Cap Bokong Penuhi Turunan Gunung Burangrang
Ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya (baca di sini). Kisah pendakian Gunung Burangrang, yang telah sukses memberikan pembelajaran tersendiri bagiku. Bagi teman-temanku yang lain juga hendaknya, sih! Dan sesuai janji, maka tulisan ini adalah lanjutan cerita sebelumnya, di mana di saat menanjak, kami membutuhkan tenaga dan kehati-hatian luar biasa karena medannya yang terjal, licin dan gelap (mendakinya di tengah malam).
Ternyata, Sobs! Seperti yang sudah aku kisahkan sebelumnya, proses menuruni turunan Sang Burangrang ini tak kalah melelahkan. Bukan hanya itu, turunan curamnya, di tambah landasan/pijakan yang masih licin, membuat kami gedebag gedebug ke tanah, sukses menjejakkan bokong di sepanjang jalanan curam itu, sehingga tak berlebihan jika judul artikel kali ini aku jadikan "Cap Bokong Penuhi Turunan Gunung Burangrang".
Baca kisah sebelumnya: Tertatih Mencapai Puncak Burangrang and I Made It
Tadinya sih, aku kira proses turun tentu akan jauh lebih mudah. Karena ga perlu mengangkat kaki dan paha sedasyat saat menanjak. Etapi, ternyata enggak begitu, Sobs! Jangan salah! Hehe. Proses turun, yang awalnya membuatku begitu bersemangat, karena telah istirahat, telah tidur, dan kembali berenergi, justru perlahan tapi pasti, menyumbang lelah dan berhasil (lagi dan lagi) bikin aku DOWN!
Perjalanan turun justru dua kali lebih sulit dari perjalanan naik, padahal sudah terang benderang. Bahkan di seperempat sisa perjalanannya, aku terpaksa menyeret langkah, karena paha terasa berat banget dan gemetaran!
Faktor umur kah ini? Kalo menurut dr. Dave, pemilik Lineation Center ini mah, BUKAN! "Ini karena kamu BOLOS latihan! Jadi fisik kamu ga kuat. Jadi loyo!" Ops!
Yup, kerasa banget emang, Sobs! Olahraga, latihan fisik emang penting banget dalam persiapan untuk pendakian seperti ini. Pendakian ini sama sekali ga sama dengan pendakian ke puncak Gunung Gambung Sedaningsih dulu, di mana kami bisa mendaki seraya ha ha hi hi. Ini butuh napas, stamina, dan semangat baja. Semangat aja ga cukup. Tapi semangat BAJA dan latihan fisik!
Menuruni Bukit Tak Semudah Menuruni anak Tangga.
Yes. Awalnya sih, aku nyantai. Bahkan Lily sempat berujar, itu si Oma yang satu kok gesit banget ya, turunnya. Tadi waktu naik kepayahan minta ampun, ini turun kok udah sampai sana.
FYI, gelar Oma dilekatkan begitu saja oleh dr. Dave kepada kami bertiga. Alasannya sih sebagai terapi mental yang akan bikin kami berusaha untuk TIDAK seperti Oma-oma. Supaya kami berusaha gesit. Haha. Bisa aja nih si dokter! Lebih kocaknya lagi, gelar Oma Gembrott malah dilekatkan kepada Lily, terapi mental agar Lily semakin gesit dan berupaya untuk tidak gembrot. 😀😂 Padahal kita bertiga kan langsing dan singset, dok!
Anyway, aku yang tadinya gesit, bergerak lincah menuruni jalanan yang tadi malam hingga subuh itu kita pakai menanjak, maka kini kami menggunakannya untuk menuruni Sang Burangrang yang menjulang. Kepercayaan diriku memang tumbuh dengan kekayaan cahaya yang dilimpahkan sang mentari. Namun, ternyata, Sobs! Keok jugak di seperdelapan sisa perjalanan. Huft!
Menyeret Langkah saat Energi Telah Terkuras.
Sekuat apa pun semangat yang mengaliri diri, jika energi memang telah terkuras, ya tetap saja akan letoy! Paha dan kedua kakiku terasa begitu lemah. Lutut gemetar. Energiku memang telah terkuras. Sungguh, menuruni turunan licin Sang Burangrang memang sangat melelahkan. Bagiku. Entah bagi yang lain. Dan kuyakini benar kata-kata dr. Dave, bahwa latihan fisik memang KUDU banget untuk dilakoni sebagai persiapan sebuah pendakian. Apalagi dengan medan yang terjal seperti ini. Hadeuh!
Seperdelapan sisa perjalanan, langkahku melemah. Efeknya, rombongan pun jadi melambat laju turunnya. Walau mereka melangkah cepat di depan, mau tak mau mereka tentu harus menanti, ya, dengan istirahat menanti aku dan Nchie (yang setia menemani) jauh di belakang. Deden akhirnya pun jadi ikut mundur ke belakang, menemani bahkan membantu memanggul daypack-ku yang terasa berat dan membebani langkah, sehingga kini aku bisa melangkah lebih bebas dan ringan. Namun, tetap tertatih. Haha. Kuyakini diri, bahwa semangat yang masih tersisa ini pasti akan mampu membawaku kembali, hingga ke tempat di mana mobil Toyota Avanza yang kami carter kemarin telah menanti.
Kaki Kram dan Sulit Melangkah hingga beberapa hari.
Alhamdulillah, akhirnya, walau dengan langkah terseret, akhirnya aku berhasil juga mencapai lokasi meeting point. Avanza putih itu telah menanti sejak 30 menit yang lalu. Tak terkira syukurku menjangkau tempat itu. Sebuah saung yang terletak di pinggir jalan itu pun langsung menjadi tempat empuk bagi kami mengistirahatkan diri. Selonjoran adalah sebuah kenikmatan tiada tara. Apalagi ditemani sebotol cold tea yang kami beli di kios tak jauh dari saung. Hm..., nikmat! Alhamdulillah.
Tak satu pun yang bersuara saat perjalanan pulang ke Lineation Clinic. Kelelahan yang mendera membuat kami langsung lelap begitu si akang driver menjalankan mobilnya. Baru terjaga saat mobil telah berhenti karena memang sudah sampai ke tujuan. Alhamdulillah.
Tak menunggu lama, kami menuju kendaraan masing-masing untuk kembali ke rumah. Pesan dr. Dave untuk kembali besok sore ke klinik ini, guna fisioterapi adalah penyejuk hati dan harapan bagiku untuk bisa berjalan normal kembali. Hehe.
Yes, Dok! Besok aku balik ke sini. Fisio, sepertinya memang fisioterapi obat bagi kesembuhan kakiku kembali, deh!
Dan, Sobs! Sungguh, tak terkira rasa syukurku pada Ilahi, yang di sisa energi yang masih tersisa tadi, ternyata ku masih disayang oleh-Nya. Diberikan tenaga dan semangat serta keyakinan untuk terus melangkah. Plus, diberikan sahabat-sahabat yang begitu baik dan solid penuh kebersamaan dan rasa kasih. Duh, dr. Dave, Nchie, Lily, Deden dan Uki, haturnuhun pisan untuk perjalanan kita, ya! Aku belajar banyak banget, dan akan rajin-rajin olahraga, hehe.
Kapok naik gunung, Al?
Hm, enggak donk, tapi kudu persiapan yang bener mah untuk ke depannya! 😊
Ini adalah lanjutan dari kisah sebelumnya (baca di sini). Kisah pendakian Gunung Burangrang, yang telah sukses memberikan pembelajaran tersendiri bagiku. Bagi teman-temanku yang lain juga hendaknya, sih! Dan sesuai janji, maka tulisan ini adalah lanjutan cerita sebelumnya, di mana di saat menanjak, kami membutuhkan tenaga dan kehati-hatian luar biasa karena medannya yang terjal, licin dan gelap (mendakinya di tengah malam).
Ternyata, Sobs! Seperti yang sudah aku kisahkan sebelumnya, proses menuruni turunan Sang Burangrang ini tak kalah melelahkan. Bukan hanya itu, turunan curamnya, di tambah landasan/pijakan yang masih licin, membuat kami gedebag gedebug ke tanah, sukses menjejakkan bokong di sepanjang jalanan curam itu, sehingga tak berlebihan jika judul artikel kali ini aku jadikan "Cap Bokong Penuhi Turunan Gunung Burangrang".
Baca kisah sebelumnya: Tertatih Mencapai Puncak Burangrang and I Made It
Tadinya sih, aku kira proses turun tentu akan jauh lebih mudah. Karena ga perlu mengangkat kaki dan paha sedasyat saat menanjak. Etapi, ternyata enggak begitu, Sobs! Jangan salah! Hehe. Proses turun, yang awalnya membuatku begitu bersemangat, karena telah istirahat, telah tidur, dan kembali berenergi, justru perlahan tapi pasti, menyumbang lelah dan berhasil (lagi dan lagi) bikin aku DOWN!
Perjalanan turun justru dua kali lebih sulit dari perjalanan naik, padahal sudah terang benderang. Bahkan di seperempat sisa perjalanannya, aku terpaksa menyeret langkah, karena paha terasa berat banget dan gemetaran!
Faktor umur kah ini? Kalo menurut dr. Dave, pemilik Lineation Center ini mah, BUKAN! "Ini karena kamu BOLOS latihan! Jadi fisik kamu ga kuat. Jadi loyo!" Ops!
Yup, kerasa banget emang, Sobs! Olahraga, latihan fisik emang penting banget dalam persiapan untuk pendakian seperti ini. Pendakian ini sama sekali ga sama dengan pendakian ke puncak Gunung Gambung Sedaningsih dulu, di mana kami bisa mendaki seraya ha ha hi hi. Ini butuh napas, stamina, dan semangat baja. Semangat aja ga cukup. Tapi semangat BAJA dan latihan fisik!
Menuruni Bukit Tak Semudah Menuruni anak Tangga.
Yes. Awalnya sih, aku nyantai. Bahkan Lily sempat berujar, itu si Oma yang satu kok gesit banget ya, turunnya. Tadi waktu naik kepayahan minta ampun, ini turun kok udah sampai sana.
FYI, gelar Oma dilekatkan begitu saja oleh dr. Dave kepada kami bertiga. Alasannya sih sebagai terapi mental yang akan bikin kami berusaha untuk TIDAK seperti Oma-oma. Supaya kami berusaha gesit. Haha. Bisa aja nih si dokter! Lebih kocaknya lagi, gelar Oma Gembrott malah dilekatkan kepada Lily, terapi mental agar Lily semakin gesit dan berupaya untuk tidak gembrot. 😀😂 Padahal kita bertiga kan langsing dan singset, dok!
Anyway, aku yang tadinya gesit, bergerak lincah menuruni jalanan yang tadi malam hingga subuh itu kita pakai menanjak, maka kini kami menggunakannya untuk menuruni Sang Burangrang yang menjulang. Kepercayaan diriku memang tumbuh dengan kekayaan cahaya yang dilimpahkan sang mentari. Namun, ternyata, Sobs! Keok jugak di seperdelapan sisa perjalanan. Huft!
Menuruni Gunung Burangrang itu, ternyata lebih melelahkan daripada mendakinya! Photo taken by: Nature Walk Bandung |
Tired but Happy! Picture taken by: Nature Walk Bandung |
Sekuat apa pun semangat yang mengaliri diri, jika energi memang telah terkuras, ya tetap saja akan letoy! Paha dan kedua kakiku terasa begitu lemah. Lutut gemetar. Energiku memang telah terkuras. Sungguh, menuruni turunan licin Sang Burangrang memang sangat melelahkan. Bagiku. Entah bagi yang lain. Dan kuyakini benar kata-kata dr. Dave, bahwa latihan fisik memang KUDU banget untuk dilakoni sebagai persiapan sebuah pendakian. Apalagi dengan medan yang terjal seperti ini. Hadeuh!
Seperdelapan sisa perjalanan, langkahku melemah. Efeknya, rombongan pun jadi melambat laju turunnya. Walau mereka melangkah cepat di depan, mau tak mau mereka tentu harus menanti, ya, dengan istirahat menanti aku dan Nchie (yang setia menemani) jauh di belakang. Deden akhirnya pun jadi ikut mundur ke belakang, menemani bahkan membantu memanggul daypack-ku yang terasa berat dan membebani langkah, sehingga kini aku bisa melangkah lebih bebas dan ringan. Namun, tetap tertatih. Haha. Kuyakini diri, bahwa semangat yang masih tersisa ini pasti akan mampu membawaku kembali, hingga ke tempat di mana mobil Toyota Avanza yang kami carter kemarin telah menanti.
Kaki Kram dan Sulit Melangkah hingga beberapa hari.
Alhamdulillah, akhirnya, walau dengan langkah terseret, akhirnya aku berhasil juga mencapai lokasi meeting point. Avanza putih itu telah menanti sejak 30 menit yang lalu. Tak terkira syukurku menjangkau tempat itu. Sebuah saung yang terletak di pinggir jalan itu pun langsung menjadi tempat empuk bagi kami mengistirahatkan diri. Selonjoran adalah sebuah kenikmatan tiada tara. Apalagi ditemani sebotol cold tea yang kami beli di kios tak jauh dari saung. Hm..., nikmat! Alhamdulillah.
Tak satu pun yang bersuara saat perjalanan pulang ke Lineation Clinic. Kelelahan yang mendera membuat kami langsung lelap begitu si akang driver menjalankan mobilnya. Baru terjaga saat mobil telah berhenti karena memang sudah sampai ke tujuan. Alhamdulillah.
Tak menunggu lama, kami menuju kendaraan masing-masing untuk kembali ke rumah. Pesan dr. Dave untuk kembali besok sore ke klinik ini, guna fisioterapi adalah penyejuk hati dan harapan bagiku untuk bisa berjalan normal kembali. Hehe.
Yes, Dok! Besok aku balik ke sini. Fisio, sepertinya memang fisioterapi obat bagi kesembuhan kakiku kembali, deh!
Dan, Sobs! Sungguh, tak terkira rasa syukurku pada Ilahi, yang di sisa energi yang masih tersisa tadi, ternyata ku masih disayang oleh-Nya. Diberikan tenaga dan semangat serta keyakinan untuk terus melangkah. Plus, diberikan sahabat-sahabat yang begitu baik dan solid penuh kebersamaan dan rasa kasih. Duh, dr. Dave, Nchie, Lily, Deden dan Uki, haturnuhun pisan untuk perjalanan kita, ya! Aku belajar banyak banget, dan akan rajin-rajin olahraga, hehe.
Kapok naik gunung, Al?
Hm, enggak donk, tapi kudu persiapan yang bener mah untuk ke depannya! 😊
catatan penuh pembelajaran,
pendakian Gunung Burangrang,
Al, Bandung, 17 Oktober 2017