Tentu banyak yang familiar dengan foto disamping ini donk? Yang mana dulu? Yang kiri apa yang kanan?
Ya dua-duanya donk!
Bedanya yang satu adalah
icon gunung Merapi, sudah almarhum sementara yang kanan, 'kan sang pemilik blog ini, yang adalah sahabat baik kalian? *kedip2senyummanis. Dan mudah-mudahan masih diberikan kesempatan untuk menjalani kehidupan dengan sebaik-baiknya ya, Sobs. ☺Amin.
Yup. Tokoh yang penuh senyum itu adalah almarhum Mbah Maridjan. Namanya begitu sering disebut di layar kaca dan disiarkan di radio, serta hilir mudik di
cybersphere [internet] - kala itu. Kepergiannya memang sudah lama sih, tepatnya 26 Oktober 2010. Aku yakin Sobats masih mengingat berita fenomenal tentangnya kan? Pada saat si gunung Merapi mengamuk dan memuntahkan isi perutnya ke Kinahrejo dan sekitarnya, serta menghiasi bumi Yogyakarta dengan debu putihnya selama beberapa minggu atau bulan.
Sebenarnya foto ini diambil tepat tiga tahun yang lalu, pada Februari 2012, saat aku dan kekasih hati melakukan perjalanan wisata ke Yogyakarta dan Solo. Nah, setelah jalan-jalan di Yogya, kok rasanya ada yang kurang lengkap jika trip kami tidak ditutup dengan berkunjung ke wilayah Merapi. Apalagi seorang teman menyarankan untuk main ke dukuh Kinahrejo, tempat di mana si Mbah Maridjan bertempat tinggal dan juga menghembuskan napas terakhirnya.
Maka bermainlah aku ke rumahnya Mbah Google, biasa, minta arahannya tentang transportasi termudah dan termurah menuju kesana.
Kok suka banget nanya ke Mbah Google sih, Al? Kenapa ga tanya satpam atau petugas hotel aja? Karena aku suka aja main ke rumah Mbah Google, habis si Mbah baik banget sih! :D
Maka, sesuai dengan arahan si Mbah, kami pun menyewa motor. Berkendara berdua, bener-berner bikin
exciting deh! Apalagi saat kami sampai di Gapura ini, Sobs!
|
foto diambil tiga tahun lalu, saat belum berhijab. :D |
Bener-bener bikin rasa hati semakin penasaran. Ingin segera menjelajah ke dalamnya. Namun sayang, Sobs, ternyata kita tidak diijinkan membawa sepeda motor kita ke dalam sana. Harus dititip di parkiran, dan kalo mau bermotor, ya sewa salah satu motor yang memang telah disediakan oleh komunitas masyarakat desa ini. [Ya hitung-hitung memberikan pemasukan rupiah pada masyarakat setempat kan? Apalagi mereka kan korban bencana]. Harga sewanya kalo aku ga salah sih sekitar 30 ribu perak untuk beberapa jam deh, atau malah untuk seharian. Maaf, lupa, soalnya udah lama banget sih perjalanan kesini. Tiga tahunan yang lalu gitu, lho!
Dan inilah pemandangan yang menyambut kita di sekitar gapura selamat datang ini, Sobs.
Perjalanan ke atas ternyata tidaklah sulit, karena jalanannya juga sudah beraspal. Kami pun melajukan motor sewaan dengan santai sambil menikmati pemandangan alam, yang gimana ya, dibilang indah, rasanya sih sudah tidak terlalu indah lagi sih, Sobs.
Walau banyak pohon yang mulai ditanami, tentu butuh waktu bagi sang pohon untuk bertumbuh dan memberikan keteduhan bagi alam raya. Tapi, kuakui, perjalanan ini cukup menarik dan membuat penasaran sih. Terlebih tadi malam aku sudah baca-baca beberapa artikel yang mengulas tentang sang kuncen gunung Merapi ini. Ada yang memandangnya sebagai orang yang keras kepala dan sok tau, namun ada pula yang menghormatinya sebagai orang yang patuh dan taat mengemban amanah, walau untuk itu, adalah nyawanya sendiri sebagai taruhannya.
Memang, sungguh sangat disayangkan sih jika si Mbah yang satu ini, sang abdi dalem keraton Yogya ini, harus tewas oleh awan panas ciptaan erupsi Merapi. Karena berbagai peringatan telah diberitahukan padanya juga pada seluruh warga dusun Kinahrejo, desa Umbulharjo, Kecamatan Cangkringan, Sleman, Yogyakarta. Namun tetap saja, peringatan dari pemerintah [pihak berwenang] sama sekali tidak digubris oleh si Mbah.
Sayangnya lagi, si Mbah juga menyeret beberapa korban non penduduk setempat untuk ikut bersamanya menghadap sang Pencipta. Itu yang membuat miris! Demi menyelamatkan warga desa yang tadinya begitu ngeyel dan patuh pada keyakinan si Mbah, para relawan ini pun harus merelakan nyawanya.
Sedih banget rasanya menatap foto-foto ini, Sobs. Hiks.
Kedua relawan ini [Tutur Priyono/relawan PMI dan Yuniawan Wahyu Nugroho/wartawan] terpaksa menghembuskan napas terakhirnya, terpanggang awan panas [wedhus gembel] saat menjemput si Mbah. Keduanya tewas bersama belasan korban lainnya, termasuk si Mbah Maridjan.
Tragis banget ya, Sobs? Semoga arwah keduanya, juga warga lainnya diterima Allah SWT, Aamiin.
Berada di lokasi ini [rumah Mbah Maridjan] sungguh menghasilkan sebuah rasa tersendiri. Mungkin juga karena pikiran ini telah dijejali oleh pengetahuan atau berita tentang kisah di balik kejadian ini ya? Bahwa sebenarnya korban yang berjatuhan ini bisa dihindari, jika saja warga setempat ini, khususnya mbah Maridjan, MAU mendengarkan arahan/berita yang dibawa oleh para petugas [pemerintah] dan juga para relawan ini. Memang sih, kita TIDAK akan mampu MENCEGAH Merapi untuk memuntahkan isi perutnya, namun MEMINIMALISIR RESIKO bencana tentu bisa kita usahakan.
Namun apa daya? Tentu sangat tidak bijaksana jika kita mengecamnya bertubi-tubi. Apalagi mengingat adat istiadat Yogyakarta yang unik, yang masih meyakini kosmologi keraton Yogyakarta, bahwa dunia ini terdiri atas lima bagian. Bagian tengah yang dihuni manusia dengan keraton Yogyakarta sebagai pusatnya. Keempat bagian lain dihuni oleh makhluk halus. Raja bagian utara bermukim di Gunung Merapi, bagian timur di Gunung Semeru, bagian selatan di Laut Selatan dan bagian barat di Sendang Ndiephi di Gunung Menoreh.
Kosmologi ini juga melekat kuat pada diri mbah Marijan, selaku kuncen gunung Merapi, yang terbiasa [belajar dari pengalamannya selama puluhan tahun menjadi kuncen] melihat segala sesuatu melalui pertanda. Menurutnya pula, kali ini, walau pemerintah telah memberikan peringatan keras, namun feeling-nya dan 'bisikan' yang diyakininya, justru menyatakan sebaliknya. Bahwa Merapi masih berbaik hati, tidak akan memuntahkan laharnya. Maka bertahanlah dia, sesuai keyakinannya itu, dan beroleh maut, turut pula menyeret korban lainnya, yang adalah penduduk setempat juga beberapa relawan - non penduduk lokal.
Begitulah, terkadang, sebuah pembelajaran berharga memang harus dibayar dengan teramat mahal, bahkan tak mampu ditebus dengan rupiah sehingga menjadikan nyawa sebagai taruhan. Terutama terkait masalah bencana, nilai pembelajaran yang harus kita bayar sungguh teramat sangat mahal. Indonesia sendiri, melalui berbagai bencana yang demikian kerap menyambangi daerah dan penduduknya, seharusnya mendidik kita untuk tekun dan aktif dalam belajar teknik meminimalisir [pengurangan] resiko bencana, yang beberapa tahun terakhir ini sedang digalang secara menyeluruh oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah setempat. Sudahkah seluruh masyarakat kita tersentuh oleh 'penyuluhan' ini?
Catatan perjalanan,
Al, Bandung, 5 Februari 2014