Postingan ini terinspirasi dari postingan emak
Arifah yang berbicara tentang hak asuh anak di dalam perceraian. Jadi ingin juga angkat bicara tentang perceraian, tentunya
from my point of view lah yaaa.
Menikah dan bercerai, adalah dua hal yang saling bertolak belakang. Ibarat siang dan malam, ibarat
Yin dan
Yang. Yang satu efeknya menjanjikan begitu banyak kebahagiaan, yang satunya lagi, baru mendengar kata 'bercerai'nya saja, sudah membayang aneka penderitaan dan kesedihan di depan mata. Yup, begitulah. Menikah dan bercerai, adalah dua hal yang senantiasa hadir di lingkungan sekitar kita. Menikah, adalah hal yang selalu diharapkan oleh siapa pun, sementara bercerai.
Hadeuh, amit-amit jabang bayi!
Namun,
untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak adalah juga sebuah pribahasa yang kerap membuat kita tak mampu berkata-kata. Karena jika pribahasa ini sudah menghampiri, maka apa lagi daya kita?
Rasulullah sendiri pernah bersabda bahwa perceraian adalah halal namun sangat dibenci oleh Allah SWT. Ini berarti bahwa jangan mentang-mentang hal tersebut adalah halal hukumnya, maka kita seenaknya saja mempraktekkan 'kawin-cerai' dengan begitu saja, karena Allah tidak menghendaki hal demikian. Namun, Allah menunjukkan kemurahan hati-Nya dengan tidak ingin membelenggu dua insan yang bersatu di dalam sebuah rumah tangga, untuk tetap bersatu, sementara awan panas dan lahar sudah menggelegak hendak meledak. :) Artinya, perceraian menjadi halal, jika sebuah rumah tangga tidak lagi dapat diselamatkan. Jika prosentase mudharatnya menjadi lebih besar dibandingkan manfaatnya.
Intan, putri tercinta, adalah korban dari sebuah bahtera rumah tangga yang kandas di tengah perjalanan kehidupan. Aku sengaja tidak menggunakan kata
broken home, karena kok kesan yang muncul di hati setiap mendengar kata itu, rasanya negatif gitu yaaa? Aku memutuskan untuk mengundurkan diri dari kehidupan ayahnya ketika Intan masih berusia sekitar 10 tahun, tentu saja setelah melalui analisa SWOT yang begitu panjang dan bisa diterima oleh akal sehat. Karena bagaimana pun, aku termasuk orang yang inginnya sih,
menikah itu cukup satu kali saja atuh. Hehe. Namun, jika kemudian kenyataan di depan mata mengarahkanku untuk mengubah keinginan tersebut, apa boleh buat lah yaa? Jadi, melayanglah surat gugatan cerai ke pengadilan agama, memohon agar rumah tangga kami diakhiri hingga disitu saja.
Dan setelah melalui proses panjang karena sang mantan suami menolak untuk berpisah, akhirnya permohonanku dikabulkan juga, dengan turut meng-gol-kan segala tuntutan yang aku sertakan di dalam
draft gugatan. Yang salah satunya adalah memohon agar hak asuh Intan jatuh ke tanganku. Alhamdulillah. Status baru langsung tersandang di pundak.
"Janda" dan "single parent"! Malu? Ngga tuh. Untungnya, aku hidup di zaman yang wawasan masyarakat sekitar sudah begitu
open minded. Menjadi janda bukanlah sebuah momok, tapi adalah pilihan sulit yang terpaksa harus dijalani karena itulah yang terbaik. Menjadi
single parent, jelas tidak mudah, sama tidak mudahnya dengan status menjadi janda.
Namun, jika bukan kita sendiri yang membentuk mind set, untuk tetap melanjutkan langkah kehidupan kita dan si buah hati dengan langkah dan pemikiran positif, siapa lagi yang akan melakukannya? Bagaimana kita bisa bangkit? Bagaimana kita bisa melanjutkan kehidupan? The show must go on, karena waktu tidak akan diam dan berhenti di situ saja, hingga kita ready to face the world bravely.
The time is not able to be frozen, Sobs! Jadi kita harus bergerak cepat. Siapa bilang menyandang status baru seperti itu, menjadi janda dan
single parent itu tidak berat dan menggundahkan? Sedih, gundah, banget! Tapi, kita tentu tak boleh berlarut-larut dalam keterpurukan kan? Kita harus segera menyudahi masa 'berkabung' karena
the train will be leaving! Kereta akan berangkat, dan tentu kita tak ingin ketinggalan kan? Maka,
setting your mind, that you have to prepare your stuffs to leave with the train. Persiapkan diri untuk melaju bersama sang waktu. Jangan biarkan diri menua dan terpuruk karena kelamaan dalam duka lara.
Aih, Alaika ini kalo ngomong asal bunyi aja ih! Ngomong emang gampang, Al, coba kalo kamu sendiri yang mengalami, pasti keok juga!
Sobats tersayang, justru aku bisa ngomong lancar begini, karena aku sendiri sudah mengalaminya. Sudah pernah terpuruk dalam duka lara yang begitu menyedihkan. Udah pernah mengalami pahit getirnya perpisahan, dan menatap mata bening Intan, putri yang tak berdosa itu harus hidup dalam rumah tangga yang tidak utuh lagi. Jelas itu tidak menyenangkan bagi seorang anak. Anak mana pun, jika kita lakukan polling, pasti akan memilih untuk tetap berada di rumah tangga yang utuh. Tetap akan berkeras agar ayah ibunya jangan sampai berpisah. Namun, jika itu harus dialami dan dihadapi, maka adalah tugas dari orang tua, terutama yang memperoleh hak asuh terhadap anaknya, untuk membentuk pemikiran positif di hati dan pikiran anaknya, agar tetap mampu menjalani hidup penuh semangat, ceria dan bahagia. Tidak gampang memang, tapi bukan pula hal yang tidak mungkin untuk diwujudkan. Kunci utama untuk bangkit dan melanjutkan langkah kehidupan adalah niat, waktu, dan latihan keras. Mari menyiasati ombak kehidupan dengan disiplin, cermat dan bijaksana. #Jiah, gaya banget yak! Kayak motivator ajah! :)
Sekedar opini berdasarkan pengalaman dalam kehidupan,
Al, Bandung, 2 Februari 2014
Related Post: