Sudah sejak kemarin,
aku berniat banget untuk shalat tarawih di Mesjid Lingke, dan niat ini sudah
kucetuskan pada Intan untuk menarik simpatinya ikutan bertarawihan disana.
Anaknya sih asyik-asyik aja, setuju-setuju aja walau heran dengan niatku itu. Umi
aneh, disaat semua orang berlomba untuk ke masjid Raya, apalagi ada abuchik
(bahasa Aceh untuk kakek alias ayahandaku) yang setiap malam suka safari
tarawih ke masjid-mesjid ternama di kotaku, ini kok malah mau ke masjid Lingke,
yang bisa ditempuh 5 menit jalan kaki saja…
Keheranan Intan
terjawab saat mengetahui alasan utamaku ke masjid Lingke adalah agar kami bisa
berjalan kaki saja. Dengan berjalan kaki perut yang terasa begitu sesak oleh
aneka penganan berbuka, kuharap bisa segera diproses, hingga mengembalikan rasa
nyaman untuk beraktifitas malam hari (apa ya aktifitas malam hari di bulan
Ramadhan?) #Kok nanya, ya mengaji, baca buku agama daaaan… blogging dunk! J ) #teteup bo’.
Jika malam
sebelumnya, niat suci ini berhasil terkalahkan dengan sukses oleh godaan
syaitan yang terkutuk, hingga membuat Intan terpingkal-pingkal melihat uminya
yang malah rebahan setelah magriban, batal untuk melaksanakan niat tarawihan di
Mesjid Lingke…. Maka malam ini, kubulatkan tekadku untuk melaksanakan niat yang
telah gagal terlaksana itu.
Selesai mengaji
bersama Intan, kami pun bersiap-siap untuk segera berjihad berjalan kaki
ke masjid yang dimaksud. Eh ternyata, saran Umi
yang menggiurkan, agar aku dan Intan nebeng mobil ayah aja, yang memang
mau berangkat tarawihan di salah satu mesjid di pusat kota, dan melewati mesjid Lingke, adalah tawaran menarik yang begitu memikat pastinya. Barulah nanti pulangnya jalan kaki.
Yo wes lah, masak
ajakan yang memudahkan ini ditolak sih? Ga sopan dunk. Maka aku dan Intan pun
masuklah ke mobil ayah, yang akan ke masjid dengan adik bungsuku.
Baru dua menit di
dalam mobil, ayah melancarkan bujukan baru…. “Kakak dan Intan ga mau ikutan ke
masjid Muhammadiah? Belum pernah kan
kesana? Gimana kalo kesana aja?”
Mau jawab apalagi
coba sobs? Ajakan yang sama sekali tak membutuhkan kerja keras, tinggal duduk
manis dan beberapa menit kemudian tinggal turun di masjid tujuan. Ga ada
ruginya toh? Niat jalan kakinya gimana? Hm… besok-besok aja deh. Masih ada
waktu… Lagian urusan perut yang kepenuhan, ntar waktu melakukan shalat tarawih
juga akan beres dengan sendirinya… gerakan shalat sebanyak 4. 8 dan 3 rakaat
itu kuyakin akan mampu mengembalikan rasa nyaman di perut ini. #Lha, kok bukan
mandang nilai ibadahnya sih Al? dari tadi yang dibahas kok malah urusan
olahraga dan perut?
IYA dariku langsung
membuat ayahanda tancap gas, dan ditengah perjalanan menuju Mesjid Muhammadiah
malah terkontaminasi oleh cetusan ide baru dari Rizal.
“Mending ke Mesjid
Raya aja yah, lebih asyik bacaan ayat-ayat nya!” Langsung disambut setuju oleh
semua penumpang (yang tak lain adalah Intan dan aku). Tujuanpun berubah, si
hitam ayahku pun beralih tujuan, berbelok perlahan menuju Mesjid ternama
kebanggaan masyarakat Aceh ini. Yup, Mesjid Raya Baiturrahman.
Seperti yang
kuperkirakan sebelumnya, parkiran di Mesjid megah ini penuuuh banget, di
seluruh sisinya. Ckckck….. Beberapa polisi yang bertugas mengatur lalu lintas
pun ikutan urun bantuan dalam hal parkir mobil para pengunjung masjid.
Si hitam akhirnya
berhasil mendapatkan sebuah space untuk berhenti sejenak, menurunkan dan
menanti penumpang beserta majikannya menunaikan shalat tarawih di masjid yang
indah ini.
Langkah kehidupan
memang tak pernah bisa diduga ya sobs? Jika tadi aku begitu antusias untuk
berjalan kaki ke Mesjid Lingke,yang tak jauh dari rumah, eh siapa sangka kini
aku dan Intan malah sudah duduk manis dan terpana akan keindahan Mesjid yang
berkali-kali memang senantiasa membuatku tercengang ini…
Jika beberapa minggu
lalu, aku diculik oleh suami dalam sebuah penculikan tragis nan romantis,
dijejali dengan aneka keindahan dan kenikmatan duniawi, maka kini aku dan Intan
diculik ayah, untuk dijejali kesempatan beramal ibadah dalam rangka menggapai
nikmat Surga Ilahi. Subhanallah.
Malam keenam bulan
Ramadhan, suasana di Mesjid megah ini masih begitu penuh sesak. Jemaahnya
tumpah ruah sampai ke halaman rumput di luar masjid. Dan sepertinya ada yang
memang begitu enjoy melaksanakan sembah sujud pada Ilahi Rabbi di bawah naungan
angkasa biru, ditemani bulan sabit yang begitu syahdu. Hm… mungkin besok-besok
aku harus coba ambil tempat di halaman rumput itu. Pasti lembut sekali saat
bersujud di hamparan hijaunya nan lembut itu….
Untuk malam ini, beruntung kami tiba lebih awal, sehingga
masih kebagian tempat di saf ke lima dari depan. Aku dan Intan sepakat untuk
tidak menggelar sajadah kami, melainkan membiarkannya terlipat dan kami
letakkan saja di samping tas. Rasanya lebih nikmat bersujud dan membiarkan dahi
ini bersentuhan langsung dengan batu marmer nan dingin, indah dan licin
berkilau itu, daripada bersujud di atas sajadah beledru.
|
Konon batu marmer ini didatangkan dari Persia lho sobs! |
Dan memang tak salah
pilihanku sobs… ada kenikmatan tersendiri saat merasakan dinginnya batu marmer
yang sebesar hamparan sajadah itu menyentuh dahi… adem gitu deh sobs! Bikin
kita tambah kusyuk deh. J, tak hanya
aku lho, Intan juga merasakan hal yang sama kok. Berarti aku ga lebaykan? Hehe
Selain kebersihan dan
keindahan arsitekturnya yang begitu mempesona, ada hal lain yang membuat aku
begitu salut dengan masjid yang satu ini sobs.
Apaan itu Al?
Menurutku sih, masjid
Raya Baiturrahman ini sangat demokratis. Jika banyak masjid atau meunasah lain
di Aceh yang menerapkan tarawihan 20 rakaat (seperti di meunasah tempat
tinggalku), maka Mesjid Raya menyediakan sarana/pendukung agar kedua opsi itu
(8 rakaat dan 20 rakaat) dapat dijalankan oleh yang memilihnya.
Maksudnya gimana sih
Al?
Ok, maksudku begini
sobs…. Jika di meunasah lainnya, yang menerapkan tarawihan 20 rakaat, maka
Jemaah yang hanya ingin 8 rakaat, silahkan stop sampai 8 rakaat, lalu undur diri dari saf dan lakukan sendiri
shalat witirnya. Maka di masjid Raya ini, saat shalat tarawihnya telah mencapai
rakaat ke delapan, maka Jemaah yang ingin 20 rakaat, mundur, membiarkan imam
menutup shalat tarawih (8 rakaat) ini dengan shalat witir. Begitu selesai, maka
imam dan jemaah 8 rakaat ini pamit alias undur diri, baru imam lainnya akan
mengambil alih, dan memimpin jemaah 20 rakaat untuk menyelesaikan ibadah
mereka.
Mungkin di tempat
lain juga begitu ya sobs? Tapi di kampungku, dan juga beberapa tempat ibadah
lainnya tidak begitu sobs…. Kebanyakan ya seperti yang aku sebutkan di atas,
bahwa jemaah 8 rakaat, silahkan menyelesaikan sendiri shalatnya..
Oya, adalagi yang
bikin aku selalu jatuh hati pada masjid yang satu ini sobs…. Warna putihnya itu
lho… rasanya bersih banget… plus pilar-2 kokoh yang menyangga, ditempeli pula
oleh beberapa TV berukuran 32 inc di beberapa pilar itu, menyajikan pemandangan
yang gimanaaa gitu ya?
Eitsss! Ya jelas
bukan untuk nonton music apalagi pertandingan sepakbola donk sobs! TV-2 ini jelas
untuk memudahkan jemaah melihat penampakan sang khatib saat memberi khutbah…
Aku hitung2 sih, ada
sekitar 20 lebih TV ukuran 32 Inc yang tersedia di dalam masjid ini sobs.
Lumayan banyak yaa? J
Well sobs, malam
telah larut, dan mata ini telah semaput (mata kok semaput sih? Maksa banget deh
Al!, hehe). Yuk aku tunjukkan beberapa foto yang sempat aku bidik saat sedang
menikmati keindahan masjid Raya kebanggaanku ini yuk sobs!
Baiklah sobats, malam telah benar2 larut nih, udah masuk dini hari pula! Lanjut besok dalam lain kisah yaaa.... hehe.
Saleum,
Alaika