#27: ACEH BUMI SRIKANDI - sebuah Resensi

Srikandi Aceh
foto koleksi pribadi

Judul : Aceh Bumi Srikandi
Penulis: 10 orang penulis Aceh
Editor : Farid Wadji Ibrahim
Diterbitkan oleh : PemProv NAD
Disain Cover: Tim kreatif CV. Citra Kreasi Utama
Layout/Setting : Alwahidi Ilyas
Jumlah halaman: 530 + xv
ISBN : 979-992417-0
Kategori : Sejarah
Cetakan I, Yogyakarta : Multi Solusindo Press.

Buku ini adalah buku utama peganganku dalam menuliskan kisah-kisah heroik para perempuan tangguh ACEH, yang setiap membacanya, selalu saja menimbulkan decak kagum dan rasa hormat terhadap mereka, yang telah hidup dan menorehkan sejarah keberanian bangsa, nun jauh di masa silam.

Adapun penggunaan kata Srikandi, dipilih karena kata ini dianggap paling representatif dalam mengetengahkan, menggambarkan, mewakili dan mengakomodir semua aspek dan nilai lebih yang melekat pada tokoh-tokoh perempuan Aceh tersebut, seperti aspek; politik, militer dan agama.

Istilah Srikandi bagi perempuan Aceh, dalam kajian sejarah bukanlah hal baru, namun telah ditulis oleh sejarawan Aceh seperti H.M Zainuddin dalam bukunya Srikandi Aceh, tahun 1966. Selanjutnya Amran Zamzami dalam bukunya Pocut Meurah Intan; Srikandi Nasional dari Tanah Rencong, 1987.
Dengan demikian, pemakaian istilah srikandi bagi perempuan Aceh seperti untuk Sultanah Safiatuddin, Cut Nyak Dhien, dan Laksamana Keumalahayati sudah merakyat di komunitas masyarakat Aceh.

Tentang Buku ini
'Aceh Bumi Srikandi'

Ada banyak kajian historik yang dilakukan sebelum penulisan buku yang menyerupai sebuah ensiklopedia ini. Yang tentu saja dimaksudkan untuk menghimpun data sejarah secara holistik mengenai kisah perjuangan para Srikandi Aceh sejak kerajaan Samudera Pasai [masa Ratu Nur] hingga abad ke 20, yang tentu saja telah mengukir lembaran sejarah secara menakjubkan. Mereka tidak hanya tampil sebagai pimpinan [sultanah] di istana, akan tetapi juga berkiprah sebagai panglima perang, pemimpin pasukan tempur yang menjadikan hutan belantara sebagai tempat mengatur strategi penyelamatan aqidah, bangsa, negara dan yang lebih penting terpeliharanya harkat dan martabat generasi Aceh di masa-masa berikutnya, di samping mereka juga terlibat sebagai penasehat sultan, anggota parlemen, diplomat dan lain-lain.

Buku ini juga untuk memberikan gambaran secara komprehensif tentang kiprah perempuan Aceh dalam berbagai bidang, sehingga dapat dijadikan potret bagi perempuan masa kini dalam memperjuangkan hak-hak mereka dalam berbagai bidang, atau membangkitkan harapan untuk muncul regenerasi. Selain itu, kajian ini juga bertujuan untuk melihat dengan jelas realitas historis yang menunjukkan bahwa di Aceh, sepanjang perjalanan sejarahnya membuktikan bahwa tidak ada dikotomi dan bias gender dalam ruang sosial.

Antara laki-laki dan perempuan, dalam masyarakat Aceh diberikan kesempatan yang sama dalam berbagai konteks kehidupan. Hal ini berarti bahwa anggapan dan tuduhan orientalis Barat dan sekelompok yang tidak senang terhadap Islam jelas keliru dan tidak berdasar, sebab masyarakat Aceh yang kental dengan nilai keislaman telah membuktikannya sejak abad ke 16 hingga sekarang ini.

Buku ini juga membahas tentang pandangan ulama Aceh terhadap posisi dan peran perempuan di bidang publik, yang tentunya pandangan ini dikaitkan dengan pemahaman mereka tentang ajaran Islam. Di dalam Islam, diajarkan adanya persamaan di antara manusia, baik laki-laki maupun perempuan, mau pun antar bangsa, suku dan keturunan. Hanya ketakwaan dan pengabdian lah yang membedakan nilai satu manusia dengan manusia lainnya di mata Allah SWT. Penciptaan laki-laki dan perempuan, adalah bukti nyata bahwa kedua makhluk berlainan jenis ini saling membutuhkan, yang berarti harus hidup rukun dan saling menghargai satu sama lainnya, bukannya malah saling merendahkan dan menindas.

Pembahasan tentang pro dan kontra pandangan para ulama terhadap tampilnya empat orang ratu yang 59 tahun berturut-turut memerintah Aceh, dibahas dengan menarik, juga mengulas tentang kudeta para hulubalang yang berkonspirasi dengan para petinggi pemerintahan dalam rangka menggulingkan tampuk pemerintahan para ratu. Sementara terhadap para perempuan yang terjun dan memimpin peperangan, sama sekali tidak menimbulkan kontra di dalam pandangan para ulama, sungguh menarik untuk dicermati.

Buku Aceh Bumi Srikandi, berketebalan 545 halaman ini, juga mengulas tentang pergeseran peran perempuan dari peran hebat yang dimainkan oleh para pendahulunya, yaitu dari peran publik dan heroik ke peran domistik! Faktor-faktor yang mengarah kepada kemunduran peran peran perempuan Aceh tersebut di antaranya adalah faktor historis, sosiologis, psikologis, faktor kebijakan pemerintah, faktor pemahaman ajaran agama, fatwa ulama, pendidikan dan lain-lain.

Buku ini menyisipkan harapan penuh agar para perempuan Aceh dapat bangkit kembali dari kuburnya untuk menata kehidupan bangsa yang penuh penantian, lebih-lebih dari kalangan perempuan sendiri yang meras dieliminasi selama puluhan tahun. Harapan tersebut tentu saja akan dapat diwujudkan dengan manuver reposisi peran dan pemberdayaan perempuan Aceh sesusi dengan pertimbangan dan perkembangan jaman.

Buku ini lahir dari inisiatif dan kebijakan Pemerintah Provinsi Aceh dan dipersembahkan bagi para pembacanya agar terbuka wawasannya terhadap kelebihan-kelebihan dan ketangguhan perempuan-perempuan Aceh di masa lalu, dan hendaknya dapat menjadi kajian pembelajaran bagi perempuan Aceh masa kini, untuk dapat bangkit kembali dalam mengharumkan martabat diri, keluarga, agama, bangsa dan negara. Penasaran untuk mengetahui sepak terjang para Srikandi dari Bumi Iskandar Muda? Monggo ditilik beberapa postinganku yang mengulas tentang kepahlawanan dan keberanian mutiara-mutiara dari tanah rencong di bawah ini ya, Sobs! :

Laksamana Malahayati, Kartini lain sebelum Kartini
Pocut Meurah Intan, Kartini lain sebelum Kartini

sebuah catatan resensi buku,
Al, Bandung, 27 Januari 2014

5 comments

  1. wah jadi pingn baca buku ini cut kak :), cut kak juga salah satu srikandi aceh :)

    ReplyDelete
  2. Wah, kakak, pengen kali bisa punya buku ini. Ini di mana kakak belinya?

    ReplyDelete
  3. Wah, Laksamana Malahayati itu perempuan to Mba Al?
    Baru tahu saya. Di Lampung dulu Cabang Mandiri yang besar di Jl. Laksamana Malahayati. :D

    ReplyDelete
  4. Yang mau tau tentang Aceh harus baca buku ini nih

    ReplyDelete