Panjat pinang, lomba lompat karung, makan kerupuk, bawa kelereng hingga sepak bola para bapak berpakaian daster, adalah pemandangan heboh yang biasanya selalu hadir di era perayaan tujuh belas Agustusan.
Yup, hampir seluruh rakyat Indonesia tak asing dengan euphoria yang satu ini. Peringatan penuh canda tawa, gegap gempita ini biasa kita saksikan hampir di seluruh pelosok negeri. Merayakan hari kemerdekaan negeri Indonesia tercinta.
Namun…… Begitu juga kah halnya dengan sebuah provinsi yang terletak nun jauh di ujung Barat pulau Sumatera? Adakah juga aneka perlombaan dan hadiah yang menggiurkan terselenggara dan membahana di sana?
Ternyata jawabannya adalah tidak sobs! Tidak demikian!
Hampir di seluruh wilayah Aceh, (pada masa konflik), kegembiraan ini tak kelihatan sosoknya. Lupakan saja soal pesta lomba, karena soal sepele seperti apakah sebaiknya memasang bendera Merah Putih atau tidak saja, bisa bermuara pada keselamatan jiwa sang pemilik rumah. Simbol resmi Negara Indonesia ini begitu dimusuhi oleh sejumlah warga separatis yang ingin memisahkan diri dari NKRI.
Perbedaan suasana yang begitu mencolok di wilayah ini sungguhlah ironis. Apalagi Sejarah telah mencatat betapa tingginya gairah rakyat Aceh ketika menyambut kelahiran Republik Indonesia, sehingga secara spontan dinyatakan oleh Bung Karno sebagai "daerah modal Republik", ketika Bapak Bangsa dan Presiden Indonesia ini berkunjung untuk pertama kalinya, 1948.
Namun, tak sampai lima tahun kemudian, kekecewaan terhadap pemerintah pusat, yang dirasakan tidak tanggap terhadap aspirasi daerah, mulai tumbuh. Pemberontakan bersenjata pun meletus sejak 1953. Mula-mula karena janji otonomi khusus tak kunjung ditepati dan, belakangan, karena pengerukan hasil alam daerah oleh pusat menyinggung rasa keadilan penduduk Aceh yang merasa nyaris tak mendapatkan manfaat dari kegiatan ekonomi itu. “Perang” pun bergolak. Konflik pun tak terhindarkan.
Dan rakyat tenggelam dalam cekaman penderitaan. Serba salah. Berteman dengan TNI, akan dimusuhi oleh kaum separatis, dan berteman dengan kaum separatis, sudah pasti akan digencet oleh TNI. Pelik, perih!
Hingga kemudian….. tsunami datang menghantam, dan diam-diam membawa ‘berkah tersembunyi’. Gelombang raksasa ini membuat baik pemerintah RI maupun GAM (Gerakan Aceh Merdeka) harus memikirkan kembali konflik yang telah berjalan hampir 30 tahun itu. Tsunami menyodorkan kedua belah pihak ini sebuah tugas utama yang jauh lebih penting daripada hanya berbaku hantam.
Rakyat harus diselamatkan, dan senjata harus disingkirkan. Perundingan demi perundingan pun berlangsung di masa tanggap darurat dan sesudahnya, hingga akhirnya tercapai sebuah kesepakatan damai dengan ditandatanganinya perjanjian MOU Helsinki oleh kedua belah pihak, di Helsinki, Finlandia, pada 15 Agustus 2005.
Babak baru dalam kehidupan masyarakat Aceh pun dimulai. Udara kebebasan dan situasi yang jauuuuh lebih aman menguap di udara. Menaungi langkah kaki masyarakat yang tersisa, dalam proses dan upaya bangkit kembali setelah amukan badai tsunami.
Di balik musibah tentu ada hikmah. Dan itu juga yang tetap terselip di hati dan diyakini penuh oleh para penyintas/masyarakat yang survive. Tak henti kami bersyukur akan perdamaian yang tercipta. Akan rasa aman yang kini terhampar di hadapan mata.
Tak ragu kami mulai merayakan ulang tahun kemerdekaan negeri tercinta ini dengan terang-terangan dan gegap gempita. Seperti cuplikan dari beberapa foto kegiatan yang akan aku tampilkan berikut ini. Walau dalam keadaan masih berduka, karena harta benda dan sebagian jiwa telah direnggut bencana.
Bagiku pribadi, ini adalah peristiwa paling mengesankan dalam kehidupanku. Sepanjang hayat dan berharap tak perlu terulang. Karena aku tak rela menemui moment indah ini jika harus bermula dari sebuah musibah.
Oke sobs, yuk kita lihat cuplikan gambar-gambar berikut ini yuk.
Aneka hadiah ini adalah sumbangan dari Youth of the Street, sebuah NGO asal Australia, yang menyumbangkan aneka rupa bagi para korban tsunami. Ada selimut, handuk, bed lipat, hingga ke berbagai boneka dan pakaian anak.
Dan menjelang perayaan tujuh belas Agustus, kami berinisiatif untuk mencerahkan wajah kanak-kanak di desa Pulot, Kecamatan Leupung, Kabupaten Aceh Besar, yang merupakan salah satu wilayah kerja kami, dengan keindahan senyuman yang akan terukir indah di wajah mungil mereka.
Betapa pun besarnya bencana, anak-anak ini harus bisa merasakan euphoria perayaan tujuh belas Agustusan. Suatu hal yang mungkin belum pernah mereka cecap dalam hidup mereka, mengingat sejak lahir, mereka telah diselimuti aura konflik!
Ini lah sebagian dari wajah2 yang ingin kami hiasi dengan ukiran senyum terindah. Keceriaan adalah milik setiap insan, termasuk anak-anak ini, yang sebagiannya telah kehilangan ayah ibu.
‘duek pakat’ alias musyawarah dan briefing sejenak dengan para orang tua atau wali anak, sebelum acara dimulai.
Adapun tema yang akan diangkat adalah ‘kerjasama yang baik antar orang tua dan anak’, karena project yang aku komandani disini adalah ‘parenting project’ sebagai salah satu bagian dari program trauma healing yang kami gelar.
Jadi akan ada beberapa lomba akan diselenggarakan yang membutuhkan kekompakan antara anak dan ibu/ayah/kakak/walinya.
Misalnya lomba memasukkan bola ke dalam ember, dimana si anak akan di tutup matanya, dan berdiri jauh dari ibunya, lalu harus bisa melemparkan bola masuk ke dalam ember yang dipegang oleh ibunya.
Gadis kecil ini sempat menangis. Tak lagi memiliki ayah bunda, membuatnya berfikir bahwa panitia tak akan mengijinkan dirinya ikut serta. Senyum manis itu merekah kala kami nyatakan bahwa dirinya boleh memilih siapa saja dari kami, para panitia untuk menjadi kakak angkatnya.
Gadis cilik ini tinggal bersama bibinya, yang kebetulan sedang keluar desa kala acara dilaksanakan.
Ini adalah gadis kecilku. Intan permata hati yang kala itu masih imut-imut, dan sering aku ajak serta turut ke lapangan, berbaur dengan para anak-anak korban tsunami. Untuk turut merasakan bagaimana penderitaan dan kesedihan sahabat-sahabatnya itu, kehilangan ayah ibu maupun sanak saudara oleh musibah tsunami.
Ada juga lomba membawa pensil secara gotong royong dari garis start hingga ke garis finish. Ini juga melibatkan kerjasama apik antara orang tua dan anak-anak atau kakak dan adik.
Lalu juga ada lomba mengambil permen dengan mulut, diletakkan di dalam ember berisi air, kemudian si anak harus cepat berlari ke garis yang satunya, dimana ibu atau ayah atau kakak mereka menanti. Semakin banyak permen yang bisa diambil akan semakin baik.
Yang di tengah adalah Intan, putriku, yang tak mau ketinggalan berpartisipasi dalam acara ini sobs!
Setelah ditangkap dengan mulut, permen pun dilarikan ke garis finish, dimana para orang tua menanti, untuk membersihkan/me-lap permen dan mengumpulkannya. Yang terbanyak yang menang.
Dan berbagai lomba lainnya yang memang mengutamakan kerjasama apik antara anak dan orang tuanya.
Jangan ditanya bagaimana kegembiraan yang tercipta sobs! Rasanya hari itu benar-benar luar biasa. Apalagi saat melihat senyum ceria terukir indah di wajah siapa pun yang hadir kala itu. Ya anak-anaknya, ya emak-emaknya. Sayangnya para bapak tak dapat berpartisipasi, karena mereka terlibat dalam agenda ‘cash for work’, sebuah agenda yang diselenggarakan untuk mengepulkan asap dapur para korban tsunami ini. Dimana, masyarakat desa diundang untuk membersihkan area desanya, dan mendapatkan upah untuk itu.
Well sobs, tak terasa postingan ini menjadi begitu panjang dan berliku. Semoga saja kisah tak terlupakan ini sama membekas di hati anak-anak dan para masyarakat dimana kami bekerja saat itu. Semoga memberi kecerahan dan keceriaan di hati mereka, dan manfaat bagi semuanya.
Semoga juga, akan ada semangat dan kegairahan dalam merayakan hari kemerdekaan, 17 Agustusan di tahun-tahun mendatang.
Dan semoga juga, masih membekas di benak para masyarakat desa ini, akan kehadiran kami kala itu, berbaur dan berkontribusi dalam pembangunan kembali daerah mereka.
Sayangnya, kini, desa itu tak lagi di sana, telah di relokasi ke wilayah lain yang lebih aman dari lidah ombak yang begitu getol menjilati halaman dan beranda desa mereka.
Apapun itu, kita semua tentu berdoa setulus hati, agar Allah memberikan masa depan yang lebih baik bagi anak-anak penerus generasi ini, serta masyarakat desa ini. Amien Ya Rabbal Alamin.