Suatu sore sekitar tiga belas tahun yang
lalu….
Aku dan yu Niah,
asisten rumah tanggaku sekaligus pengasuh Intan (yang kala itu masih berumur kurang lebih 1,5
tahun), sedang asyik memasak berbagai penganan sebagai pendamping ketupat
lebaran besok, ketika bel pintu berdentang nyaring. Sengaja kami tak beranjak
karena ayahnya Intan ada di ruang TV, tentu dia bisa membuka pintu dan melihat
siapa yang datang sementara kami melanjutkan masak memasak. Beberapa masakan
seperti Opor ayam, taoco udang, sambal kentang dan sambal teri kacang sih udah
berstatus ready. Tinggal rendang aja nih yang masih nangkring di atas kompor,
menanti sedikit kering dan matang.
Sang tamu ternyata
adalah temannya ayah Intan, yang datang bersama istrinya. Termasuk tamu jauh
karena mereka baru sampai di Medan dari Tebing Tinggi. Karena istrinya ikut,
tentu ga enak donk jika aku tak ikut menemani…. Maka kupercayakanlah urusan
mematangkan rendang ini pada yu Niah…. Toh tak lama lagi si rendang ini juga
siap untuk dimatikan api kompornya. Means: matang.
Setengah jam setelah
menemani para tamu, aku beranjak ke dapur untuk melihat situasi. Kutemukan
dapur yang sepi. Tak ada lagi yu Niah disana. Kualihkan pandangan ke atas
kompor, dan kutemukan rendang yang masih tergenang oleh bumbu yang masih
berbentuk kuah. Lho, kok udah dimatikan apinya sih? Gimana yu Niah ini, kayak
ga pernah masak rendang aja…. Masak begini udah dimatikan apinya…? Batinku
gemes.
Kupanggil dia dengan
suara perlahan walau hatiku sebenarnya geram. Yu Niah ini telah bersamaku
sekitar dua tahun… dan sifatnya sebenarnya cukup baik. Rajin, jujur dan baik hati. Namun terkadang suka bikin aku marah dan naik darah jika sifat buruknya
itu kumat. Dan feelingku sih berkata bahwa yu Niah sedang kumat sifat buruknya.
Yup! Sifat buruknya itu adalah kesukaannya bertandang dan ngerumpi di rumah
tetangga. Kebetulan tetangga sebelah punya seorang anak perempuan yang, maaf, juga sudah menjanda, kira-kira seusia yu Niah (35 tahunan), yang begitu akrab dengannya.
Pasti yu Niah sedang disana deh!
Benar saja sobs!
Kulihat dia sedang duduk dan tertawa renyah dengan si wanita tetangga. Entah
ngobrolin apa. Menoleh dia saat kupanggil, namun aneh, ekspressinya seperti
kurang senang. Kutepis sensi yang mulai merangkak naik ke kepala… masih dengan
senyum, kuminta dia untuk pulang ke rumah, tuntaskan masakan rendangnya sedikit
lagi..
Dengan wajah ditekuk,
yu Niah ini mengikutiku, langsung ke dapur, kutinggalkan dia disana sementara
aku langsung kembali ke ruang tamu, menemani sang tamu. Sempat kusampaikan pada
yu Niah bahwa para tamu akan berbuka bersama kita, jadi kuminta dia untuk
menyiapkan hidangan nanti. Dia hanya mengangguk.
Setengah jam
kemudian, aku kembali ke dapur… dan ya ampun… rendangku berubah warna. Kering
kerontang dan sama sekali tak sedap dipandang mata! Kurang asem beneeeer ini si
yu Niah!
Menjerit aku
memanggilnya, sementara yang dipanggil sama sekali tak menjawab. Pasti sudah di
rumah tetangga lagi nih. Kususul kesana dan bener saja sobs! Sedang asyik
ngobrol berdua wanita sebelah. Tertawa riang dan sumringah. Namun tawa itu
terhenti begitu aku telah berhadapan dengannya. Tak mampu kukontrol suaraku
yang meninggi.
“Yu, kok rendangnya
sampai hangus begitu sih? Diapain tadi?”
“Lho, kan maunya
seperti itu? Kering dan jangan basah kayak tadi!” ketus jawaban asistenku.
Darahku melesat ke kepala. Emosi tingkat dewa.
“Tapi bukan seperti
itu jadinya yu! Masak sampai hangus begitu… sebenarnya yu ini kenapa sih? Kok
seperti orang unjuk rasa?” Lanjutku antara marah dan putus asa. Kaget
mendapatkan sikap kurang ajar dari seorang (maaf) pembantu.
Tak menjawab, malah
bersungut. Beranjak dia balik ke rumah, yang langsung kuikuti langkahnya
setelah terlebih dahulu aku pamit pada si wanita tetangga.
Di rumah, kulihat yu
Niah sedang menambahkan air ke dalam rendang yang telah separuh gosong.
Dinyalakannya api kompor kembali. Tangannya mulai mengaduk-aduk rendang tadi.
Emosi yang mulai menggelegak oleh sikap ketusnya itu, membuat aku hilang
kendali. Kuraih wajan itu dengan kedua tanganku.
“Matikan aja apinya
yu…!” perintahku seraya mengangkat wajan itu, membawanya ke halaman belakang
dari pintu dapur. Kucampakkan wajan beserta daging rendang istimewa itu disana.
Mau diapain lagi? Emangnya bisa diubah warna dan rasa gosong itu dengan
menambahkan air dan memasaknya lagi?
Sedih banget rasa
hatiku…. Di Masa itu…membeli 1,5 kg daging bukanlah hal yang gampang bagiku dan
ayah Intan. Eh bisa-bisanya dibuat seperti itu oleh asistenku ini…. Teganya
kamu Yu…!
Sedih banget rasa
hatiku sobs! Apalagi oleh sikap lanjutan yu Niah, yang ngambek dan langsung
lari ke kamarnya. Bersungut-sungut. Menitik airmataku, dan tangisku tumpah kala
ayah Intan ke dapur dan mendapati raut wajahku yang pilu.
“Kenapa mi? ada apa
kok malah nangis?” tanyanya heran.
“Lho, kok malah
kebalik? Harusnya umi donk yang marahi dan bikin nangis pembantu, bukan malah
kebalikannya!” komentarnya ikutan marah setelah mendengar ceritaku.
“Ya udah…. Biarin aja
dia, ntar kita kasih teguran. Udah ngelunjak tuh si Yu…. Kurang ajar bener!”
Malam itu, setelah
berbuka puasa bersama kedua tamu, dan sepeninggal mereka, kupanggil yu Niah,
dan kuajak bicara baik-baik. Kutegur sikapnya yang sudah keterlaluan itu…. Dia
menangis, minta maaf dan berjanji tidak akan mengulangi lagi…. Apalagi saat aku
memberinya pilihan… mau tetap tinggal disini dengan mengubah prilakunya, atau
pulang kampung saja, akan aku ongkoskan dengan segera. Asistenku itu langsung
menangis, minta maaf berulang-ulang dan bermohon agar bisa tetap tinggal
disini. Bahkan yu Niah berniat hendak menggantikan rendang yang telah gosong tadi
dengan yang baru…. , yang tentu saja kutolak mentah2…
Kuputuskan untuk
tetap membiarkannya ikut bersama kami, dengan syarat dia mengubah sikap
buruknya itu… karena bagaimanapun, aku sayang padanya, dan telah menganggapnya
sebagai saudaraku sendiri…
Dan sobs….
Jadilah lebaran kami
kala itu, hanya berketupat sayur tanpa rendang. Memang agak kurang lengkap dan
ga afdol banget sih… tapi cukup berkesan untuk dikenang.
Kini Yu Niah telah
menikah kembali (dulu berstatus sebagai janda), sementara aku berpisah dari
ayahnya Intan, dan Alhamdulillah beberapa tahun kemudian, Allah mempertemukan aku dengan papa barunya Intan. J
Kehidupan adalah sebuah misteri.