Hari ini, tepatnya 11 tahun yang lalu. Setiap anak bangsa, pasti akan langsung melesat tajam ingatannya ke masa itu. Masa-masa yang dalam hitungan menit menjadikan bangsa Indonesia, utamanya anak manusia di Nanggroe Aceh Darussalam serta merta berkabung. Suatu masa yang dengan tragis menjadikan seorang istri menjadi janda, seorang suami menjadi duda, anak menjadi yatim atau piatu, atau bahkan menjadi yatim piatu. Suatu masa di mana manusia meregang nyawa secara massal, oleh sebuah gelombang dasyat bernama tsunami. Yang kedatangannya diawali oleh sebuah gempa yang sepanjang umur masyarakat kala itu, belum pernah merasakan goncangan hingga 9,1 skala Reichter itu. Sebuah goncangan yang serta merta melongsorkan bangunan semegah hotel Kuala Tripa, menjadi puing-puing yang menumpuk di atas tanah retak. Sebuah gelombang yang mampu menghantarkan sebuah kapal pembangkit tenaga listrik yang sedianya mengapung di tengah lautan, justru hadir dan mendarat di atas atap dua buah rumah, dan membuat si rumah penyet akibat tak kuasa menahan beban berat sang kapal. Remuk.
Sebuah goncangan yang tak lama sesudahnya, justru menyurutkan air laut, menggeleparkan ikan-ikan oleh mengeringnya air laut, lalu dengan serta merta, justru menghadirkan kembali gelombang lautan dalam kekuatan maha dasyat yang tak pernah terbayangkan sebelumnya. Tsunami, nama gelombang itu. Belum pernah terngiang di telinga siapa pun kala itu, sehingga tak ada persiapan apalagi antisipasi di dalam menghadapinya.
Gelombang ini pula, yang telah mengirimkan sebuah balok kayu untuk menghantam mata kaki Ayahandaku, kala beliau sedang mencoba menyelamatkan diri. Mencoba untuk menaiki anak tangga menuju lantai dua sebuah surau di dekat rumah kami, dalam upaya menyelamatkan diri dari amukan sang gelombang. Arus air bah ini pula, yang kemudian menyeret ayah yang terjatuh, dan mengombang-ambingnya hingga ratusan meter, tersangkut di kawat duri sebuah pagar, dan tenggelam di dalam air berlumpur kelam. Jika saja tangan Tuhan tak meraihnya kala itu, maka kami tak akan pernah lagi bertemu dengan lelaki yang kami panggil Ayah itu.
Namun, jika ajal belum menjemput, maka ada saja mukjizat penyelamat di tengah amukan bencana. Setelah dihumbalang oleh amukan gelombang, secara ajaib Ayah berhasil meraih sebuah dahan, dan memanjat serta duduk bergelayut di atasnya. Mencoba sekuat tenaga untuk memeluk sang dahan, agar dasyatnya arus gelombang tak berhasil menyeretnya kembali ke dalam amukan lumpur kelam.
Tsunami, menyisakan banyak keajaiban dan duka lara bagi para survivors. Tsunami, menjadikan Aceh sebagai laboratorium raksasa, di mana umat manusia bisa menjadikannya sebagai tempat pembelajaran for a better life after the disaster. Tsunami pula, dibalik duka lara yang dilukisnya, menyisakan perjuangan hidup dan makna akan mahalnya arti kehidupan bagi para survivors atau siapa pun yang menaruh perhatian akannya.
Hari ini, 26 December 2015, 11 tahun setelah bencana. Aceh, telah kembali berdandan apik. Menapaki Kota Banda Aceh hari ini, orang tak akan percaya jika Kota ini pernah diamuk gelombang dasyat bernama tsunami. Tak ada tanda-tanda bahwa ratusan ribu mayat pernah bergelimpangan di segala penjurunya. Aceh telah berubah, menjadi sebuah kota keren berselimut ilmu pengetahuan dan kemajuan. Aceh telah berhasil bangkit, for a better life, a better place to stay and a better governance, hopefully. :)
Hari ini, selain memperingati hari tsunami, kota yang terkenal dengan istilah kota seribu warung kopi berhotspot ini, akan pula menyelenggarakan sebuah agenda keren bertajuk Aceh Thanks To The World. Ber-hashtag #AcehThanks2TheWorld, Aceh Smartcity bersama rakyat Aceh, akan menjadikan agenda ini sebagai langkah awal [launching] kegiatan keren berupa pendampingan bagi gampong-gampong di Aceh agar dapat memiliki website desa-nya. Sehingga menjadi desa-desa yang melek IT dan siap memperkenalkan kelebihan desanya pada dunia.
Output dari agenda ini adalah diharapkan agar di 26 Dec 2016 nanti, akan ada 6000 web gampong yang siap untuk tampil di satu pusat pameran utama berkelas nasional yang juga akan menghadirkan desa2 lainnya di luar Aceh. Wow! Semoga, pembelajaran yang diberikan oleh tsunami, akan menjadikan Aceh a better province, life, community and governance. Aamiin. Thanks to the world!
dibalik bencana, ada hikmah yang tersembunyi,
Al, Bandung, 26 Dec 2015.
Words; 621