Ini adalah rangkaian kisah para survivors tsunami, yang dikemas secara berkesinambungan dalam tautan berjudul 'All About Tsunami '.
|
Dipinjem dari buku seri BRR, Seri 0, Tsunami. |
Postingan sebelumnya.
Kita semua pasti pernah merasakan, suatu masa di mana sang waktu terasa merambat begitu lambat, kala hati sedang sendu dan sekarat. Namun sebaliknya, saat hati riang gembira, sang waktu seakan berlari kencang bak anak panah yang melesat tajam, ringan berdesing tanpa suara.
Padahal, pada kenyataannya, 1 jam itu ya tetap saja 60 menit, 1 menit tetap 60 detik! Ya kan, Sobs? Namun begitulah, fisikologinya. Tak bisa dipungkiri, situasi, kondisi dan kejiwaan seseorang, terutama di kala
unhappy, di kala menderita, membuat segalanya merambat begitu lambat!
Seperti apa yang dirasakan oleh para
survivors yang baru saja selamat dari gelombang maut itu. Termasuk ayah dan ibuku, yang kehadiran mereka kini menambah jumlah
survivors di rumah kami. Semuanya jadi berjumlah sebelas orang, eh sepuluh dink, karena
si pemuda 'jahat' itu sudah turun dan menghilang. Yaitu;
Wahyu [balita berumur sekitar dua setengah tahunan],
Udin [bocah laki-laki sepuluh tahunan],
Dr. Fani [anggap saja namanya begitu, karena aku lupa namanya] yang sedang hamil tua,
Ayahandaku,
Ibunda tercinta,
Ayahwa [tukang bangunan langganan Ayah] dan lima orang lelaki lainnya, usia sekitar 35-45 tahunan.
Hampir kesebelas
survivors ini hanya mampu termangu. Seakan masih belum percaya bahwa mereka baru saja lepas dari maut. Terlebih, rasanya sulit diterima akal bahwa sebuah air bah, gelombang raksasa yang bahkan namanya saja tak pernah didengar, baru saja berlalu setelah dengan ganas menggulung, menyiksa, menghanyutkan dan akhirnya menghempaskan mereka ke teras rumah ini. Bahkan telah merenggut nyawa begitu banyak orang dan menghancurkan harta benda yang tak terkira.
Prahara yang baru saja menghantam, tak pelak membuat siapa pun menjadi gundah, sendu dan cengeng! Termasuk ayahku, yang biasanya begitu tegas [atau setidaknya tidak pernah menangis sampai sesunggukan]. Namun kali ini? Apa yang baru saja dialaminya, memancing hati dan pikirannya untuk membiarkan matanya mengucurkan air bening yang seakan tak terhentikan! Hatinya pedih dan gundah, menguatirkan Khai yang keberadaannya entah di mana. Yang jelas adik bungsuku itu tadi pagi pamit mau ke pantai. Dan pantai, sudah jelas tempat di mana gelombang maut itu bermula. Siapa bisa menjamin bahwa gelombang maut itu tidak mengobrak abrik orang-orang dan benda yang berada di sana? Sementara ayah saja tadi, sempat digulung dan dihempas sedemikian rupa? Maka semakin menjadilah tangisan itu. Dan, menangis memang sungguh menular! Ibuku, serta para survivor lainnya tak mampu menghentikan tangis mereka, yang larut oleh pikiran masing-masing, menguatirkan anggota keluarga mereka, yang entah bagaimana nasibnya. Dalam sekejap, ruangan lantai dua itu berubah menjadi lahan ratapan, juga rintihan, karena Dr. Fani dan Udin ternyata mengalami luka-luka pada tubuh mereka.
|
Credit from MarkSolan here |
Wahyu, si balita dua tahunan itu lah yang akhirnya menyadarkan mereka. Bocah kecil itu tak menangis, tapi mengagetkan ibuku dengan suara halusnya. Entah darimana dia tahu bahwa ibuku adalah pemilik rumah itu.
"Nenek, Wayu mau cucu!" Serunya mendekati ibuku. Semua terdiam. Menatapnya. Hening, namun justru air mata semuanya bertambah deras. Semua pemikiran, kuyakin mbulat.
Ya Allah, anak siapa ini? Dimana ayah-ibunya? Selamatkah mereka?
Ibuku memang sigap. Serta merta diraihnya bocah malang itu. Digendong dan dibelai. Bocah itu pasti sudah kehausan. Tapi susu? Mau cari di mana? Gelombang maut dengan lumpur pekatnya itu telah merendam lantai bawah [sekitar 4 m], menjadikan semua benda termasuk makanan dan sembako yang ada di dapur tak lagi jelas bentuknya. Yang ada saat ini hanya 5 galon air mineral yang mengapung di dapur, yang masih bisa dikonsumsi karena tersegel rapat sehingga terhindar dari kontaminasi lumpur tsunami.
Ayahku [yang belum berasa sakit kakinya] berusaha untuk turun, berharap masih ada makanan kaleng yang mungkin bisa dikonsumsi, setidaknya diberikan bagi Wahyu yang pastinya kelaparan. Ibuku sendiri berusaha menenangkannya dengan bujukan lembutnya.
"Sayang, namanya siapa? Minum air putih dulu ya, nak."
"Aku Wayu. Anak Brimob! Ayah Wayu namanya Khairul Bahri. Nek, Wayu gak mau air putih, mau cucu." Suara kecilnya itu tak urung mengoyak iba. Membuat orang-orang yang menatapnya semakin berlinang air mata.
Ya Allah, anak siapa ini? Pertanyaan ini masih begitu kompak bergema di hati masing-masing mereka.
"Iya, Wahyu minum ini dulu biar hausnya hilang. Ntar kalo Oom pulang, kita bikin cucunya ya. Kan cucunya habis, sedang dibelikan oleh Oom." Bujuk ibuku. Menyebut kata Oom, bayangannya adalah Khai, dan itu membuat hatinya tersayat.
Ya Allah, apa kabar anak hamba ya Allah. Selamatkah dia?
Setelah beberapa kali bujukan, akhirnya Wahyu mau juga minum air putih, dan bocah cerdas itu berhasil diajak ngobrol oleh ibuku hingga tertidur pulas. Ibuku berhasil mengalihkan perhatian bocah yang merengek minta pulang, menjadi obrolan sambil mendongeng. Banyak juga info yang diperoleh ibu dari Wahyu, bahwa tadinya dia digendong oleh ayahnya, sementara abangnya dipegang tangannya oleh ayah, tapi kemudian air itu membuat mereka hanyut dan Wahyu terlepas dari gendongan. Lalu ayah dan abangnya hilang. Duh! Anak balita ini, adalah saksi dan korban hempasan gelombang.
Bagaimana nasib ayah dan abangnya ya Allah?
Setelah menidurkan Wahyu di tempat tidur Khai, di samping dr. Fanni yang dari tadi hanya bisa berbaring, kini ibuku beralih peran jadi perawat. Mencoba memeriksa tubuh dr. Fanni yang begitu lemah. Dan ya Allah, tubuh itu penuh lebam, mungkin oleh hantaman atau tersenggol puing-puing yang hanyut di dalam gelombang. Bahkan bu dokter itu tak bisa menggerakkan pinggangnya, terasa begitu sakit. Bak seorang perawat, ibuku mulai membersihkan dan mengompres lebam dan luka-luka itu dengan handuk kecil yang ada di lemari Khai, yang biasa dipakai adikku untuk berolah raga. Air bersih yang tersedia hanya yang ada di galon aqua, yang ke lima galonnya telah dibawa ke atas oleh dua orang survivors itu. Tak hanya mengompresnya dengan air bersih, tapi ibuku juga berusaha mengurut [sebisanya] pinggang dr. Fanni dengan minyak tawon yang memang di simpan Khai di kamarnya, jaga-jaga jika dia keseleo.
Di saat bersamaan, rintihan lain terdengar dari teras, di mana Udin terbaring lemah. Remaja sepuluh tahunan itu sepertinya tak hanya lemah karena terhempas gelombang, tapi juga masuk angin telah membuatnya diare. Orang-orang hanya membiarkannya terbaring di teras karena pakaiannya bukan hanya kotor oleh lumpur tsunami, namun juga oleh kotoran yang keluar dari saluran pengeluaran tubuhnya. Kotorannya berceceran. Ibuku akhirnya mengambil pakaian dan sarung yang biasa dipakai Khai untuk shalat, dan meminta tolong seorang mas-mas yang juga terlihat lelah, untuk mengganti pakaian dan membersihkan Udin.
Tampaknya, hanya ibuku yang masih lebih oke staminanya. Mungkin hal ini disebabkan karena memang hanya ibu yang tidak bersentuhan dengan gelombang. Udin akhirnya diangkat untuk ditidurkan di dalam kamar. Lantai atas rumah kami memiliki dua kamar, satu kamar Khai, di mana dr. Fanni dan Wahyu tidur, dan kamar depan yang biasanya untuk tamu. Nah, Udin dan dua lelaki lainnya berbaring di kamar tamu itu. Ayahwa, ayahku dan dua lelaki lainnya sedang di bawah. Entah sedang apa. Terdengar suara-suara di bawah sana, juga suara para tetangga yang sedang mencari-cari anggota keluarga mereka, atau memeriksa rumah mereka.
Berita duka disampaikan ayahku saat beliau bergabung kembali ke atas. Bu Ilyas, tetangga sebelah kiri rumah kami, ditemukan tewas, tertimpa lemari. Mayatnya sedang dievakuasi, dan benar saja, tak lama setelah berita itu disampaikan ayahku, seseorang berseru memanggil ayah dan ibuku. Keduanya menjenguk dari teras atas. Tak mungkin turun mengingat lumpur pekat di dalam rumah. Ikhsan dan beberapa lelaki sebaya ayahku berdiri di jalan depan rumah, menengadah ke arah ayah dan ibu.
"Pak, Bu, kami mohon agar Bapak dan ibu berkenan memaafkan Aisyah. Mungkin semasa hidupnya, banyak kesalahan yang telah terjadi. Mohon ikhlaskan dan maafkan kesalahannya ya, Pak, Bu. Juga kami mohon ijin, akan membawa jenazahnya segera ke kampung kami."
Sungguh sedih rasa hati ibuku. Karena tadi saat orang-orang berlari oleh teriakan 'air naik - air naik', ibu sempat teriak memanggil Bu Ilyas. Menyerukannya untuk keluar rumah dan menyelamatkan diri. Namun kiranya Allah berkehendak lain. Bu Ilyas bahkan tak sempat keluar rumah, malah tertimpa lemari yang rubuh. :(
Tak banyak kata yang mampu ayah dan ibu ucapkan. Kerongkongan mereka terasa tercekat. Hanya anggukan tulus yang mampu mereka perlihatkan, seraya berpesan agar Ikhsan, si anak lelaki Bu Ilyas, yang sebaya Khai, tabah menghadapi cobaan ini.
Empat survivors kini pamit dari rumah ayah. Mereka merasa tenaganya mulai pulih, dan sudah saatnya harus turun untuk pulang ke desa mereka dan mencari tahu keadaan keluarganya. Mereka berasal dari desa yang berbeda, dan sungguh, gelombang maut itu begitu dasyatnya. Sanggup menyeret mereka hingga ke teras rumah ini. Padahal desa mereka jauh di kecamatan lain!
Tinggallah kini Ayah, Ibu, Ayahwa [yang juga satu jam kemudian pamit pulang, ingin melihat rumah dan anak istrinya], Wahyu, Udin dan Dr. Fanni. Hari telah beranjak sore. Perut para survivors ini mulai keroncongan, lelah dan lapar. Keluarga Putri [tetangga depan rumahku] mulai bergabung. Tak ada pilihan lain, rumah mereka penuh oleh lumpur dan puing. Bahkan ada dua mayat tak dikenal di halaman belakang. Bermalam di lantai dua rumah ayahku adalah pilihan paling aman untuk malam ini. Maka di sinilah mereka. Para tetangga lain, banyak juga yang memilih kembali ke musholla untuk berteduh malam ini.
Ayah masih terlihat kuat, walau matanya begitu sendu setiap ingatannya melayang pada Khai. Sementara ibu, melarikan kegundahannya dengan menolong dan merawat Udin, Dr. Fanni dan Wahyu. Sembari berdoa agar Allah menolong dan melindungi Khai, serta mengirimkan orang lain untuk membantu Khai seperti dirinya merawat para
survivors ini.
Ayah semakin was was. Hari telah beranjak sore, bahkan segera menjelang malam. Kegelapan akan segera menyelimuti kota yang tak lagi memiliki daya ini. Hanya dua pak lilin yang ada di kamar ini, dan dengan itulah mereka akan mencoba dapatkan penerangan. Lumpur pekat, ternyata kini mulai bereaksi. Bukan hanya hati ayahku yang pedih dan teriris, namun kini, luka akibat tertusuk kawat duri tadi, kini mulai menderanya. Denyut perih itu mulai terasa. Dan memang, sejak tadi, kaki yang terluka itu dipakainya untuk wara wiri di lantai satu. Mencari ini dan itu. Hingga semakin lama terendam di dalam genangan lumpur pekat itu. Dan kini, denyut hebat itu melebihi denyut sakit gigi.
Menyerah Ayah akhirnya. Duduk berselonjor seraya berusaha membersihkan sendiri kakinya. Namun tentu saja sang 'perawat' tak membiarkannya. Segera ibuku membersihkan luka itu, dan dengan tega meneteskan minyak angin ke dalam luka kaki ayahku. Biar mati kumannya, begitu kata ibu. Dan ayahku hanya bisa meringis menahan pedih yang sungguh tak terkira. Denyut itu makin menjadi, terlebih karena ayahku punya gejala diabetes. Maka tak menanti lama, denyut yang kian menjadi itu, disertai pula dengan membengkaknya kaki ayahandaku.
Senja mulai turun disertai oleh gulita yang mulai menyelimuti. Hanya 4 rumah [yang berlantai dua] di lorong itu yang terlihat ada cahaya [lilin], yang lain, gulita! Jalanan masih berlumpur, mayat masih berserakan di jalanan, pagar, pekarangan beberapa rumah, dan hening!
Wahyu sudah terbangun, dan kerinduannya pada ayah ibunya, membuat seisi rumah kami terenyuh. Sedih. Ayah dan ibu serta ibunya putri bergantian membujuknya. Udin, bukan hanya diare, tapi kini telah disertai demam. Badannya panas, tapi tubuhnya menggigil. Selimut Khai menjadi penutup tubuh Udin yang kini meringkuk di atas kasur. Anak itu bahkan mengingau. Berteriak memanggil ibunya, menangis, menjerit. Membuat ibuku kembali jadi pemain sandiwara paling watak sedunia.
Dalam temaram cahaya lilin, saat Udin mengigau memanggil ibunya, maka ibuku lah yang acting, berlagak jadi ibunya Udin, dan menjawab dengan gaya wanita nelayan [Udin berasal dari sebuah Alue Naga, sebuah desa nelayan].
"Ibu di sini, Din! Ayo tidur lagi, ibu ga kemana-mana kok! Ayo tidur biar besok gak telat sekolahnya!" Lagak ibuku menjawab teriakan Udin.
"Apa kamu ini, Din! Ayo tidur lagi, ayah di sini kok. Ga kemana-mana. Lagi beresin jala! Ayo kamu tidur lagi!" Acting ibuku berlagak jadi bapaknya Udin. Dialognya adalah dalam bahasa Aceh. Ajaibnya, Udin tenang dan tidur kembali mendengar suara 'ayahnya' atau 'ibunya' yang ditirukan oleh ibuku.
Lain lagi dengan ayahku. Panglima rumah tangga kami itu menjadi begitu sensitif dan gampang sekali menangis. Bertasbih kepada Allah selesai dari shalatnya, malah membuatnya menangis tergugu, ingatannya pada Khai yang belum tentu di mana rimbanya, kembali mengusik ketenangan batinnya. Air mata mengalir deras, sederas doanya yang terucap terputus-putus. Ayah dan Khai memang sangat akrab. Wajar memang, mengingat, hanya Khai yang kini tinggal bersama ayah dan ibu, sementara kami [tiga anak lainnya], telah sekian lama tinggal di kota lain. Aku di Medan, Edo di Jakarta dan Andrew di Istanbul. Ibu sampai kehabisan akal menyabarkan ayahku, yang jadi begitu cengeng. Bahkan Wahyu yang tadi menangis minta pulang dan kangen ibunya, kini berbalik membujuk ayahku.
"Kakek, jangan menangis, Oom kan pergi beli cucu untuk Wayu."
Suasana begitu mencekam dan mengharu biru, bahkan celotehan Wahyu tak mampu meredam air mata yang terus mengalir itu. Justru celotehan bocah ini, kian memancing haru yang membiru.
Ya Allah, bagaimana nasib kami selanjutnya? Pertanyaan itu kompak menyatu, bergema di hati mereka masing-masing, menyisakan jawaban hampa tanpa cahaya.
Namun sebuah suara lantang tiba-tiba mengagetkan mereka semua. Hanya suara, tanpa penampakan, oleh gulita dan sulitnya medan. Baca kisah lanjutannya pada postingan berikut, ya, Sobs! :)
- all about tsunami: Gade and Me
- all about tsunami: Khai and the Genk
- all about tsunami: Khai and Perjuangan Pulang
- all about tsunami: Malam Pertama
- all about tsunami: Hari Kedua
- ........
Sebuah catatan pembelajaran, tentang kisah tsunami dan para penyintas [survivor]nya.
Al, Bandung, 13 Juli 2013