellow Devil Stone
Sungguh menguji kesabaran dan bikin was-was menanti kondisiku kembali suci. Batu laknat itu [batu kuning jantan] yang sempat naik hingga mendekati jantungku sungguh membuat kami semua spot jantung termasuk jantung ibuku yang telah hadir untuk menguatkan dan menemaniku jalani proses operasi itu. Nek Limah berulang kali hadir melalui tubuh Dijah untuk menenangkan ibuku yang terlalu kuatir akan kondisiku yang tidak stabil. Batu itu memang menjadi beringas karena betinanya telah diangkat, sementara aku tiba-tiba haid sehingga proses pengeluaran si jantan terpaksa ditunda. Namun upaya keras Nek Limah, Buya dan seluruh keluarganya akhirnya berhasil membuat si batu kuning itu turun hingga ke pinggang belakangku dan berhasil dihentikan pergerakannya dengan cara ditotok aliran darahku di bagian itu.
Akhirnya hari yang dinantikan pun tiba. Kondisiku sudah suci dan siap untuk proses pengeluaran batu kuning jantan yang kini tetap berada di posisi pinggang belakangku. Ibuku sendiri dapat melihat sebuah lingkaran biru sebesar batu kecil pada posisi itu. Aku sendiri semakin was-was. Pasti sakit sekali nanti saat Nek Limah mem-beset pinggangku dengan pisau silet andalannya itu.
Seperti prosesi sebelumnya, mangkuk besar berisi bunga mawar, melati, dan beberapa macam dedaunan lainnya telah siap di hadapan Nek Limah, juga piring putih berisi botol minyak kayu putih, minyak suluk, tasbih biru muda miliknya, silet, handiplast, dan pinset. Duh, sungguh bikin aku deg-degan. Aku disuruh telungkup di hadapan Nek Limah yang telah merasuk ke dalam tubuh Dijah. Ibuku bertugas menyinari punggungku [area yang akan dibedah] dengan lampu emergency [listrik mati pula saat itu], Cindy [putri Dijah] menyaksikan proses itu di samping ibuku. Proses itu terjadi di dalam kamar Dijah yang hanya diterangi oleh lampu emergency.
Nek Limah menyakinkan ibu agar tak kuatir akan penerangan yang seadanya itu, bahwa mata kaum jin itu bahkan bisa melihat dengan jelas bahkan di dalam kegelapan. Jadi tugas ibuku adalah menyinari bagian pinggangku agar ibuku bisa membantu Nek Limah nanti mengeluarkan si batu dengan pinset yang telah disediakan. Jadilah ibuku sebagai asisten Nek Limah malam itu. Was-was hatinya melihat sayatan silet itu semakin tajam digoreskan oleh Nek Limah, karena si batu semakin berusaha masuk menjauhi permukaan kulit tubuhku.
"Tahan ya Al, istirghfar, dia coba melawan. Ayo, keluar kau, jangan bandel, tak kan kubiarkan kau bersemayam di tubuh cucuku lagi!" Kurasakan sambitan tasbih biru muda itu tiga kali di atas pinggangku. Dan kemudian ibuku berseru tertahan.
"Itu dia Nek, itu dia!"
"Tarik dia dengan pinset itu, jepit dan tarik, Mala!" Kuyakin ibuku berusaha keras menjepit si batu kuning itu, namun seruan tertahan dari mulutnya membuatku was-was, batu itu selalu terlepas dari jepitan pinset itu. Sepertinya si batu yang satu ini memang jauh lebih ganas dibanding yang betina. Namun ibuku tentu tak mau menyerah. Lubang yang dihasilkan oleh sayatan Nek Limah itu terasa diobok-obok oleh pinset yang dijepit oleh tangan ibu, sakit, namun ku berusaha untuk bertahan. Tak boleh mengeluh karena keluhanku akan membuat ibuku kuatir. Beliau dan Nek Limah harus fokus. Tangan Nek Limah beberapa kali menyambit pinggangku dengan tasbihnya, hingga akhirnya ibuku berhasil menjepit batu kuning yang ternyata berbentuk lonjong itu dan meletakkan di atas tissue yang telah digelar oleh Nek Limah di atas karpet.
Tak menghiraukan rasa sakit di pinggangku, aku bangkit untuk melihat si batu jahanam itu. Oh, begitu rupanya bentukmu!
Permata Kuning Jantan yang ganas |
Permata Kuning Betina yang telah diangkat beberapa hari sebelumnya. |
Si Kuning Jantan yang Hadir Kembali
Pagi-pagi, aku sudah dibonceng Dijah menuju sungai Deli, untuk membuang si batu kuning jahanam itu. Batu ganas yang sungguh bikin hati was-was. Bagaimana tidak coba, Sobs! Subuh tadi, batu itu ditemukan Dijah tergeletak di luar kain batik [pasung bumi] yang biasa dipasang Dijah untuk memagar pintu depan rumahnya. Ternyata batu ganas itu berhasil keluar dari kantong plastik dan mencoba masuk melalui sela pintu, namun terhenti oleh si kain batik panjang [pasung bumi]. Alhasil, Dijah menjerit memanggilku dan langsung menciutkan jantungku oleh berita yang disampaikannya. Ibuku juga jadi was-was. Dijah akhirnya memasukkannya kembali ke dalam tiga lapisan plastik dan kami pun ngebut menuju sungai Deli. Ibuku wanti-wanti agar kami berhati-hati dan yakin bahwa si batu benar2 jatuh ke sungai. Dijah sengaja memilih sungai Deli, yang letaknya hampir satu jam dari rumah dan pulangnya sengaja dipilih rute memutar dan berbelit. Awalnya aku heran, mengapa juga harus menempuh waktu yang lebih lama jika kita bisa kembali lewat rute yang sama, yang jauh lebih dekat. Alasannya simpel, agar si batu sulit untuk kembali. O really? Apa mungkin dia bisa kembali setelah dibuang sejauh itu? Kusimpan tanya itu di dalam hati, karena aku sudah lelah dengan situasi ini. Ya Allah, sudahi cobaan ini dan ijinkan hamba keluar sebagai pemenang dari pertarungan ini ya Allah.
Namun kiranya cobaan ini belum berakhir hingga di sini, teman-teman! Senja harinya, sekitar pukul setengah enam sore, saat aku dan Dijah sedang mandi bersama dengan hanya diterangi oleh lampu emergency [listrik kembali padam], tiba-tiba Dijah berseru seraya menunjuk lantai, di dekat kakiku.
"Kak, awas, apa itu berkilauan?" Refleks aku menundukkan pandangan ke arah yang ditunjuk Dijah. Tepat di dekat kaki kananku, benda menakutkan yang telah terpatri di benakku itu [permata kuning jantan], bersinar dan bergerak mendekati kakiku. Ya Allah!
Tanpa suara aku melompat ke atas bak. Refleks dengan kekuatan pinjaman dari Tuhan, aku berhasil nangkring di atas bak mandi. Namun sayang, gerakan refleks ku membuat pinggangku menyentuk pipa kran air secara keras dan menyebabkan kran itu patah. Air langsung memancur dari patahan pipa sementara aku terjatuh ke lantai, dalam posisi terlentang di atas lantai. Teringat akan si batu yang ada di lantai, tak menghiraukan rasa sakit, aku langsung bangkit dan naik lagi ke atas bak mandi. Kali ini aku berhasil duduk di pinggiran bak sementara bokongku setengahnya menyentuh air yang memenuhi bak.
Dijah ikutan kaget dan terpana sejenak oleh gerakan refleksku. Segera dia memanggil Nenek, yang menurutnya hadir sekilas namun menghilang lagi bersamaan menghilangnya si kuning yang tadi berkilauan. Kami pun lega, karena yakin bahwa si batu menghilang karena telah diambil Nenek. Lalu, masih dengan lutut yang gemetaran, aku mengikuti Dijah ke kamar, lalu menceritakannya pada ibuku.
Di kamar, Dijah kembali bertanya, bagaimana posisi jatuhku tadi, karena menurutnya, Nenek barusan menanyakan apa Dijah berhasil menangkap batu itu? Artinya? Artinya si batu tadi tidak bersama nenek. Lalu? Oh My God!
"Kak, coba buka ikatan rambut kakak!" Dan spontan tanganku meraih jepitan rambutku, membukanya dan tiba-tiba terdengar bunyi ting menggelinding di lantai. Cahaya yang temaram di kamar, tak mampu meredupkan kilauan si batu kuning itu, sehingga membuat mata tajam Dijah langsung berhasil menemukannya. Aku langsung berlari ke kulkas. Pikiranku memerintahkan aku untuk mencari botol, karena kuyakin, plastik tak akan kuat mengikat batu yang ganas ini. Kuambil sebotol krating daeng yang masih berisi penuh. Kubuang isinya dan langsung membawa botol kosong itu ke Dijah. Tanggap dengan ideku, Dijah langsung memasukkan batu kuning itu ke dalam botol dan menanti kehadiran Nenek, yang dalam sekejap kemudian telah berada di antara kami. Dijah sendiri melepaskan diri dari raganya yang langsung diisi oleh Icha. Bocah empat tahunan yang cerdas itu, segera mengajakku ke dapur.
"Nda, yuk kita naik ke atas. Nenek dan Umi Dijah tunggu di atas. Kita bakar batu ini di atas."
Aku dan ibu langsung mengikuti langkah Icha ke dapur. Otakku memerintahkan tanganku untuk menyambar sebuah kuali/wajan yang tergantung di dinding dapur Dijah. Untuk wadah tempat membakar batu, jawabku saat Icha menanyakan tujuanku. Lalu berbekal setumpuk koran, beralaskan kuali tempat datuk halilintar biasa memasak arsik, kami pun membakar si batu kuning yang setelah api menyala besar, langsung kami tuangkan ke dalam kobaran api itu. Tentu saja aku tak mampu mendengar jeritan si setan yang ada di dalam batu itu, namun baik Dijah, Nenek mau pun Icha, mengatakan bahwa si setan itu memohon ampun agar tidak dibakar, namun kemudian berteriak memaki Nenek dan Dijah serta aku, karena tak mengampuninya. Jeritan itu baru berhenti setelah tubuh si batu remuk ditelan api.
Aku dan ibu hanya bisa melongo. Ini adalah pengalaman gaib kedua bagiku, dan pengalaman gaib pertama bagi ibu, yang tentu saja mampu membuat jantung kami semakin kencang berpacu. Subhanallah ya Allah. Tolong sudahi cobaan ini. Ijinkan kami keluar sebagai pemenang dari pertarungan ini.
Sungguh, aku sungguh berharap agar pertarungan ini cukup sudah. Berakhirlah hingga di sini. Dan, aku memang boleh bernapas lega, karena menurut Nek Limah, hanya dua benda itu yang bersemayam di tubuhku. Kini aku telah bebas dari santet, hanya tinggal pembersihan racun-racun yang masih tersisa saja. Yang tentu saja akan memakan waktu. Namun setidaknya, aku dan ibu sudah boleh bernapas lega. Alhamdulillah.
Namun, ternyata, petualangan ini tak berhenti hingga di situ saja, teman-teman! Cobaan lagi masih menanti, menanti sebagai pembelajaran bagi pengayaan pengetahuanku akan alam gaib dan permainan gaib, yang ternyata, masih banyak dimainkan oleh anak manusia, bahkan di jaman yang telah begitu canggih ini. Ya, bersekutu dengan iblis, masih kental dilakoni oleh manusia modern ini, hanya untuk mencapai maksud dan tujuan mereka.
Nantikan kisah nyata selanjutnya, bagaimana aku terlibat langsung dalam pertarungan Dijah membebaskan diri dari Datuk Srigala [makhluk dari dimensi lain] yang selama ini menjadi salah satu pembantu Dijah dalam pengobatan tradisionalnya, namun karena perbedaan akidah yang semakin kentara, akhirnya Dijah memutuskan untuk menarik diri dari pengaruhnya. Sungguh, sebuah perjalanan dan petualangan gaib yang tak akan pernah lekang di ingatan, dan sumber pengayaan batin bagiku, bahwa alam gaib itu nyata adanya, dan teramat sangat berbahaya. Nyawa taruhannya. Masyaallah.
See You in Petualangan Gaib 3: Datuk Srigala
Catatan pembelajaran,
bahwa tiada yang tak mungkin terjadi di dalam kehidupan ini,
bahkan hal yang sulit diterima oleh nalar sekali pun,
Al, somewhere, 23 November 2013